*Untuk melihat semua artikel Sejarah Semarang dalam blog ini Klik Disin
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia (RI) 17 Agustus 1945 ibukota negara ditetapkan di Djakarta. Namun dalam perkembangannya, karena alasan situasi ibukota Djakarta tidak aman lalu ibukota RI dipindahkan ke Djogjakarta pada awal Januari 1946. Ibukota RI di Djogjakarta berlangsung selama era perang hingga hingga terjadinya agresi militer Belanda kedua. Djogjakarta yang diduduki oleh militer Belanda sejak 19 Desember 1948 menyebabkan ibukota RI berakhir.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia (RI) 17 Agustus 1945 ibukota negara ditetapkan di Djakarta. Namun dalam perkembangannya, karena alasan situasi ibukota Djakarta tidak aman lalu ibukota RI dipindahkan ke Djogjakarta pada awal Januari 1946. Ibukota RI di Djogjakarta berlangsung selama era perang hingga hingga terjadinya agresi militer Belanda kedua. Djogjakarta yang diduduki oleh militer Belanda sejak 19 Desember 1948 menyebabkan ibukota RI berakhir.
Het dagblad, 07-01-1946 |
Lantas apakah cerita tersebut sepenuhnya benar? Itu yang
ingin diklarifikasi dengan membuka sumber-sumber lama. Pada saat itu sudah
terdapat sejumlah media (surat kabar dan majalah Indonesia) tetapi baru ada satu
surat kabar asing. Surat kabar asing tersebut terbit di Batavia yakni Het
dagblad: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia. Oleh karena akses
data artikel ini menelusuri berita hari demi hari di dalam surat kabar Het
dagblad ditambah surat kabar lainnya. Mari kita telusuri.
Ibukota RI Pindah: Soekarno, Hatta dan Amir di Jogjakarta; Sjahrir Tetap di
Djakarta
Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 07-01-1946 melaporkan Soekarno (Presiden) dan Mohamad Hatta (Wakil
Presiden) telah memutuskan untuk berkantor di Djokja, sementara Menteri
Informasi Mr. Amir Sjarifoedin juga berangkat kesana untuk menjalankan fungsi sebagai
Menteri TKR (Tentara Keamanan Rakjat). (Di Jakarta) Amir Sjarifoeddin digantikan
sebagai Menteri Informasi oleh Mohamad Natsir. Rasjidi diangkat sebagai Menteri
Agama. Perdana Menteri Soetan Sjahrir tetap bersama anggota kabinet lainnya di
Batavia (Djakarta).
Informasi ini secara eksplisit menngindikasikan hanya tiga pemimpin RI yang
telah berangkat ke Jogjakarta (Soekarno, Hatta dan Amir). Berita keberangkatan
tiga petinggi RI ini ke Jogja diketahui umum, tidak hanya orang Indonesia
tetapi juga orang Eropa/Belanda. Satu-satunya moda transportasi cepat dari
Batavia/Djakarta ke Jogjakarta adalah kereta api.
Sejak awal Markas Besar TKR berada di Djogjakarta yang
untuk sementara dipimpin oleh Kepala Staf Oerip dan Kasman (lihat Helmondsche
courant, 05-11-1945). Sangat masuk akal para pemimpin RI akan mendekati Markas
Besar TKR sementara situasi keamanan di Djakarta semakin tidak kondusif. Hal
ini karena arus militer Belanda semakin meningkat dan perlawanan para
TKR/laskar semakin intens terhadap Inggris/Sekutu dengan tentara Belanda/NICA. Berita
kepindahan pemimpin RI sendiri ke Jogjakarta sudah beberapa waktu sebelumnya
diketahui sebagaimana diberitakan dalam surat kabar.
Ini bermula setelah adanya pertemuan Komite Nasional Indonesia Pusat
wilayah Djogjakarta pada tanggal 8 Desember 1945. Dalam pertemuaan ini sebuah
mosi disahkan yang berisi pertimbangan bahwa agar ibukota RI dipindahkan
mengingat sebagian besar KNIP berada di luar Djakarta. Mosi ini akan disampaikan
kepada Soekarno, Soetan Sjahrir dan KNIP melalui telegram (lihat Het dagblad :
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 11-12-1945). Isi telegram
tersebut sebagai berikut: ‘Komite Wilayah Yogyakarta, komite nasional mendesak
pengalihan segera Pemerintah Pusat dan KNIP ke satu tempat di Jawa Tengah agar
dapat bekerja lebih tenang’.
Sementara Pemerintah Pusat dan Kantor KNIP masih di Djakarta, sejumlah
anggota KNIP lebih memilih tinggal di Bandoeng dan Djogjakarta. Beberapa hari
kemudian pengumuman keputusan pemindahan ibukota RI ke Jogjakarta atau
Soeracarta diberitakan Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers
te Batavia, 13-12-1945: ‘Pada tanggal 10 Desember jam setengah satu siang,
menurut Aneta yang melansir pengumuman Radio Indonesia, alasan tentang
memindahkan kedudukan (ibukota) Republik. Jakarta (Batavia) menjadi semakin
banyak markas Sekutu dan Nica. Lebih baik bagi republik untuk menghapus kedudukan
(ibukota) di Jakarta, sehingga pemerintah dapat melakukan tugasnya tanpa
terhalang. Hingga saat ini Djogjakarta dan Solo tidak ditempati oleh Sekutu dan
menurut janji mereka ini tidak akan terjadi di masa depan. Tidak ada kesulitan
jika kedudukan (ibukota) republik dipindahkan ke Djocja atau Solo, ini akan
menyiratkan bahwa sejumlah kantor pasukan Sekutu dan Nica untuk menjaga tetap
adanya kontak dengan pemerintah kita (Nica) akan ditransfer ke sana yang akan
menyebabkan kebingungan lagi. Satu-satunya solusi adalah memindahkan kementerian
ke Jawa Tengah, sementara para Menteri tetap di Batavia untuk mempertahankan
kontak. Oleh karena itu Sekutu dan Nica tidak perlu pergi ke ibu kota Indonesia
yang baru.
Sejak adanya keputusan
pemindahan ibukota dari Djakarta, Sukarno tetap menjalankan tugas kenegaraan.
Surat kabar West : nieuwsblad uit en voor Suriname, 17-12-1945 melaporkan bahwa Soekarno, Perdana Menteri Soetan Sjahrir dan
Menteri Informasi Amir Sjarifoeddin tengah melakukan perjalanan melalui Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Disebutkan tujuan dari perjalanan ini adalah untuk bertemu
dengan para pemimpin lokal Indonesia dan juga untuk memulihkan ketertiban. Rombongan
akan ke Djogjakarta. Menurut Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 18-12-1945 rombongan ini berangkat hari Minggu (tiga
hari lalu) untuk
perjalanan lima hari ke Djokja dan Solo. Rombongan ini didampingi oleh Jaksa Agung Mr Kasman
Singodimedjo, yang dianggap bahwa ia adalah salah satu tokoh terkemuka
pembentukan tentara Indonesia, yang markasnya berlokasi di Djokja. Tampaknya
sekarang tentara ini akan bergabung dengan TKR dan setidaknya telah ada
pembicaraan di kalangan republik tentang pemindahan markas besar TKR ke Djokja.
Pindahnya ibukota RI ke
Djogjakarta, paling tidak kehadiran tiga pertama pemimpin RI (Soekarno, Hatta
dan Amir) sebagaimana dilaporkan Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 07-01-1946 merupakan amanat KNIP. Keputusan ini
diperkuat dari informasi yang disiarkan (kantor berita) AP bertanggal 7 Januari
di Batavia yang dilansir Het nieuws: algemeen dagblad, 07-01-1946 yang
menyatakan bahwa Presiden Republik Indonesia, Sukarno dan Wakil Presiden, Hatta
pindah ke Yogyakarta di Jawa Tengah setelah Pemerintah Indonesia diminta (KNIP)
untuk mendirikan kantor di luar ibukota dengan mengingat situasi di Batavia,
sebab secara umum, situasi di Jawa relatif tenang. Jika memperhatikan kunjungan
Soekarno dan rombongan ke Jogja yang didampingi oleh Mr. Kasman, perpindahan ibukota
ke Jogjakarta secara defacto bersifat alamiah karena di Djogka sudah dibentuk
tentara Indonesia (cikal TNI). Hal itu juga menjadi pertimbangan KNIP
memutuskan agar pemerintahan dipindahkan ke Djogjakarta.
Keesings historisch
archief: 14-10-1945: ‘Pada tanggal 13 Oktober diundangkan yang disebut Tentara
Rakyat Indonesia mengeluarkan proklamasi yang menyatakan perang terhadap
Belanda, Indo, dan yang berafiliasi. Proklamasi merekomendasikan Indonesia
untuk memulai perang gerilya, mengatakan: ‘Ketika matahari terbenam kita,
masyarakat Indonesia, berperang dengan Belanda. Dalam pernyataan ini kami
sarankan semua orang Indonesia untuk mencari musuh - Belanda, Indo-Eropa atau
yang berafiliasi. Senjata militer adalah semua jenis senjata api, juga racun,
panah beracun, pembakaran, dan semua spesies hewan liar - seperti ular. Perang
gerilya akan disandingkan dengan perang ekonomi: tidak akan diizinkan untuk
menjual makanan kepada musuh. Pasar harus dimonitor dan yang menjual makanan
kepada musuh-musuh kita, akan dihukum berat. Juga dilaporkan bahwa Oemat Islam,
yang berarti semua pengikut Muhammad, juga telah membuat deklarasi perang.
Semua ulama Islamn di Batavia untuk mengadakan pertemuan doa bagi semua Muslim
di Batavia dan sekitarnya telah diadakan, sebagai awal dari sebuah perang suci
melawan ‘orang kafir’ Belanda. Selanjutnya, semua ulama dari Islam diminta
untuk menyampaikan kepada umatnya untuk menaikkan bendera merah-putih setengah
tiang dan juga semua lalu lintas, termasuk trem, sepeda, taksi dan kereta kuda
dihentikan sepenuhnya’. Soekarno dalam menanggapi proklamasi perang (dari
pemuda dan Islam) ini tidak setuju (lihat Provinciale Drentsche en Asser
courant, 17-10-1945).
Sebagai Menteri Keamanan
Rakyat yang merangkap Panglima, Mr. Amir Sjarifoeddin mulai melakukan
pengaturan terhadap organisasi keamanan dan pertahanan yang selama ini belum
maksimal dilakukan oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Mr. Amir
Sjarifoeddin meminta Kepala Staf Umum Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo untuk
mengadakan konferensi diantara para pimpin militer untuk menentukan pimpinannya
sebagai Panglima untuk menggantikannya. Mr. Amir Sjarifoeddin akan fokus pada
fungsi manajemen keamanan dan pertahanan, dan Panglima yang memimpin
pertempuran di lapangan. Konferensi yang diadakan pada tanggal 12 November 1945
di Djogjakarta menghasilkan sejumlah keputusan yang antara lain pembagian
wilayah pertahanan Indonesia (terutama di Jawa) dan penetapan pimpinan militer
tertinggi sebagai panglima. Yang terpilih adalah Soedirman salah satu pimpinan
TKR/TRI dengan pangkat Jenderal. Pemerintah Republik Indonesia melalui Menteri
Keamanan Rakyat Mr. Amir Sjarifoeddin mengangkat Kolonel Soedirman menjadi
Panglima pada tanggal 18 Desember 1945. Dengan demikian fungsi perencanan dan
pengaturan (anggaran dan personel) ditangani oleh Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin
dan pelaksana tugas di medan perang dikomandokan oleh Panglima Soedirman.
Sebagai panglima yang baru, Mr. Amir Sjarifoeddin memberi layanan tersendiri
bagi Jenderal Soedirman dengan menunjuk dokter berbakat Dr. Willer Hutagalung
sebagai dokter pribadi Jenderal Soedirman. Sementara Menteri Amir Sjarifoeddin
dan Panglima Soedirman mulai bekerja dalam kabinet baru (yang secara resmi
dimulai tanggal 14 November 1945), benturan antara pasukan sekutu/Inggris
dengan kelompok-kelompok perlawanan (TKR/Laskar) semakin memuncak. Juga tekanan
pimpinan militer sekutu/Inggris yang membonceng NICA semakin terus menekan di
bidang politik. Perdana Menteri Sjahrir terus berjuang dan berhadapan langsung
dengan asing di tingkat politik. Praktis dua matahari di kabinet ini mendapat
beban pekerjaan yang tiada bandingnya: Soetan Sjahrir ke luar dan Amir
Sjarifoeddin ke dalam.
Namun dalam
perkembangannya, perpindahan ibukota ke Djogjakarta telah menimbulkan
kesenjangan diantara para pemimpin sebagaimana dilaporkan surat kabar Merdeka 12
Januari yang dilansir surat kabar De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 15-01-1946.
Disebutkan ada indikasi baru terdapat kesenjangan yang semakin besar antara
para pemimpin di Djogjakarta (Soekarno, Hatta dan Amir) dan di Batavia (Sjahrir
dan Menteri lainnya). Para pihak menduga Belanda/Nica ingin menggunakan Sjahrlr
untuk kepercayaannya. Rumor ini juga muncul dari Jogja sebagaimana dikutip
surat kabar yang menyatakan: ‘Radio Djokja menuduh markas besar (hoofdkwartier)
Indonesia di Batavia menutup matanya atas infiltrasi pihak Belanda (Het dagblad
: uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 17-11-1945). Perdana Menteri Sjahrir berangkat ke Djogjakarta.
De West : nieuwsblad uit en voor Suriname, 28-01-1946
mengitip (kantor berita) Aneta: ‘Sjahrir kembali di Batavia hari ini dari
perjalanan ke Djogjakarta. Dia berunding disana dengan Sukarno dan para
pemimpin republik lainnya (Hatta dan Amir). Sjahrir didampingi oleh sejumlah
koresponden dalam perjalanannya ke Djogjakarta. Namun tidak ada orang Belanda,
karena permintaan mereka untuk bergabung ditolak’. Dari kunjungan ini disebutkan
Sjahrir bahwa dia mewakili Indonesia berunding dengan van Mook. Saat pertemuan
di Jogjakarta yang turut dihadiri Hatta dan Amir, Soekarno dalam kondisi sakit
menderita bronkitis (lihat Het nieuws : algemeen dagblad, 30-01-1946).
Ibukota RI Pindah Total
Ke Jogjakarta: Dubes RI di Batavia Mr. Arifin Harahap
Semakin sengitnya
pertentangan antara Belanda/NICA dengan Indonesia/Republik situasi dan kondisi
di Batavia/Djakarta tidak lagi kondusif untuk pemerintah (Soetan Sjaharir dan
Menteri lainnya). Dengan terbentuknya TRI di Djogjakarta, maka pemerintah
dengan sendirinya telah memiliki fungsi perang yang akan berhadapan dengan
militer Belanda/NICA.
Tentara Republik Indonesia (TRI)
berarti ada Tentara Non Republik Indonesia. Mereka ini adalah militer
sekutu/Inggris, militer Belanda/NICA dan orang Indonesia yang mengharapkan
kedatangan Belanda dan orang Indonesia yang menyeberang ke kubu lawan. Untuk menyempurnakan struktur organisasi tentara Republik
Indonesia dengan semakin menguatnya pasukan Belanda yang telah mengambil alih
fungsi dan peran tentara sekutu/Inggris, pemerintah RI membentuk panita
organisasi tentara yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Hasil
kerja panitia diumumkan pada tanggal 17 Mei 1946 yang terdiri dari struktur
pertahanan (yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan) dan struktur kemiliteran
(yang dipimpin Panglima). Dalam pengumuman ini juga Soedirman dipromosikan
menjadi panglima tertinggi dengan pangkat Jenderal, sementara personil militer
disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang dihadapi (lihat Nieuwe courant,
29-05-1946). Nama-nama para pimpinan BKR/TKR ditetapkan untuk mengisi
jabatan-jabatan strategis.
Nieuwe courant, 29-05-1946:
‘Perubahan dan penunjukan pada posisi baru TRI telah diterbitkan. Dalam
penunjukkan ini terlihat keterlibatan orang-orang muda dan perwakilan dari
tentara rakyat di Jawa. Soedirman dipromosikan menjadi panglima tertinggi
dengan pangkat Jenderal. Ketua Pengadilan Tinggi Militer ditunjuk Mr. Kasman
Singodimedjo. Kepala staf diangkat Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. Kolonel
Soetjipto diangkat menjadi Kepala Dinas Rahasia; Kolonel TB Simatoepang sebagai
Kepala Organisasi; Kolonel Hadji Iskandar sebagai Kepala Departemen Politik;
Kolonel Soetirto sebagai Kepala Urusan Sipil; Kolonel Soemardjono sebagai
Kepala Hubungan dan Kolonel Soeyo sebagai Kepala Sekretariat. Sudibyo diangkat
menjadi Direktur Jenderal Departemen Perang yang mana Didi Kartasasmita adalah
Kepala Infantri. Di dalam Departemen Perang juga diangkat: Kepala Departemen
Artileri Letnan Kolonel Soerjo Soermano; Kepala Departemen Topografi Soetomo
(bukan penyiar radio); Kepala Geni kolonel Soedirio; Kepala Persenjataan Mayor
Jenderal Soetomo (juga bukan penyiar radio) dan Kepala Polisi Militer Mayor
Jenderal Santoso (bukan penasihat Dr. Van Mook). 'Mayor Jenderal Abdoel Haris
Nasution ditunjuk sebagai Panglima Divisi-1 dengan Letnan Kolonel Sakari
sebagai Kepala Staf. Panglima Divisi-2 Mayor Jenderal Abdulkadir (bukan
penasihat Dr. Van Mook) dengan Letnan Kolonel Bamboengkoedo sebagai Kepala
Staf; Panglima Divisi-3 Mayor Jenderal Soedarsono (bukan menteri) dan Letnan
Kolonel Pari sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-4 Mayor Jenderal Sudiro dengan
Letnan Kolonel Fadjar sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-5 Mayor Jenderal
Koesoemo dengan Letnan Kolonel Bagiono sebagai Kepala Staf; Panglima Divisi-6
Mayor Jenderal Songkono dengan Letnan Kolonel Marhadi sebagai Kepala Staf, dan
Panglima Divisi-7 Mayor Jenderal Ramansoedjadi dengan Letnan Kolonel Iskandar
Soeleiman sebagai Kepala Staf.
Rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia yang hijrah dari Jakarta
ke Jogjakarta terjadi pada tanggal 16 Oktober 1946. Rombongan terakhir ini
berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari bagian Kementerian
Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan. Rombongan ini dipimpin
oleh Mr. Arifin Harahap. Rombongan terakhir ini berangkat dari Stasion
Manggarai menuju Jogja yang dikawal oleh polisi Belanda (lihat Nieuwe courant,
17-10-1946).
Dari fakta-fakta ini semua dan membandingkannnya dengan
tulisan-tulisan yang terdapat di berbagai media selama ini terkesan ada
perbedaan yang jauh antara yang diceritakan (sangat mencekam) dengan keadaan
yang sebenarnya (biasa-biasa saja). Seperti dapat dilihat bahkan pada rombongan
terakhir Pemerintah Republik Indonesia hijrah ke Jogjakarta tidak ada indikasi
hal yang mencekam. Polisi Belanda justru mengawal rombongan hingga ke stasion
kereta api Manggarai untuk memastikan tidak terjadinya insiden yang tidak
diinginkan. Dalam bahasa internasional sekarang: sekalipun ada dua pihak yang
bertikai yang satu terhadap yang lain tetap menjaga tata krama hubungan politik
internasional.
Mungkin anda membayangkan bahwa Pemerintah Indonesia seteril dari Djakarta
setelah semua kementerian RI hijrah dari Jakarta ke Jogjakarta. Akan tetapi
kenyataannya tidak demikian. Sebab meski Batavia/Djakarta sudah dikuasai
Belanda/NICA tetapi para Republiken (penduduk Indonesia yang tetap setia RI)
masih banyak yang bertempat tinggal di Djakarta. Untuk itu fungsi penghubung
antara Belanda dan Republik Indonesia, Sekretariat Delegasi Republik
(Indonesia) tetap dipertahankan di Djakarta. Dalam hal ini Kepala Kantor Sekretariat
untuk Djokja (perwakilan Belanda/NICA) adalah Setiadjit (pro Belanda) dan di
Batavia sebagai perwakilan Pemerintah Republik Indonesia diangkat Mr. Arifin
Harahap (lihat Nieuwe courant, 27-04-1948). Kepala Kantor Sekretariat ini pada
masa kini boleh jadi semacam Kedutaan Besar (Kedubes). Kantor keduber inilah di
Djakarta yang mewakili pemerintah RI di Djogjakarta dan juga kedubes ini yang
menangani perosalan-persoalan yang dihadapi para Republike yang tetap tinggal
di Djakarta/Batavia.
Dalam hal ini, antara
hal yang diceritakan dengan sejarah adakalanya terdapat perbedaan yang besar.
Sejarah adalah fakta-fakta yang terjadi apa adanya. Yaitu fakta-fakta yang
benar-benar terjadi atau yang benar-benar dialami pada masa lampau yang ditulis
pada masa kini.
Mr. Arifin Harahap |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar