*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini
Hingga menjelang tenggat waktu—penulisan Sejarah
Indonesia yang terdiri dari 10 jilid yang akan dipublikasikan pada tanggal 17
Agustus 2025 (hadiah dalam 80 tahun RI)—diskusi publik masih terus berlangsung.
Penulis pertama Sejarah Indonesia sendiri adalah Sanoesi Pane terdiri empat
jilid diterbitkan di Djakarta tahun 1945. Jilid terakhir, jilid IV berisi tentang
“Zaman Pendjadjahan Baroe hingga Kedatangan Balatentara Dai Nippon”. Pada tahun
1951 Mohamad Jamin terinformasikan akan menulis buku berjudul "Prea
Sedjarah Indonesia" (lihat Indische courant voor Nederland, 14-11-1951).
Disebutkan buku tersebut, sebuah buku prasejarah Indonesia, yang kemungkinan
akan diterbitkan pertengahan tahun depan.
Fadli Zon mempresentasikan hasil disertasi di program studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia tahun 2016 topik “economic policy” berjudul “Pemikiran ekonomi kerakyatan Mohammad Hatta 1926-1959” dengan promotor Mohammad Iskandar dan co-promotor Susanto Zuhdi. Satu diskusi yang menarik dapat diperhatikan dalam Webinar Penulisan Sejarah Indonesia yang diadakan tanggal 12 Juli 2025 pukul 19.30 yang diselenggarakan oleh Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI): Moderator: Berthold DH Sinaulan SS, Ketua IAAI Komda Jabodetabek; Sambutan: Drs Marsis Sutopo MSi, Ketua Umum IAAI; Pernyataan Pembuka: Prof Dra Anggraeni MA, PhD, Guru Besar Arkeologi FIB UGM; Narasumber 1: Prof Dr Susanto Zuhdi M.Hum, Sejarawan; Narasumber 2: Prof Dr R Cecep Eka Permana SS MSi, Guru Besar Arkeologi UI; Narasumber 3: Dr Andi Achdian MSi, Dosen Prodi Sosiologi UNAS; Narasumber 4: Prof (Ris) Dr H Truman Simanjuntak DEA, Arkeolog dan Ketua CPAS; Pernyataan Penutup: Prof (Ris) Dr Harry Widianto DEA, Arkeolog dan Peneliti BRIN (https://www.youtube.com/watch?v=a4p8ry-TxHg)
Lantas bagaimana sejarah penulisan Sejarah (Nasional) Indonesia? Seperti disebut di atas, penulisan Sejarah Indonesia sudah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Dalam hal ini penting mengetahui sejarah penulisan Sejarah Indonesia dari era Mohamad Jamin (1951) hingga era Fadli Zon (2025). Lalu bagaimana sejarah penulisan Sejarah (Nasional) Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Sejarah Penulisan Sejarah (Nasional) Indonesia; Dari Era Mohamad Jamin hingga Era Fadli Zon
Pada saat Sanoesi Pane menerbitkan buku Sejarah Indonesia empat jilid tahun 1945 hingga pada tahun 1951 saat Mohamad Jamin akan menulis buku berjudul Prea Sedjarah Indonesia, belum ada sejarawan (sarjana sejarah) yang lulus studi di Indonesia. Mengapa? Sejarawan yang sudah ada yang mengerti Indonesia adalah orang Belanda dan pribumi yang studi di Eropa.
Het vaderland, 25-08-1951: ‘Presiden Soekarno telah membentuk Komisi Pencatatan Sejarah Nasional. Komisi ini diketuai oleh Prof Prijono dan beranggotakan: Prof Dr PA Djajadiningrat, Prof Dr Prijohoetomo, Mohammad Jamin, Prof Dr Poebotjaroko, Prof Dr Reesink dan Dr Tjan Tjoe Sim. Pemerintah berharap komisi tersebut dapat menyelesaikan tugasnya dalam waktu tiga tahun’.
Keberadaan mahasiswa sejarah di Universitas Indonesia paling tidak baru terinformasikan pada tahun 1953. Salah satu nama yang terinformasikan adalah Sartono Kartodirdjo yang kuliah di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia di Djakarta.
Pada tahun 1953 diberitakan hasil ujian di beberapa fakultas di Universitas
Indonesia (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 09-06-1953). Di fakultas ekonomi Sie Bing Tat lulus
sarjana, Baginda Siregar dan Azis Siregar lulus ujian kandidat (sarjana). Di
fakultas kedokteran lulus kandidat sebanyak 20 mahasiswa. Di fakultas sastra
lulus sarjana pada bidang arkeologi (richting oudheidkunde) Nn Soelaiman,
Abdurrachman dan Soekmono; lulus ujian kandidat pada bidang sejarah (richting
geschiedenis) Sartono Kartodirdjo.
Keberadaan prodi sejarah di Universitas Indonesia berada di fakultas sastra dan filsafat (faculteit voor letteren en wijsbegeerte). Dekan baru pada fakultas ini adalah Prof Dr Prijono (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 19-01-1953). Prijono adalah salah satu orang Indonesia yang meraih gelar doctor (PhD) dalam bidang sastra dan filsafat di Belanda.
Raden Prijono lulus sarjana sastra Indonesia di Leiden tahun 1936 (lihat Haagsche
courant, 05-12-1936). Prijono kelahiran Jogjakarta meraih gelar doktor (PhD)
pada tanggal 24 Juni 1938 di Leiden dalam bidang sastra dan filsafat dengan
judul disertasi “Sri Tanjung”. Beberapa orang pribumi yang studi di fakultas
sastra dan filsafat ini di Leiden, antara lain: Raden Kartono lulus sarjana tahun
1909 (lihat Het vaderland, 08-03-1909). Pada tahun 1909 ini Hoesein
Djajadiningrat mengikuti kompetisi dengan membuat tulisan dengan tema sejarah
Atjeh. Atas prestasi Hoesein Djajadiningrat yang berhasil dalam kompetisi
mendapat hadiah berupa medali emas dari universitas (lihat Algemeen
Handelsblad, 05-07-1909). Hoesein Djajadiningrat menyelesaikan studinya (lihat
De Maasbode, 19-10-1910). Disebutkan di Leiden lulus ujian akhir pada bidang
letterkunde van den OI Archipel, Raden Mas Hoesein Djajadiningrat. Seperti pada
ujian kandidat, hingga pada ujian akhir ini Hoesein Djajadiningrat juga
mendapar predikat cum laude (lihat Land en volk, 20-10-1910). Pada tahun 1913,
Hoesein Djajadiningrat meraih gelar doktor (PhD) di bidang sastra dan filsafat
di Leiden dengan judul disertasi Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten.
Ini mengindikasikan bahwa mahasiswa pribumi di Belanda sejatinya dapat bersaing
dengan orang Belanda di Belanda dan orang Belanda yang berasal dari Hindia. Orang
Indonesia kedua meraih gelar doktor di bidang sastra dan filsafat adalah
Poerbatjaraka di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul 'Agastya in den
Archipel' (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 11-06-1926). Agastya adalah tokoh
penting di zaman kuno dalam penyebaran agama Hindu di Asia Tenggara, terutama
Jawa. Orang Indonesia berikutnya yang meraih gelar doktor pada bidang sastra dan
filsafat di Leiden tahun 1933 adalah Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng
Moelia kelahiran Padang Sidempoean di Universiteit Leiden tahun 1933 dengan
desertasi berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap'. Pada
tahun 1934 Prijohoetomo kelahiran Djoewana meaih gelar doctor dalam bidang
sastra dan filsafat di Leiden dengan judul disertasi Inleiding Middel Javaansche
Prozatekst Vertaling Vergeleken met de Bimasoetji in Oud-Javaabsch Metrum. Tjan
Tjoe Siem kelahiran Soerakarta disertasi
dalam bidang sastra dan filsafat dengan disertasi berjudul “Hoe Koeroepathi
zich ztfn vrouw verwerft" (lihat De Maasbode, 21-01-1938).
Doktor-doktor Indonesia yang meraih gelar PhD di bidang sastra dan filsafat juga menjadi guru besar di Fakultas Sastra dan Filsafat Universitas Indonesia. Tentu saja juga menjadi dosen Sartono Kartodirdjo. Mereka itu adalah Prof Dr Djajadiningrat; Prof Dr Poerbatjaraka, Prof Dr Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Sementara itu, Dr Prijohoetomo menjadi guru besar sejarah di Universitas Gadjah Mada. Dalam perkembangannya, meski masih menjadi guru besar di Universitas Indonesia, Prof Dr Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia mendirikan universitas swasta di Djakarta.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-10-1953: ‘Universitas Kristen di Djakarta.
Peresmian Universitas Kristen di Djakarta, yang dipimpin oleh Dr Todoeng Harahap
gelar Soetan Goenoeng Moelia, berlangsung di Djakarta. Universitas ini terdiri
dari dua fakultas: Seni dan Filsafat, dan Ekonomi. Fakultas Seni dan Filsafat
menawarkan dua disiplin ilmu: Pedagogi dan Bahasa Inggris. Menteri Pendidikan, Mohomad
Jamin, yang hadir dalam peresmian tersebut, menyampaikan kegembiraannya dan
pemerintah atas peresmian tersebut. Beliau menyatakan bahwa cita-cita, seperti
di Eropa, adalah universitas untuk sejuta orang. Saat ini, hanya ada dua
universitas yang berstatus penuh: Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah
Mada’.
Di Universitas Indonesia Sie Bing Tat adalah lulusan pertama dari fakultas ekonomi (didirikan pada tahun 1950). Sementara Soelaiman, Abdurrachman dan Soekmono adalah sarjana arkeologi pertama. Ini menandai sarjana arkeologi Indonesia pertama. Selama ini tidak pernah terinformasikan mahasiswa Indoneia di Belanda yang mengambil bidang studi ini.
De Volkskrant, 11-10-1955: ‘Plagiarisme Profesor. Djakarta, 10 Oktober (PIA)— Profesor Dr. Prijohoetomo, dekan di Universitas Gadjah Mada di Jogyakarta, telah diberhentikan sementara karena menjiplak buku-buku sejarah Belanda’.
Sartono Kartodirdjo di Universitas Indonesia diketahui lulus sarjana sejarah tahun 1956. Ini dengan sendirinya, sejauh yang diketahui merupakan sarjana sejarah pertama di Universitas Indonesia. Ini menandai generasi baru (di era Republik Indonesia) para sejarawan Indonesia. Namun sayang sekali Indonesia harus kehilangan sarjana Indonesia karena soal plagiat Prof Dr Prijohoetomo). Sartono Kartodirdjo kemudian menjadi dosen sejarah di Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta sebagai asisten Prof Dr Soekanto. Saat ini buku sejarah yang ada ditulis oleh orang Belanda seperti Dr FW Stapel, dkk (6 jilid) tahun 1939 dan yang ditulis oleh Dr HJ de Graaf (1949).
Soekanto menyelesaikan sarjana hukum di Leiden pada tahun 1931 dalam bidang Indisch recht (lihat Algemeen Handelsblad, 14-10-1931). Mr Soekanto kelahiran Bandoeng meraih gelar doktor di bidang hukum di Leiden dengan disertasi berjudul Het gewas in Indonesie religieus-adatrechtelijk beschouwd (lihat De Telegraaf, 04-07-1933). Dalam memperingati hari jadinya yang ke-429 Djakarta tahun 1956 terungkap sebuah fakta yang baru ditemukan tahun lalu oleh Profesor Soekanto (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-06-1956). Disebutkan Wali Kota Sudiro menyatakan bahwa pada bulan Juni tahun lalu, sebuah konferensi di Djakarta mengusulkan kepada Dewan Kota, berdasarkan temuan Profesor Soekanto, agar tanggal 22 Juni secara resmi ditetapkan sebagai hari lahir Djakarta. Usulan ini disetujui oleh Dewan Kota Jakarta secara aklamasi. Tanggal 22 Juni penting tidak hanya bagi Djakarta, tetapi juga bagi Indonesia secara keseluruhan, karena—menurut teori yang dikemukakan oleh Profesor Mohamad Jamin, bahwa Pantjasila, landasan filsafat Republik Indonesia, dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945, menurut Wali Kota Sudiro. Atas permintaan Wali Kota, Profesor Sukanto kemudian memberikan presentasi tentang sejarah Djakarta. Beliau menyajikan beberapa fakta untuk menunjukkan bagaimana beliau sampai pada kesimpulan bahwa Djakarta didirikan pada tanggal 22 Juni 1527 oleh seorang Indonesia bernama Faletehan.
Pada tahun 1957 Prof Dr Soekanto dan Drs Sartono berpartisipasi dalam seminar sejarah yang akan diadakan di Jogjakarta. Lantas sejak kapan minat Dr Soekanto juga mencakup bidang sejarah? Yang jelas, yang menemukan tanggal pendirikan kota Djakarta 22 Juni 1527 adalah Prof Dr Soekanto.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-08-1957: ‘Seminar Sejarah di Djokja. Seminar sejarah akan diadakan di Jogja pada tanggal 14-18 Desember. Seminar akan dibuka oleh Menteri Pendidikan Prof Dr Prijono. Seminar yang digelar di gedung baru Universitas Gadjah Mada ini akan membahas tentang sejarah nasional dan syarat-syarat penulisan buku pelajaran sejarah Indonesia. Pesertanya antara lain Prof Dr Soekanto dan Drs Sartono, Prof Mohamad Jamin, Prof Dr Purbatjaraka, dan Prof Dr Hardjono. Sebuah panitia telah dibentuk di Jogja untuk mempersiapkan seminar tersebut, dan termasuk Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Sardjito. Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957: ‘Topik-topik utama yang akan dibahas dalam seminar ini adalah periodisasi sejarah nasional oleh Prof Dr Soekanto dan Drs Sartono; kaidah-kaidah yang harus diikuti dalam penulisan buku sejarah Indonesia berjiwa kebangsaan oleh Soebantardjo dan Mohamad Ali; pengajaran sejarah nasional di sekolah oleh Suroso dari Kementerian Pendidikan; konsep filsafat sejarah nasional oleh Prof Mohamad Jamin dan seorang narasumber; pembinaan sejarawan oleh O Notohamidjojo, Dekan IKIP Salatiga dan MD Mansjur; serta pemilihan dan pemanfaatan materi sejarah oleh Drs Sutjipto Wirjosaputro dan Drs AK Pringgodigdo’.
Lantas mengapa seminar sejarah ini diadakan? Apakah karena buku Sejarah Indonesia yang ditulis oleh Sanoesi Pane (sejak 1945) tidak uptodate lagi? Atau apakah karena buku sejarah baru tentang sejarah Indonesia yang ditulis seorang Belanda belum lama ini diterbitkan? Buku tersebut berjudul Geschiedenis van Indonesie yang ditulis oleh Dr HJ de Graaf (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 13-03-1956). Satu yang jelas bahwa dalam seminar sejarah di Djokja yang akan diadakan bulan Desember 1957 Prof Dr Soekanto dan Drs Sartono Kartodirdjo akan membawakan makalah tentang periodisasi sejarah nasional Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957). Tentu saja suatu topik yang penting dalam memulai penulisan sejarah.
Topik tentang periodisasi ini pernah dibahasa oleh Mohamad Jamin (lihat Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 16-02-1955). Disebutkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Agama, Mohamad Jamin, akan memberikan kuliah umum bagi para mahasiswa dan tamu undangan di "Bumi Siliwangi" (dulunya Villa Isola), tempat berdirinya Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (kini UPI) dengan topik "Pantja Parwa Sedjarah Indonesia" (Lima Periode dalam Sejarah Indonesia). Seperti disebut di atas, pada tahun 1945 Sanoesi Pane menerbitkan buku Sejarah Indonesia dalam empat jilid, dimana jilid ke-4 tentang masa pendudukan Jepang. Lantas apakah periodisasi yang disampaikan Mohamad Jamin tahun 1955 dengan lima periode sudah termasuk perang memperthankan kemerdekaan Indonesia? Namun yang jelas dalam seminar sejarah tahun 1957 di Djogja Mohamad Jamin akan membawakan makalah tentang konsep filsafat sejarah nasional Indonesia.
Dalam perkembangannya diketahui Sartono Kartodirdjo pada tahun 1962 melanjutkan studi ke Amerika Serikat di Yale University. Sartono Kartodirdjo di universitas memepelajari tentang ilmu sejarah. Sartono Kartodirdjo menyelesaikan pendidikan masternya di Yale pada tahun 1964.
Sarjana Indonesia, lulusan Universitas Indonesia banyak yang melanjutkan
studi ke Amerika. Hal ini karena ada program beasiswa pemerintah Amerika
Serikat bagi Indonesia. Salah satu dari gelombang pertama yang mendapat
beasiswa tersebut adalah Drs Widjojo Nitisastro tahun 1956.
Sartono Kartodirdjo kemudian melanjutkan studi doktoral dalam bidang sejarah ke Belanda. Pada tahun 1966 Sartono Kartodirdjo dipromosikan dengan cum laude untuk doktor di Universiteit Amsterdam pada bidang sastra dan filsafat dengan disertasi berjudul ‘Thè peasant revolt of Banten in 1888; its condltions, course and sequel a case study of social movements in Indonesia’ (lihat Trouw, 04-11-1966).
Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda, Sartono Kartodirdjo adalah termasuk generasi pertama mahasiswa Indonesia yang meraih gelar doktor (PhD) di luar negeri. Yang pertama adalah Arifin M Siregar meraih gelar doktor (PhD) di bidang ekonomi di Universität Münster, West Germany (1960) dan Drs Widjojo Nitisastro juga dalam bidang ekonomi di University of California at Berkeley (1961). Andi Hakim Nasoetion meraih gelar doktor (PhD) dalam bidang Experimental Statistics di North Carolina State University (1964). BJ Habibie di bidang teknik di Technische Hochschule, Aachen, Jerman (1965).
Universiteit Amsterdam sendiri di Belanda termasuk salah satu universitas yang diminati oleh orang Indonesia sejak masa lampau. Pribumi pertama yang lulus dari universitas ini adalah Dr Abdoel Rivai pada bidang kedokteran (lulus 1908) namun untuk program doktoralnya dilanjutkan di Ghent (Belgia). Diantara orang Indonesia yang meraih gelar doktor di Universiteit Amsterdam terdapat satu perempuan yakni Ida Loemongga Nasoetion. Sarjana kedokterannya diperoleh di Universiteit te Utrecht tahun 1927, kemudian Ida Loemongga Nasoetion pada tahun 1931 meraih gelar doktor (PhD) dalam bidang kedokteran. Ida Loemongga adalah perempuan Indonesia pertama yang meraih gelar doktor.
Pada masa berakhirnya Belanda dan menjelang pendudukan Jepang orang
Indonesia yang meraih gelar doktor di Belanda antara lain: Drs Ong Eng Die
lulus ujian doktoral tahun 1940 di Vrij Universiteit Amsterdam; Drs. Tan Goan
Po, meraih doktor (Ph.D) di Universiteit Rotterdam pada bidang ekonomi tahun
1942; Drs. Soemitro Djojohadikoesoemo di universitas yang sama di Rotterdam
pada bidang ekonomi tahun 1943; di Universiteit Utrecht Mr Masdoelhak Nasution
meraih gelar PhD pada bidang hukum tahun 1943. Mereka inilah orang Indonesia
peraih gelar doktor di luar negeri yang terakhir sebelum kemerdekaaan Indonesia
1945.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Dari Era Mohamad Jamin hingga Era Fadli Zon: Sejarah Indonesia dari Waktu Tak Terhingga Jauh di Masa Lalu hingga Waktu Tak Terhingga di Jauh Masa Depan
Sudah barang tentu ada alasan Presiden Soekarno memulai penulisan Sejarah Indonesia dengan membentuk Komite Penulisan Sejarah Nasional tahun 1951 (lihat Het vaderland, 25-08-1951). Ketua komite adalah Prof Prijono. Nama yang memiliki kapasitas untuk duduk di posisi tertinggi dalam komite. Raden Prijono kelahiran Jogyakarta berhasil meraih gelar doktor (PhD) di bidang sastra dan filsafat di Leiden tahun 1938 dengan disertasi berjudul Sri Tanjung.
Sudah ada sejumlah buku sejarah yang telah diterbitkan sejak era
Pemerintah Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, terbit buku berjudul Nusantara:
A history of the East Indian archipelago yang ditulis oleh Bernard HM Vlekke
yang diterbitkan di Cambridge, Harvard University Press tahun 1943 (xv, 439
halaman). Lalu segera setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia terbit buku
Sejarah Indonesia (empat jilid) yang ditulis Sanoesi Pane yang diterbitkan di
Djakarta tahun 1945. Namun tidak lama kemudian orang Belanda kembali di bawah
bendera NICA. Pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di sisi Belanda
(di wilayah federal) muncul nama Dr HJ de Graaf, dosen Geschiedenis van
Indonesie en Zuid Oost Azie di Noord Universiteit di Djakarta/Batavia (lihat Het
dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 21-03-1947). Buku
Dr HJ de Graaf akan segera terbit berjudul Geschiedenis van Indonesie (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 08-10-1949). Buku
ini setebal 500an halaman terdiri dari lima bab: I. De Indonesiers en Zuid-Oost
Azie (tot 1650); II. De Westerlingen in Indonesië (1511-1800); III. De Indonesiers
tijdens de VOC (1600-1800); IV. De VOC, buiten Indonesie; V. De Indonesiers in Nederlandsen
Oost-lndie (sedert 1800). Buku ini diterbitkan NV GCT van Dorp & Co. Saat
ini tengah diadakan konferensi KMB di Den Haag, Belanda. Hasil konferensi KMB
pada intinya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dalam bentuk (negara) RIS
(Republik Indonesia Serikat) yang mulai berlaku tanggal 27 Desember 1949.
Pada tahun 1951 saat Presiden Soekarno memulai penulisan Sejarah Indonesia, situasi dan kondisi di Indonesia sudah berubah cepat dengan yang diperjanjikan pada tanggal 27 Desember 1949. Mengapa? Pada tanggal 17 Agustus 1950, pada saat peringatan hari kemerdekaan Indonesia, Presiden Soekarno menyatakan RIS dibubarkan. Lalu keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus 1950 dilakukan Proklamasi NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Artinya, konstitusi RIS (Undang-Undang RIS) digantikan (kembali) dengan UUD 1945.
Pada
saat Komite Penulisan Sejarah Nasional dibentuk tahun 1951, buku karya Dr HJ de Graaf
lambat-laun menghilang dari peredaran. Sementara buku Sanoesi Pane berjudul
Sedjarah Indonesia kembali dicetak ulang. Pada tahun 1950 merupakan tjetakan
ke-3 (diterbitkan di Djakarta). Pada tahun 1952 buku Sanoesi Pane berjudul Sedjarah
Indonesia dicetak kembali (tjetakan ke-5, Djakarta 1952).
Sanoesi Pane menulis buku Sedjarah Indonesia (empat Jilid) sudah barang tentu ditulis sebagai inisiatifnya sendiri. Lalu apakah pembentukan Komite Penulisan Sejarah Nasional yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno merupakan kehadiran negara dalam penulisan sejarah nasional Indonesia? Satu yang jelas bagaimana komite itu bekerja tidak terinformasikan kembali. Buku Sedjarah Indonesia yang tetap beredar di pasaran adalah buku Sedjarah Indonesia karya Sanoesi Pane. Lalu bagaimana dengan penulisan buku Sejarah Indonesia versi pemerintah (Presiden Soekarno). Fakta bahwa, seperti kita lihat nanti, buku Sedjarah Indonesia yang ditulis oleh Sanusi Pané masih dicetak di Djakarta hingga tahun 1965.
Seiring
dengan menghilangnya orang Belanda di Indonesia, mulai muncul perhation orang
Amerika dengan sejarah di Indonesia. Boleh jadi ini dipicu oleh sarjana Amerika
mulai melakukan riset di Indonesia. George McTurnan Kahin melakukan riset (disertasi)
di Jawa (Jogjakarta) pada masa perang kemerdekaan Indonesia. Sebagai yang
pertama, dalam waktu yang cepat, George McTurnan Kahin telah menjadi pakar
Amerika terbaik tentang Indonesia. Orang Amerika menjadi ‘haus’ tentang sejarah
Indonesia dan orang Amerika sendiri kesulitan mengakses literatur Indonesia
karena umumnya berbahasa Belanda. George McTurnan Kahin sendri haru belajar
bahasa Belanda. Buku Bernard HM Vlekke seperti disebut di atas, seorang Amerika
keturunan Belanda yang menulis buku berjudul Nusantara: A history of the East
Indian Archipelago yang diterbitkan tahun 1943 menjadi laku keras di Amerika. Sebagai
orang Amerika, meski keturunan Belanda, buku ini ditulis dalam sudut pandang dayi
Indonesia, bukan sebaliknya dari sudut pandang provinsi jauh Belanda. Keterkenalan
buku ini di Amerika, implikasinya, buku ini kemudian diterjemahkan ke dalam
bahasa Belanda untuk pasar (pembaca) di Belanda. Dalam konteks inilah kemudian
penulis Belanda dan penulis keturunan Belanda di Amerika menulis tentang
Indonesia terutama terkait sejarah dalam bahasa Inggris untuk target pembaca
(market) di Amerika. Penulis Belanda lainnya seperti Dr Justus M. van der Kroef
juga menulis buku tentang Indonesia dalam bahasa Inggris. Profesor George
McTurnan Kahin dan Profesor Bernard HM Vlekke yang banyak mengetahui tentang
Indonesia menjadi sangat dikenal di Amerika (lihat Eindhovensch dagblad, 07-01-1960). Disebutkan banyak
publikasi terbaru dari Universitas Cornell (Ithaca, New York) tentang
perkembangan politik, sosial, dan lainnya di Indonesia muncul dengan nama
penulis Belanda: Herbert Feith, Robert van Niel, dan lainnya. Bahkan buku-buku
tentang topik Indonesia yang masih terbit di Belanda semakin banyak ditulis
dalam bahasa Inggris, terutama untuk mencari pembeli di Amerika. Penulis
Amerika Louis Fischer telah menulis karya jurnalisme paling ambisius yang
pernah didedikasikan untuk Indonesia yang baru-baru ini diterbitkan di Amerika
dan Inggris, judulnya The Story of Indonesia. Tidak ada publikasi dalam
beberapa tahun terakhir yang dapat membuat kita (Belanda) menyadari lebih jelas
bahwa bahkan sekarang, bahasa kita (Belanda) bukan lagi media yang sangat
diperlukan bagi siapa pun yang ingin memperoleh setidaknya pengetahuan umum
yang luas tentang Indonesia. Louis Fischer juga memanfaatkan karya-karya dari Bernard HM Vlekke. Dalam
bukunya, Louis Fischer menulis dengan sangat baik
tentang revolusi Indonesia, setelah menghabiskan beberapa bulan berinteraksi
secara intensif dengan orang Indonesia. Louis Fischer di dalam bukunya termasuk
hasil percakapan dengan Soekarno, Mohamad Hatta, Ruslan Abdulgani, dan Abdoel
Haris Nasoetion.
Lalu setelah buku Sedjarah Indonesia yang ditulis oleh Sanusi Pané, siapa lagi penulis Sejarah Indonesia. Tentu saja semakin banyak, lebih-lebih yang dikaitkan dengan buku pelajaran sekolah. Bagaimana dengan kehadiran pemerintah setelah era Presiden Soekarno gagal dalam penulisan Sejarah Indonesia?
Dalam
kekosongan inilah, orang Amerika (termasuk keturunan Belanda) tampil ke
permukaan dalam penulisan topik sejarah Indonesia. Pada masa ini, seperti
disebut di atas sudah banyak pula mahasiswa Indonesia yang studi di Amerika. Orang
Belanda di Eropa mulai berpartisipasi dalam penulisan dengan menggunakan bahasa
Inggris untuk mengambil market pasar Amerika. Bagaimana dengan penggunaan
bahasa Belanda sendiri? Bahasa Belanda telah tersingkir di Indonesia. Mahasiswa
Indonesia sudah cenderung menggunakan bahasa Inggris, lebih-lebih jumlahnya terus
meningkat di Amerika. Hal itulah yang terjadi pada diri Sartono Kartodirdjo
yang setelah lulus master di Amerika tahun 1964 kemudian melanjutkan studi doktoral
ke Belanda. Pada tahun 1966 Sartono Kartodirdjo dipromosikan dengan cum laude
untuk doktor di Universiteit Amsterdam pada bidang sastra dan filsafat dengan disertasi
dalam bahasa Inggris berjudul ‘Thè peasant revolt of Banten in 1888; its
condltions, course and sequel a case study of social movements in Indonesia’
(lihat Trouw, 04-11-1966).
Pemerintah baru dapat dikatakan berhasil menulis buku Sejarah Indonesia pada era Presiden Soeharto yakni dengan terbitnya buku berjudul Sejarah Nasional Indonesia (SNI) dalam 6 jilid yang terbit pertama kali tahun 1977.
Seperti disebut di atas, penulis-penulis
mulai berpartisipasi setelah lama vakum. Kees Buku karya Kees Groeneboer
berjudul Weg tot het Westen (KITLV Uitgeverij, Leiden 1993) kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pusat Bahasa Erasmus pada tahun
1995 dengan judul Jalan ke Barat: Bahasa Belanda di Hindia-Belanda 1600-1950 (xii,
557 halaman). Sejak ini buku-buku asing (bahasa Inggris dan bahasa Belanda) banyak
yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti karya seorang Selandia
Baru Anthony Reid.
Ketergantungan pada penulis-penulis asing tidak terhindarkan. Penulis-penulis Indonesia terkesan merasa inferior, lebih-lebih sumber data banyak dalam bahasa Belanda. Pada fase ini pada tahun 2002 buku sejarah SNI ini mendapat perhatian untuk diperbarui dengan memperkaya data dan informasi baru dibawah judul Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS). Dalam fase inilah buku Harry A Poeze dan buku Bernard HM Vlekke diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Mengapa?
Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia menerjemahkan buku seorang penulis Belanda Harry A Poeze dengan judul Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda (1600-1950) setebal 417 halaman yang diterbitkan tahun 2008. Judul asli buku tersebut adalah “In het land van de overheerser: Indonesiens in Nederland 1600-1950 door Harry A Poeze; met bijdragen van Cees van Dijk en Inge van der Meulen” sebagai buku jilid 1 diterbitkan di Dordrecht oleh penerbit Foris Publications, 1986 (lihat NRC Handelsblad, 26-05-1986). Sementara jilid 2 berjudul “In het land van de overheerser: Antllllanen en Surinamers in Nederland 1634/1667-1954” door Gert Oostindie en Emy Maduro (xii, 256 halaman). Namun ada satu hal yang sengaja dikaburkan di dalam buku jilid 1 tersebut yang ditulis oleh Harry A Poeze, yakni begitu banyaknya orang Indonesia yang meraih gelar sarjana di Belanda sebelum tahun 1950, bahkan yang dapat meraih gelar doktor (PhD) banyaknya hampir 100 orang (termasuk doktor di bidang sejarah), namun itu tidak diinformasikan. Lalu buku Bernard HM Vlekke dalam bahasa Inggris berjudul Nusantara: A history of the East Indian Archipelago yang diterbitkan pertama tahun 1943 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia juga oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia. Buku tersebut diterbitkan pada tahun 2010 (xxxiii, 530 halaman). Lalu mengapa judul buku Bernard HM Vlekke oleh penerjemah diberi Nusantara: Sejarah Indonesia? Bukankah judul aslinya, yang diterbitkan tahun 1943 adalah Nusantara: A history of the East Indian Archipelago. Dalam hal ini East Indian Archipelago berarti termasuk wilayah Malaysia, Filipina dan lainnya. Apakah ini termasuk salah satu bentuk penyesatan sejarah penulisan Sejarah Indonesia demi memperluas market buku? Boleh jadi.
Buku sejarah Indonesia di bawah judul Indonesia dalam Arus Sejarah (IDAS) diterbitkan pada tahun 2012 sebanyak 9 jilid. Penulisan buku ini juga terkesan masih mengandalkan sumber dari penulis-penulis asing. Sumber-sumber data yang umumnya dalam bahasa Belanda (juga bahasa Portugis) masih kurang digali. Dalam konteks inilah pada masa kini, Menteri Kebudayaan Fadli Zon menginisiasi penulisan (ulang) Sejarah Indonesia (dalam 10 jilid).
Di dalam blog ini sejak 2012, saya sudah dengan sadar untuk memulai menggali data
sejarah Indonesia (terutama yang bersumber dari bahasa Belanda, bahasa Inggris dan bahasa
Portugis). Seperti disebut di atas, yang juga dinyatakan dalam setiap artikel
di dalam blog ini, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’
seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer.
Lantas apakah ketergantungan penulis sejarah di Indonesia terhadap buku-buku yang ditulis (diinterpretasi) oleh orang asing (terutama orang Belanda) akan membuat bias dalam penulisan Sejarah Indonesia? Nah, itu dia. Sebaliknya, sudah seharusnya para penulis sejarah Indonesia (sejarawan dan para peminat sejarah) melakukan penggalian data sendiri dan melakukan penulisan sendiri yang dengan demikian dalam penulisan sejarah Indonesia interpretasi tidak didominasi oleh satu pihak saja (pihak luar).
Untuk sekadar beberapa contoh saja, pertama misalnya Harry A Poeze memberi judul bukunya “In het land van de overheerser: Indonesiens in Nederland 1600-1950 (Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda (1600-1950), tetapi sengaja tidak sengaja mengaburkan begitu banyaknya orang Indonesia yang meraih gelar sarjana di Belanda sebelum tahun 1950, bahkan yang dapat meraih gelar doktor (PhD) banyaknya hampir 100 orang (termasuk doktor di bidang sejarah), namun itu tidak diinformasikan. Sebaliknya orang Belanda dan pembaca di Belanda lebih menonjolkan sisi buruk yang dihadapi/diterima orang Indonesia di Belanda (lihat Leeuwarder courant: hoofdblad van Friesland, 08-07-1986). Di dalam artikel risensi buku ini penulis memilih judul yang tidak manusiawinya: “Baboes met kaartje om de hals: Indie in Nederland”. Contoh kedua, buku Bernard HM Vlekke berjudul Nusantara: A history of the East Indian Archipelago justru diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Kepustakaan Populer Gramedia dengan judul Nusantara: Sejarah Indonesia. Fakta bahwa pengertian East Indian Archipelago berbeda dengan pengertian Indonesia. Intinya: yang merusak esensi sejarah di Indonesia tidak hanya datang dari luar tetapi juga ada yang dari dalam. Dalam konteks inilah dalam penulisan Sejarah Indonesia pada masa ini, dan masa-masa ke depan, perlurusan sejarah itu penting di dalam penulisan Sejarah Indonesia.
Lalu apa yang akan diperbaiki sekarang, terkait dengan penulisan Sejarah Indonesia yang disponsori oleh pemerintah? Hati-hati dan cermat untuk mengutip hasil interpretasi dari penulis asing. Hati-hati pula dan teliti untuk membaca hasil interpretasi dari penulis kita sendiri. Seperti disebut di atas, sejarah adalah narasi fakta dan data, oleh karena itu, narasi Sejarah Indonesia haruslah ditulis dengan baik dan benar.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar