Jumat, 15 November 2024

Sejarah Bahasa Indonesia (8): Asal Nama Indonesia dan Kongres Hindia di Belanda, 1917: Nama Djawi dan Melayu Tempo Dulu


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa Indonesia di blog ini Klik Disini

Nama Djawi sudah lama ada, nama yang menjadi nama bahasa Djawi dan nama aksara Djawi. Nama Melayu baru kemudian muncul, nama yang menggantikan (sebagian) nama bahasa Djawi. Fakta bahwa pada saat muncul nama bahasa Melayu, nama bahasa Djawi sendiri masih eksis. Sementara nama bahasa Melayu menggantikan nama bahasa Djawi, aksara Djawi sendiri tetap eksis hingga kehadiran orang Eropa dengan aksara Latin bahkan hingga ini hari. Bagaimana dengan asal usul nama Indonesia? Yang jelas nama Indonesia kelak menjadi nama Bahasa Indonesia?

 

Pada tahun 1847 di Singapura terbit majalah ilmiah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA). Dalam JIAEA volume IV, 1850, Earl mengusulkan Kepulauan Hindia untuk memiliki nama khas, sebab nama Hindia sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Nama yang diusulkannya Indunesia sehingga akan menjadi Orang Indunesia. Dalam JIAEA Volume IV itu juga, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago yang mana Logan menyatakan perlunya nama khas, sebab istilah Indian Archipelago membingungkan. Logan mengambil nama Indunesia yang sempat diusulkan Earl, tetapi huruf u digantinya dengan huruf o. Sejak inilah nama Indonesia muncul. Logan juga tetap konsisten dengan menggunakan nama Indonesia dalam tulisan-tulisannya. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin Adolf Bastian menerbitkan buku nerjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel. Pada masa ini dinarasikan pribumi pertama menggunakan nama Indonesia adalah Suwardi Suryaningrat ketika mendirikan biro pers dengan nama Indonesische Persbureau. Nama Indonesisch juga digunakan oleh Prof Cornelis van Vollenhoven tahun 1917 (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah nama Indonesia dalam Kongres Hindia di Belanda Tahun 1917? Seperti disebut di atas, menurut catatan sejarah pada masa ini, nama Indonesia diintroduksi dan awalnya dipopulerkan oleh orang Eropa. Bagaimana sejarah yang sebenarnya? Yang jelas tempo dulu tentang nama Djawi dan nama Melayu. Lalu bagaimana sejarah nama Indonesia dalam Kongres Hindia di Belanda Tahun 1917? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Indonesia dalam Kongres Hindia di Belanda Tahun 1917: Nama Djawi dan Nama Melayu Tempo Dulu

Sejak kapan nama Indonesia muncul? Dalam narasi masa kini, munculnya nama Indonesia selalu dikaitkan dengan seorang Inggris bernama James Richardson Logan (1850). Namun ada juga narasi yang mengaitkan munculnya nama Indonesia dengan seorang Jerman Adolf Bastian (1886). Okelah, tetapi bagaimana dengan sejarah yang sebenarnya terjadi? Satu yang jelas di masa lampau, dalam bahasa Yunani kuno sudah dicatat nama Indonesos. Jadi, bagaimana duduk persoalannya?


Sebagaimana nama Melayu merujuk pada nama Malai di India, nama Indonesia juga merujuk pada nama (sungai) Indus di India. Mengapa? Begitulah dari sudut pandang dari arah barat (Persia, Arab dan Eropa) dari masa ke masa, bahkan sejak zaman kuno. Lalu apakah ada nama lokal (setempat) untuk Indonesia? Tentulah ada, tapi dalam hal ini tidak penting untuk dibahas, sebab fokusnya adalah bagaimana sejarah munculnya nama Indonesia. Nama India sendiri berasal dari sungai besar 'Indus' yang berarti 'aliran' nama yang sudah dikenal sejak Mesir Kuno. Dengan patokan nama (sungai) Indus ini kemudian muncul penamaan wilayah seperti India Depan (Voor-Indie), India Belakang (Achter-Indie), Indo-China, Kepulauan Hindia (Indische Archipel) termasuk pulau-pulau di Filipina dan sebagainya. Lalu apakah ada nama Indonesia dari sudut pandang utara dari Tiongkok? Ada dengan nama Ye-tiao.

Namun sebelum mendeskripsikan nama Indonesos (zaman kuno) yang kemudian menjadi nama Indonesia (zaman masa kini), ada baiknya mendeskripsikan mengapa nama Indonesia yang dijadikan sebagai pengganti nama Hindia Belanda (Nederlandsch Indie) sejak era Pemerintah Hindia Belanda oleh orang-orang Indonesia. Nama Indonesia diusulkan oleh para mahasiswa pribumi asal Hindia dalam Kongres (Mahasiswa) Hindia di Belanda pada tahun 1917. Nama ini segera diadopsi sehingga nama kongres yang sama pada tahun berikutnya tahun 1918 disebut Kongres (Mahasiswa) Indonesia. 


Nama Hindia Belanda (Nederlandsch Indie) muncul pada tahun 1800. Ini bermula karena VOC/Belanda di Oost Indisch (Hindia Timur) dinyatakan bangkrut pada tahun 1799 dan kemudian (pemerintah) Kerajaan Belanda mengambil alih wilayah yurisdiksi VOC/Belanda (non pemerintah) pada tahun 1800 dengan memberi nama baru Nederlandsch Indie. Nama Oost Indisch berubah menjadi Gouvernement Nederlandsch Indie (Pemerintah Hindia Belanda). Sementara itu, masih pada era VOC/Belanda tidak hanya Oost Indisch yang menggunakan Indisch tetapi juga West Indisch (di benua Amerika).  

Nama Gouvernement Nederlandsch Indie dalam hal ini Nederlandsch Indie dari sudut pandang (kerajaan) Belanda tidak Hindia Timur (Oost Indisch) tetapi juga West Indisch (Suriname, Curacao dan Guyana) di Amerika Latin. Lantas mengapa orang Belanda menyebut nama Indisch juga untuk wilayah koloninya di pantai timur Amerika (Latin)? Dalam hal ini nama Indisch merujuk pada nama India (Portugis: Indian Orient; Belanda: Oost Indien; Inggris: East India).


Mengapa disebut nama West Indisch untuk koloni-koloni Belanda di Amerika Latin? Ini bermula pada ekspedisi Columbus menemukan Amerika pada tahun 1492. Ekspedisi yang dipimpin Columbus didukung kerajaan untuk menuju Hindia Timur. Di pulau Canary, Columbus mengetahui dari penduduk bahwa ada sekelompok pulau di sebelah barat. Columbus bukannya menuju arah ke timur tetapi berbelok ke arah barat dan kemudian mendarat di wilayah Karibia (Bahama, Cuba dan Santo Domingo). Lalu dengan munculnya teori baru bahwa permukaan bumi bukan datar, mengira kepulauan Karibia merupakan gugus sisi lain dari kepulauan Hindia Timur. Oleh karena itu para ahli kartografi di Eropa beranggapan bahwa kepulauan Hindia dapat dicapai ke arah barat (yang menjadi West India) dan tentu saja dapat dicapai ke arah timur (yang menjadi Oost India). Columbus menyebut penduduk asli Amerika indios (bahasa Spanyol untuk 'orang Indian'). Sejak ini pulau-pulau di Karibia disebut wilayah Hindia Barat (West Indisch). Mengapa? Sejak penemuan Columbus, orang Eropa mengira pulau-pulau tersebut sebagai bagian paling timur (kepulauan) Hindia. Catatan: Columbus berlayar sebanyak empat kali. Columbus diduga meninggal di Spanyol pada tahun 1506 (lahir tahun 1451).

Sementara Spanyol membuka jalur ke barat (West Indisch), Portugis sudah lama menguasai navigasi ke arah timur melalu barat dan selatan Afrika terus ke India (jalur yang telah lama dinavigasi oleh orang-orang Moor dari Laut Mediterania, yang mana kota orang Moor terakhir Granada ditaklukkan Spanyol tepat saat Columbus mencapai Amerika). Pelaut-pelaut orang Moor sendiri adalah pendahulu (predecessor) pelaut-pelaut Portugis. Pada tahun 1511 pelaut-pelaut Portugis menaklukkan Malaka.


Fernando de Magelhaens Magellan, seorang pelaut Portugis yang bekerja untuk Radja Spanyol untuk mengarungi lautan Pasifik menuju Asia. Ekspedisi yang dipimpin Magellan mencapai Filipina dan kemudian menemukan jalan ke Maluku pada tahun 1521. Pelayaran Fernando de Magelhaens Magellan bermula menyusuri ujung selatan Amerika lalu dari titik persinggahan di Peru berlayar ke arah barat. Sejak inilah diketahui bahwa permukaan bumi bukan datar (tetapi bulat) dan juga sekaligus menyadari bahwa pulau-pulau yang ditemukan oleh Columbus bukan bagian dari (perpanjangan) Hindia Timur (Oost Indisch) yang dari sudut pandang Eropa adalah West Indisch melainkan bagian dari benua baru (Amerika). Namun nama West Indisch sudah kadung dalam persepsi orang Eropa. Meski perpanjangan paling timur dari Hindia adalah salah, namun nama Hindia tetap dipertahankan untuk pulau-pulau ini yang selanjutnya disebut Hindia Barat (West Indisch), karena Hindia Kuno terletak di sebelah timur Eropa, maka pulau-pulau ini terletak di sebelah barat Eropa. Jadi dalam hal ini nama Hindia bagi orang Eropa/Belanda tetaplah hanya sekadar nama meski sudah diketahui ada kesalahan (dan telah diperbarui). Nama West Indisch tetap dipertahankan oleh orang Eropa/Belanda karena nama Indisch ini begitu indah dan nyaman bagi orang Belanda meski bukan berada di sebelah barat India (yang lebih tepatnya di sebelah barat Afrika).

Nama Indus/India menjadi patokan dalam penamaan sejak zaman kuno hingga zaman yang lebih baru seperti India Depan (Voor-Indie), India Belakang (Achter-Indie), Indo-China, Oost Indisch, Kepulauan Hindia (Indische Archipel). Nama Indonesia sendiri dalam hal ini mengacu pada nama India. Semasa Yunani Kuno Oost Indisch/Indische Archipel (Hindia Timur/Kepulauan Hindia) disebut dengan nama Indo-nesos (Kepulauan India). Ini mengindikasikan bahwa Indonesia atau Hindia Timur sudah dikenal sejak zaman kuno.


Sebelum nama Indo-nesos muncul di laut Mediterani (sema Yunani Kuno), sudah disebut nama Taprobana dan Aurea Chersonesus yang kemudian diidentifikasi Ptolomeus dalam peta yang dibuatnya pada abad ke-2 (pada abad ke-2 ini menurut catatan Tiongkok disebut nama Ye-tiao/laut selatan). Identifikasi Ptolomeus tentang pulau Taprobana diduga kuat adalah pulau Kalimantan; sementara Aurea Chersonesus adalah pulau Sumatra. Dalam bahasa Yunani Kuo Aurea/Aurum adalah emas. Lalu bagaimana dengan Chersonesus? Dalam bahasa Yunani Kuno nesus adalah pulau. Lantas bagaiman dengan Cherso? Besar dugaan lafal bahasa Yunani Kuno dengan cherso (cher-so; sere-so) untuk sere=emas dalam bahasa Batak.

Dalam zaman kuno (Yunani Kuno) wilayah Indo-nesos termasuk pulau Sumatra (Chersonesus) dan pulau Kalimantan (Taprobana). Namun sejak kapan nama Indonesos ini muncul tidak diketahui secara pasti, tetapi yang jelas sudah disebut Ptolomeus nama Chersonesus dan Taprobana. Nama Indonesos inilah nama yang diduga merujuk pada nama patokan India, yakni pulau-pulau di timur India (termasuk Chersonesus dan Taprobana).


Ptolomeus pada abad ke-2 tidak hanya mengidentifikasi nama Aurea Chersonesus dalam petanya, juga menyebut nama Iabadiu. Dimana letak Iabadiu? Besar dugaan nama Iabadiu merujuk pada nama lebih kuno yakni Yvadwipa atau Yawadwipa yang diartikan pulau Yawa atau pulau jelai (jelai semacam padi-padian). Dalam hal ini Iabadiu adalah pulau Iabadiu adalah pulau padi-padian. Sementara Ptolomeus juga memiliki nama lain yakni pulau Chersonesus yang di dalam petanya ditambahkan nama Aurea sehingga dalam bahasa Yunani Kuno/bahasa Latin menjadi Aurea Chersonesus. Sementara itu pada abad ke-2, seperti disebut di atas, nama Ye-tiao dicatat di dalam kronik Tiongkok. Sebutan Ye-tiao ada kemiripan dengan Iabadiu dan Yvadwipa (sama-sama dimulai dari huruf Y).

Nama pulau Sumatra dalam hal ini memiliki dua nama kuno di Eropa yakni Chersonesus (pulau emas) dan Iabadiu (pulau padi-padian). Nama Chersonesus diduga muncul belakangan daripada nama Iabadiu (nama yang sejaman dengan nama Ye-tiao yang merujuk pada nama Yvadwipa). Lantas bagaimana orang Arab dan orang Persia menyebut nama pulau Sumatra?


Lantas mengapa penting pulau Sumatra di zaman kuno? Tentu saja karena pulau Sumatra menjadi sentra emas. Pulau Sumatra sesuai habitatnya juga menjadi sentra padi-padian. Jangn lupa bahwa di zaman kuno, pulau Sumatra sudah dikenal sebagai sumber produk zaman kuno seperti kemenyan dan kamper (di wilayah pantai barat Sumatra antara Air Bangis dan Singkil).

Orang Persia menyebut nama pulau Sumatra dengan nama pulau Djawa. Lantas mengapa orang Persia tidak menggunakan suku kata/hurug Y/Ya dan mengapa huruf/suku kata Dja/Dza? Disebut pulau Djawa oleh orang Persia diduga merujuk pada nama yang lebih awal yakni Yvadwipa atau Iabadiu atau Ye-tiao.


Orang Arab kemudian menyebut nama pulau Sumatra dari bahasa Persia dengan nama Djawi (Dzawi) yang hanya berbeda huruf terakhir i. Orang Arab kemudian menyebut nama produk kemenyan dari pulau Sumatra dengan nama Lubaan Djawi). Bagaimana dengan nama kamper? Kamper dalam bahasa Batak adalah hapur yang kemudian orang Persia menyebutnya kafura (merujuk pada bahasa Djawi: kapur). Bahasa Persia untuk kamper ini yang disebut kafura masuk ke dalam bahasa Arab (sudah disebut dalam kitab suci Al Qur’an). Sehubungan dengan perkembangan perdagangan orang Arab ke timur, seiring dengan penyebaran agama (Islam), lalu orang Arab mengintroduksi aksara Arab yang kemudian disebut aksara Djawi. Orang Arab di pulau Djawi menyebut bahasa yang digunakan adalah bahasa Djawi, yakni bahasa di pulau Djawi. Terhadap bahasa Djawi ini diintroduksi aksara Djawi (aksara Arab gundul). Bahasa Djawi, bahasa yang digunakan di Sumatra (bahasa Djawi) kelak berubah dan lebih dikenal dengan nama bahasa Melayu (sementara untuk aksara tetap menggunakan nama aksara Djawi yakni aksara Djawi dalam bahasa Melayu). Catatan: Aksara yang digunakan dalam bahasa Persia (di Persia) adalah aksara Arab.

Nama pulau Djawa atau pulau Djawi dalam hal ini juga merujuk pada nama lama Yvadwipa atau Iabadiu atau Ye-tiao. Lalu bagaimana nama Indonesia dalam bahasa Persia dan bahasa Arab? Tidak ditemukan. Yang ditemukan dalam bahasa Persia adalah nama Djawi dan dalam bahasa Arab nama Djawi. Dalam catatan-catatan pelancong Eropa yang ke timur menyebut dan mengidentifikasi pulau Sumatra sebagai Java Major dan pulau Jawa sebagai Java Minor. Dalam hal ini orang Eropa mengikuti nama yang diberikan orang Persia/Arab dengan nama Java (Djawa).


Nama Indonesia tidak teridentifikasi. Nama Indonesos dalam masa Yunani Kuno telah menghilang atau kurang popular dan nama yang lebih dikenal adalah nama Djawa, yakni suatu identifikasi oleh orang Arab/Persia pada dua pulau utama Sumatra dan Jawa yang mana bahasa Djawi sebagai bahasa pengantar (lingua franca) dan dikomunikasikan dengan menggunakan aksara Djawi. Penggunaan aksara Djawi tidak hanya di Sumatra, juga di Jawa, Semenanjung hingga Maluku.

Pada fase perdagangan/agama Islam ini di Djawa/Djawi peran orang Arab telah didominasi oleh orang-orang Moor. Mengapa? Navigasi orang Arab dari Laut Merah semakin menurun karena pusat peradaban Islam yang maju bergeser ke seputar selat Gibraltar di Semenanjung Iberia (Eropa selatan/Spanyol) dimana terbentuk populasi orang Moor (peranakan Arab dan Afrika). Namun dalam perkembangannya (sejak abad ke-11) dengan semakin menguatnya tekanan Eropa di seputar Laut Mediterania akhirnya kerajaan-kerajaan Islam di Eropa selatan satu per satu jatuh ke pasukan Eropa (Perang Salib) seperti Andalusia, Cordoba, Granada, Sevilla dan Toledo.


Sejak kahadiran Islam di Eropa (Semenanjung Iberia/Laut Mediterania), navigasi pelayaran perdagangan ke timur (Djawa) sudah maju. Pelaut-pelaut orang Moor dari Semenanjung Iberia menggantikan pelaut-pelaut Persia/Arab melalui seberang lautan dengan mengitari benua Afrika hingga jauh ke India. Seorang utusan Moor. Ibnu Batutah pada tahun 1345 yang mencapai Sumatra dan Canton menyebutkan kehadiran orang-orang Moor dan tidak sedikit yang telah menjadi raja di kerajaan-kerajaan pantai di India (bahkan di Sumatra bagian utara). Prasasti di Trenggano yang berasal dari abad ke-14 menjadi salah satu bukti keberadaan aksara Djawi dalam bahasa Djawi (baca: bahasa Melayu). Dengan demikian Ibnu Batutah kehadirannya di Sumatra tidak menemui kesulitan dalam berkomunikasi.

Tekanan Eropa terhadap peradaban (maju) Islam di Semenanjung Iberia akhirnya habis dengan jatuhnya Granada yang takluk pada tahun 1492 pada saat mana Columbus mencapai Amerika (West Indisch). Sementara itu pelaut-pelaut Portugis mulai secara perlahan menggantikan peran pelaut-pelaut orang Moor (sejak 1412) dimana pelaut Portugis Bartolomeu Dias berhasil mencapai ujung selatan Afrika pada tahun 1488.


Untuk meminimalkan perseteruan antara Portugis dan Spanyol antara dua kerajaan di eks (perdaban Islam) membuat perjanjian di Tordesillas pada tanggal 7 Juni 1494. Kedua belaj pihak, Portugis dan Spanyol membagi dunia menjadi dua bagian wilayah navigasi dari jutub Utara ke kutub Selatan di Eropa dimana ke sisi barat wilayah navigasi kekuasaan Spanyol, sementara Portugis ke sisi timur. Pelaut-pelaut Portugis dengan rute ke timur melalui pantai barat Afrika dan selatan Afrika kemudian sisi pantai timur Afrika. Pada tahun 1498 pelaut Vasco da Gama dari pantai timur Afrika berhasil mencapai Calicut, India. Setelah Portugis membuat koloni di India bagian barat (Goa), pada tahun 1509 Diogo Lopes de Sequeira berhasil mencapai Malaka namun kurang diterima. Afonso de Albuquerque kemudian menyelesaikan masalah Diogo Lopes de Sequeira dengan menaklukkan dan menduduki Malaka pada tahun 1511. Segera tiga kapal dikirim ke Maluku dimana Afonso de Albuquerque tiba di Maluku tahun 1512, sementara António de Abreu mencapai Timor kemudian ke Banda, Ambon dan Seram. Lalu Jorge Álvares dan Rafael Perestrello memimpin ekspedisi ke utara dana mencapai Canton (Cina) pada tahun 1513. Sementara itu ekspedisi Spanyol yang dipimpin seorang pelaut Portugis Fernão de Magalhães (1519-1521) dari pantai barat Amerika mencapai Zebu (Filipina) yang kemudian menemukan jalan ke Maluku (dimana Portugis sudah berada). 

Sukses Portugis dari barat mencapai Maluku (1512) dan sukses Spanyol mencapai Maluku dari timur (1521) menjadi sejarah awal navigasi pelayaran perdagangan Eropa ke Hindia Timur (maupun ke Hindia Barat). Bagaimana dengan nama Indonesia? Yang jelas pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol hanya menyebut nama India Orient (Hindia Timur). Nama Indonesos di era Yunani Kuno tidak pernah muncul.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Nama Djawi dan Nama Melayu Tempo Dulu: Mengapa Muncul Nama Indonesia?

Kemarin, Kamis (14/11) waktu setempat, Presiden Indonesia (Prabowo) berpidato di dalam Forum APEC yang diadakan di kota Lima. Peru. Sebelumnya di hari yang sama Presiden Prabowo mengunjungi Presiden Peru Dina Boluarte di Istana Negara Peru, Lima. Setelah upacara kehormatan, kedua presiden mengadakan pertemuan bilateral membahas potensi kerja sama Indonesia dan Peru. Dalam kesempatan ini Presiden Dina Boluarte menggarisbawahi bahwa Peru memiliki kesamaan dengan Indonesia dalam hal keanekaragaman hayati dan multikulturalisme. Pada 2023, Indonesia menjadi mitra dagang Peru terbesar kedelapan di Asia. Lalu, apakah ada hubungan masa lampau di zaman kuno yang perlu dicari antara Indonesia dan Peru? Yang jelas Indonesia dan Peru berada di garis lintang yang sama (ekuator/tropis).


Di Amerika Tengah terdapat peradaban yang sudah sangat tua di zaman kuno suku Aztec, suku Maya dan suku Inca. Peradaban suku Inca berada di sekitar danau Titicaca pegunungan Andes, di Peru. Suku ini banyak mendiami dataran tinggi karena memiliki kepercayaan bahwa semakin tinggi lokasi tempat tinggalnya akan semakin dekat dengan para dewa. Suku Inca sendiri menjalani kehidupannya dengan bertani. Jenis tanaman yang ditanam berupa ubi, singkong, labu, kacang, jagung, tomat, dan cabai. Banyak juga diantaranya yang memelihara bebek, alpaca, anjing dan bahkan marmut. Inka disebut sebagai peradaban pra-Columbus yang berpengaruh di wilayah Amerika Selatan bagian barat yang berpusat di pegunungan Andes hingga 1533. Atahualpa, raja Inka terakhir, juga disebut Sapa Inka, terbunuh oleh penjelajah Spanyol Francisco Pizarro, yang juga menandai awal masa berkuasanya Spanyol di daerah Peru. Ibu kota kerajaan Inka di Cuzco, di bagian tenggara Peru, di dekat lembah Urubamba di pegunungan Andes.

Pada Kehadiran Presiden Indonesia (Prabowo) di Peru mengingatkan sejarah lama antara wilayah Indonesia dan wilayah Peru di masa lampau. Pada tahun 1519-1521 pelaut-pelaut Spanyol mencapai Hindia Timur (Maluku) melalui lautan Pasifik dari pantai barat Amerika di Peru. Sementara Portugis di Maluku sudah bercokal sejak 1512. Hubungan raja-raja Maluku dengan Portugis menyebabkan kesulitan bagi pelaut-pelaut Spanyol di Maluku. Surat Sultan Ternate yang berbahasa Djawi menggunakan aksara Djawi (1521 dan 1522) kepada Radja Portugal mengindikasikan begitu dekatnya hubungan Portugis dengan Maluku.


Portugis tidak tergoyahkan di Maluku. Spanyol yang kerap mengincar Maluku, tetapi selalu gagal, lalu tetap bertahan di pulau-pulau Filipinan. Seperti disebutkan di atas, Filipina dicapai Spanyol dari Peru. Dalam perkembangannya, setelah terbunuhnya Radja Inca di Peru tahun 1533, seluruh pantai barat Amerika berada di bawah yurisdiksi Spanyol. Dalam hubungan ini Filipina di Hindia Timur oleh Spanyol dijangkau dari barat (Afrika Selatan) maupun dari timur (Peru, Amerika Selatan).

Kehadiran Spanyol di Filipina telah mereduksi arti keluasan nama wilayah Hindia Timur. Spanyol lebih mengedepankan nama baru sebagai Filipina (kepulauan Filipina) untuk semua pulau-pulau di utara Maluku, Sulawesi dan Borneo dari pada Hindia Timur (Indias Orientales). Singkatnya: Dalam perkembangannya muncul pelaut-pelaut Belanda di Hindia Timur (sejak 1596) menyebut nama Oost Indien (kemudian menjadi Oost Indisch). Lalu bagaimana dengan nama Indonesia?


Dalam ekspedisi pertama Belanda sudah mencatat nama bahasa Melayu. Seperti tempo doeloe, nama Djawa/Djawi untuk pulau Sumatra dan nama bahasa dan nama aksara (Djawi) dari Yavadwipa/Iabadiu, nama Melayu merujuk pada nama Malai yang dalam bahasa Persia disebut Malaibahr (Malabar). Pelaut-pelaut Portugis/Spanyol sendiri sebelumnya sudah mencatat nama sendiri untuk pulau Djawi sebagai pulau Sumatra dan pulau Djawa. Dalam hal ini identifikasi bahasa Melayu diduga merupakan identifikasi bahasa Djawi di luar wilayah non aksara Djawi (alias bahasa Melayu Pasar). Yang dimaksud pasar/bazar dalam hal in kota-kota pelabuhan yang telah diidentifikasi oleh para pelaut-pelaut Portugis, seperti Bantam (Banten), Tangaram (Tangerang), Caravam (Karawang) dan Manok (Tjimanoek), Coepang, Solor, Banda, Ambon, Batjan, Tidore dan Ternate. 

Dengan semakin intensnya kehadiran Portugis dan Spanyol di Hindia Timur, peran pelaut-pelaut Moor, Arab dan Persia (yang beragama Islam) di kota-kota pelabuhan semakin kecil porsinya dibandingkan dengan Portugis dan Spanyol. Dengan sendirinya nama pulau Djawa atau pulau Djawi (bahasa Djawi dan aksara Djawi) tergeser dengan sebutan bahasa Melayu yang diadopsi oleh pelaut-pelaut Eropa. Nama Melayu inilah yang kemudian diikuti oleh pelaut-pelaut Belanda untuk mengidentifikasi bahasa yang digunakan di kota-kota pelabuhan perdagangan di Sumatra dan Jawa serta Maluku dengan nama bahasa Melayu. Oleh karena pelaut-pelaut Eropa memiliki aksara sendiri, maka bahasa Melayu pasar yang mereka identifikasi menggunakan aksara Latin. 


Dalam perkembangannya penyebutan bahasa Djawi bergeser menjadi bahasa Melayu, tetapi aksara Djawi tetap bertahan. Bertahannya nama aksara Djawi karena peran pedagang-pedangang Arab, Persia dan Moor yang bercampur dengan orang-orang pribumi. Sementara penggunakan nama bahasa Melayu lebih intens, maka pedagang-pedangang Arab, Persia dan Moor juga mengikuti nama yang umum yakni bahasa Melayu. Dalam hal inilah terjadi interaksi yang mana di Hindia Timur, orang Eropa juga mempelajari aksara Djawi, sebaliknya orang Arab, Persia dan Moor juga mempelajari aksara Latin.

Selama era VOC/Belanda sebutan umum dalam komunikasi, hanya menyebut nama bahasa Melayu, aksara Djawi dan aksara Latin. Sebutan bahasa Djawi telah hilang. Sementara itu pengidentifikasian nama-nama geografis semakin banyak. yang dengan sendirinya memperkaya pemahaman para kartografi di Eropa tentang wilayah Hindia Timur.


Peta-peta baru semakin lengkap dari waktu ke waktu. Nama-nama geografis dalam hal ini meriputi nama pulau, nama (muara) sungai, nama tanjung dan nama teluk serta nama-nama kampong atau nama-nama kota (pelabuhan).

Hingga berakhirnya era VOC/Belanda pada tahun 1799 tidak pernah teridentifikasi nama Indonesia. Nama Indonesos hanya ditemukan dalam era Yunani Kuno. Selama era VOC/Belanda hanya nama Oost Indisch (Hindia Timur) yang mengemuka. Untuk membedakan Hindia Timur di bawah yurisdiksi VOC/Belanda dengan wilayah Filipina (Spanyol) adakalanya disebut/ditulis Indios Orientales Espanola).


Perlu dicatat disini, sejak kahadiran pelaut-pelaut Belanda di Hindia Timur, secara bertahap dan perlahan, keberadaan Portugis terusir dari sejumlah tempat. Pada tahun 1605 armada Belanda di bawah komando Admiral van Hagen menaklukkan dan menduduki benteng Portugis di Amboinia. Banda juga kemudian jatuh ke tangan Belanda. Inilah awal kekuatan Belanda pertama yang nyata di Hindia Timur. Pada tahun 1612 pelaut-pelaut Belanda mengusir Portugis di (pulau) Solor dan Koepang (pulau Timor bagian barat). Lalu orang-orang Portugis bergeser ke Timor bagian timur. Dengan modal kekuatan yang berada di garis navigasi Belanda (Bali, Solor/Koepang, Banda dan Amboina) pada tahun 1618 skuadaron Belanda di bawah komando Jan Pieterzoon Coen yang berbasis di kepulauan Seribu menaklukkan Jakarta dan mendudukinya. Pada tahun 1619 Belanda di bawah dukungan VOC mendirikan pos perdagangan utama di Batavia sebagai pengganti Amboina. Serang Mataram ke Batavia pada tahun 1629 dapat diatasi VOC. Sejak inilah VOC/Belanda semakin digdaya. Pada tahun 1641 giliran Malaka yang diserang militer VOC dan mendudukinya. Orang Portugis di Malaka tamat. Orang Portugis hanya tersisa di Timor bagian timur dan di Macao. Sejak ini di Hindia Timur hanya Belanda/VOC dan Spanyol yang dapat dikatakan memiliki kuasa utama.

Selama era VOC/Belanda penyebutan Indisch juga diberikan kepada koloni mereka di pantai timur Amerika Latin sebagai West Indisch. Lalu pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda (sejak 1800) nama Oost Indisch tetap digunakan sebagai nama wilayah, tetapi untuk nama pemerintahan ditambahkan nama Belanda sehingga menjadi Gouvernement Nederlandsch Indie (Pemerintah Hindia Belanda). Penyebutan pemerintahan dalam hal ini bahwa wilayah Hindia Belanda (Oost Indisch) adalah bagian dari pemerintahan (kerajaan) Belanda dengan mengangkat Gubernur Jenderal sebagai pemimpin tertinggi.


Sementara Pemerintahah Hindia Belanda melakukan tugasnya di Hindia Timur (khususnya di Hindia Belanda), pemerintah (kerajaan) Inggris juga terus mengkoordinasikan orang-orang Inggris di wilayah koloninya seperti di India, di Bengkulu dan di Australia. Pada fase inilah muncul aneksasi Inggris di Hindia Belanda pada tahun 1811. Namun penduduk Inggris tidak lama, pada tahun 1816 Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan kembali. Dalam perkembangannya, Inggris membentuk koloni baru di Semenanjung dan Borneo Utara, yang awalnya berpusat di Penang kemudian bergeser ke Singapoera seiring dengan perjanjian Traktat London tahun 1824.

Sebagai suatu pemerintahan, maka dalam pembangunan di wilayah Hindia Belanda dengan struktur yang terus berkembang, pemerintah juga dari waktu ke waktu semakin banyak melibatkan para ahli yang didatangkan dari Eropa, selain orang Belanda, juga orang Jerman dan juga orang Inggris. Para ahli ini ada yang diberi tugas khusus, dalam bidang tertentu seperti geologi, geografi, botani dan linguistik juga mereka adakalanya dilibatkan dalam tugas-tugas administrasi pemerintahan. Para ahli yang semakin banyak menyebabkan terbentuknya organisasi-organisasi profesi.


Pada tahun 1785 Mr Radermacher dkk mendirikan perhimpunan para peminat ilmu pengetahuan yang diberi nama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Organisasi para peminat (profesi) ini tidak hanya membangun museum, juga menerbitkan laporan berkala yang memuat kegiatan para anggotanya serta melampirkan tulisan-tulisan yang dikirim. Perhimpunan ini juga menerbitkan laporan tahunan. Perhimpunan ini terus eksis pada masa Pemerintahan Hindia Belanda (sejak 1800). Pada masa pendudukan Inggris di Jawa (sejak 1811), perhimpunan ini tetap dipertahankan dan bahkan Letnan Gubernur Jenderal Raffles sebagai ketua pembinanya. Setelah Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan pada tahun 1816, perhimpunan profesi di Batavia tetap diaktifkan. Pada tahun 1838 ditebitkan majalah ilmiah baru dengan nama Tijdschrift voor Neerland's Indie yang dipimpin Dr Baron van Hoevel. Para peminat ilmu pengetahuan yang tergabung dalam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen dan para pejabat pemerintah yang bekerja di berbagai bidang termasuk pemerintah mengirimkan tulisan/artikelnya ke majalah pertama ini. Pada edisi pertama antara lain tentang pejalanan GG van Imhoff ke Jepang 1746 dan perjalanan Dr Muller ke Sumatra di Mandailing en Angkola. Dalam edisi pertama ini juga termasuk saduran dari artikel yang terbit di Eropa dan satu paket puisi.

Para peminat ilmu pengetahuan Inggris yang awalnya bergabung/tergabung dengan perhimpunan profesi Belanda di Hindia Belanda di Batavia yakni Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, seiring dengan semakin menguatnya Inggris di Singapoera, mereka kemudian membentuk komunitasnya sendiri yang berpusat di Singapoera. Pada fase inilah kemudian terbit majalah ilmiah yang diterbitkan di Singapoera (Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia) pada tahun 1847.


Lantas mengapa nama majalah menggunakan nama Indian Archipelago dan ditambahkan dengan nama Eastern Asia. Yang jelas para pegiat ilmu pengetahuan Belanda khususunya di Batavia tetap menggunakan nama Nederlandsch Indie (sudah jarang menggunakan nama lama Oost Indisch Archipel). Nama Indisch Archipel (Kepulauan Hindia) adalah nama yang juga sudah sejak lama eksis, bahkan dipakai dalam dokumen perjanjian Traktat London 17 Maret 1824 untuk membedakan dengan Land van Indie (Tanah Semenanjung) di satu sisi dan Indisch[en] Archipel (kepulauan Hindia) di sisi lain (lihat Nederlandsche staatscourant, 19-05-1824). Sedangkan orang-orang Inggris sendiri nama Land van Indie disebut dengan nama Indian Peninsula (lihat Java government gazette, 04-04-1812). Orang-orang Inggris di Singapoera tampakntya ingin membesarkan dirinya dengan memperluas cakupan kajian tidak hanya di Indisch Archipel/Indian Archipelago juga ke wilayah Eastern Asia. Sebagaimana diketahui pengaruh Inggris di China dan pulau-pulau sekitar seperti Hong Kong juga sudah mulai intens. Pada edisi pertama bulan Agustus dan edisi kedua September 1949 terdapat tulisan Jonathan Rigg, anggota dari Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia menyumbang tulisan yang diterjemahkan dari bahasa Belanda ke bahasa Inggris (lihat Algemeen Handelsblad, 20-12-1849). Pada volume pertama tahun 1847 tulisan pertama berjudul The Present Condition of the India Archipelago by by JR Logan.

Pada edisi IV tahun 1850 Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia terbit dua tulisan yang mengulik nama geografis. Seperti dikutip di atas, George Samuel Windsor Earl mengusulkan Kepulauan Hindia untuk memiliki nama khas, sebab nama Hindia sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Nama yang diusulkannya Indunesia dan nama Melayunesia sehingga akan menjadi Orang Indunesia dan Orang Melayu. Namun Earl lebih memilih nama Melayunesia. Sementara itu di edisi yang sama Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago yang mana Logan menyatakan perlunya nama khas, sebab istilah Indian Archipelago membingungkan. Logan mengambil nama Indunesia yang sempat diusulkan Earl, tetapi huruf u digantinya dengan huruf o. Tahun inilah untuk pertama kali nama Indonesia disebut. Lalu bagaimana reaksi para pegiat ilmu pengetahuan Belanda khususnya di Batavia?


George Samuel Windsor Earl mengusulkan nama Indunesia dan kemudian James Richardson Logan menyempurnakannya dengan Indonesia, tentulah ada pertimbangan sendiri mengapa nama Indunesia/Indonesia yang diusulkan. Sudah barang tentu keduanya mengetahui dalam bahasa Yunani Kuno, Indonesos diartikan sebagai pulau-pulau Indo/India (kepulauan Indo/India). Jadi, George Samuel Windsor Earl menggunakan nama Indunesia, karena nama yang lebih awal muncul dalam sejarah adalah Indus, suatu lembag/sungai di bagian barat India yang kemudian nama ini diidentifikasi di Arab/Eropa sebagai India. Lalu pada era Yunani Kuno muncul nama Indo (dalam hubungannya dengan nama Indo-nesos). Oleh karena itu nama Indu(s) dan Indo sudah eksis di masa lampau. Artinya Earl dan Logan tidak akan buta tentang hal itu. Harus pula dicatat disini bahwa tempo doeloe orang Inggrislah yang memberi nama kepada India dengan nama (pelafalan) India (In-di-a), yang ditujukan pada wilayah-wilayah pantai selatan India. Bandingkan dengan pelafalan: Indios (Spanyol); Indien (Portugis) dan Indie (Belanda). Dalam hal ini pula kita membandingkan nama Indonesia versi Earl (Indunesia) dan versi Logan (Indonesia).

Dunia ilmu pengetahuan yang terus berkembang di Hindia Belanda, pada tahun 1850 dibentuk himpunan para peminat ilmu pengetahuan alam di Batavia (lihat Algemeen Handelsblad, 27-01-1851). Ini bermula pada tahun 1844 dimana majalah ilmiah   Tijdschrift voor Neèrlands Indie telah menambah suplemen yang khusus tentang Natuur- en Geneeskundig Archief voor Nederlandsch Indie. Namun itu tidak berlangsung lama lalu berhenti. Besar dugaan kekosongan ini akan diisi oleh himpunan yang baru dengan menerbitkan jurnal ilmu pengetahuan alam. Jurnal ini disebutkan terbuka untuk makalah dan kontribusi bidang Matematika dan Kimia, Geologi, Mineralogi, Geografi Fisik, Botani, Zoologi dan Anthropologi terutama yang berkaitan dengan Kepulauan Hindia (Indischen Archipel) yang akan memberikan informasi kepada jurnal tentang geografi fisik: fenomena alam, meteorologi, ilmu mineral, kejadian dan keingintahuan dan cara hidup hewan dan tumbuhan, dll. Jurnal ini akan terbit setiap dua bulan. Adapun pengurus perhimpunan ilmu alam di Hindia Belanda ini antara lain berikut ini, yang sebagian besar sudah terkenal di bidang ilmu pengetahuan, Dr P Bleeker; Dr JH Croockewit Hz; Corn. de Groot, insinyur untuk industri pertambangan di Hindia Belanda; PJ. Maier, apoteker kelas satu di lab kimia. di Batavia; P Baron Melvill van Carnbee, letnan laut kelas pertama; Dr CM Schwaner, presiden perhimpunan, HDA Smits, letnan laut kelas dua, Dr C Swaving, seretaris perhimpunan. Juga sebagai anggota kehormatan Teysman dari kebun raya Buitenzorg. Yang akan menjadi kepala editor jurnal adalah Dr P Bleeker.


Dalam edisi pertama (tahun pertama, 1850) Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie yang terdiri sekitar 60 artikel dalam 500 halaman. Para contributor antara lain Dr P Bleeker (flora dan fauna), Dr CLM Schwaner (geologi), Dr C Swaving (cultuur). JE Teijsman (botani), Dr JH Croockewit Hz (pertambangan). Pada tahun 1850 ini juga majalah ilmiah di bidang hukum diterbitkan dengan nama Het regt in Nederlandsch-Indie dengan editor Mr A Prins. 

Para pemerhati Belanda di Batavia tampaknya mengabaikan apa yang telah diulik oleh dua Inggris di Singapoera. Para pegiat ilmu pengetahuan Belanda di Batavia, yang sudah menerbitkan mejalah ilmu pengetahuan alam yang diterbitkan pada tahun 1850/1851, lalu kemudian organisasi profesi legendaris Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1852 menerbitkan majalah ilmiah yang baru yang diberi nama Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde. 


Sementara majalah ilmiah satu-satunya di Singapoera Journal of the Indian Archipelago and Eastern, di Batavia Tijdschrift voor Neèrlands Indie yang terbit pertama tahun 1838 masih bertahan. Jurnal baru di Batavia adalah Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (ilmu pengetahuan alama); Het regt in Nederlandsch-Indie (hukum); dan Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde (bahasa dan etnologi). Perlu ditambahkan disini satu jurnal yang ditebitkan di Belanda yang khusus tentang Hindia Belanda diterbitkan oleh Instituut voor de Taal, Land, en Volkenkunde van Neerlandsche Indie dengan nama Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie dengan edisi pertama tahun 1853.

Bagaimana dengan nama Indonesia setelah begitu banyak jurnal/majalah ilmiah diterbitkan oleh orang-orang Belanda? Usulan nama Indonesia oleh James Richardson Logan tahun 1850, alih-alih mendapat repon secara luas, malahan para pegiat ilmu pengatahuan Belanda di Hindia Belanda (Batavia) tidak memedulikannya. Nama Indonesia kemudian menghilang. Yang muncul adalah sebaliknya, nama Melayunesia yang diusulkan oleh George Samuel Windsor Earl tahun 1850 kemudian memiliki follower yakni Alfred Russel Wallace.


Alfred Russel Wallace memang tidak mengikuti sepenuhnya Melayunesia dari Earl tetapi memberin judul sendiri pada bukunya di bawah judul The Malay Archipelago yang diterbitkan tahun 1869 di London. Sementara itu di Hindia Belanda (Batavia) orang Belanda kukuh dengan nama Indisch Archipel (Kepulauan Hindia). Orang-orang Belanda sendiri bahkan tetap kukuh memberi nama West Indisch untuk wilayah koloni Belanda di pantai timur Amerika Selatan di Suriname dan sekitarnya.

Seperti dikutip juga di atas, pada tahun 1884 Adolf Bastian menerbitkan buku berjudul Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel. Judul buku ini tidak hanya menyebut nama Indonesia, juga menyebut nama Melayu. Lantas mengapa Adolf Bastian memberi nama Indonesia dan nama Melayu dalam bukunya? Satu yang jelas, nama Indonesia kembali muncul ke permukaan. Bagaimana Adolf Bastian mengadopsi nama Indonesia? Satu yang jelas nama Indonesia sudah pernah diusulkan oleh James Richardson Logan tahun 1850.


Adolf Philipp Wilhelm Bastian lahier 26 Juni 1826 di Bremen. Bastian memulai studi hukum di Universitas Ruprecht Karl Heidelberg. Di Universitas Würzburg memulai minat dalam studi etnologi. Namun kemudian beralih ke kedokteran dan memperoleh gelar dokter di Praha tahun 1850. Sebagai dokter kapal, Bastian mendapat kesempatan mengunjungi banyak tempat. Setelah kembali ke Jerman tahun 1859 Bastian menulis buku berjudul Man in History. Pada tahun 1861 Bastian melakukan kunjungan ke Asia Tenggara selama empat tahun dan kemudian menulis buku The People of East Asia. Setelah pindah ke Berlin tahun 1866, Bastian menjadi anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Leopoldina pada tahun 1869. Bersama dengan Robert Hartmann, Bastian mengasiuh jurnal etnologi dan antropologi, Zeitschrift für Ethnologie. Pada tahun 1873, ia menjadi salah satu pendiri dan direktur pertama Museum Etnologi Berlin. Pada tahun 1870-an Bastian melakukan perjalanan di Afrika. Setelah pulang dari Afrika, salah satu publikasi Bastian adalah Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel. 

Sejak Adolf Bastian, seorang Jerman mengapungkan nama Indonesia untuk wilayah Hindia Belanda (Oost Indisch), nama Indonesia mulai terpapar di Belanda/Hindia Belanda. Lantas mengapa bisa demikian? Sebelumnya usulan orang Inggris Logan tentang nama Indonesia tahun 1850 kurang mendapat perhatian dari orang Belanda, dan sekalipun ada yang memperhatikannya tetapi tidak begitu tertarik lalu melupakannya (sebab lain juga orang-orang Inggris juga mengabaikan dan melupakannya).


Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1884 menginformasikan karya Adolf Bastian berjudul Indonesien oder die Insein des malayischen Archipels. I Lieferung. Die Molukken mit drei Tafeln (XII, 160 S. en 3 T.) Berlin Ferd. Dümmler, 1884, sebuah karya dari etnografer dan penjelajah terkenal. Tim editor mendeskripsikan secara singkat tentang isi buku Bastian tersebut. Surat kabar yang terbit di Semarang, De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 30-06-1884 juga menginformasikan deskripsi singkat buku berjudul Indonesiën oder dié Insein des Malayischen Archipel karya Prof A Bastian.

Orang Jerman yang menggunakan nama Indonesia menjadi lebih mudah terpapar di Belanda karena hubungan dekat antara Belanda dan Jerman termasuk dalam berbagai aspek seperti pertukaran pengetahuan. Dalam hal ini lalu apakah Adolf Bastian telah menjembatani antara nama Indonesia yang pernah diusulkan orang Inggris tetapi terabaikan (menghilang) dan kemudian Adolf Bastian mencoba lebih mempopulerkan nama Indonesia sebagai nama yang sesuai dengan Hindia Belanda. Yang jelas Adolf Bastian adalah peneliti terkenal di bidang etnografi dan antropologis. Nama besar inilah yang menyebabkan nama Adolf Bastian diapresiasi di Belanda


Sebagaimana nama Indonesia yang pernah diusulkan James Richardson Logan tahun 1850 tidak dengan sendirinya popular, nama Indonesia yang diapungkan kembali oleh Adolf Bastian tahun 1884 juga tidak dengan sendirinya popular. Mengapa? Yang jelas orang Belanda sendiri sudah kukuh dengan nama Nederlandsch Indie, suatu nama yang tertera dalam undang-undang (Wet) Belanda yang dijalankan di Hindia Belanda. Orang Belanda dalam hal ini terkesan tidak memiliki keperluan dengan nama Indonesia. Hanya orang asing (dalam hal ini orang Inggris dan Jerman) yang sedikit agak peduli penamaan wilayah Hindia Belanda dengan nama Indonesia.

Meskipun Adolf Bastian adalah seorang yang dikenal luas di Jerman dan di Belanda, lantas mengapa tidak ada orang Belanda yang mengadopsi nama Indonesia sebagai pengganti nama wilayah Hindia Belanda? Apakah enggan atau takut memulainya? Seperti disebut di atas, orang Belanda lebih cenderung menggunakan nama yang sudah ada Nederlandsch Indie. Namun hal itu tidak sepenuhnya berlaku.


Adolf Bastian tidak menjelaskan mengapa dan bagaimana nama bukunya (1884) menggunakan nama Indonesia. Idem dito sebelumnya James Richardson Logan tahun 1850 juga tidak menjelaskan secara komprehensig mengapa dan bagaimana nama Indonesia diusulkan sebagai pengganti nama Hindia Timur. Tentu saja nama Indunesia yang ditinggalkan oleh Earl dan lalu Logan memodifikasinya menjadi Indonesia tentulah tidak dapat diterima secara akademik. Lalu mengapa James Richardson Logan tidak merujuk pada nama Indonesos, nama yang telah muncul di zaman kuno? Satu yang jelas, bagaimanapun Adolf Bastian mendapatkan nama Indonesia, dalam bukunya yang berjudul Kepulauan Indonesia atau Kepulauan Melayu, Adolf Bastian dengan terperinci mendeskripsikan dari berbagai aspek Hindi Belanda. Meski Adolf Bastian dalam judul bukunya megajukan pertanyaan dengan menggunakan kata penghubung atau (Kepulauan Indonesia atau Kepulauan Melayu), sebenarnya Adolf Bastian ingin menunjukkan nama Indonesia-lah yang sesuai. Lantas bagaimana dengan James Richardson Logan, George Samuel Windsor Earl dan Alfred Russel Wallace? Itu masalah mereka sendiri. Jika ditanya soal nama Indonesia ini kepada Adolf Bastian, barangkali hanya menjawab: ‘Saya seorang Jerman!’. Artinya: orang Inggris mengusulkan nama Indonesia dan Melayu/nesia, tetapi orang Belanda tetap para pendiriannya dengan nama Hindia Belanda (Nederlandsch Indie).

Sebelumnya, pada tahun 1869 Edward Douwes Dekker telah mengintroduksi nama Insulinde sebagai pengganti Hindia Belanda. Nama Insulinde juga diadaposi oleh segelitir orang Belanda, terutama mereka yang ingin memisahkan Hindia Belanda dari (pemerintahan langsung) Belanda sebagai negara yang terpisah. Mereka para pendukung Insulinde dan para pendukung pemisahan ini mendirikan organisasi social dengan nama Insulinde, yaitu organisasi social yang merupakan gabungan orang Belanda, Indo dan pribumi yang memiliki visi dan misi yang sama tentang upaya pemisahan.

Nama Insulinde sebenarnya adalah juga yang merujuk pada nama kepulauan (insula=pulau dan inde=indo/indie). Lantas mengapa nama Insulinde kurang berterima? Fakta bahwa saat muncul gagasan pemisahan Hindia dari Belanda pada tahun 1882, nama yang digunakan adalah Indisch (Hindia) dan orang Hindia disebut Indier. Organisi social yang didirikan di Batavia tahun 1898 untuk mendukung Indisch ini diberi nama Indisch Bond. Insulinde sebagai nama organisasi social merupakan suksesi dari Indisch Bond.

Pada tahun 1908 di Belanda, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan menginisiasi pendirian organisas kebangsaan (organisasi mahasiswa pribumi) dengan nama Indische Vereeniging. Organisasi mahasiswa pribumi ini menjadi suatu upaya untuk mempersatukan mahasiswa pribumi asal Hindia di dalam satu visi misi nasional. Sementara Boedi Oetomo yang didirikan di Batavia tahun 1908 kemudian bergeser menjadi organisasi social yang bersifat kedaerahan (Jawa dan Madura saja).


Soetan Casajangan, yang masih menjabat sebagai ketua Indisch Vereeniging pada lulus ujian akta guru MO (setara sarjana IKIP yang sekarang) di Leiden. Pada tahun ini juga Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) mengundang Soetan Casajangan sebagai perwakilan orang pribumi di Belanda untuk berpidato di hadapan forum.  Dalam forum yang diadakan pada bulan Oktober 1911, Soetan Casajangan, saat itu berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: ‘Verbeterd Inlandsch Onderwijs’ (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:

 

Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

 

‘…saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwi tidak pernah luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang seharusnya…saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam berbagai aspek termasuk pendidikan pribumi).’

Namun dalam perkembangan baru di Hindia, nama Insulinde kemudian ditinggalkan. Lalu muncul kembali nama Indisch pada tahun 1913 di Bandoeng dimana dibentuk partai orang Hindia dengan nama Indisch Partij. Para inisiator (Nationale) Indisch Partij (IP/NIP) ini adalah Dr EFE Douwes Dekker, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat. Gerakan NIP ini dengan cepat diredam Pemerintah Hindia Belanda. Pada prinsipnya visi misi Nationale Indisch Partij kurang lebih sama dengan visi misi Indische Vereeniging di Belanda.


Pada bulan Juli 1913 Soetan Casajangan kembali ke tanah air. Sementara di Hindia Dr EFE Douwes Dekker, Dr Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat tengah menghadapi tuntutan terhadap aktivitas NIP (yang belum mendapatkan badan hukum). Hukuman kepada ketiganya tanggal 18 Agustus 1913 untuk pengasingan di Hindia tetapi kemudian 27 Agustus hukuaman pengasingan ke Belanda. Soetan Casajangan di Batavia, sambil menunggu penempatannya sebagai direktur sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock, Soetan Casajangan kemudian ditempatkan sebagai guru di sekolah Eropa (ELS) di Buitenzorg. Pada saat inilah Soetan Casajangan bertemu dengan ‘dongan sahuta’ Sorip Tagor Harahap yang belum lama lulus di sekolah kedokteran hewan (veeartsen) di Buitenzorg yang diangkat menjadi asisten dosen. Saat sudah di Fort de Kock, Soetan Casajangan menginisiasi pendirian organisasi kebangsaan yang diberi nama Hindia Madjoe. Saat inilah Soetan Casajangan bertemu dengan dua guru muda yang belum lama lulus dari kweekschool Fort de Kock yakni Dahlan Abdoellah dan Ibrahim Soetan Malaka. Pada akhir tahun 1913 Sorip Tagor Harahap, Dahlan Abdoellah dan Ibrahim Soetan Malaka sudah berada di Belanda dan terdaftar di sekolah tinggi kedokteran hewan di Utrech dan di sekolah guru tinggi di Haarlem. Tampaknya surat rekomendasi Soetan Casajangan sangat manjur bagi ketiga pemuda tersebut untuk memasuki Pendidikan tinggi di Belanda. Seperti disebut di atas, Soetan Casajangan tahun 1911 cukup tegas dalam pidatonya di hadapan forum para peminat dan ahli Hindia di Belanda.

Lantas bagaimana dengan nama Indonesia? Satu yang jelas usulan seorang Inggris James Richardson Logan tentang nama Indonesia tahun 1850 hilang begitu saja. Pada tahun 1884 seorang Jerman Adolf Bastian mempertanyakan nama (kepulauan) Indonesia atau Melayu. Seperti disebut di atas, meski Adolf Bastian tidak menjawabnya secara gamblang tetapi isi bukunya yang diterbitkan tahun 1884 lebih menjelaskan deskripsi yang bagi pembaca dapat menyimpulkan sendiri sebagai jawabannya adalah Indonesia.


Sejak buku Adolf Bastian berjudul ‘Indonesien oder die Insein des Malayischen Archipels’ diterbitkan tahun 1884, nama Indonesia semakin banyak yang mengadopsinya dari waktu ke waktu. Sejak 1884 majalah ilmiah Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap terus menginformasikan nama Indonesia di dalam sejumlah artikel yang dimuat. Pada tahun 1889 Dr C Snouck Hurgronje menulis buku yang berjudul ‘Mekka’ yang diterbitkan tahun1889 di Den Haag juga menggunakan nama Indonesia. Pada tahun 1890 Johann Dietrich Eduard Schmeltz menulis buku yang berjudul ‘Indonesische Prunkwaffen’ yang diterbitkan tahun1890. Adolf Bastian sendiri tetap konsisten menggunakan nama Indonesia seperti dalam bukunya berjudul ‘Java’ (berbahasa Jerman) yang diterbitkan pada tahun 1893 di Leiden dan buku berjudul ‘Lose Blätter aus Indien’ (berbahasa Jerman) yang diterbitkan pada tahun 1898 di Batavia. Nama Indonesia dari sisi Jerman, yang juga diamini orang Belanda semaca masif ini, terkesan seperti ‘serangan balik’ ke sisi Inggris yang secara sporadic mempopulerkan nama Melayu.

Nama Indonesia setelah Adolf Bastian tahun 1884 tidak terbendung lagi. Nama Indonesia tidak hanya beredar diantara orang Jerman, juga diantara orang Belanda terutama di Hindia. Adolf Bastian sendiri di kalangan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia cukup dikenal dan akrab termasuk dengan ahli arsip Mr CA van der Chijs. Oleh karena itu secara akademik diantara orang Belanda nama Indonesia diterima, tetapi tidak pernah dihubungkan (secara pemerintahan/politik) untuk menggantikan nama Nederlandsch Indie. Yang berkepentingan secara politik dalam hal ini bukan pula Adolf Bastian, tetapi harus orang Indonesia sendiri (baca: orang pribumi).


Orang pribumi sudah banyak yang terpelajar. Pada tahun 1917 sudah ada sebanyak limapuluhan pelajar/mahasiswa pribumi yang studi di Belanda yang tergabung dalam Indisch Vereeniging. Ada yang sudah pulang ke tanah air setelah menyelesaikan studinya seperti Dr Asmaoen, Soetan Casajangan, Drs Raden Kartono, Dr F Laoh. Dalam hal ini orang pribumi sudah banyak yang menjadi sarjana bahkan sudah ada yang bergelar doktor seperti Dr Abdoel Rivai dan Dr Hoesein Djajadiningrat. Mereka itu sudah barang tentu telah membaca surat kabar, membaca jurnal dan membaca buku yang di dalamnya menyebut nama Indonesia sebagai sinonim Nederlandsch Indie.

Pada tahun 1917 di Belanda, pada bulan Januari dibentuk satu sub organisasi Indische Vereeniging dengan nama Sumatra Sepakat yang bertujuan untuk mendorong percepatan permbangunan di Sumatra. Selama ini pembangunan di Sumatra jauh tertinggal dari pembangunan di Jawa. Keanggota organisasi percepatan pembangunan di Sumatra terdiri dari pelajar/mahasiswa asal Sumatra di Belanda.


Organisasi asal Sumatra di Belanda secara resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’ pada tanggal 1 Januari 1917. Dewan terdiri dari Sorip Tagor Harahap (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota komisaris adalah Ibrahim Datoek Tan Malaka (lihat De Sumatra post, 31-07-1919). Disebutkan Tujuan didirikan organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra. Mereka yang tergabung dalam himpunan ini menerbitkan majalah yang akan dikirim ke Sumatra dan mengumpulkan berbagai buku yang akan dikirimkan ke perpustakaan di Padang, Fort de Kock, Sibolga, Padang Sidempoean, Medan. Koeta Radja dan di tempat lain di Soematra    

Pada akhir tahun 1917 di Belanda akan diadakan Kongres Hindia, suatu kongres mahasiswa asal Hindia (Belanda, Indo, Cina dan pribumi). Dalam kongres ini orang Belanda/Indo asal Hindia terdiri beberapa organisasi yang dihubungkan dengan peminatan dalam studi. Orang Cina asal Hindia tergabung dalam satu organisasi tunggal yakni Chung Hwa Hui; demikian juga orang pribumi asal Hindia tergabung dalam satu organisasi tunggal yakni Indisch Vereeniging. Kongres Hindia yang diadakan di Leiden ini dipimpin oleh HJ van Mook (mahasiswa/organisasi mahasiswa Indologi). Dalam kongres ini Indische Vereeniging sebagai satu kesatuan delegasi yang mana sebagai pembicara dari organisasi ditunjuk Dahlan Abdoellah.


De nieuwe courant, 14-10-1917: ‘Indische Vereeniging. Pada Sabtu malam, di Koffieguis di Zuid Holland diadakan rapat tahunan dan mengadakan pemilihan pengurus baru. Yang terpilih adalah RM Noto Dhiningrat (ketua), Soerjomihardjo (sekretaris), RM Tjohro-adi-Soerjo (bendahara), Baginda Dahlan Abdoellah (pengawas) dan RM Noto Soeroto (arsiparis). Sebagai delegasi dan pembicara di Leidsche Indologencongjes (Kongres Hindia) diangkat Dahlan Abdoellah, penunjukan telah diterima. Memutuskan untuk mengadakan rapat umum pada hari Sabtu pertama setiap bulan, dimana topik-topik penting tentang tanah air akan dibahas, dan pertemuan luar biasa selanjutnya, jika memungkinkan kuliah, juga dari orang luar, akan berlangsung. Salah satu anggota secara sukarela memberikan ceramah di setiap pertemuan tentang ekspresi gerakan Hindia, yang tawarannya diterima dengan sepenuh hati oleh pertemuan tersebut. Kelompok-kelompok lokal juga akan didorong untuk mengadakan pertemuan secara berkala. Organ perhimpunan Hindia-Poetra selanjutnya akan muncul pada interval yang tidak teratur, berisi seperti ceramah dan pengumuman, juga di mana artikel oleh anggota dan lainnya akan dimasukkan, dan bukan hanya risalah dan laporan tahunan’. Catatan: Indische Vereeniging pada tahun 1916 disebutkan diketuai oleh Raden Loekman Djajadiningrat (lihat Dagblad van Zuid-Holland en 's-Gravenhage, 09-08-1916). Dalam kepengurusan ini Dahlan Abdoellah disebut sebagai archivaris.

Seperti disebut di atas, dalam Kongres Hindia (Indisch Congres) tahun 1917 ini (tepatnya 28 November 1917) Dahlan Abdoellah telah ditunjuk sebagai pembicara mewakili Indische Vereeniging (Mr Han Tiauw Tjong ketua asosiasi Cina Chung Hwa Hui sebagai perwakilan pembica). Saat diskusi forum beberapa nama dari Indische Vereeniging yang berbicara yakni Goenawam Mengoenskoesoemo dan Sorip Tagor Harahap.


Dahlan Abdoellah dalam paparannya di kongres menyambaikan banyak hal. Salah satu yang dapat dikatakan dalam hal ini cukup penting adalah soal nama Indonesia. Kutipan dari makalah pembicara Dahlan Abdoellah mewakili Indisch Vereeniging “Kami, orang Indonesia, di Hindia Belanda merupakan bagian utama dari penduduk Hindia dan karenanya kami memiliki hak untuk berpartisipasi lebih dari sebelumnya”. Selanjutnya Mr Han Tiauw Tjong ketua asosiasi Cina Chung Hwa Hui mengamini apa yang disampaikan oleh Dahlan Abdoellah, menyatakan “Cina tidak menginvasi Hindia dan karena itu tidak berlebihan kami disambut disana, menjadi kolaborator yang sangat diperlukan untuk pembangunan negara’. 

Di dalam Kongres Hindia di Belanda ini untuk pertama kali nama Indonesia secara resmi diadopsi oleh orang pribumi. Seperti disebut di atas, nama Indonesia diintroduksi oleh orang Inggris (Logan) dan kemudian dipopulerkan oleh orang Jerman (Bastian) dan selanutnya diterima diantara orang-orang Belanda di Hindia. Dalam hal ini, seperti disebut di atas, nama Indonesia bukan asing diantara orang-orang terpelajar pribumi, terutama pelajar/mahasiswa di Belanda. Ini juga mengindikasikan bahwa orang pribumi sudah mengenal secara luas nama Indonesia, nama yang sudah beredar luas dalam literatur akademik.

 

Usulan Indisch Vereeniging melalui pembicara Dahlan Abdoellah nama Indonesia secara resmi, telah diterima secara resmi di dalam Kongres Hindia tahun 1917. Dalam kongres tahun 1918 nama Indische Congres (Kongres Hindia) nama kongres sudah disebut dengan nama Indonesia Cengres (kongres kedua yang diadakan di Wageningen tanggal 30 Agustus 1918). Dalam Kongres Indonesia 1918 ini pembicara mewakili Indische Vereeniging adalah Dr Goenawan Mangoenkoesoemo (ketua Indische Vereeniging). Yang turut berbicara di forum diskusi antara lain Ny Ratulangi dan Dahlan Abdoellah. Topik yang dibicarakan dalam kongres 1918 adalah hubungan antara Oost en West. Koengres ini disebut kongres pertama Indonesia Congres (mengacu pada penamaan nama kongres). Salah satu hasil kongres itu dibentuk organisasi/perhimpunan Indonesia dengan nama Indonesisch Verbond van Studeerenden (lihat De locomotief, 28-11-1918). Organisasi ini yang merupakan gabungan mahasiswa Belanda, Cina dan pribumi mendorong dan mendesaknya penyediaan perguruan tinggi di Hindia (lihat Het vaderland, 02-02-1919).

Nama Indonesia yang diusulkan perwakilan delegasi Indische Vereeniging dalam kongres tahun 1917 pada intinya, usulan nama Indonesia dalam pidato Dahlan Abdoellah mirip dengan pidato Soetan Casajangan pada tahun 1911. Dalam pidato Dahlan Abdoellah, terminologi ‘coklat vs putih’ yang diapungkan Soetan Casajangan pada tahun 1911 telah tergantikan dengan terminology yang baru yakni Indonesia. Ini dengan sendirinya, Indische Vereeniging melalui juru bicara Dahlan Abdoellah telah melanjutkan perjuangan Soetan Casajangan. Dalam konteks inilah menjadi penting arti keberadaan Indische Vereeniging di Belanda dan arti penting mengapa dulu Soetan Casajangan merasa perlu menginisiasi pembentukan organisasi pelajar/mahasiswa pribumi di Belanda.


Pembentukan organ/corong Indische Vereeniging yang diberi nama Hindia Poetra, gagasannya mulai awal tahun 1916 (lihat De Nederlander, 04-02-1916). Seperti disebut di atas, pada permulaan kepengurusan Noto Diningrat, disebut Hindia-Poetra selanjutnya akan muncul pada interval yang tidak teratur, berisi seperti ceramah dan pengumuman, juga di mana artikel oleh anggota dan lainnya akan dimasukkan, dan bukan hanya risalah dan laporan tahunan. Yang ditunjuk sebagai editor Hindia Poetra adalah Soewardi Soerjaningrat.

Setelah nama Indonesia yang diusulkan Indische Vereeniging telah diterima diantara pelajar/mahasiswa asal Hindia (Belanda, Cina dan pribumi) di Belanda nama Indonesia mulai dipopulerkan diantara orang pribumi. Nama Indonesia yang telah diterima tahun 1917, nama Kongres Hindia akan diubah menjadi Kongres Indonesia pada tahun 1918 ini. Diantara orang Indonesia yang tergabung dalam Indische Vereeniging akan mendirikan kantor berita dengan nama Indonesia.


Setelah posisinya di Hindia Poetra digantikan yang lain, Soewardi Soerjaningrat akan menangangi kantor berita Indonesia (lihat De Telegraaf, 13-09-1918). Disebutkan kantor berita dan perdagangan brosur Indonesia (Indonesisch Persbureau en Brochurehande) akan segera didirikan, yang bertujuan untuk menerbitkan brosur tentang isu-isu penting di Hindia dan sebagainya mungkin di Belanda. Pengurus biro adalah Soewardi Soerja Ningrat, mantan redaktur "Hindia Poetra". Pendirian kantor berita Indonesia ini diduga terpicu dengan telah didirikannnya kantor berita Aneta yang diinisiasi oleh Barretty di Batavia tahun 1917. Dalam perkembangannya diketahui kantor berita Indonesia hanya sukses dalam borosrnya, sebaliknya kantor berita Aneta sukses dalam beritanya. Sementara majalah Hindia Poetra tetap eksis, akan tetapi kantor berita/brosur Indonesia tidak lama kemudian menghilangan. Mengapa? Satu yang jelas Soetan Goenoeng Moelia lulus ujian dengan memperoleh akta guru MO (Middlebare Onderwijzer) tahun 1918 dan RM Soewardi Soerjaningrat mendapat akta guru LO. Keduanya akan kembali ke tanah air. RM Soewardi Soerjaningrat kembali ke tanah air dengan kapal uap ss Wilis RM Soewardi Soerjaningrat diperkirakan tiba di Tandjong Priok pada awal Scptember (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-08-1919). 

Nama Indonesia bagi orang Indonesia (baca: orang pribumi) adalah satu hal, nama Indonesia bagi orang non pribumi (Inggris, Jerman dan Belanda) adalah hal lain lagi. Meski nama Indonesia sudah lama eksis, diakui orang non pribumi dan diketahui orang pribumi, tetapi nama Indonesia diadopsi secara resmi oleh orang pribumi baru pada tahun 1917 (saat berlangsungnya Kongres Hindia di Belanda). Para pelajar/mahasiswa yang tergabung dengan Indische Vereeniging di Belanda menjadi penerjemah aspirasi orang pribumi (bangsa Indonesia) di Hindia dalam hubungannya dengan komunitas internasional. Nama Indonesia dari sudut pandang orang pribumi telah diproklamasikan pada tahun 1917 di Belanda.


Pada tahun 1913, setelah mendapat gelar guru MO (sarjana Pendidikan setara lulusan IKIP), Soetan Casajangan kembali ke tanah air dan saat tiba di Batavia, Soewardi Soerjaningrat diberangkatkan dari Batavia ke Belanda. Pada tahun 1919 setelah mendapat gelar guru LO, Soewardi Soerjaningrat kembali ke tanah air dan tiba di Tandjoeng Priok pada awal Scptember (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-08-1919). Pada tahun 1919 Soetan Casajangan mendapat undangan kembali dari Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato di forum yang akan diadakan pada tahun 1920. 

Pada tahun 1920 Soetan Casajangan (yang saat itu menjadi asisten Inspektur Pendidikan Pribumi) di Batavia datang ke Belanda untuk menghadiri forum para peminat dan ahli Hindia di Belanda yang diadakan pada tanggal 28 Oktober 1920 di Belanda, Soetan Casajangan, berdiri untuk kali kedua di hadapan para ahli/pakar Belanda dengan makalah 19 halaman yang berjudul 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Berikut beberapa petikan isi pidatonya:


Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).

 

....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada bulan 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya…yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan…termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa…

 

Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan...saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan [pemerintah kolonial]...’

Soetan Casajangan dengan caranya sendiri tetap santun namun dengan memiliki intensi yang tinggi. Soetan Casajangan menggarisbawahi ‘kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan, tetapi kesetaraan antara coklat dan putih. Demikian cara guru berjuang untuk memperjuangkan bangsanya. Dalam forum ini juga turut dihadiri oleh Soeltan Djogja. Pidato Soetan Casajangan ini dan kehadiran Soeltan sangat strategis dan boleh jadi menjadi bentuk kehadiran orang Indonesia di Belanda. Sebagaimana disebut di Indonesia, nama Indonesia, selain sudah diadopsi orang pribumi, juga nama Indonesia sudah diterima diantara orang-orang terpelajar Belanda.


Soetan Casajangan tidak berumur panjang, pada tahun 1927 meninggal dunia dalam usia 52 tahun. Saat ini Soetan Casajangan sebagai direktur sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara). Sementara itu junior-juniornya di Indisch Vereeniging. Kelak pada era Republik Indonesia menjadi Menteri Pendidikan pertama (Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara), menjadi Menteri Pendidikan kedua (Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia). Dan tentu saja Soeltan Djogja menjadi Menteri Pertahanan.  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar