Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, tanggal 17 Agustus 1945. Proklamasi ini ditandai dengan pembacaan teks Proklamasi oleh Soekarno di Djakarta. Proklamasi ini juga menandai kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Kemerdekaan penduduk asli yang dirampas oleh VOC, penduduk yang terjajah terus dipertahankan oleh Pemerintah Hindia Belanda yang menyusul kemudian. Secara khusus total, kolonisasi di Depok telah berlangsung 240 tahun (1705-1945).
Depokker, Warga Depok (1939) |
Pasca proklamasi kemerdekaan, situasi dan kondisi di Depok dan sekitar
tidak terinformaasikan. Pada tanggal 8 Maret 1942
pemerintahan Belanda di Indonesia benar-benar takluk tanpa syarat kepada militer
Jepang. Sejak berakhirnya era kolonial Belanda awal tahun
1942, situasi dan kondisi di Depok dan sekitar pada era pendudukan Jepang
benar-benar gelap gulita. Hanya beberapa hal yang terpublikasikan ke publik.
Hanya beberapa helai informasi yang berserakan yang berhasil dikumpulkan.
Di awal pendudukan
Jepang, surat kabar swasta berbahasa Belanda masih terbit. Radio eks Pemerintah
Hindia Belanda telah diambilalih dan sepenuhnya dikontrol militer Jepang.
Setiap awal siaran (pagi hari) dimulai dengan lagu Kimigayo. Haagsch maandblad,
15-01-1943 memberitakan bahwa tanah-tanah partikelir telah diambilalih militer
Jepang, termasuk Land Depok.
Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Pada tanggal 17 Agustus 1945 siang bahwa Indonesia telah merdeka sudah
diketahui secara luas di Depok. Di Bandoeng dan sekitarnya bahwa Indonesia
telah merdeka baru malam hari diketahui setelah teks proklamasi dibacakan pukul
tujuh malam hari oleh sang penyiar Radio Bandoeng (cikal bakal RRI Bandung),
Sakti Alamsyah. Siaran Radio Bandoeng ini bahkan dapat ditangkap di Djogjakarta
dan Australia.
Sakti Alamsyah dalam
pengantarnya, memulai intro sebagai berikut: “Di sini Radio Bandung, siaran
Radio Republik Indonesia...". Padahal waktu itu belum lahir Radio Republik
Indonesia alias RRI. Salinan teks proklamasi yang dibaca Sakti Alamsyah diperoleh
dari Adam Malik (pemimpin Kantor Berita Antara). Teks yang dibacakan Sakti
Alamsyah—yang pada waktu itu Sakti Alamsyah masih berumur 23 tahun—ada
perbedaan kecil dalam teks proklamasi yang disiarkan Sakti dengan teks
sebagaimana dibacakan Soekarno di Pegangsaan Timur, Jakarta. Sakti Alamsyah
justru menutupnya dengan kalimat "Wakil-wakil Bangsa Indonesia,
Soekarno-Hatta". Padahal, Bung Karno membacakannya dengan kalimat yang
jelas terdengar "Atas Nama Bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta". Tidak
ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana asal muasal perbedaan teks dan yang
dibacakan Soekarno dengan apa yang disuarakan Sakti Alamsyah. Selain itu, penyebutan
‘Radio Republik Indonesia’ untuk menamai diri dalam pengantar siaran, Sakti
Alamsyah justru mengabaikan nama yang selama ini diucapkan dengan ‘Radio
Bandung Hoshokyoku’. Sekalipun hari itu proklamasi sudah dikumandangkan, tetapi
kenyataannya bentuk negara belum disepakati. Para pemerhati, menganggap teks ‘ala’
Sakti Alamsyah itu sebagai pernyataan futuristik dari lubuk hati dirinya.
Padahal negara baru Indonesia justru setelahnya diputuskan berbentuk republik
yang notabene juga nama radio nasional baru ditetapkan kemudian persis seperti
yang diucapkan pertama kali oleh Sakti Alamsyah: “Di sini Radio Bandung, siaran
‘Radio Republik Indonesia’. Kita harus akui bahwa inisiatif para pekerja
khususnya penyiar Radio Bandung Hoshokyoku, Sakti Alamsyah, untuk menyuarakan
teks proklamasi di udara yang dapat didengar semua publik jelas-jelas sesuatu
keputusan yang berani. Tidak hanya sampai di situ para penyiar Radio Bandung
Hoshokyoku tanpa rasa takut terus berulang-ulang menyiarkan naskah proklamasi
itu setiap kali ada kesempatan untuk dibacakan kembali. Pertanyaannya: Mengapa
justru Radio Bandung yang berani menyiarkannya? Untuk sekadar diketahui, yang
membawa salinan teks proklamasi itu dari Djakarta ke Bandoeng dengan kereta api
adalah Mochtar Lubis (wartawan Kantor Berita Antara). Adam Malik (Batubara),
Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah (Siregar) berperan penting dalam tersiarnya
berita kemerdekaan di Bandoeng dan sekitarnya. Ketiga orang anak muda sebaya (lahir
di tahun yang sama) ini sama-sama pernah bekerja di Radio Militer Jepang di
Djakarta atas rekomendasi Parada Harahap (guru tiga anak muda ini). Sementara
itu, kedekatan Soekarno dan Hatta kepada Jepang karena Parada Harahap. Satu ‘anak
buah’ Parada Harahap yang tidak mau bekerjasama dengan Jepang adalah Amir
Sjarifoeddin (Harahap). Untuk sekadar diketahui Parada Harahap, editor surat
kabar Bintang Timoer (koran yang mana Soekarno mengirim tulisannya) dan ketua “Kadin’
pribumi di Batavia adalah orang yang
memimpin tujuh orang pertama Indonesia ke Jepang untuk memprovokasi Belanda
pada tahun 1933 (termasuk di dalamnya Hatta yang baru selesai studi di
Belanda). Parada Harahap memulai kiprah jurnalistik dengan mendirikan surat
kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean tahun 1919. Di kota ini, Parada
Harahap belasan kali terkena delik pers dan beberapa kali dibui di penjara
Padang Sidempoean, penjara dimana Adam Malik pernah dijebloskan karena kampanye
politik pada usia 17 tahun. Pada tahun 1923 Parada Harahap hijrah ke Batavia
dengan mendirikan surat kabar Bintang Hindia dan kantor berita pribumi pertama
Alpena dengan wartawannya Wage Rudolf Supratman (yang tinggal di rumah Parada
Harahap). Kantor berita Antara adalah penerus kantor berita Alpena. Kantor berita
Antara didirikan oleh Adam Malik dengan menempati rumah Yahya Malik Nasution (mertua
Bob Tutupoli) yang dibuang ke Digoel sebagai tokoh organisasi politik. Sakti
Alamsyah (Siregar) kelak dikenal sebagai pendiri surat kabar Pikiran Rakyat
Bandung (saya pernah bertemu beliau di Bandung pada tahun 1981).
Namun demikian bahwa Indonesia telah merdeka tanggal 17 Agustus 1945 belum
semua wilayah di Indonesia mengetahuinya. Tidak diketahui kapan berita kemerdekaan
sampai ke Padang Sidempoean (kampung halaman Parada Harahap, Amir Sjarifoeddin,
Adam Malik, Mochtar Lubis dan Sakti Alamsyah). Sebab di Medan sendiri baru
tanggal 6 Oktober 1945 berita kemerdekaan diumumkan ke publik. Padahal berita
kemerdekaan di Lampoeng telah diumumkan ke publik tanggal 24 Agustus 1945.
Pada tanggal 23
Agustus setelah PPKI selesai bersidang untuk menentukan Presiden dan Wakil, Dasar
Negara dan UUD, Mr. Mohamad Hasan, Dr. Amir diutus ke Medan dan Mr. Abdoel
Abbas diutus ke Palembang dan Tandjong Karang, Di Medan, Mohamad Hasan dan Amir
tampaknya enggan atau tidak berani mengumumkan segera berita kemerdekaan,
sementara Abdul Abbas (Siregar) segera mengumumkannya di Palembang dan
Lampoeng. Oleh karenanya, berita bahwa Indonesia telah merdeka sangat telat
diumumkan di Medan dan karena desakan pemuda baru Mohamad Hasan dan Amir mengumumkan
di depan publik tanggal 6 Oktober 1945.
Dalam menanggapi Proklamasi Kemerdekaan RI dan menindaklanjuti bahwa
Indonesia telah merdeka tokoh-tokoh nasional saat itu sangat beragam: ada yang
berani, ada yang pengecut dan ada yang tidak mau tahu. Berbeda-beda tapi tetap
satu. Itulah Indonesia.
Peristiwa Berdarah di Depok, 11
Oktober 1945
Di Medan adalah satu hal, sementara di Depok hal yang lain. Setelah lima
hari berita kemerdekaan Indonesia diumumkan ke publik di Medan, di Depok pada
tanggal 11 Oktober 1945 terjadi peristiwa berdarah yang tidak diinginkan. Peristiwa
ini baru diberitakan ke publik tanggal 16 Oktober 1945. Sementara itu di surat kabar dilaporkan bahwa pada tanggal 15 Oktober
1945 di Buitenzorg, 45 km di selatan Batavia tanpa insiden diduduki oleh
pasukan Inggris.
Telex, 16-10-1945 |
Berapa banyak warga Depok yang terbunuh belum diketahui secara jelas. Surat
kabar Provinciale Drentsche en Asser courant, 17-10-1945 melaporkan setidaknya
15 orang laki-laki dan perempuan Eropa dan Indo-Eropa. Para kelompok nasionalis
telah menguasai Depok selama empat hari, para warga telah menyerah dan meminta
belas kasihan dan seluruh warga telah melarikan diri ke hutan.
Provinciale Drentsche en Asser ct, 17-10-1945 |
Yang melaporkan kejadian ini adalah Robert Kiek, seorang reporter ANP/Aneta
beserta dua koresponden perang lainnya di bawah pengawalan tentara Gurkha dari
kesatuan Inggris. Peliputan ke Depok dimaksudkan untuk menyelidiki tentang
adanya rumor tentang penjarahan di Depok. Laporan Robert Kiek yang terperinci
muncul dalam surat kabar Algemeen Handelsblad edisi 18-10-1945.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Penyebab Terjadiya Peristiwa
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber
disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar