*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini
Hari Sejarah Nasional Indonesia diperingati setiap tahun pada tanggal 14 Desember. Penetapan tanggal 14 Desember sebagai Hari Sejarah Nasional berawal dari acara Seminar Sejarah Nasional I yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 14-16 Desember 1957. Seminar itu bertujuan untuk mengumpulkan dan menginterpretasikan kembali sejarah nasional Indonesia dari sudut pandang bangsa sendiri, yang sebelumnya banyak ditulis oleh sejarawan Belanda. Lalu bagaimana dengan masa ini? Tanggal 14 Desember dekat ini disebut Buku “Penulisan Ulang” Sejarah Indonesia akan diluncurkan.
Hari Sejarah Nasional dirayakan setiap tanggal 14 Desember. Hari Sejarah Nasional ini digagas sejak tahun 2014 oleh berbagai kalangan masyarakat yang melibatkan asosiasi profesi, unsur pemerintah, komunitas kesejarahan, guru, dosen dan mahasiswa sejarah se-Indonesia. Bangsa Indonesia telah lama memiliki kesadaran sejarah. Setelah kemerdekaan bangsa Indonesia, masalah sejarah nasional mendapat perhatian yang besar: Pertama, munculnya gerakan Indonesianisasi. Kedua, orang-orang dan bangsa Indonesia-lah yang menjadi subjek/pembuat sejarah, mereka tidak lagi hanya sebagai objek seperti pada historiografi kolonial. Seminar sejarah pertama diadakan oleh Kementerian Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudayaan dan diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada dan Universitas Indonesia, tanggal 14-18 Desember 1957 di Yogyakarta. Seminar ini diadakan dengan tujuan untuk mengumpulkan berbagai pendapat dan saran-saran sebagai bahan pertimbangan untuk menyusun sejarah nasional Indonesia secara ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Pada kongres kedua namanya diubah menjadi ‘Seminar Nasional Sejarah’ yang membicarakan rencana untuk pembuatan sebuah buku sejarah nasional baru yang dapat dijadikan buku referensi. Demikianlah tanggal 14 Desember kemudian diperingati sebagai Hari Sejarah Nasional (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah hari sejarah nasional dan buku “penulisan ulang” Sejarah Indonesia? Seperti disebut di atas, di Indonesia ada Hari Sejarah Nasional. Itu berarti ada hari sejarah daerah. Satu yang jelas di Belanda tidak memiliki satu "hari sejarah" nasional tunggal. Okelah, yang penting dalam penulisan buku sejarah; sejarah adalah narasi fakta dan data. Lalu bagaimana sejarah hari sejarah nasional dan buku “penulisan ulang” Sejarah Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah ahli sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Hari Sejarah Nasional dan Buku “Penulisan Ulang”
Sejarah Indonesia; Sejarah = Narasi Fakta dan Data
Dalam memperingati hari jadinya yang ke-429 Djakarta tahun 1956 terungkap sebuah fakta yang baru ditemukan tahun lalu oleh Profesor Soekanto (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-06-1956). Disebutkan Wali Kota Soediro menyatakan bahwa pada bulan Juni tahun lalu, sebuah konferensi di Djakarta mengusulkan kepada Dewan Kota, berdasarkan temuan Profesor Soekanto, agar tanggal 22 Juni secara resmi ditetapkan sebagai hari lahir Djakarta.
Usulan ini disetujui oleh Dewan Kota Jakarta secara aklamasi. Tanggal 22
Juni penting tidak hanya bagi Djakarta, tetapi juga bagi Indonesia secara
keseluruhan, karena—menurut teori yang dikemukakan oleh Profesor Mohamad Jamin,
bahwa Pantjasila, landasan filsafat Republik Indonesia, dirumuskan pada tanggal
22 Juni 1945, menurut Wali Kota Sudiro. Atas permintaan Wali Kota, Profesor Soekanto
kemudian memberikan presentasi tentang sejarah Djakarta. Beliau menyajikan
beberapa fakta untuk menunjukkan bagaimana beliau sampai pada kesimpulan bahwa
Djakarta didirikan pada tanggal 22 Juni 1527 oleh seorang Indonesia bernama
Faletehan.
Pada tahun 1957 Prof Dr Soekanto dan Drs Sartono berpartisipasi dalam Seminar Sejarah yang akan diadakan di Jogjakarta. Lantas sejak kapan minat Dr Soekanto juga mencakup bidang sejarah? Yang jelas, yang menemukan tanggal pendirikan kota Djakarta 22 Juni 1527 adalah Prof Dr Soekanto.
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 29-08-1957: ‘Seminar Sejarah di Djokja. Seminar sejarah akan diadakan di Jogja pada tanggal 14-18 Desember. Seminar akan dibuka oleh Menteri Pendidikan Prof Dr Prijono. Seminar yang digelar di gedung baru Universitas Gadjah Mada ini akan membahas tentang sejarah nasional dan syarat-syarat penulisan buku pelajaran sejarah Indonesia. Pesertanya antara lain Prof Dr Soekanto dan Drs Sartono, Prof Mohamad Jamin, Prof Dr Purbatjaraka, dan Prof Dr Hardjono. Sebuah panitia telah dibentuk di Jogja untuk mempersiapkan seminar tersebut, dan termasuk Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof Dr Sardjito. Het nieuwsblad voor Sumatra, 29-08-1957: ‘Topik-topik utama yang akan dibahas dalam seminar ini adalah periodisasi sejarah nasional oleh Prof Dr Soekanto dan Drs Sartono; kaidah-kaidah yang harus diikuti dalam penulisan buku sejarah Indonesia berjiwa kebangsaan oleh Soebantardjo dan Mohamad Ali; pengajaran sejarah nasional di sekolah oleh Suroso dari Kementerian Pendidikan; konsep filsafat sejarah nasional oleh Prof Mohamad Jamin dan seorang narasumber; pembinaan sejarawan oleh O Notohamidjojo, Dekan IKIP Salatiga dan MD Mansjur; serta pemilihan dan pemanfaatan materi sejarah oleh Drs Sutjipto Wirjosaputro dan Drs AK Pringgodigdo’.
Lantas mengapa seminar sejarah ini diadakan? Apakah
karena buku Sejarah Indonesia yang ditulis oleh Sanoesi Pane (sejak 1945) tidak
up to date lagi? Atau apakah karena buku sejarah baru tentang sejarah Indonesia
yang ditulis seorang Belanda belum lama ini diterbitkan? Buku tersebut berjudul
Geschiedenis van Indonesie yang ditulis oleh Dr HJ de Graaf (lihat Algemeen
Indisch dagblad: de Preangerbode, 13-03-1956). Satu yang jelas bahwa dalam
seminar sejarah di Djokja yang akan diadakan bulan Desember 1957 Prof Dr
Soekanto dan Drs Sartono Kartodirdjo akan membawakan makalah tentang
periodisasi sejarah nasional Indonesia (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra,
29-08-1957). Tentu saja suatu topik yang penting dalam memulai penulisan
sejarah.
Topik tentang periodisasi ini pernah dibahas oleh Mohamad Jamin (lihat
Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 16-02-1955). Disebutkan Menteri
Pendidikan, Kebudayaan, dan Pendidikan Agama, Mohamad Jamin, akan memberikan
kuliah umum bagi para mahasiswa dan tamu undangan di "Bumi Siliwangi"
(dulunya Villa Isola), tempat berdirinya Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (kini
UPI) dengan topik "Pantja Parwa Sedjarah Indonesia" (Lima Periode
dalam Sejarah Indonesia). Seperti disebut di atas, pada tahun 1945 Sanoesi Pane
menerbitkan buku Sejarah Indonesia dalam empat jilid, dimana jilid ke-4 tentang
masa pendudukan Jepang. Lantas apakah periodisasi yang disampaikan Mohamad
Jamin tahun 1955 dengan lima periode sudah termasuk perang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia? Namun yang jelas dalam seminar sejarah tahun 1957 di
Djogja Mohamad Jamin akan membawakan makalah tentang konsep filsafat sejarah
nasional Indonesia.
Lalu siapa sejarawan Indonesia yang berpartisipasi di dalam Seminar Sejarah di Jogjakarta pada tahun 1957? Sejatinya belum ada. Yang dimaksud sejarawan adalah ahli sejarah yang memiliki kepakaran dalam sejarah sebagai seorang sarjana sejarah. Dalam Seminar Sejarah di Jogjakarta yang diadakan di Universitas Gadjah Mada bahkan belum ada satupun sarjana sejarah di Universitas Gadjah Mada.
Satu-satunya sarjana sejarah yang turut dalam Seminar Sejarah tersebut
adalah Sartono Kartodirdjo yang belum setahun lulus sarjana di Universitas
Indonesia (richting geschiedenis). Dalam seminar ini Drs Sartono Kartodirdjo
sebagai asisten Prof Dr Soekanto dalam membawakan makalah dengan topik “periodisasi
sejarah nasional”. Oleh karena itu Drs Sartono Kartodirdjo belum dapat sejarawan
(ahli sejarah). Prof Dr Soekanto sendiri adalah seorang doktor di bidang hukum
lulusan di Belanda tahun 1936. Yang pertama membahas topik periodisasi ini
tahun 1955 adalah Mr Mohamad Jamin, sarjana hukum dengan topik "Pantja
Parwa Sedjarah Indonesia" (Lima Periode dalam Sejarah Indonesia).
Sementara buku Sejarah Indonesia yang ditulis oleh orang Indonesia pertama adalah
Sanoesi Pane, seorang guru lulusan sekolah guru yang menjadi sastrawan. Buku Sejarah
Indonesia yang ditulis Sanoesi Pane pertama kali diterbitkan pada tahun 1945
(pasca kemerdekaan Indonesia).
Seperti yang disebut di atas, yang membawakan makalah dalam Seminar Sejarah adalah Prof Dr Soekanto (sarjana hukum, guru besar di Universitas Indonesia), Prof Mohamad Jamin (sarjana hukum, guru besar di Universitas Indonesia), Prof Dr Purbatjaraka (doktor dalam bidang sastra lulus di Leiden tahun 1926 yang menjadi guru besar di bidang sastra di Universitas Gadjah Mada), dan Prof Dr Hardjono (sarjana hukum, guru besar hukum di Universitas Gadjah Mada).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sejarah = Narasi Fakta dan Data: Penulisan Buku Sejarah Tidak Akan Pernah Berhenti
Seperti dikutip di atas, Hari Sejarah Nasional Indonesia diperingati setiap tahun pada tanggal 14 Desember. Penetapan tanggal 14 Desember sebagai Hari Sejarah Nasional berawal dari acara Seminar Sejarah Nasional I yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 14-16 Desember 1957. Pertanyaannya: apakah Seminar Sejarah Nasional I di Yogyakarta tanggal 14 Desember 1957 benar-benar terjadi? Memang tidak pernah terinformasikan di berbagai media.
Yang terlaporkan pada masa ini berdasarkan “Laporan Seminar Sedjarah pada tg. 14 s/d 18 Des. 1957 di Jogjakarta”. Seminar diadakan oleh Kementerian, Pendidikan, Pengadjaran dan Kebudajaan. Diselenggarakan oleh Universitas Gadjah Mada, dan Universitas Indonesia. [Ketua panitia Mas Sardjito.] [Jogjakarta 1958.] 92 pp. 111. 25 cm.
Okelah, bahwa Seminar Sedjarah (Indonesia) telah
diadakan pertama kali pada tahun 1957 di Jogjakarta. Suatu waktu dan tempat
yang tepat dijadikan sebagai patokan Hari Sedjarah Nasional. Lantas siapa yang
menjadi ahli sejarah Indonesia pada saat itu? Seperti disebut di atas, baru ada
sarjana sejarah Indonesia yakni Drs Sartono, yang baru setahun lulus di
Universitas Indonesia. Dalam konteks ini dosen-dosen sejarah dari Sartono di Universitas
Indonesia masih diampu orang-orang Belanda.
Sebagaimana diketahui buku-buku Sejarah Indonesia yang beredar di pasaran, ada yang ditulis orang Belanda (berbahasa Belanda) dan juga ada yang ditulis orang Indonesia (berbahasa Bahasa Indonesia). Hanya ada satu-satunya buku Sejarah Indonesia yang ditulis orang Indonesia yakni yang ditulis oleh Sanoesi Pane, sebagai berikut (lihat Catalogus der Koloniale Bibliotheek van het Kon. Instituut voor de Taal-, Land- en Volkenkunde van Ned. Indië en het Indisch Genootschap, Deel-SUPPL. 5): Sanoesi Pané. Sedjarah Indonesia. Djl. IV. Zaman pendjadjahan baroe hingga kedatangan balatentara Dai Nippon. Djakarta, 1945; Sanoesi Pané. Sedjarah Indonesia. Tj. ke-3. Djakarta 1950; Sanoesi Pané. Sedjarah Indonesia. Tj. ke-5. Djakarta 1952-1956; Sanoesi Pané. Sedjarah Indonesia. Djakarta 1965; Sanoesi Pané. Indonesia sepandjang masa. Djakarta 1952. Sementara itu yang terkait dengan Bahasa Indonesia ada beberapa penulis Indonesia, yakni: Armijn Pane. Langkah baroe. Peladjaran Bahasa Indonesia dengan tjara baroe. Djakarta, 1942; Armijn Pane. Mentjari sendi baru tata bahasa Indonesia. Djakarta 1950; Armijn Pane. Perkembangan Bahasa Indonesia. Beberapa tjatatan. Djakarta, 1953. E Soetan Harahap. Kamoes Indonesia. Tj. ke-7. Djakarta-Bandoeng, 1942; E Soetan Harahap. Kamus Indonesia. Tj. ke-9. Bandung, 1951; E Soetan Harahap. Kamus Indonesia Ketjik. Tj. ke-4. Djakarta, 1952; WJS Poerwadarminta. Logat ketjil bahasa Indonesia. Groningen-Djakarta, 1949; WJS Poerwadarminta. Kamus umum bahasa Indonesia. Djakarta 1952.
Buku Sedjarah Indonesia karya Sanoesi Pane, sejatinya adalah bagian dari Sejarah Indonesia. Seperti kata ahli sejarah tempo “doeloe”, semuanya ada permulaan. Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Namun, jika sebaliknya, jika sejarawan sengaja menghilangkan bukti catatan tertulis, maka setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan ada yang menulis buku Sejarah Indonesia tandingan yang isinya tentang perihal yang pernah benar-benar terjadi.
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok. Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi menulis artikel sejarah di blog di waktu luang. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Buku-buku sejarah yang sudah dipublikasikan: Sejarah Mahasiswa di Indonesia: Generasi Pertama; Sejarah Pers di Indonesia: Awal Kebangkitan Bangsa; Sejarah Sepak Bola di Indonesia; Sejarah Pendidikan di Indonesia: Pionir Willem Iskander; Sejarah Bahasa Indonesia. Forthcoming: “Sejarah Catur di Indonesia”; “Sejarah Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda”; “Sejarah Diaspora Indonesia”. Korespondensi: akhirmh@yahoo.com


Tidak ada komentar:
Posting Komentar