Rabu, 20 November 2024

Sejarah Bahasa Indonesia (9): Bhasa Melayu Pasar Jadi Bahasa Indonesia; Tempo Doeloe Nama Melayu Gantikan Nama BahasaDjawi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa Indonesia di blog ini Klik Disini

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebut bahasa Jawi diartikan sebagai bahasa Melayu Kuno, khususnya yang ditulis dengan huruf Arab. Aksara Jawi diartikan sebagai aksara Arab yang dipakai untuk menuliskan bahasa Melayu. Jika begitu, bahasa Melayu dulunya disebut bahasa Jawi, bagaimana dengan nama Bahasa Indonesia? Silogisma: dulu bahasa Melayu disebut bahasa Jawi. Oleh karena tidak disebut lagi nama bahasa Jawi, lalu (apakah) tidak perlu lagi disebut bahasa Melayu, karena sudah disebut nama Bahasa Indonesia?   


Di dalam Wikipedia tidak ada lema Bahasa Jawi. Lema yang ada adalah Abjad Jawi alias huruf Jawi, aksara Jawi, abjad Arab-Melayu, abjad Yawi, tulisan Jawi, atau tulisan Melayu adalah kumpulan huruf berbasis abjad Arab yang umumnya digunakan untuk menuliskan teks dalam bahasa Melayu (dialek Malaysia, Brunei, Siak, Pahang, Terengganu, Johor, Deli, Kelantan, Songkhla, Riau, Pontianak, Palembang, Jambi, Sarawak, Musi dan dialek lainnya) dan bahasa-bahasa lainnya; seperti bahasa Aceh, Betawi, Banjar, Kerinci, Minangkabau maupun Tausug. Secara etimologinya, kata jawi adalah kependekan dari istilah bahasa Arab: Al-Jaza'ir Al-Jawi (Kepulauan Jawa) yang merupakan sebuah pengistilahan oleh bangsa Arab untuk kepulauan Indonesia. Kata jawi yang digunakan oleh bangsa Arab tersebut merupakan sebuah kata serapan langsung yang berakar dari bahasa Jawa yang merupakan istilah krama dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk merujuk pulau Jawa maupun etnis Jawa. Kata 'Jawi' digunakan karena pada masa lampau, kepulauan Indonesia secara umum berada dibawah kekuasaan kemaharajaan yang berasal dari pulau Jawa (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah bahasa Melayu Pasar menjadi Bahasa Indonesia? Seperti disebut di atas pada masa ini tidak eksis nama bahasa Jawi, tetapi masih eksis nama aksara Jawi (Arab gundul). Yang jelas tempo dulu nama bahasa Melayu menggantikan nama bahasa Djawi. Lalu bagaimana sejarah bahasa Melayu Pasar menjadi Bahasa Indonesia? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Bahasa Melayu Pasar Menjadi Bahasa Indonesia; Tempo Dulu Nama Bahasa Melayu Menggantikan Nama Bahasa Djawi

Pada masa ini ada pihak yang mempersoalkan nama Bahasa Indonesia karena asalnya dari bahasa Melayu Pasar. Namun tidak ada yang mempersoalkan nama bahasa Melayu karena awalnya disebut bahasa Djawi. Boleh jadi banyak yang lupa awalnya disebut bahasa Djawi lalu kemudian disebut bahasa Melayu.


Pada saat pelaut pertama Belanda yang hadir di Hindia Timur (1596-1597) mencatat nama bahasa Melayu, nama bahasa Djawi masih disebut. Pada era VOC, George Henric Werndly mencatat bahwa bahasa Melayu terpecah belah menjadi lima: (1) bahasa Djawi (sebagai bahasa terawal) yang dihubungkan dengan keagamaan dan kemudian menjadi bahasa umum; (2) bahasa dalam yang dicirikan seperti kalimat Sultan ada santap yang kemudian menjadi umum Awrang ada makan, Sultan sudah mangkat, Awrang sudah mati; (3) bahasa bangsawan, yaitu bahasa yang agung dan mulia yang teridentifikasi sebagai bahasa kebanggaan, kesopanan berbicara yang lebih unggul dari masyarakat biasa; (4) bahasa gunong/gunung yang bahasa bahasa masyaratkat pegunungan atau masyarakat petani yang dibedakan dengan bahasa orang di kota-kota; (5) bahasa katjokan, yang lebih tepat disebut bahasa campuran yang terus berlanjut yang dipahami sebagai bahasa sehari-hari atau bahasa jalanan yang kemudian juga disebut bahasa bazar/bahasa pasar (lihat George Henric Werndly. 1736. Maleische spraakkunst: uit de eigen geschriften d. Maleiers opgemaakt, m. inleiding en twee boekzalen v. boeken in deze tale zo van Europëers als v. Maleiers geschreven). Ini mengindikasikan bahwa bahasa Djawi adalah satu hal dan bahasa Melayu lainnya adalah hal lain. Pada masa ini Bahasa Indonesia adalah satu hal, dan bahasa Melayu lainnya adalah hal lain lagi.

Pada tempo doeloe, tidak ada orang mempersoalkan menghilangnya nama bahasa Djawi. Orang lambat laut hanya mengenal nama bahasa Melayu. Lalu kemudian, mengapa ada yang mempersoalkan nama Bahasa Indonesia? Satu yang jelas ada adagium ‘Takkan Melayu Hilang Di Dunia’. Namun dalam hal ini, munculnya nama Bahasa Indonesia tidak akan menghilangkan nama bahasa Melayu, tetapi di Indonesia bahasa Melayu ditempatkan sebagai bahasa daerah dan Bahasa Indonesia diposisikan sebagai bahasa nasional.


Tempo doeloe saat munculnya nama bahasa Melayu, tidak segera menghilangkan nama bahasa Djawi. Dalam hal ini bahasa Djawi ditempatkan hanya satu bagian dari bahasa Melayu. Ada bagian lainnnya yang disebut bahasa Dalam, bahasa Bangsawan, bahasa Gunung dan bahasa Katjokan. Bagian bahasa Katjokan ini yang juga disebut bahasa campuran atau bahasa Melayu Pasar. Dalam perkembangannya kemudian bahasa Melayu Pasar inilah yang dijadikan sebagai Bahasa Indonesia. Namun perlu dicatat disini bahwa pada saat eksis bahasa Djawi, aksara yang digunakan disebut aksara Djawi (aksara Arab gundul). Lalu seiring dengan penyebutan nama bahasa Melayu, lambat lauun nama bahasa Djawi menghilang. Mengapa? Satu yang jelas, nama aksara Djawi tetap lestari bahkan hingga kini. Ibarat perpatah lama ‘Takkan Aksara Djawi Hilang Di Dunia’.

Pada masa ini ada kecenderungan nama aksara Djawi disebut aksara Melayu. Mengapa? Yang jelas ada kecenderungan nama aksara Djawi akan menghilang. Bagaimana dengan kehadiran nama Bahasa Indonesia? Seperti disebut di atas, di Indonesia bahasa Melayu ditempatkan sebagai bahasa daerah. Apakah dengan semakin menguatnya nama Bahasa Indonesia akan menghilangkan nama bahasa Melayu? Artikel ini tidak sedang membicarakan itu. Yang akan dibicarakan adalah bagaimana nama bahasa Melayu Pasar menjadi nama Bahasa Indonesia.


Nama bahasa Melayu Pasar sudah disebut oleh George Henric Werndly paling tidak pada tahun 1736. George Henric Werndly adalah seorang sarjana Swiss yang bekerja untuk VOC/Belanda di Batavia. Pada masa ini VOC/Belanda sangat kuat di Hindia Timur dimana Spanyol hanya terbatas di pulau-pulau Filipina dan Portugis di bagian timur pulau Timor. Seperti halnya Belada/VOC yang mengakuisisi wilayah yurisdiksi Portugis di Hindia Timur (kecuali sebagian Timor), Inggris juga telah mengambil semua wilayah yurisdiksi Belanda/VOC di India. Dalam hal ini Inggris tidak ada tandingnya di India dan Belanda tidak ada tandingnya di Hindia Timur (termasuk pulau-pulau di Pasifik dan benua Australia). Catatan: pertahanan terakhir Portugis di Malaka pada tahun 1641 ditaklukkan VOC/Belanda dan pada tahun 1643 pelaut Belanda Abel Tasman menemukan pulau Tasman di selatan Australia. Ekspansi VOC/Belanda jaiuh ke depan di timur, lupa mengamankan ekornya di belakang (India) yang kemudian ditangkap dan diduduki Inggris. Dalam hal ini Inggris (berpusat di Calcutta) dan Belanda (berpusat di Batavia) menjadi dua matahari di timur. 

Nama bahasa Melayu Pasar hanya tersebar di wilayah non Melayu di Hindia Timur. Di wilayah Melayu bahasa Melayu terdiri dari bahasa Djawi (di komunitas keagamaan), bahasa Dalam (urban), bahasa Bangsawan (di lingkungan istana) dan bahasa Gunung (pedesaan). Penggunaan bahasa Pasar sangat meluas di berbagai kota-kota pelabuhan mulai dari Atjeh hingga Maluku. Penggunaan bahasa Pasar jauh lebih banyak dan masif daripada penggunaan bahasa Melayu di wilayah Melayu. 


Nama India menjadi penting dalam catatan sejarah. Hal itu karena wilayah geografis dibagi menjadi dua bagian: wilayah (daratan) India dan wilayah kepulauan di timur India (Hindia Timur). Semasa era VOC/Belanda di Hindia Timur tidak kesulitan menyatukan seluruh wilayah kekuasaannya karena eksisitensi bahasa utama bahasa Melayu terutama bahasa Melayu Pasar. Hal ini berbeda dengan di India oleh Inggris yang harus berada di wilayah yang luas yang berbeda-beda bahasa utama. Secara khusus di pulau-pulau Filipina (meski terdapat pengaruh bahasa Melayu, mencoba mengintroduksi bahasa Spanyol tetapi kemudian menemui masalah sendiri karena masing-masing etnik ingin mempertahankan bahasa masing-masing. Hal itulah mengapa Belanda di Hindia Timur (baca: wilayah Indonesia) lebih membiarkan bahasa Melayu Pasar sebagai lingua franca. 

Keutamaan bahasa Melayu Pasar di Hindia Timur menemukan jalannya sendiri untuk tumbuh dan berkembang lebih cepat jika dibandingkan dengan beberapa sepupu dari bahasa Melayu Pasar ini. Keutamaan bahasa Melayu Pasar di Hindia Timur ini juga menjadi focus perhatian para ahli bahasa dari Eropa termasuk dalam hal ini George Henric Werndly. Perhatian yang tinggi ini menyebabkan bahasa Melayu Pasar memiliki banyak catatan dan literatur yang terdokumentasikan dan terlestarikan yang pada gilirannya pada masa ini dapat diperbandingkan antar waktu (dalam menulis sejarah bahasa). 


Ada garis continuum antara George Henric Werndly ke masa lampau dan antara George Henric Werndly ke masa selanjutnya. Di masa lampau dalam hal bahasa Melayu Pasar ini ada nama-nama seperti Pigafetta (1521), Frederik de Houtman (1597-1603), Sebastiaan Danckaerts (sejak 1621) dan Johannes Roman (sejak 1655) yang lalu disusul oleh George Henric Werndly.


Tunggu deskripsi lengkapnya

Tempo Dulu Nama Bahasa Melayu Menggantikan Nama Bahasa Djawi: Nama Bahasa Indonesia Dapat Menggantikan Nama Bahasa Melayu, Mengapa Tidak? 


Bahasa Melayu berkembang sendiri-sendiri di berbagai tempat/wilayah, baik di wilayah non Melayu maupun di wilayah Melayu. Namun hingga berakhirnya era VOC, tidak terinformasikan (tidak ditemukan) tentang perkembangan penulisan (pembicaraan) bahasa Melayu di wilayah Melayu. Sejauh ini penulis-penulis Eropa/Belanda di Hindia Timur.hanya membicarakan tentang bahasa Melayu di wilayah non Melayu yang disebut bahasa Melayu Pasar. 

Apa yang dimaksud bahaa Melayu di wilayah Melayu dan bahasa Melayu di wilayah non Melayu dapat diasosiasikan dengan pembagian bahasa Melayu yang disebut oleh George Henric Werndly (1736). Menurut George Henric Werndly bahasa Melayu terdiri bahasa Djawi, bahasa Dalam, bahasa Bangsawan, bahasa Gunung dan bahasa Katjokan alias bahasa Melayu Pasar. Empat yang pertama tersebut diduga kuat merujuk pada bahasa-bahasa Melayu di wilayah Melayu, sedangkan yang terakhir bahasa Melayu Pasar digunakan di wilayah non Melayu, yakni kota-kota pelabuhan utama di Hindia Timur seperti Banten, Batavia, Semarang, Soerabaja, Banjarmasin, Pontianak, Koetai. Makassar, Koepang, Banda, Amboina, Ternate dan Manado. Disebut wilayah non Melayu karena kota-kota tersebut berada di wilayah non Melayu yang juga terdapat bahasa setempat (bahasa Jawa, Bandjar, Bugis/Makassar, Timor, Minahasa dan bahasa-bahasa Alfurun). Berbeda dengan kota Padang di pantai barat Sumatra, dimana kota Padang berada di wilayah Melayu (bedakan dengan bahasa Minangkabau di wilayah Minangakabau). Dalam hal ini bahasa Melayu di wilayah Melayu (Djawi, Dalam, Bangsawan dan Gunung) adalah bahasa-bahasa Melayu yang hanya terdapat interaksi minimun dengan bahasa-bahasa asli non Melayu di sekitar seperti di pulau-pulau di Kepulauan Riau, wilayah Semenanjung Malaya dan wilayah pesisir pantai timur Sumatra. Bandingkan dengan bahasa Melayu di wilayah non Melayu (Batavia) yang berinteraksi secara intens dengan bahasa Sunda. Catatan: VOC sebagai perusahaan swasta (holdings) dinyatakan bangkrut pada tahun 1799, kemudian segera Kerajaan Belanda mengakuisisinya dengan membentuk Pemerintah Hindia Belanda tahun 1800 (sebagai bagian dari Pemerintah (Kerajaan) Belanda.

Pada pemulaan Pemerintah Hindia Belanda, seorang penulis Belanda benama Willem van Rees pada tahun 1803 menerbitkan buku berjudul Maleisch Handboekjen, of Hollandsch-Maleisch en Maleisch-Hollandsch Woordenboekjen, naar Alphabetische orde (penerbit Moeleman Junior). Willem van Rees dalam hal ini seakan menjembatani penulis bahasa Melayu antara era VOC dengan era baru Pemerintah Hindia Belanda.


Pada tahun 1811 Batavia diserang dan diduduki Inggris. Pemerintah Hindia Belanda menyerah dan kemudian Inggris di bawah Letnan Jenderal Raflles sebagai wakil Lord Minto di Calcutta mengambil alih seluruh kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda. Entah kebetulan atau tidak pada tahun 1812 terbit dua buku tentang bahasa Melayu: (1) A Dictionary and Grammar of the Malayan Language.yang ditulis dalam bahasa Inggris oleh William Marsden yang diterbitkan di London; (2) Maleische Spraakkunst yang ditulis dalam bahasa Belanda oleh CPJ Elout yang diterbitkan di Haarlem. Penerbitan dua buku menjadi menarik karena William Marsden adalah seorang Inggris dan CPJ Elout adalah seorang Belanda. Tampaknya CPJ Elout ingin meneruskan tradisi penulis-penulis Belanda dalam mendokumentasikan bahasa Melayu. Dalam hal ini penulis Belanda dapat dimasukkan disini Bernama A de  Wilde yang menulis buku Nederduitsch-Maleisch en Soendasch Woordenboek yang diterbitkan pada tahun 1818 (bersamaan dengan terbitnya buku Rafless berjudul The History of Java), Lantas bagaimana dengan kehadiran William Marsden dalam urusan bahasa di Hindia Timur? Satu yang jelas, bahwa William Marsden sudah cukup lama berada di pantai barat Sumatra (Bengkulu) dan pernah menulis buku The History of Sumatra yang diterbitkan pada tahun 1781. Dalam hal ini boleh jadi William Marsden ingin meberi kontribusi dalam penulisan bahasa Melayu, tetapi kemudian menjadi segera diterbitkan dengan terjadinya pendudukan Inggris di Jawa. Namun seperti diketahui penduduk Inggris tidak lama, pada tahun 1816 Pemerintah Hindia Belanda dipulihkan kembali (antara kerajaan Belanda dan kerajaan Inggris). Dalam perkembangannya, antara kedua belah pihak melakukan perjanjian pada tahun 1824 (Traktat London) yang pada intinya terjadi tukar guling dimana wilayah Bengkulu yang dikuasai Inggris dipertukarkan dengan Malaka yang dikuasasi Belanda. Dengan perjanjian ini kemudian batas-batas wilayah yurisdiksi Inggris dan yurisdiksi Belanda di Hindia Timur diakomodir dan dipertegas. Sejak inilah mulai terbentuk wilayah Malaysia (termasuk Singapoera dan Brunai) yang sekarang. Pantun: dimuat dalam surat kabar berbahasa Inggris di Batavia Java government gazette pada edisi 30-01-1813.

Salah satu, jika tidak bisa dikatakan satu-satunya, penulis Belanda yang memiliki keahlian akademik dalam bahasa-bahasa adalah Philippus Pieter Roorda van Eysinga. Bukunya yang diduga pertama tentang bahasa Melayu berjudul Beknopte Maleische Spraakkunst en Chrestomathie, met Italiaansch en Arabisch karakter, benevens een volledig Hoog en Laag Maleisch en Nederduitsch Woordenboek, met Italiaansch karakter yang diterbitkan tahun 1839 oleh penerbit Broese. Kehadiran Roorda van Eysinga di Hindia Belanda dapat dikatakan tonggak baru dalam persoalan bahasa-bahasa di Hindia Belanda khususnya bahasa Melayu.


Roorda van Eysinga seorang profesor linguistik oriental, geografi dan etnologi pernah cukup lama di Hindia dan telah banyak mengumpulkan manuskrip langka dan berharga. Tingkat pengetahuan bahasa Melayunya jauh lebih tinggi jika dibandingkan penulis Inggris terdahulu William Marsden. Lalu dalam perkembangannya muncul nama Dr Ed Dulaurier adalah seorang peneliti muda Prancis yang bekerja di Belanda. Meski koleksi Dulaurier lebih sedikit dari Roorda, tetapi koleksinya cukup lengkap termasuk dari kerajaan-kerajaan kuno Jawa yang berasal dari abad ke-15. Koleksi Dulaurier ini sebagian dari Belanda dan sebagian yang lain dari Inggris (termasuk koleksi Raffles). Catatan: Setelah Roorda cukup lama guru besar bahasa Melayu dan bahasa Jawa di Breda, kemudian diketahui Dr Dulaurier menjadi hoogleeraar in de Maleische en Javaansche talen di Parijs (lihat Nederlandsche staatscourant, 25-01-1843). Dalam fase mereka inilah kemudian muncul doctor-doktor baru dalam bidang linguistic bahasa timur seperti Dr HN ban der Tuuk dan Dr Matthes. Prof Dulaurier, guru besar bahasa di Prancis dan juga menjadi anggota dewan sastra di Belanda, yang menjadi pengajar dalam kursus bahasa Melayu dan bahasa Jawa tahun 1841/1842 di Belanda. Bahasa dalam hal ini bahasa-bahasa di Hindia terutama bahasa Melayu dan bahasa Jawa adalah milik semua bangsa.

Sejak kehadiran seorang guru besar bahasa Roorda van Eysinga di Hindia Belanda dan program studi bahasa yang dikembangkannya di Belanda, dan lahirnya doctor-doktor dalam bahasa-bahasa timur, menyebabkan perhatian terhadap bahasa Melayu menjadi sangat massif. Bagaimana bahasa Melayu di wilayah Melayu yang berada di wilayah yurisdiksi Inggris seperti di Singapoera dan Penang?


Pada tahun 1845 JJ de Hollander menerbitkan buku berjudul Handleiding tot de kennis der Maleische taal yang diterbitkan oleh Broese. Pada tahun ini publikasi yang terbilang terawal tentang sastra Melayu adalah buku berjudul Sjair Bidasari yang dibukukan oleh Dr W van Hoevell. Buku puisi asli Melayu (oorspronkelijk Maleisch gedicht) diterbitkan tahun 1845. Buku ini disertai dengan terjemahan yang dijual f10 per buku (lihat Javasche courant, 25-01-1845). Publikasi lain yang muncul adalah karya-karya Radja Ali Hadji, Abdoel Moeloek dan Koning van Barbarije yang dikumpulkan oleh PP Roorda van Eysinga yang diterbitkan tahun 1847 (disebutkan karya Ali Hadji dari Riaouw dibuat tahun 1846).

Para ahli Inggris di wilayah yurisdiksi Inggris yang berpusat di Singapoera tidak ada yang terlibat dalam penulisan bahasa Melayu. Mengapa? Satu yang jelas diantara para ahli Inggris di Singapoera justru baru sekadar memikirkan penggunaan nama Melayu dan nama Indonesia. Seperti disebut pada artikel sebelum ini, James Richard Logan mengusukan nama Indonesia untuk wilayah Hindia Belanda yang dimuat di Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia edisi IV tahun 1850.


Hingga saat ini tidak terinformasikan karya-karya penulis Inggris tentang bahasa Melayu. Mengapa? Kecuali William Marsden tidak ada penulis Inggris yang terkait bahasa Melayu. Keberadaan William Marsden di Hindia Timur sebelum dibuat batas-batas yang jelas antara wilayah yurisdiksi Inggris dan wilayah yurisdiksi Belanda pada tahun 1824.

Pengembangan bahasa Melayu baik dalam bentuk kamus maupun bentuk tatabahasa umumnya adalah penulis-penulis Belanda, penulis-penulis bahasa Melayu yang berada di wilayah non Melayu. Dalam konteks ini bahasa Melayu Pasar yang menjadi acuan utama para penulis-penulis bahasa Melayu orang Belanda. Hanya satu penulis Belanda yang berada di wilayah Melayu, yakni H van der Wall di Riouw.


Berikut daftar publikasi penulis-penulis Belanda tentang bahasa Melayu. (1) Robinson, W en E Netscher. 1855, Proeve tot opheldering van de gronden der Maleische spelling. Genootschap; (2) Eysinga, Roorda van. PP. 1855. Algem. Nederduitsch-Maleisch woordenboek, in de hof-, volks- en lage taal, m. aanduid. d. woorden, welke uit Oost- en West. talen ontleend zijn; en beschouw, ov. de Maleyers, hunne geschied., taal en h. verwantschap m. Ind. en andere talen, Lat. karakters. ’s Grav; (3) Hollander, JJ de. 1856. Handleiding bij de beoefening der Maleische taal en letterkunde, voor de kadetten van alle wapenen bestemd voor de dienst in Nederlandsch Indië. Geboeders; (4) Anonymus. Kitab péngadjaran basa Malajoe. 1856. Lange en Co; (5) Hollander, JJ de. 1856. Handleiding bij de beoefening der Maleische taal en letterkunde, voor de kadetten van alle wapenen bestemd voor de dienst in Nederlandsch Indië. Geboeders; (6) Heerdt, C van. 1857. Eerste gronden der Maleische taal. Van Kampen; (7) Pijnappel (Gz), Jan. 1862. Maleische spraakkunst voor eerstbeginnenden. Nijhoff; (8) Pijnappel, J. 1863. Maleisch-Nederduitsch woordenboek. Frederik Muller; (9) Pijnappel, J. 1866. Maleische spraakkunst. Nijhoff; (10) Tuuk, NH van der. 1866. Kort verslag der Maleische. Dalam hal ini Jan Pijnappel (Gz) dapat dikatakan sebagai penerus Prof Philippus Pieter Roorda van Eysinga.

Dalam perkembangannya muncul HN van der Tuuk seorang doctor di bidang linguistik mengomentasri tentang tidak adanya standar dalam penulisan menggunakan bahasa Melayu. HN van der Tuuk sendiri (sejak 1850) telah membuat standarisasi pada bahasa Batak. HN van der Tuuk menganggap bahasa Melayu yang digunakan di berbagai daerah di Hindia Belanda ditulis dengan caranya sendiri-sendiri alias belum ada standarisasi. Komentar van derTuuk dimuat dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indie, 1856) yang pada intinya mengkritik sejumlah penulis (termasuk penerjemah Injil dalam bahasa Melayu) yang kurang memperhatikan kriteria untuk bahasa Melayu (termasuk perbedaan dalam ejaan).


Pendapat HN van der Tuuk kemudian didukung oleh HC Klinkert dalam tulisannya berjudul Het Criterium voor Geschriften in de Maleische Taal: Iets over de Maleische School en Volksleesboeken, Salah satu nama yang dikritik HC Klinkert adalah JOF Riedel yang kemudian meresponnya dalam suatu artikel berjudul Een Koet Woordd naar Aanleiding van HC Klinkert ‘Iets over de Maleische School en Volksleesboeken’ yang dimuat dalam Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië, 1868. Catatan: Pihak lainnya yang dikritik HC Klinkert adalah GRPF Gonggrijp dan N Graafland. Karya dan upaya dari Wall (di Riaouw) juga termasuk yang dibicarakan dalam polemik. HC Klinkert juga mengkritik de Wall.

Lepas dari ‘perselisihan’ antara HC Klinkert dan JOF Riedel, satu yang pasti HN van der Tuuk dan HC Klinkert adalah dua yang pertama pegiat bahasa di Hindia Belanda yang secara sadar perlunya kriteria dalam bahasa Melayu dan berupaya mengangkat isu untuk mulai memperhatikan arti penting pembakuan (standarisasi) bahasa Melayu di Hindia Belanda. Sejak inilah awal kodifikasi bahasa Melayu dapat dikatakan bermula.


Apa yang menjadi isu linguistic bagi Klinkert dan HN van der Tuuk tentu saja tidak sepenuhnya dialamatkan kepada penulis-penulis Belanda. Dalam hubungannya dengan bahasa Melayu tampaknya Radja Ali Hadji juga termasuk yang menjadi sasaran perhatian, Sebagaimana disebut di atas Radja Ali Hadji dari wilayah Melayu juga belum memiliki kriteria penulisan bahasa Melayu sendiri. Sebagaimana diketahui sejauh ini kamus bahasa Melayu yang terbaru di Hindia Belanda disusun oleh Prof PP Rooda van Eysinga dengan judul Nederduitsch-Maleisch Woordenboek yang diterbitkan tahun 1856. 

Dengan demikian proses kodifikasi bahasa Melayu tidak pernah berhenti. Yang jelas polemik bahasa yang terjadi tahun1865-1868 dapat dikatakan sebagai polemik bahasa yang sangat serius tentang kodifikasi bahasa Melayu diantara para pegiat bahasa di Hindia Belanda terutama bahasa Melayu. Kodifikasi bahasa Melayu yang dilakukan di Hindia Belanda pada dasarnya bahasa Melayu Pasar.


Salah satu diantara penulis-penulis bahasa Melayu di Hindia Belanda yang terbilang serius dan mendapat perhatian luas adalah Charles Adrian van Ophuijsen yang memulai karir sebagai guru bahasa Melayu di afdeeling Angkola Mandailing pada tahun 1879. Charles Adrian van Ophuijsen pada tahun 1881 menjadi guru bahasa Melayu di sekolah guru Padang Sidempoean. Selama delapan tahun sebagai guru di Padang Sidempoean lima tahun terakhir sebagai direktur sekolah. Singkatnya buku Charles Adrian van Ophuijsen yang terbit tahun 1901 berjudul Kitab Logat Melajoe: Woordenlijst voor de spelling der Maleische taal met Latijnsch karakter menjadi segera menjadi perhatian umum, lebih-lebih para pegiat bahasa-bahasa khususnya bahasa Melayu. Ini seakan mengingatkan kita tentang polemik kodifikasi bahasa Melayu yang terjadi pada tahun 1865. Setelah polemik tersebut, tidak ada buku tentang bahasa Melayu yang terkait kodifikasi. Polemik juga mereda setelah berlangsung tiga tahun. Lantas apakah buku Charles Adrian van Ophuijsen akan mengundang polemik? Yang jelas buku Kitab Logat Melajoe karya Charles Adrian van Ophuijsen yang diterbitkan pada tahun 1901 kemudian diakui pemerintah pada tahun 1902. Kehadiran buku Charles Adrian van Ophuijsen berjudul Kitab Logat Melajoe dipandang positif. Charles Adrian van Ophuijsen tampaknya telah menghadirkan sesuatu yang belum ada selama ini dan sekaligus menyelesaikan sesuatu yang dulu menjadi topik polemik (tentang kriteria bahasa Melayu).

Dalam konteks perjalanan polemik bahasa dan upaya kodifikasi bahasa Melayu di Hindia Belanda kemudian terhubung dengan gerakan para pemuda pribumi untuk melakukan Kongres Pemuda yang kedua yang akan diadakan pada bulan Oktober tahun 1928. Dalam Kongres Pemuda tahun 1926 di Batavia yang diusulkan adalah bahasa persatuan adalah bahasa Melayu. Tentu saja yang dimaksud adalah bahasa Melayu Pasar yang berkembang di Hindia Belanda. Dalam kongres 1926 belum terpikirkan nama Indonesia untuk bahasa Melayu Pasar. Dalam hal ini baru sekadar untuk menetapkan bahasa persatuan yakni bahasa Melayu/Pasar (bukan bahasa Belanda atau bahasa lainnya).


Sementara itu, pada tahun 1918 nama Indonesia untuk pertama kali secara resmi digunakan. Tidak di Hindia Belanda tetapi di Belanda. Peresmian ini sebagai usulan mahasiswa pribumi di dalam Kongres Hindia yang diadakan di Belanda pada tahun 1917. Pada kongres mahasiswa tahun berikutnya (tahun 1918) di Belanda, nama kongres telah diubah dari Kongres Hindia sebelumnya menjadi Kongres Indonesia.

Dalam Kongres Pemuda yang diadakan di Batavia pada tanggal 28 Oktober 1928 diputuskan nama bahasa persatuan dengan nama Bahasa Indonesia. Hal ini bersesuaian dengan keputusan yang lain yakni tentang nama bangsa (bangsa Indonesia) dan nama tanah air (Indonesia). Dengan demikian nama bahasa Melayu Pasar telah diadopsi para pemuda dengan memberi nama sendiri sebagai Bahasa Indonesia. Sejak inilah ikrar satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa (Indonesia) dikenal hingga ke hari ini.


Mengapa disebut Bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia? Seperti disebut di atas, nama Indonesia sudah diadopsi tahun 1917 di Belanda tidak hanya orang pribumi (baca: Orang Indonesia), juga oleh orang Belanda dan orang Cina. Tentang nama Bahasa Indonesia ini sebelum Kongres Pemuda 1928 sudah diketahui secara luas. Hal seperti itu juga dengan nama Indonesia, sudah dikenal secara luas 1917 telah diadopsi.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar