Kamis, 14 Maret 2019

Sejarah Menjadi Indonesia (18): Sejarah Naturalisasi di Indonesia; Naturalisasi Jadi Belanda dan Naturalisasi Jadi Indonesia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
 

Ada satu masa dimana Indonesia disebut Hindia Belanda (baca: Indonesia Belanda). Itu terjadi sejak dibubarkannya VOC/Belanda. Salah satu Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda adalah Daendels. Nama Pemerintah Hindia Belanda berakhir setelah terjadinya pendudukan Jepang. Pemerintah Militer Jepang hanya berlangsung singkat (1942-1945). Pemerintah Republik Indonesia secara de jure dimulai sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.

Pada masa Pemerintah Republik Indonesia (hingga sekarang) naturalisasi di Indonesia menjadi warga negara Indonesia (WNI) sudah dilakukan sejak tahun 1950 seperti pemain sepak bola Arnold van der Vin. Tentu saja masih ada cerita tersendiri, romantismen Johannes Cornelis Princen yang menjadi WNI. Naturalisasi di Indonesia bukanlah baru. Naturalisasi pemain sepak bola Christian Gonzales yang kemudian menjadi pemain nasional Indonesia adalah rangkaian naturalisasi di Indonesia pada satu dasawarsa terakhir ini.

Sejak Pemerintah Republik Indonesia, soal naturalisasi menjadi berita menarik diantara warga negara asing (WNA). Naturalisasi Warga Negara Belanda (sebut WNB) menjadi Warga Negara Indonesia (WNI) menjadi cerita tersendiri seperti pemain sepakbola Arnold van der Vin dan pegiat HAM Johannes Cornelis Princen. Lantas apakah ada WNI yang menjadi WNB? Ada, bahkan sejak Pemerintah Hindia Belanda. Salah satu WNI yang menjadi WNB adalah Dr. Abdul Rivai. Bagaimana itu semua terjadi? Mari kita telusuri.

Naturalisasi di Era Hindia Belanda: Menjadi Warga Negara Belanda

Pada bulan Oktober 1909 sejumlah warga diajukan untuk naturalisasi menjadi warga negara Belanda (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 23-10-1909). Mereka yang diajukan menjadi warga negara Belanda (WNB) ini ada yang tinggal di Hindia Belanda (baca: Indonesia) dan ada yang berdomisili di Belanda. Salah satu yang diajukan tersebut, satu-satunya pribumi adalah dokter pribumi Dr. Abdul Rivai yang tinggal di Amsterdam. Dari nama-nama yang diajukan itu umumnya nama-nama asal Jerman yang berdomisili di Hindia Belanda.

Dr. Abdul Rivai, lahir di Bengkulu, lulus Docter Jawa School di Batavia (kini Jakarta). Setelah diangkat menjadi dokter pemerintah pernah bertugas di Tandjong Morawa Deli. Pada tahun 1903 Dr. Abdul Rivai merantau ke Belanda dan bekerja sebagai editor surat kabar dwimingguan Bintang Hindia yang terbit di Amsterdam. Pada saat pendirian organisasi mahasiswa pribumi di Belanda (Indisch Vereeniging) tahun 1908 yang digagas oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, Dr. Abdul Rivai turut hadir. Presiden pertama organisasi ini di daulat Soetan Casajangan, alumni sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean yang datang ke Belanda tahun 1905 untuk melanjutkan kuliah di perguruan tinggi. Dalam kepengurusan organisasi mahasiswa ini Dr. Abdul Rivai sebagai komisaris (pengawas).  

Pengajuan daftar orang yang akan dinaturalisasi tersebut diajukan kepada Twede Kamer (semacam DPR pada masa ini) (lihat De Preanger-bode, 20-11-1909). Status Dr. Abdul Rivai disahkan berdasarkan undang-undang tanggal 3 Januari 1910 (Staatsblad No. 9). Publikasinya dikeluarkan pada tanggal 21 Januari 1910 (lihat Nederlandsche staatscourant, 21-01-1910).

Nederlandsche staatscourant, 21-01-1910
Nederlandsche staatscourant, 21-01-1910: ‘Wilhelmina, atas karunia Tuhan, Ratu Belanda, Putri Oranje-Nassau, dll. Semua yang melihat atau mendengar, membaca , salut! Juga kami telah mempertimbangkan bahwa Abdul Rivai telah mengajukan permintaan naturalisasi kepada kami, dengan dokumen pendukung yang dirujuk dalam Pasal 8 Undang-Undang 12 Desember 1892 (Staatsblad No. 268) tentang kewarganegaraan dan tempat tinggal Belanda, diubah oleh Undang-Undang tanggal 8 Juli 1907 (Staatsblad No. 177. Juga setelah mendengar Raad van State, dan berkonsultasi dengan Staten Generaal, telah menyetujui dan memahami, sebagaimana kami menyetujui dan memahami dalam hal ini: Eebig artikel. Status Nederlander dengan ini diberikan kepada Abdul Rivai, dokter, lahir di Benkoelen (Ned. O.-Indiê) pada 18 Agustus 1871, bertempat tinggal di Amsterdam (provinsi Noordholland). Keputusan ini akan ditempatkan dalam Staatsblad (Lembaran Berita Resmi) dan bahwa semua Departemen Departemen, Otoritas, Sekolah Tinggi dan Pejabat, siapa pun yang terlibat, akan mengikuti implementasi yang dibuat ini. Diberikan di Den Haag, 8 Januari 1910. Wilhelmina. Dikeluarkan pada tanggal 21 Januari 1910. Menteri Kehakiman, Nelissen.

Orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda sudah sejak lama ada yang dinaturalisasi. Salah satu yang terawal terdeteksi adalah Mr. Oei Jan Lee, yang menyebut dirinya Mr Johan Lee, pengacara di Mahkamah Agung Hindia Belanda, lahir di Banda Neira, Amboina (De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, 27-03-1893). Untuk orang pribumi yang pertama diduga adalah Dr. Abdul Rivai.

Hingga tahun 1883 sesuai Undang-Undang Kewargaan Negara Belanda (28 Juli 1850)  belum ada undang-undang di Belanda yang dikaitkan dengan hal naturalisasi di Hindia Belanda. Ini dapat dibaca dalam diskusi yang hangat pada tahun 1883 (lihat De locomotief 26-06-1883). Oleh karenanya belum ada pribumi di Hindia Belanda yang berstatus naturalisasi. Namun sebelumnya status hak setara Belanda (yang pertama) pernah diberikan kepada Willem Iskander (guru alumni sekolah guru di Belanda tahun 1861) tetapi bukan sebagai warga negara. Dasar rujukan ini terdapat pada Pasal 5 UU 1850 tersebut yang menyatakan bahwa Gubernur Jenderal dapat, sesuai dengan Raad van Indie, membuat pengecualian terhadap penerapan aturan yang ditetapkan dalam pasal ini.  

Willem Iskander adalah pribumi pertama studi ke Belanda tahun 1857 dan setelah lulus pulang kampung dan pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato (Afdeeling Mandailing en Angkola, Residentie Tapanoeli). Penerapan ini sesuai dengan Dekrit Kerajaan No. 147 tanggal 10 September 1864 yang secara eksplisit menetapkan bahwa (setelah lulus ujian), selain orang Belanda, penduduk pribumi di Hindia, sejauh mereka termasuk Hindia Belanda, dapat diangkat sebagai pegawai negeri sipil dalam pelayanan sipil di Hindia. Willem Iskander meninggal tahun 1876.

Dalam diskusi 1883 ini dekrit ini ditentang karena tidak konstitusional (melanggar UU Kewargaan Negara 1850). Dalam UU Kewargaan Negara 1850, orang-orang Arab, Tionghoa dan Moor yang beragama Islam dikategorikan sebagai orang asing (di luar Belanda) dan dimasukkan sebagai pribumi. Diskusi ini menyoroti tidak adanya peluang untuk naturalisasi dianggap inkonstitusional. Sebab persyaratan terbaru untuk menjadi pejabat harus sebagai warga negara Belanda (naturalisasi). Ismangoen Danoe Winoto meradang. Pribumi yang diangkat setelah Willem Iskander adalah Raden Ismangoen yang lulus perguruan tinggi di Belanda tahun 1875 tetapi berdasarkan peraturan baru dalam kenyataannya tidak diperlakukan sebagai orang atau setara Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 04-02-1897).

Sejak diskusi tahun 1883 inilah diduga diakomodir peraturan tentang naturalisasi. Namun tidak berlaku bagi pribumi, tetapi berlaku bagi yang lain terutama untuk orang Tionghoa seperti Mr. Oei Jan Lee. Perlakuan terhadap Ismangoen ini menurut Abendanon adalah kesalahan politik, Pemerintah Hindia Belanda hanya memberikan ‘kekecewaan yang menyedihkan’. Politik rasial. Abendanon menyebut Ismangoen adalah orang Belanda sejati hanya ada perbedaan dalam warna kulit. Hal yang sama juga dialami oleh Hendrik Karel Manupassa yang lulus tahun 1889 di Belanda juga status naturalisasi tidak diberikan (lihat Algemeen Handelsblad, 04-02-1897).

Pada tahun 1898 muncul kebijakan baru bahwa orang Jepang dan pribumi beragama Kristen akan diperlakukan sama dengan Belanda. Hal ini dikaitkan dengan proposal Menteri Koloni proposal untuk menyamakan Jepang dan orang Kristen pribumi Hindia Belanda dengan Eropa. Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda, editor surat kabar Perja Barat di Padang protes terhadap kebijakan baru ini (lihat Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 02-11-1898). Dja Endar Moeda dalam kolom editornya memandang Islam dan Kristen harus dianggap sama dan kesejahteran harus ditingkatkan (bukan dibedakan). Ini soal adat istiadat dan moral, Eropa dan pribumi satu sama lain berbeda (antara minyak dan air). Meskipun iman mereka adalah kehidupan yang berbeda, ini menjadi kompleks sebagai saudara di antara mereka sendiri. Apa yang akan terjadi? Di pengadilan akan dibedakan, non Kristen akan melayani lebih tetapi membayar pajak. Ini tidak bermanfaat malah bagi pemerintah akan menderita kerugian, yang kemudian antara dia dan Muslim akan menimbulkan kebencian dan perpecahan. Dalam keadilan yang terbukti bersalah, maka ia dihukum sebagai Eropa, ia dipenjara dan mendapat makan kentang dan roti dan tidak diperlukan untuk melakukan pekerjaan, hal yang sebaliknya untuk yang Islam. Terutama penyebab banyak komplikasi dan lain-lain perselisihan antara Kristen dan pribumi Islam. Bagaimana itu diterapkan di Ambon? Mereka akan banyak yang malu untuk mencari nafkah dengan tenaga kerja manual karena mereka disamakan dengan orang Eropa’. Juga sulit membayangkan jika orang Batak Kristen setara Eropa tetapi yang beragama Islam direndahkan padahal mereka orang Batak yang Islam maupun yang Kristen hidup berdampingan yang berasal dari satu keturunan. Dja Endar Moeda adalah alumni sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoen tahun 1886.

Lantas kapan naturalisasi diberikan kepada pribumi yang beragama Islam. Sejauh ini belum ditemukan keterangannya. Yang jelas Dr. Abdul Rivai di Belanda yang telah menyelesaikan studinya dan meraih gelar dokter penuh tahun 1908, sebagaimana disebut di atas Dr. Abdul Rivai mendapat status naturalisasi pada tahun 1910. Apakah Dr. Abdul Rivai yang pertama disetarakan (naturalisasi) dari golongan pribumi Islam?

Naturalisasi di Era Republik Indonesia: Menjadi Warga Negara Indonesia

Tunggu deskripsi lengkanya


*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar