*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Ambon dalam blog ini Klik Disini
Pada era kolonial
Belanda, semua nama tempat di Maluku dan Papua terhubung dengan Kota Ambon.
Salah satu kota penting di barat daya Papua adalah Merauke. Pada tahun 1927
sebuah area di hulu sungai Digoel (Boven Digoel) di Tanah Merah menjadi
tiba-tiba populer, karena menjadi tempat pengasingan para tahanan politik
Indonesia. Kota Merauke yang sudah dibangun sejak lama juga terangkat karena
popularitas Boven Digoel.
|
Kamp Interniran Tanah Merah, Boven Digoel, 1927 |
Pada masa kini, Boven Digoel menjadi nama sebuah kabupaten
baru dengan ibukota Tanah Merah (lihat UU No. 26 Tahun 2002). Kabupaten Boven Digoel,
Kabupaten Mappi dan Kabupaten Asmat adalah pemekaran dari Kabupaten Merauke.
Ibukota kabupaten (Distrik Merauke) adalah Merauke, suatu kota yang tumbuh pada
era kolonial Belanda relatif bersamaan dengan Kota Tual (ibukota Maluku
Tenggara). Jalur transportasi laut Ambon Merauke melalui Kota Tual.
Lantas mengapa
Boven Digoel dipilih pemerintah Hindia Belanda sebagai tempat pengasingan tahanan
politik Indonesia sejak 1927? Penetapan Boven Digoel sebagai pusat tahanan
politik juga menandai era baru dalam sistem pemerintahan Hindia Belanda di
wilayah Papua. Lalu bagaimana dengan Tanah Merah sendiri menjadi kota. Mari
kita telusuri berdasarkan sumber-sumber tempo dulu.
|
Kamp Interniran Tanah Merah, Boven Digoel, 1935 |
Boven Digul dan Tanah Merah adalah titik penghubung di Tanah
Papua dengan tempat-tempat para revolusioner Indonesia dalam berjuang melawan
Belanda. Pusat perjuangan para revolusioner Indonesia berada di Batavia (kini
Jakarta). Para revolusioner Indonesia yang diasingkan ke Boven Digoel tidak
hanya dari Batavia, juga dari kota-kota lainnya seperti Padang, Medan, Soerabaja
dan Bandoeng. Oleh karenanya Boven Digoel menjadi bagian tak terpisahkan dari
perjuangan para revolusioner Indonesia.
Boven Digoel 1927
Seorang tahanan
politik Indonesia menulis dari Tanah Merah, ibukota baru (nieuwe hoofdstad) Boven
Digoel yang dimuat di surat kabar Bahagia yang terbit di Semarang pada tahun
1927. Dalam hal ini tahanan politik Indonesia yang diasingkan ke Boven Digoel
disebut pers Belanda sebagai Digoeler. Berikut isi surat tersebut yang
disarikan kembali De Sumatra post, 18-11-1927.
|
Kapal uap dan kano di Tanah Merah, Boeven Digoel, 1928 |
Sungai Digul adalah aliran yang luas, enam kali lebih
lebar dari [sungai] Serajoe, dekat Tjilatjap. Tepi kiri dan kanan sungai menawarkan
banyak keindahan kepada kita. Penulis surat itu tampaknya tidak merasa seperti
orang buangan, ia pasti akan menikmati lingkungannya dengan kano. Buaya sangat
banyak, jika kapal berlayar lewat, mereka menunjukkan diri mereka dengan jelas
atau menghindar diri mereka keluar dari air. Kami berlayar selama berjam-jam ke
[Boven] Digul, dan kemudian kami mencapai Tanah Merah, ibukota baru Boven Digoel,
dan, menurut pendapat penulis itu Tuhan menciptakan bagi orang-orang berwarna
merah, karena selain itu kota ini dihuni oleh banyak anggota partai komunis,
tanah disini juga berwarna merah, itulah sebabnya tempat itu sudah disebut
Tanah Merah sebelum kedatangan orang partai komunis, dan rumah-rumah didirikan oleh
genie (zeni) di Tanah Merah.
|
Kamp Interniran dan sungai Digoel di Tanah Merah, 1928 |
Rumah-rumah itu terlihat seperti bangunan gudang
tembakau di Djogjakarta dan Solo. Setiap orang buangan masing-masing menerima
tikar, bantal, selimut, dan tempat tidur. Yang belum menikah ditempatkan di
dalam ruangan yang panjang, yang menikah masing-masing mendapatkan kamar.
Hingga akhir Agustus [1927] sudah ada 2.950 orang di Digoel, termasuk 92 wanita
dan 87 anak-anak. Menurut berita yang diterima di sana akan ada total 5.000
jiwa; 140 tentara, dibawah komando dua letnan, menjaga perintah. Para
interniran dibayar tunjangan harian 72 sen, dimana 42 sen dikurangkan untuk
beras, dendeng dan sejenisnya, sehingga hanya 32 sen dibayar tunai. Tanah Merah
sudah memiliki sebelas toko Cina. Pekerjaan orang-orang buangan terdiri dari
mereka pergi ke hutan setiap hari untuk menanam kebun dan menebang kayu untuk
kayu bakar, dll. Enam puluh bidang lahan telah ditanami dan sepuluh bidang
ditanam dengan padi dan sisanya dengan apa yang disebut tanaman kedua seperti
katjang, ketella, uebi, kedele, kubis, dll. Selain sayuran, pisang, bangkoang,
semangka dan buah-buahan lainnya juga ditanam disana. Adakalanya ketika sebuah
kapal datang dari Jawa, kapal itu membawa kiriman dari departemen Landbouw’.
|
Di dalam barak interniran di Tanah Merah, Digoel 1928 |
Gambaran tentang
Tanah Merah dan Digoel berbeda dengan yang sering digambarkan pada masa ini.
Kenyataannya Tanah Merah di Boven Digoel pada permulaannya tahun 1927 bukan
lingkungan buruk bagi para tahanan (Digoeler), tetapi secara sosial-politik boleh
jadi benar (jauh dan terasingkan dari rekan-rekan mereka seperjuangan di Jawa
dan Sumatra). Di Tanah Merah Boven Digoel ada kehidupan baru yang nyata, mereka
bertani bahkan sudah ada toko-toko yang dikelola oleh orang-orang Tionghoa.
Pada tahun 1927 sudah ada populasi tahanan sekitar 3.000 orang. Jumlah ini pada masa itu
bukan populasi kecil, boleh jadi satu-satunya kota terpadat di Papua, bahkan
lebih padat daripada kota Merauke sendiri.
|
Jalan di Merauke 1930 |
Kota Merauke, paling tidak pada tahun 1905 sudah memiliki
sebuah garnisun (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-02-1905). Ini mengindikasikan
sudah banyak populasi Eropa/Belanda di Merauke. Adanya garnisun menunjukkan
posisi sebuah ibukota wilayah dimana pusat pemerintahan (kolonial Belanda)
berada. Tentara dari garnisun ini juga kerap mendampingi para ilmuwan dalam
ekspedisi geologi dan botani ke pedalaman. Di Merauke berkedudukan seorang
Controleur. Di kota ini juga sudah ada (tempat) penginapan dan klinik kesehatan
yang dipimpin oleh seorang dokter. Orang-orang Eropa/Belanda dan pendatang
lainnya melakukan perdagangan dengan orang-orang orang Papua. Kapal antar kota
yang sering mengunjungi kota ini adalah kapal uap Falcom dan Flamingo yang
membawa penumpang dan surat-surat. Pelayaran cukup intens antara Ambon dan
Merauke dan sebaliknya via Tual. Dalam hal pembangunan terutama untuk
konstruksi banyak kuli didatangkan dari Tual dan sekitarnya. Juga ada rute
pelayaran ke Timor di Koepang. Kehidupan di Kota Merauke disebutkan memiliki
harapan.
|
Keluarga petani Digoel, 1915 |
Penemuan Tanah
Merah di Boven Digoel sebagai tempat yang ditetapkan untuk para tahanan politik
bukan tanpa alasan. Tanah Merah berada sangat jauh di pedalaman Papua yang
harus ditempuh berjam-jam melewati sungai yang berliku-liku. Hanya ada
transportasi kapal uap milik orang Eropa/Belanda di sepanjang sungai. Muara
sungai Digoel di pantai menjadi satu-satunya pintu masuk ke Boven Digoel
melalui sungai. Di Tanah Merah potensi untuk mengolah lahan untuk usaha
pertanian cukup baik. Sebagai area untuk tempat tahanan politik, area baru ini
juga dikembangkan menjadi daerah pertanian. Departemen pertanian juga dilibatkan
dalam program ini. Secara spasial, Tanah Merah di hulu sungai Diegoel boleh
jadi diarahkan pemerintah Hindia Belanda untuk pusat percontohan pertanian di
tengah-tengah pedalaman Papua. Setiap biaya memang harus menghasilkan manfaat.
Tunggu deksripsi
lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
"Kapal uap dan kano di Tanah Merah, Boeven Digoel, 1928": (1) salah tulis 'Boeven' (dalam bhs Belanda, boeven = orang jahat); seharusnya 'Boven'. (2) Tentu foto ini bukan di Tanah Merah, melihat lereng gunung di belakang kapal, dan bentuk perahu: di Tanah Merah tidak ada gunung, dan bentuk perahu itu jauh berbeda dari bentuk perahu orang Papua. Lagi pula orang yang di dalam perahu itu bukan orang Papua. Bentuk Perahu mirip perahu di Banda Neira, mungkin saja foto ini diambil di situ. Kapal itu memang kapal Fomalhaut.
BalasHapusTerimakasih terhadap koreksinya Pak JPDG.
Hapus