*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Pada hari ini tanggal 22 Juni diperingati
sebagai Hari Ulang Tahun Kota Jakarta yang ke 498 tahun. Penanggalan ini
didasarkan pada Nama itu diberikan oleh orang-orang dari Demak dan Cirebon di
bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan
Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Usia 498 tahun belumlah tua. Orang
Eropa pertama, pelaut-pelaut Portugis di Malaka dimulai tahun 1511. Kota
Binanga sebagai Minanga di seberang Malaka di pantai timur Sumatra di wilayah
percandian Padang Lawas sudah disebut pada prasasti Kedoekan Boekit yang
berasal dari tahun 682.
Jakarta, sudah beberapa kali berganti nama dalam beberapa periode yang tercantum sebagai berikut: Sunda Kelapa (397-1527); Jayakarta (1527-1619); Batavia (1619-1942); Djakarta Tokubetu Si (1942-1945); Djakarta (1945-1972); Jakarta (1972-sekarang). Nama Jakarta merupakan kependekan dari kata Jayakarta, yang berasal dari kata bahasa Sanskerta jaya (kemenangan), dan krta (kemakmuran), sehingga Jayakarta berarti kota kejayaan dan kemakmuran. Nama itu diberikan oleh orang-orang dari Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Sejarawan Portugis, João de Barros, dalam Décadas da Ásia (1553) menyebutkan keberadaan "Xacatara dengan nama lain Caravam (Karawang)". Sebuah dokumen (piagam) dari Banten (k. 1600) yang dibaca ahli epigrafi Van der Tuuk juga telah menyebut istilah wong Jaketra, demikian pula nama Jaketra juga disebutkan dalam surat-surat Sultan Banten. Laporan Cornelis de Houtman tahun 1596 menyebut Pangeran Wijayakrama sebagai koning van Jacatra (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah HUT Jakarta 498 tahun, apakah terlalu muda atau terlalu tua? Seperti disebut di atas, tanggal 22 Juni diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Kota Jakarta yang ke 498 tahun dimana pada tanggal 22 Juni 1527 Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa (Portugis) pada tanggal 22 Juni 1527. Lalu bagaimana sejarah HUT Jakarta 498 tahun, apakah terlalu muda atau terlalu tua? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
HUT Jakarta 498 Tahun, Apakah Terlalu Muda atau Terlalu Tua? Kerajaan Demak, Tjirebon dan Portugis
Sejarah Jakarta merujuk pada nama Jakarta itu sendiri. Meski sudah diketahui nama Jakarta pada era Portugis, tetapi di dalam peta-peta Portugis tidak/belum ditemukan nama Jakarta. Mengapa? Tidak semua nama yang dicatat oleh pelaut Portugis diidentifikasi oleh para ahli pembuat peta (kartografer) di dalam peta. Hal itu karena saat itu peta (yang dipublikasikan) dijadikan sebagai peta navigasi dalam pelayaran perdagangan. Hanya nama-nama penting secara perdagangan yang ditetapkan para pembuat peta di dalam peta sebagai penanda navigasi pelayaran perdagangan.
Penulis-penulis Portugis terdahulu seperti Tome Pires (1512-1515) tidak mencatat nama Jakarta dan juga belum mencatat nama Calapa (kini Sunda Kelapa). Nama Jakarta baru ditemukan pada tahun 1527 dalam buku Joao de Barros. Joao de Barros mencatat tujuh nama (tempat) di di pantai utara Jawa, yakni: Chiamo, Xacatara, Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang dan Bantam. Penulis-penulis geografi Belanda pada masa Pemerintah Hindia Belanda seperti Prof PJ Veth telah mengidentifikasi nama-nama tersebut: Chiamo sebagai Tjimanoek (Indramajoe), Xacatara sebagai Jacatra, Caravam sebagai Karawang, Tangaram sebagai Tangerang, Cheguide (Tjikande), Pondang (Pontang) dan Bantam (lihat Tijdschrift van het Aardrijkskundig Genootschap, 1906, 01-01-1906). Mendes Pinto (1539) tidak menyeburt nama Jakarta, tetapi dapat diinterpretasi, sudah tentu nama Jakarta sudah ada jauh sebelum tahun 1527.
Peta-peta (yang bersumber dari pelaut Portugis) yang digunakan oleh pelaut Belanda pertama yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597) hanya mengidentifikasi nama Cunda Calapa. Lantas dimana posisi GPS Jakarta yang ditemukan dalam buku Joao de Barros? Nama Cunda Calapa baru ditemukan dalam laporan Duarte Barbosa (1518). Oleh karena itu, Cunda Calapa dan Xacatara adalah nama tempat yang berbeda. Nama Jakarta sebagai Jacatra muncul dalam laporan Cornelis de Houtman dan dalam laporan Jan Pieterszoon Coen.
Ini bermula, Jan Pieterszoon Coen mengambil posisi dan membangun benteng di pulau Ontong Java (kelak disebut benteng Amsterdam). Alasannya ingin melindungai (kerajaan) Jacatra dari (kesultanan) Banten, Jan Pieterszoon Coen yang telah menjadi Gubernur Jenderal VOC menaklukkan Jacatra dan mendudukinya pada tahun 1619. Penaklukan dan pendudukan ini berawal dari kecelakaan yang terjadi yang disebabkan pihak kerajaan dengan kerugian di pihak VOC/Belanda. Perjanjian pun dibuat dengan raja Jacatra. Sejak saat inilah Jan Pieterszoon Coen memulai membangun benteng (kasteel) sebagai kota yang disebut Batavia tetapt berada di muara sungai Tjiliwong. Sementara itu kota Jacatra berada jauh di arah hulu sungai Tjiliwong. Cunda Calapa berada diantara dua tempat tersebut di daerah aliran sungai Tjiliwong.
Jan Pieterszoon Coen (1619) telah mengidentifikasi secara baik dimana kira-kira posisi GPS Jakarta pada tahun 1527 yang dilaporkan oleh Joao de Barros, yakni di arah hulu Cunda Calapa. Dalam Peta Batavia (sketsa kasar dan keterangannya) yang dibuat Jan Pieterszoon Coen pada tahun 1619 hanya menggambar suatu rencana pembangunan kasteel Batavia dan area pengembangannya di sekitar kasteel (lihat Peta sketsa Batavia, 1619). Berdasarkan laporan pelaut-pelaut Belanda di kasteel Batavia, para pembuat peta (kartografer) Belanda mempublikasikan Peta Batavia pada tahun 1625.
Di dalam Peta 1625 tidak hanya kasteel Batavia yang telah tergambarkan (termasuk bastion-bastionnya) tetapi juga area kota Batavia sendiri di sisi timur sungai ke arah hulu sungai hingga di suatu belokan sungai berupa area-area Reduit berupa kota-kota (sebagai benteng-benteng kecil) yang berpusat di Stadhuis (balai kota). Di luar area VOC/Belanda, antara satu Reduit dengan sisi sungai diidentifikasi suatu gereja (kerk). Oleh karena gereja ini berada di luar area VOC, diduga gereja itu adalah gereja Portugis. Di arah hilir gereja di seberang sungai diidentifikasi bangunan orang Inggris (het Engelsche huis). Posisi GPS bangunan Inggris diduga kuat berada di kawasan (pelabuhan) Cunda Calapa. Last but not least: di arah hulu sungai, di sebelah timur area VOC diidentifikasi pekububuran Cina (Chineesche graven). Pekuburan tersebut berada di sisi utara sungai yang mana diidentifikasi suatu jembatan ke arah sisi selatan sungai.
Dimana posisi GPS pekuburan Cina tampaknya menjadi sangat penting. Hal ini merujuk pada laporan Jan Pieterszoon Coen (1619) yang menyebutkan Jacatra berada di arah hulu sungai. Identifikasi pekuburan Cina seakan mengindikasikan area pemukiman Cina tidak jauh dari area itu juga. Orang-orang Cinalah yang diduga melakukan aktivitas perdagangan jauh ke hulu sungai di wilayah pedalaman, sementara Batavia menjadi kota baru perdagangan dan Cunda Calapa yang masih eksis sebagai kota (pelabuhan) perdagangan lama. Apakah hal ini yang menyebabkan ditemukannya nama kampong kecil di hulu sungai Tjiliwong yang diidentifikasi sebagai Pondok Tjina (area Margocity yang sekarang).
Lukisan Andries Beekman yang dibuat pada tahun 1656, yang menggambarkan Kastil Batavia dilihat dari Kali Besar Barat adalah gambar tertua yang diketahui tentang Batavia. Memang ada yang memuat lukisan pertempuran Batavia tahun 1628 (dimana Mataram yang didukung Banten menyerang kasteel Batavia), tetapi gambar itu diduga jauh setelah kejadian (tidak diketahui tahun berapa dibuat).
Nama Jakarta baru ditemukan pada peta-peta VOC/Belanda yang dibuat tahun 1682. Dalam peta 1682 posisinya d arah hulu sungai seperti yang dilaporkan oleh Jan Pieterszoon Coen (1619). Namun apakah nama Jacatra dalam Peta 1682 adalah posisi GPS Xacatara tahun 1527 yang dilaporkan Joao de Barros? Posisi GPS nama Jacatra dalam peta ini berada di sisi utara/timur sungai jauh di hulu dari pekuburan Cina.
Dengan membandingkan Peta 1625 dan Peta 1682, satu hal yang penting
diperhatikan adalah mengapa pekuburan Cina, (kota) Jacatra/Xacatara dan kastel
Batavia berada di sisi sungai yang dekat (mengarah) ke pantai? Berbeda dengan
kota Cunda Calapa di sisi barat sungai yang mengarah ke pedalaman. Berdasarkan
Peta 1625, kasteel (dekat muara sungai) dan pekuburan Cina di sisi timur/utara
sungai di belakangnya terdapat rawa-rawa yang luas ke arah pantai. Hal itu juga
kurang lebih sama dengan area dimana Xacatara/Jacatra berada.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kerajaan Demak, Tjirebon dan Portugis: Daerah Aliran Sungai Tjiliwong Diantara Daerah Aliran Sungai Tjilengsi dan Daerah Aliran Sungai Tjisadane
Dimana letak atau posisi GPS nama Xacatara (1527) yang dilaporkan oleh Joao de Barros masih tetap menjadi pertanyaan. Mengapa penting itu dicari, karena nama Xacatara adalah nama Jakarta sekarang pertama kali keberadaannya diinformasikan pada tahun 1527. Lalu tahun ini pula pada masa sekarang yang menjadi origin HUT Jakarta yang ke 498 tahun.
Seperti disebut di atas, nama Batavia muncul pada tahun 1619. Nama suatu
benteng (kasteel) VOC/Belanda yang kemudian menjadi kota (stad) Batavia. Pada
masa Pemerintah Hindia Belanda (sejak 1800), nama kota (stad) Batavia kemudian
dijadikan juga sebagai nama wilayah (residentie). Pada masa pendudukan militer
Jepang (1842-1845) nama Batavia digantikan dengan nama Djakarta sebagai nama
kota dan juga nama wilayah. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan, nama
Batavia kembali dipulihkan oleh pihak Belanda/NICA. Pada awal tahun 1950 nama
Djakarta dipulihkan kembali (lihat (lihat De vrije pers: ochtendbulletin,
21-01-1950). Nama Djakarta inilah yang tetap bertahan hingga masa ini dengan
ejaan yang disesuaikan (Jakarta).
Sambil mencari data dan informasi dimana posisi GPS Xacatara pada tahun 1527, ada baiknya diperhatikan terlebih dahulu bagaimana situasi dan kondisi geomorfologis Xacatara/Djakarta/Jakarta dari masa ke masa. Seperti disebut di atas Cunda/Zunda Calapa, pada masa lampau adalah suatu pulau, dimana di pulau ini terbetuk pusat perdagangan, yang kemudian pelaut-pelaut Portugis menamainya di dalam peta mereka sebagai Zunda Calapa.
Calapa adalah cara pelaut Portugis dengan aksara Latin menulis nama pulau
Kalapa (klapa/kelapa). Dalam hal ini nama pulau atau pelabuhan sebelum
kehadiran pelaut Portugis adalah Kalapa. Bagaimana dengan Zunda (Portugis) atau
Cunda (Belanda)? Dalam peta awal Portugis (lihat Peta 1560) diidentifikasi nama
pulau kecil yang diberi nama Sunda diantara pulau Jawa dan pulau Sumatra
(kemudian ditulis Zunda). Tidak terinformasikan mengapa pelaut Portugis
menuliskan nama pulau itu dengan nama Zunda? Yang jelas, nama pulau Zunda
inilah kemudian yang digunakan menjadi nama selat (Zunda Straat/Selat Sunda).
Nama Selat Sunda masih eksis hingga kini tetapi nama pulau Sunda/Zunda telah
menghilang. Pulau Zunda pada pada peta Portugis kini disebut pulau Sangiang. Dalam
hal ini nama pulau Sunda telah menghilang, tetapi nama Sunda masih tetap
lestari sebagai nama selat. Apakah dari nama selat atau pulau Zunda itu yang
digunakan untuk mengidentifikasi kelompok populasi (sebagai nama suku Sunda)
pada masa ini?
Pelaut-pelaut Portugis, dalam navigasi pelayaran perdagangan menamai pelabuhan Kalapa dengan nama Zunda Calapa (baca: Sunda Kelapa). Pelabuhan Kalapa ini pada saat itu diduga tepat berada di muara sungai Tjiliwong (sisi sebelah barat sungai). Namun sekitar satu abad kemudian pada saat kehadiran pelaut-pelaut Belanda, pelabuhan Zunda Calapa posisi geografisnya sudah berada agah jauh dari muara sungai Tjiliwong. Dalam peta-peta Belanda kemudian penulisan Zunda Calapa oleh pelaut Belanda menjadi Sonda Calappa.
Perubahan posisi relatif dimana posisi GPS pelabuhan Zunda Calapa/Sonda Calappa diduga kuat karena telah terbentuk daratan baru akibat proses sedimentasi jangka panjang. Di hilir muara sungai Tjiliwong terbentuk daratan baru (delta) sehingga pada akhirnya muara sungai semakin jauh ke tengah perairan lautan.
Oleh karena itu, secara geomorfologis hilir
sungai Tjiliwong awalnya adalah perairan. Seperti disebut di atas, pada era
Calapa (sebelum kehadiran pelaut Portugis) adalah pelabuhan yang terbentuk baru
tepat berada di suatu pulau (daratan baru, yang terbentuk dari proses
sedimentasi jangka panjang). Lalu bagaimana dengan Xacatara?
Pada
era Portugis (1527),
Xacatara haruslah diinterpretasi sebagai suatu pulau juga. Kedua pulau tersebut
(Calapa dan Xacatara) terdapat pemukiman para pedagang yang menjadi dua
pelabuhan yang berdekatan. Pulau Calapa diduga kuat menjadi pusat perdagangan
ke pedalaman melalui sungai Pesanggrahan/sungai Angke, dan pulau Xacatara
menjadi pusat perdagangan ke pedalaman melalui sungai Tjiliwong dan sungai Soenter.
Lantas mengapa di buku Joao de Barros hanya menyebut nama Xacatara, tidak menyebut nama Calapa? Joao de Barros hanya mencatat nama-nama Chiamo, Xacatara, Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang dan Bantam, nama-nama yang diduga saat itu merupakan pelabuhan-pelabuhan terpenting di pantai utara Jawa (baca: bagian barat).
Seperti kita lihat nanti, Cirebon adalah suatu pulau. Bagaimana dengan
Demak? Demak pada era Portugis masih berada di garis pantai. Bagaimana bisa?
Sebagaimana di hilir sungai Tjiliwong terjadi proses sedimentasi jangka
panjang, di wilayah Cirebon dan di wilayah Demak juga telah terjadi proses
sedimentasi jangka panjang yang menyebabkan perairan menjadi, awalnya terbentuk
rawa-rawa dan kemudian terbentuk daratan baru.
Pada awal kehadiran pelaut Portugis, Demak adalah suatu kerajaan kuat yang memiliki kekuatan maritim di pantai utara Jawa. Namun kapan (kerajaan) Demak menjadi kekuatan maritim tidak terinformasikan. Fakta bahwa pelaut-pelaut Portugis yang berlayar ke Jawa pada tahun 1511 tidak menginformasikan nama Demak.
Orang pertama Eropa yang membandingkan data dan informasi pada era Portugis dengan era VOC/Belanda dan era Pemerintah Hindia Belanda adalah J Hageman Jcz, yang hasil kajiannya dimuat dalam Natuurkundig tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1868, Deel: XXX dengan judul Over het Rijzen der Kusten van Oostelijk Java en Madoera (Tentang naiknya pantai Jawa Timur dan Madoera). Sayang sekali hanya terbatas di Jawa bagian timur. Dalam arttikel J Hageman Jcz disebutkan pada bulan Desember 1511, Antonio d’Abreu datang ke Grissée (Agacimum, Agacai, Agasy) dan Antonio de Brito pada tahun 1521. Antonio de Brito pertama-tama berlayar ke pelabuhan Toeban, kemudian ke Grissee, "tempat utama" di wilayah-wilayah ini: "Dan karena pulau Madura di seberang Grissee mengundang, Brito mengirim sekoci ke sana dengan tujuh belas orang, yang berlayar ke pulau memasuki muara sungai (inilah penyebutan pertama nama Madoera oleh penulis Eropa). Catatan sejarah Grissée (kini Gresik) bermula pada tahun 1382, umat Islam pertama yang datang dari tempat lain untuk mempersiapkan diri di tanah daratan di Jawa, mendarat di suatu tempat, tepat di kaki bukit, di tepi pantai, dan menyebut tempat itu: "Gerwarassi". Putra-putra mereka menetap untuk mengajar, satu jam lebih jauh ke timur, juga di tepi pantai dan di kaki bukit kapur, dan menyebut tempat itu "Kissiek", dan setelah kematian ayah mereka, tempat pertama itu disebut: "Rorno" (tempat tinggal ayah--Roemo), dan tempat tinggal putra-putranya "Gersiek". Pada tahun 1420 datang seorang pedagang terkemuka dari tempat lain datang untuk menetap di pantai laut, tepat di sebelah timur tempat yang disebut "Kissiek"; dia memiliki sebuah kapal.
Dari laporan pertama Portugis ini, tampaknya
pelaut-pelaut Portugis dari Malaka langsung ke Toeban dan Gresik plus Madoera
(Arosbaja?). Ini seakan mengindikasikan pada saat itu, nama Demak dan Tjirebon
belum begitu penting dalam navigasi pelayaran perdagangan. Lantas mengapa
nama-nama tempat di Jawa bagian timur begitu banyak nama penting dalam navigasi
pelayaran perdagangan? Boleh jadi itu terkait dengan nama-nama yang disebut
dalam teks Negarakertgama (1365). Dalam teks Negarakertagama sudah disebut nama
Madura dan Surabaja.
Apakah benar-benar ada pulau di masa lalu yang berada di tengah-tengah kota Cirebon yang sekarang? Nama Tjirebon dihubungkan dengan nama sungai (Tji). Pada Peta 1724, kota Cirebon yang sekarang bermula di suatu titik (benteng) dimana benteng itu berada di bagian dalam teluk. Sementara di tengah teluk diidentifikasi suatu pulau kecil. Pulau kecil inilah yang dipertanyakan dalam artikel ini, sebagai suatu pulau di masa lampau (tetapi kini telah menyatu dengan daratan, dimana teluk sepenuhnya menjadi daratan baru). Origin kota Cirebon tersebut diduga kuat bermula di benteng. Sebutlah pulau di dalam teluk itu sebagai pulau Cirebon. Pertanyaan yang ingin dijawab dimana pulau Cirebon itu kini berada? Secara geomorfologis, dalam perkembangannya, pulau kecil itu semakin meluas dan juga daratan di semua sisi teluk juga semakin melauas. Perluasan tersebut terjadi karena proses sedimentasi jangka panjang. Akibat dari proses sedimentasi jangka panjang yang menyebabkan meluasnya daratan, maka akan terbentuk dua jalan air (terbentuk sungai baru) dengan menemukan cara sendiri menuuju ke pantai/laut. Dua jalur air/sungai baru haruslah berada di utara dan di selatan eks pulau tersebut. Berdasarkan peta-peta lama era Pemerintah Hindia Belanda, dua jalan air/sungai baru itu diduga adalah sungai Soekaliah yang juga disebut Kali Anjar berada di arah utara (pulau kecil), dan sungai Pasoeketan di arah selatan (pulau kecil). Di daerah aliran sungai Pasoeketan inilah kemudian eksis menjadi pusat perdagangan yang baru. Di sisi selatan sungai Pasoeketan ini diidentifikasi area kraton Kanoman. Dalam hal ini, area kraton Kanoman di masa sebelumnya berada di sisi selatan teluk (sementara di sisi utara/barat teluk diduga berada benteng VOC). Posisi GPS benteng VOC ini pada masa kini diduga berada sekitar alun-alun (atau tidak jauh dari alun-alun). Untuk menduga dimana posisi GPS pulau Cirebon, yang diduga berada diantara sungai Soekalilah/Kali Anjar dan sungai Pasoeketan, hanya satu sumber data yang dapat digunakan untuk menjelaskannya. Secara geomorfologis, untuk menduga dimana posisi GPS pulau Cirebon dapat menggunakan data ketinggian permukaan tanah (dalam meter). Pulau kecil tersebut haruslah lebih tinggi tanahnya terhadap wilayah sekitarnya. Posisi dimana di masa lampau pulau kecil tersebut, pada masa ini berdasarkan geomorfologis diduga berada di sekitar kelurahan Pakalangan. Dalam Peta 1886 diidentifikasi nama gunung yang disebut Goenoeng Djati. Tinginya 60 meter. Di sisi utara gunung terdapat sungai Tjendong dan di sisi selatan sungai Djaga Pekik. Di sisi barat gunung ada jalan raya (dari kota Cheribon). Jalan ini di dalam kota melalui tepat berada di sisi utara kraton Kanoman yang sekarang (terus ke kota). Pada tahun 1913 terdapat satu arikel yang mengaitkan nama orang suci dengan tempat yang disebut Goenoeng Djati (lihat De expres, 29-12-1913). ‘…Pada tahun 1398 pangeran orang Melayu, Mantsur Shah, seorang muslim, dengan sengaja datang ke Djawa untuk menikahi putri raja Padjadjaran Tjioeng Wanara, mualaf pertama diperoleh disana dengan banyak pengikutnya. Namun, yang pertama datang dengan tujuan untuk mewartakan Islam adalah Syekh Nuru’ddin Ibrahim ibn Maulana Israil. Melalui berbagai perjalanan sebagai pasangan dagang (kongsi) di Djohor, Malaka, Atjeh, Pasir dan daerah lainnya, ia telah memperoleh banyak pengetahuan tentang penduduk. Dia menetap di Goenoeng Djati, tidak jauh dari tempat yang sekarang disebut Cheribon, menjalani kehidupan suci disana, mengajar Alquran dan mendapat pujian besar, terutama untuk penyembuhan seorang penderita kusta, sehingga dia segera memiliki banyak pengikut sampai bahkan di wilayah pedalaman yaitu di lanskap Galoe, Limbangan, Soekapoera dan di bagian timur kerajaan Pajajaran, selanjutnya di Indramajoe, Cheribon, Brebes, Koeningan, Madjalengka, Bandoeng, Soemedang, setelah itu dia bergelar Soesoehoenan Goenoeng Djati dan kemudian menjadi pendiri dinasti para sultan Cheribon. Putranya Hassan Ad’din mendakwahkan Islam di Banten Girang (Bantam). Konversi ini menggerogoti wibawa penguasa Padjadjaran, Prabu Siliwangi, yang saat itu berkuasa…’. Pada Peta 1724 ditempat dimana pemakaman yang dimaksud dalam berita di atas, diidentifikasi tidak sebagai nama gunung, tetapi dengan nama Astana atau tempat suci (heylige graf). Tempat suci yang dimaksud diduga adalah tempat makam orang suci. Lalu bagaimana dengan nama Astana? Diduga nama Astana adalah suatu istana (temp doeloe) dimana eks istana itu kemudian dijadikan tempat (makam) suci. Dalam Peta 1724 terdapat sungai Tsilangsiang di sebelah utara dan sungai Quali Sapoe di selatan. Sungai Tsilangsiang ini diiduga berubah nama menjadi sungai Tjendong (kini sungai Condong). Nama sungai Qualu Sapoe tetap sama (kini sungai Kali Sapu). Tempat makam suci diduga sudah ada sejak masa lampau yang juga disebut Astana. Bagaimana dengan nama gunung yang amanya diidentifikasi Goenoeng Djati? Apakah lebih dulu eksis nama Goenoeng Djati dari adanya tempat pemakaman? Tampaknya Goenoeng Djati sebagai nama tempat lebih awal eksis dan baru kemudian ada kuburun suci (di wilayah Goenoeng Djati) tersebut.
Pelaut-pelaut Portugis seperti Tome Pires (1512-1515)
melaporkan nama Tjirebon dan Demak dan kemudian tahun 1527 yang dicatat dalam buku Joao de Barros seperti nama-nama tempat Chiamo, Xacatara, Caravam, Tangaram, Cheguide,
Pondang dan Bantam. Dalam laporan Mendes Pinto (1537-1539) menyebut nama
Banten dan nama Demak.
Peta tertua pulau Jawa yang ditemukan pada masa ini adalah berasal dari era Portugis (Peta 1521). Namun peta hanya mengindikasikan bentuk pulau Jawa yang digambarkan hanya dengan sangat sederhana. Gambaran yang lebih baik pulau Jawa baru beberapa decade setelahnya ditemukan dimana dalam peta itu sudah diidentifikasi sejumlah nama tempat (kita) di pulau Jawa, yakni: Jepara, Mandalika dan Tuban. Dalam peta itu kota Mandalika berada di pantai (daratan Jawa), suatu yang berbeda dengan situasi dan kondisi masa ini berada di sebuah pulau di utara antara Kota Jepara dan Kota Rembang. Meski Mendes Pinto (1537-1539) sudah muncul nama Demak, tetapi di dalam Peta 1521 nama yang ada hanya nama Jepara. Boleh jadi itu adalah peta lama, tetapi laporan terbaru para pelaut Portugis belum dimasukkan para ahli kartografi ke dalam peta. Dalam ekspedisi Tiongkok yang dipimpin oleh Cheng Ho pada permulaan abad ke-15, tidak ditemukan indikasi yang kuat tentang Jepara, tetapi indikasi ekspedisi itu mencapai Semarang. Situs Cheng Ho (kini diduga Klenteng Sam Poo Kong) tidak berada di pantai pada masa ini tetapi di pedalaman. Lokasi dimana klenteng ini berada diduga di masa lampau era Cheng Ho muara sungai Semarang (masih) berada. Dalam bahasa sekarang, klenteng itu kini berada di antara kota Semarang Bawah dan Kota Semarang Atas. Tampaknya wilayah Semarang dan sekitar bukanlah wilayah yang penting/strategis bagi Portugis. Klenteng Sam Poo Kong sudah jauh berada di pedalaman. Hal itu diduga yang menyebabkan wilayah Semarang dan sekitar tidak ditemukan peta-peta lama Portugis kecuali peta awal yang mengindikasikan kota Jepara dan Mandalika. Besar dugaan pada era Portugis Kerajaan Demak adalah kerajaan yang namanya saling dipertukarkan antara Jepara dan Demak. Pada masa tertentu nama Jepara yang dikenal asing dan pada masa yang lain yang dikenal nama Demak. Dimana kota Demak dan kota Jepara diduga sama-sama berada di pantai. Pada masa ini kota Jepara tetap berada di pantai, lalu mengapa kota Demak seakan berada di pedalaman?
Pada Peta 1561 nama-nama yang diidentifikasi di pulau Jawa adalah Iapara, Mandalica (di tengah), Toebam (di timur) dan Agachi (Gresik di selatan?). Empat nama di sebelah barat Japara sulit dipahami, yakni nama-nama Aurbam (Ambarawa?), Carba (Cirebon?), Agoadadaluyan (Karawang?), Pariebapor (Soekapoera?) dan Antropophagy. Catatan: Peta yang diterbitkan tahun 1561 ini diduga adalah peta lama yang dibuat pada permulaan kehadiran Portugis.
Dalam peta-peta yang dikumpulkan para pelaut-pelaut Portugis yang kemudian digunakan para ahli kartografi, peta yang diterbitkan pada tahun 1528 bentuk pulau Jawa yang digambarkan jauh dari sempurna (lihat Bordon, Benedetto, 1450-1530). Dalam peta tersebut diidentifikasi kota-kota (tidak hanya di pantai, tetapi ada yang jauh di belakang pantai/pedalaman). Dalam peta yang ditampilkan di atas, Peta 1561, dalam peta pulau Jawa diidentifikasi nama Aurbam (diduga Ambarawa), Iapara (Jepara), Mandalica (pulau Mandalika) dan Tubam (Tuban). Pada Peta 1561 di pantai utara di barat laut diidentifikasi pulau Sunda dan pulau Nueupora. Nama-nama lain yang diidentifikasi yang kurang dikenal masa ini adalah Carbao (Tjirebon?), Agoadadaluym (Indramajoe?), Pariebapor (Poerwakarta?) dan Antropophagi (Papangga atau Papanggo di Soenter?) di laut Mare Machianum (laut Jawa). Laut di selatan pulau (Jawa) disebut Oceanus Indicus (lautan India), Nama-nama tempat tersebut pada Peta 1561 diduga adalah nama-nama pelabuhan penting saat awal kehadiran Portugis. Satu yang penting dalam hal ini, nama Sunda awalnya adalah nama sebuah pulau (kecil). Sejumlah orang Portugis ke Jawa antara lain Tome Pires (lihat bukunya) dan Mendes Pinto (lihat bukunya). Dalam dua buku tersebut tidak tergambarkan peta pulau Jawa.
Tampaknya perlu diperhatikan penulisan nama Iapara
(Portugis), Japara (Eropa lainnya), Djapara (Belanda). Hal itu juga ada
transisi dari penulisan Iacarta/Iacatra dengan Jacatra. Demikian juga dengan
penulisan Idaru (Ilha de Aru, Ilha d’aru) dan Idayu (Portugis), Cidayo
(Belanda) (kemudian Sidayu) serta Iuama (Yoana, Jawana) dan di Sumatra, Iambi
(Jambi?) dan tentu saja Iava sendiri, Ilha dalam peta-peta Portugis adalah
pulau. Sementara untuk daratan (Tanah) adalah Terra.
Dalam bahasa Portugis kuno, huruf 'i' dan 'j' memiliki perbedaan yang tipis dan seringkali digunakan secara bergantian, terutama dalam tulisan. Huruf 'j' pada dasarnya merupakan varian dari 'i' yang diperpanjang dan sering digunakan pada akhir kata atau dalam nama. Pengucapannya pun bervariasi, tetapi pada dasarnya mirip dengan pengucapan 'y' dalam bahasa Inggris atau 'i' dalam bahasa Indonesia. Demikian hasil analisis Mr AI di Wikipedia. Perbedaan dan Penggunaan: Bentuk: 'j' muncul sebagai varian dari 'i' dengan tambahan ekor, terutama pada akhir kata atau dalam nama. Pengucapan: Pengucapan 'j' pada masa lalu bisa mirip dengan 'y' dalam bahasa Inggris atau 'i' dalam bahasa Indonesia. Penggunaan dalam nama: 'j' sering digunakan untuk awalan atau akhiran pada nama, seperti "Jacopo" (yang sekarang Giacomo) atau nama belakang "Spendierj". Tidak semua kata: Penggunaan 'j' terbatas pada nama dan tidak digunakan secara umum untuk semua kata benda. Contoh: Jacopo: Nama yang sekarang ditulis dengan "Giacomo" dulunya ditulis dengan "Jacopo". Spendierj: Nama belakang yang menggunakan 'j' pada akhirnya. Perkembangan: Seiring waktu, perbedaan antara 'i' dan 'j' dalam bahasa Portugis mulai jelas, dan pengucapan 'j' menjadi lebih terstandarisasi. Namun, jejak penggunaan bergantian dan pengucapan yang mirip dengan 'y' masih terlihat dalam sejarah bahasa Portugis.
Meski penggunan huruf i dan j dalam bahasa Portugis
kuno saling dipertukarkan, tetapi dalam pengidentifikasian sumber sejarah dalam
penulisan nama tempat tetap perlu di perhatikan. Misalnya Iava, Iapara dan Iacatra
di satu sisi dan Idaru dan Idayu. Dalam hal ini Idaru didiga reduksi dari Ilha
de Aru, Ilha d’Aru dan Idaru; demikian juga dengan Ilha de Ayu, Ilha d’ayu dan
Idayu (kemudian menjadi menjadi Tjidayu atau Sidayu). Kata aru diartikan
sebagai air atau sungai (di Sumatra) dan kata ayu yang bisa jadi reduksi dari
bayu (air atau singai) di Jawa. Pada era Portugis di selat Malak terdapat beberapa
nama pulau disebut pulau Vera, pulau Parra dan pulau Pera.
Banyak garis pantai yang telah berubah (meninggi dan menjorok ke lautan)
setelah tiga abad di pantai timur Oost Java (lihat Over het Risejzen der Kusten
van Oostelijk Java en Madoera door J. Hageman, Jcz in Natuurkundig tijdschrift
voor Nederlandsch-Indië, 1868, Deel: XXX). J. Hageman, Jcz, selain telah
disebut di atas eraPortugis, juga membandingkan hasil pelayarannya dengan
deskripsi yang ditemukan dalam laporan ekspedisi Belanda pertama yang dipimpin
Cornelis de Houtman, Januari 1597 terutama pada titik-titik dimana kapal
Hollander kandas dan menabrak karang. Perubahan yang diamati oleh J. Hageman,
Jcz juga di hilir suatu daerah aliran sungai seperti delta: (1) Delta
Sitoebondo. Pada peta Relandus, sekitar tahun 1690, dan juga oleh Valentijn,
sebuah pulau muncul di sudut timur laut delta Surabaya, dan disebut Silome,
Zilkome. Sebuah tradisi yang tidak jelas menyebutkan sebuah pulau di sana, yang
disebut Siloman, yang sekarang menjadi bagian dari pantai delta di
Larangan-Géndjeran. (Lihat peta: vaarwater Janssen, 1848). Akan tetapi,
sedikit ke tenggara terdapat Karang-lantong dan Karang-kletto, di jalur lebar
tepian sepanjang pantai delta; dan ini juga disebut sebagai Siloman lama. Karang
kekeringan Karang-koko, sebelumnya di peta Zwartjes, sekarang Zwaantjesdroog,
tampaknya telah dikenal selama lebih dari seratus tahun. Saya menemukan sebutan
itu bahkan sebelum tahun 1773, rekaman pada tahun 1822 dan 1824. Perluasan akan
lebih disebabkan oleh daya kerja hewan karang yang diketahui daripada
pengangkatan. (2) Delta Soerabaya. Entah airnya menyusut, baik di sepanjang
pantai utara maupun timur, atau pantainya terangkat karena akresi, atau
dasarnya terangkat. Sungai utama, satu-satunya jalur air pedalaman, adalah
Brantas, yang dasarnya semakin tinggi dan tinggi; namun tanah-tanah yang
sebelumnya diairi menjadi kering dan tetap kering. Bagian selatan, dua distrik,
yang disebut Ilawapoeloe, masih ada enam puluh tahun yang lalu, sebagaimana
namanya menunjukkan, rawa-pulau dan pulau-rawa. Ini adalah kesaksian saksi mata
dari orang-orang sezaman yang masih hidup. Pantai timur delta, selebar tiang ke
laut, dan sepanjang tepian yang berjarak tujuh jam berjalan kaki, bertambah dan
bertambah, mungkin dalam proses terangkat. Di sana, di mana seluruh bangunan
maritim sekarang dibangun, di laut di utara, Daendels membangun benteng Kalimas
di sebuah pulau pada tahun 1809. Saya sendiri telah melihat benteng dan pulau
itu serta sekitarnya. Pada tahun 1807 jalan dari Grissee ke Soerabaya
membentang jauh ke selatan; dan tikungan, yang sekarang disebut Pishoek, bagian
barat laut tepian delta, kemudian masuk jauh ke pedalaman. Intinya dalam temuan
J. Hageman, Jcz pada era Portugis selat Madura sangat lebar dan beberapa pulau
terdapat di tengah, salah satu kelak disebut pulau Mangare. Pelaut-pelaut
Portugis pertama ke selat ini pada bulan Desember 1511, Antonio d’Abreu datang ke
Grissée (Agacimum, Agacai, Agasy) dan Antonio de Brito pada tahun 1521. Antonio
de Brito pertama-tama berlayar ke pelabuhan Toeban, kemudian ke Grissee,
"tempat utama" di wilayah-wilayah ini.
Hal lainnya yang menarik tentang pantai utara Jawa adalah pulau-pulau kecil. Seperti disebut di atas, dalam peta awal Portugis (Peta 1561) hanya disebut beberapa nama kota yakni Banten, Jepara, Mandalika dan Tuban. Dalam peta ini digambarkan kota Mandalika berada di (wilayah) pantai (berada di antara kota Japara dan kota Tuban).
Dalam peta-peta era Belanda/VOC nama Mandalika masih diidentifikasi. Lalu
mengapa nama Mandalika dua abad kemudian disebut (berada di) sebuah pulau
(lihat Bataviasche koloniale courant, 11-05-1810). Disebutkan Kapten Brower
yang memimpin pasukan memberitahu Pulau Mandalika setelah bertempur dengan
beberapa kapal bajak laut. Besar dugaan wilayah Mandalika pernah mencakup
daratan/pesisir dan kemudian terusir dan hanya tersisa di pulau Mandalica.
Kota Tuban berada di suatu pesisir (ujung) daratan. Gresik juga suatu (ujung) daratan pada awal kehadiran pelaut Portugis. Di antara dua kota pelabuhan ini adalah wilayah rawa-rawa, yang diduga dulunya suatu teluk besar dimana sungai (Bengawan) Solo bermuara. Dalam hal ini Gresik awalnya suatu pulau, tetapi pulau Surabaja sudah lebih dahulu menyatu dengan daratan. Nama Surabaya paling tidak sudah disebut pada teks Negarakertagama (1365).
Pada permulaan kehadiran pelaut Portugis, Antonio d’Abreu (1511) dan Antonio
de Brito (1521) hanya menyebut nama Tuban dan Gresik dan belum menyebut nama
Sidayu dan Mangare. Pulau-pulau yang berada di teluk (antara Tuban dan Gresik
di suatu teluk dimana sungai Solo bermuara) kemudian diidentifikasi dalam peta
Portugis nama Idayu. Dalam konteks inilah diduga Idayu awalnya adalah suatu
pulau (Ilha de B/ayu?). Pulau ini kemudian menyatu dengan daratan dan pulau
yang tersisa yang diidentifikasi pada awal kehadiran Belanda sebagai pulau
Mangare. Lebih lanjut, sebagaimana disebut J. Hageman, Jcz pada masa Pemerintah
Hindia Belanda, pulau Mangare ini telah menyatu dengan daratan Sidayu.
Apa yang terjadi bagian timur pantai utara Jawa, hal serupa inilah yang terjadi di bagian tengah dalam hal nama Mandalica dan Iapara. Mandalica adalah suatu pulau di utara wilayah Rembang. Bagaimana dengan Iapara? Besar dugaan Iapara berada di suatu pulau, pulau yang terpisah dengan pesisir pulau Jawa. Di tengah pulau ini terdapat gunung tinggi (kini dikenal sebagai gunung Muria). Lantas apakah penulisan Iapara, seperti halnya pulau Idayu merujuk pada pulau Para (reduksi dari Ilha atau Isla Para)? Fakta pada masa itu di selat Malaka ada pulau Verra atau pulau Parra. Lalu bagaimana dengan nama yang ditulis oleh pelaut-pelaut Portugis sebagai Iacatra?
Pelaut-pelaut Portugis telah mengidentifikasi suatu kota pelabuhan di
hilir sungai Tjiliwong sebagai Iacatra dan Zunda/Calapa. Seperti kita lihat
nanti, Zunda/Calapa atau Sonda Calapa berada di sisi barat sungai dan Iacatra
di sisi timur sungai. Besar dugaan Iacarta ini adalah kota baru. Hal ini karena
Iacatra berada di sisi timur sungai. Pada peta-peta awal Belanda/VOC, di bagian
timur hilir sungai Tjiliwong ini masih berupa rawa-rawa yang sangat luas
(wilayah basah yang mengarah ke perairan/laut. Sementara itu, di sisi barat
sungai sudah sejak awal terbentuk daratan dimana kota pelabuhan Zunda Calapa
berada. Pelabuhan ini diduga adalah pelabuhan yang terhubung langsung ke
pedalaman di Padjadjaran. Dari kota Pakoean, Padjadjaran (kini kota Bogor)
jalan ini eksis hingga ke Zunda Calapa tanpa ada halangan sungai (kini jalan
yang menghubungkan Bogor, Tjileboet, Bodjong Gede, Pondok Terong (Tjitajam),
Depok, Pondok Tjina, Srengseng, Tjikini, Zunda Calapa.
Lantas Iacatra pada awal kehadiran Portugis di hilir sungai Tjiliwong adalah suatu pulau? Fakta bahwa Iava adalah pulau (Jawa) dan Iambi adalah pulau (Djambi). Kasus ini dapat diperluas yang disebut sebelumnya dengan nama Iapara dan Idayu. Lalu dimana posisi awal muara sungai Tjiliwong sebelum terbentuk pulau Iacatra?
Seperti halnya di delta Soerabaja, delta Sidoardjo, delta Tuban-Gresik (Idayu dan pulau Mangare) di bagian timur, delta Iapara dan Demak di bagian tengah, maka kasus yang sama terjadi juga di bagian barat di delta Iacatra/Zunda Calapa. Dalam konteks inilah kita dapat menghubungkan keberadadan prasasti Toegoe di kampong Batoe Toemboe di daerah aliran sungai Tjilintjing. Wilayah Cakung pada masa ini jauh di pedalaman, yang besar dugaan pada abad ke-5 saat prasasti dibuat masih berada di garis pantai. Pada masa ini wilayah kampong Batoe Toemboe di Sukapura, Cakung secara geomorfologis mengindikasikan area yang lebih tinggi dibandingkan wilayah sekitar. Jalan akses menuju Batoe Toemboe (Toegoe) dan Soekapoera dari Pulo Gadoeng (nama ini mengindikasikan suatu pulau di masa lampau). Nama-nama kampong tempo doeloe di dekat Soekapoera adalah Batoe Toemboe dan Patoekangan. Apakah itu menjadi berarti? Boleh jadi pada abad ke-5 wilayah Sukapura awalnya adalah suatu pulau dimana terdapat pemukiman yang ramai yang berada di Soekapoera dan Patoekangan. Nama Soekapoera diasosiakan dengan nama tempat (kota=pura) pada era Hindoe/Boedha. Pada awal kehadiran Portugis awal abad ke-16 garis pantai sudah berada di Iacatra dan Zunda Calapa. Artinya selama 1000 tahun situasi dan kondisi geomorfologis kawasan sudah berubah sangat besar. Kasus geomorfologis di wilayah prasasti Toegoe dapat diperluas dengan daerah aliran sungai Tjitaroem dimana pada masa ini ditemukan candi Batoedjaja yang berasal dari abad ke-5 (yang dulunya diduga kuat tepat berada di depan muara sungai Tjitaroem)—bandingkan dengan sekarang muara sungai Citarum berada di Muara Gembong..
Oleh karena itu, posisi GPS (kota) Iacatra pada awal kehadiran pelaut Portugis masih berada di suatu pulau—yakni pulau (Ilha) Catra yang diduga merujuk pada kata kerta (kota). Dalam hal ini Iacatra adalah pulau kota (pulau Kerta), seperti halnya Soerakarta, Modjokerto, Poerwokerto, Poerwakarta. Lantas sejak kapan nama Iacatra terinformasikan?
Seperti disebut di atas, pelaut-pelaut Portugis seperti Tome Pires (1512-1515) melaporkan nama Tjirebon dan Demak; Joao de Barros dalam bukunya menyebut tahun 1527 dicatat nama-nama tempat Chiamo (Tjimanoek?), Xacatara (Iacatra/Jakarta?), Caravam (Karawang?), Tangaram (Tangerang?), Cheguide (Tjikande?), Pondang (Pontang?) dan Bantam (Banten?); Mendes Pinto (1537-1539) menyebut nama Bantam dan nama Demak. Pada Peta 1561 di pantai utara di barat laut diidentifikasi pulau Sunda (Sangiang?) dan pulau Nueupora. Nama-nama lain yang diidentifikasi pada Peta 1561 ini adalah Carbao (Tjirebon?), Agoadadaluym (Indramajoe?), Pariebapor (Poerwakarta?) dan Antropophagi (Papangga atau Papanggo di Soenter?).
Nama Iacatra paling tidak telah terinformasikan sebagai Xacatara pada tahun 1527 yang dikutip oleh Joao de Barros. Biasanya, jika nama tempat dicatat pada tahun tertentu seperti pada tahun 1527, sudah barang tentu nama Xacatara sudah eksis jauh sebelum tahun 1527. Hal ini karena yang mencatat adalah orang asing, yang mendapatkan nama dari pengetahuan umum di wilayah. Pelaut-pelaut Portugis lainnya kemudian menuliskannya sebagai Iacatra. Apakah perbedaan penulisan Xacatara dengan Iacatra menjadi penting?
Penulisan Xacatara dan Iacatra jelas berbeda. Apakah memiliki makna yang berbeda? Nama Xacatara pertama kali ditemukan pada halaman 76-77 dalam buku berjudul Joao de Barros Jilid 4, Bagian-1, dan buku berjudul Diego de Conto, Jilid 1, Bagian 1 halaman 167. Penulisan nama Jacatara muncul pertama dalam buku Antoine Augustin Bruzen de La Martinière berjudl Le grand dictionnaire géographique et critique yang diterbitkan tahun 1726. Sementara penulisan Iacatra pertama kali muncul dalam laporan Belanda (Historie van Indien, waer inne verhaelt is de avontueren die de Hollandtsche schepen bejeghent zijn ...1598). Penulisan Xacatara, Iacatra dan Jacatara pada dasarnya menunjukkan nama tempat yang sama.
Pada permulaan kehadiran Portugis, nama Xacatara
atau Iacatra diduga kuat adalah suatu pulau. Tidak ditemukan dalam laporan
Portugis bahwa Zunda Calapa dan Xacatara berada di daerah aliran sungai
(Tjiliwong). Kedua nama tempat itu berada di daerah aliran sungai (Tjiliwong)
baru ditemukan pada laporan pelaut-pelaut Belanda/VOC. Sebagaimana diketahui
rentang waktu antara awal kehadiran Portugis dan awal kehadiran Belanda di
wilayah hampir satu abad, yang sudah barang tentu dalam satu abad situasi dan
kondisi geomorfologis dapat berubah secara nyata. Lantas bagaimana Zunda/Calapa
dan Xacatara masing-masing awalnya suatu pulau?
Sebagaimana disinggung di atas, dimana posisi GPS kota (stad) Iacatra
tempo doeloe (awal kehadiran Belanda/VOC), dijelaskan di dalam Encyclopaedie
van Nederlandsch-Indië. Eerste deel A-H. Tweede deel H-M. Onder redactie van
S. de Graaff en D.G. Stibbe, met medewerking van W. C. B. Wintges, 1916: Dengan
dua cara, tempat di mana bagian utama kampong Djakatra berada dapat ditentukan
dengan cukup akurat. Pada peta sketsa, yang dibuat segera setelah peristiwa
tahun 1618/19 dan terdaftar dalam koleksi Arsip Nasional di bawah
"Portofolio V, dari memorandum dan uraian administrasi umum",
ditunjukkan titik di mana "kota Jacatra" berada. Bila dibandingkan
dengan peta kota Batavia yang dibuat kemudian, titik ini tampaknya terletak
sekitar 500 meter di sebelah barat laut balai kota (yang kemudian). Pada peta
sketsa dari tahun 1623, dicetak di seberang halaman 362 dari Tijdschr. v. h.
Bat. Gen. bagian 25, 1879, dan yang gambar aslinya ada di perpustakaan akademis
di Leiden, "kawasan Inggris" muncul tepat di tempat yang ditentukan
menurut metode bundaran yang dijelaskan di atas, dan di mana, menurut sketsa
peta tahun 1619, kampong Djakatra berada. Menurut Tn. Brumund, rumah
Inggris dihancurkan selama pengepungan tahun 1628; gereja Binnen-Portugeesche
kemudian dibangun di lokasinya dan di tempat yang sama pada tahun 1860 kantor
firma Van Ommeren Rueb, Cores De Vries dan Roselje berada. Gereja yang
disebutkan di atas terletak sekitar 400 meter di sebelah barat laut balai kota
(yang masih ada).
Secara geomorfologis, di masa lampau ada sejumlah sungai bermuara ke suatu teluk (sebut saja Teluk Jakarta). Di bagian barat ada sungai Angke dan sungai Pesanggrahan; di bagian tengah ada sungai Kroekoet dan sungai Tjiliwong; di bagian timur ada sungai Soenter dan sungai Tjakoeng. Sungai terbesar adalah sungai Tjiliwong (di sebelah barat ada sungai Tjisadane dan di sebelah timur ada sungai Tjilengsi/sungai Tjikeas yang ke hilir membentuk sungai Bekasi).
Muara sungai Kroekoet berada di Glodok yang sekarang. Sementara sungai Tjiliwong bermuara di area Mangga Doea yang sekarang. Garis pantai terbentuk dari Kemajoran, Pasar Baru, Mangga Doea dan Glodok (demikian juga muara sungai Pesanggrahan dan muara sungai Angke membentuk garis pantai sendiri). Dalam perkembangannyadi depan muara sungai Kroekoet dan muara sungai Tjiliwong terjadi proses sedimentasi jangka panjang yang membentuk pulau-pulau kecil seperti pulau Calapa dan sejumlah pulau-pulau lainnya. Di pulau Calapa inilah diduga pertama kali muncul pusat perdagangan. Lalu kemudian di pulau Xacatara juga terbentuk pusat perdagangan baru. Pelaut-pelaut Portugis bermukim di pulau Xacatara. Satu pulau lainnya dihuni oleh pedagang-pedagang Cina (area ditemukan pekuburan Cina—yang kelak pada peta-peta Belanda berada di sisi timur/utara sungai Tjiliwong). Hal itulah mengapa area Mangga Doea elevasinya jauh lebih tinggi (2-4 M dpl) dibanding area lain di kawasan teluk. Pada tahun 1527 dicatat nama Xacatara. Dalam perkembangannya, pulau-pulau di teluk menjadi terhubung satu sama lain karena proses sedimentasi lebih lanjut. Sungai Tjiliwong mencari jalannya sendiri ke laut melalui muara sungai Kroekoet (mebentuk sepertiga lingkaran pada pulau Xacatara). Kedua sungai ini ke hilir mencari jalan sendiri yang membentuk hampir garis lurus (diantara pulau Calapa dan pulau Xacatara). Proses sedimentasi yang terus berlangsung muara sungai semakin jauh dari pelabuhan (pulau) Calapa. Saat inilah pelaut-pelaut Belanda menemukan muara sungai Tjiliwong yang mana di arah hulu sungai terdapat kota (pelabuhan) Zunda Calapa dan kota (pelabuhan) Iacatra/Jacatra. Sudah barang tentu kapal-kapal besar Belanda tidak bisa memasuki sungai karena tonase berat (tetapi dihubungkan dengan sekoci atau perahu-perahu). Setelah cukup lama di pelabuhan Zunda Calapa, pada tahun 1619 Jan Pieter Zooncoen membangun benteng besar (kasteel) tepat di sisi timur muara sungai Tjiliwong.
Sekarang kita kembali pertanyaan awal apakah nama Jakarta merupakan kependekan dari kata Jayakarta, jaya (kemenangan) dan krta (kemakmuran), nama yang diberikan oleh orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527?
Kapan Joao de Barros menulis bukunya tidak terinformasikan. Satu yang jelas Joao de Barros meninggal tahun 1570. Lalu setelah Joao de Barros meninggal, penerbit Lavanha di Lissabon menerbitkan buku Joao de Barros tahun 1615 dengan judul Décadas da Ásia. Buku tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa belanda oleh penerbit Pieter vander Aa: Jilid 1 diterbitkan tahun 1706 dengan judul De doorlugtige scheeps-togten der Portugysen na Oost-Indiën, mitsgaders de voornaamste gedeeltens van Africa en de Roode-Zee; Jilid 2 diterbitkan tahun 1707 dengan judul: Staat-zugtige scheeps-togten en krygs-bedryven ter handhaving van der Portugyzen opper-bestuur in Oost-Indien, door Don Lopo Vaz de Sampayo, gedaan in 't jaar 1526. Verhaalende (behalven de geschillen over 't gouvernement aldaar, tusschen gemelden Lopo Vaz en Pero Mascarenhas op de dood van Don Henrique de Menezee voorgevallen,) verscheide scheeps-togten en wedervaringen op zee en te land. Beneffens een beschryving van 't Koninkryk Zunda en 't eiland Java, met der zelver inwoonderen en zeden. Dari dua edisi tersebut dijadikan dalam sumber utama artikel ini. Jilid 2 terdiri dari tujuh bab dimana bab-1, bab-2, bab-5, bab-6 yang merupakan ekstrak dari laporan ekspedisi Don Lopo Vaz de Sampayo. Nama Xacatara ditemukan pada bab 2 dengan judul Het Koninkryk ZUNDA, met dat van 't Eiland JAVA; beneffens der Inwoonderen Zeden, Gewoontens en Vrugtbaarheid des Lands in Leeftogt en Peper-gewas; navolgens de kundſchap derPortugyzen en eigen Landaard beſchreven.
Yang mengidentifikasi nama Xacatara pada tahun 1527
di dalam buku Joao de Barros adalah Don Lopo Vaz de Sampayo.
Laporan-laporan Lopo Vaz de Sampayo yang diekstrak oleh Joao de Barros. Lopo Vaz de Sampayo sendiri ditugaskan
oleh Radja Portugal sebagai Gubernur untuk melakukan eskpedisi untuk mencari
negara dan operasi militer untuk mempertahankan pemerintahan tertinggi Portugis
di Hindia Timur pada (Februari) tahun 1526. Setelah ke berbagai tempat termasuk
Turki, Sampayo pada bulan Januari 1527 sudah di Malaka.
Bagaimana Lopo Vaz de
Sampayo mendapatkan informasi tidak diketahui secara jelas. Disebutkan di
(wilayah) Zunda lebih bergunung-gunung di pedalaman daripada (wilayah) Jawa,
dan memiliki enam pelabuhan laut yang cukup besar/navigasi di pedalaman Chiamo,
yang merupakan ujung wilayah: Enam pelabuhan itu Xacatara, atau disebut juga
Caravam, Tangaram, Cheguide, Pondang dan Bantam, tempat perdagangan dilakukan
300 dari Jawa. Kota utama Bantam atau Banta disebut Dajo, terletak sedikit di
pegunungan, di mana dikatakan bahwa pada saat Henrique Leme berada di sana,
terdapat dua puluh ribu penduduk, dan di seluruh kerajaan seratus ribu
prajurit, tetapi sekarang telah sangat berkurang karena perang yang dilakukan
oleh bangsa Moor terhadapnya. Adapun kota Bantam atau Banta tersebut, terletak
di Boqueiran Zunda, mengarah ke tengah sebuah teluk besar. Di sana mengalir
sungai yang membelah kota menjadi dua di mana kapal-kapal jung dan galai dapat
masuk, di satu sisi kota terdapat benteng yang merupakan benteng dari kayu /
dan dilengkapi dengan artileri yang bagus. Dalam laporan ini disebut nama Faletehan
seorang Moor, lahir di pulau Sumatra, di Kerajaan Pacem. Ia merebut kota Pacem dari
Radja Zeinal pada masa Jorge d'Albuquerque dan diserahkan ke tangan Pangeran
Pewaris, ia berangkat dengan sebuah kapal pergi ke Mecha dengan rempah-rempah. Setelah
kembali ke Pacem / ia mengikat benteng kita. Dalam perkembangannya ia pergi
dengan sebuah kapal ke Japara, di mana ia dengan nama Caeiz van Mahomed, yang
akrab dengan Raja. Faletehan akan sangat dihargai jika ia memberinya saudara
perempuannya sebagai pengantin; dan karena ia bermaksud untuk memenangkan hati
banyak orang. Ia meminta izin raja untuk pergi ke Bantam, di pulau (wilayah) Zunda,
di mana ia diterima oleh seorang penguasa terkemuka di negara itu. Francisco de Sa menolak untuk menyerang Zunda.
Dari informasi yang disarikan oleh Joao de Barros pada masa gubernur Lopo Vaz de Sampayo (1527) selain sudah dicatat nama Xacatara (yang diduga kuat adalah Jakarta) juga ada indikasi bahwa wilayah pesisir (pulau) Zunda sudah/akan dikuasai Bantam setelah kehadiran Faletehan. Lalu bagaimana dengan nama Jakarta kependekan Jayakarta, nama yang diberikan oleh orang Demak dan Cirebon di bawah pimpinan Fatahillah (Faletehan) setelah menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527?
Bagaimana duduk perkaranya, Zunda Calapa dan Xacatara telah diteliti dengan baik oleh Hoesein Djajadiningrat di dalam disertasi di Universiteit te Leiden berjudul Critische beschouwing van de Sadjarah Bantĕn: Bijdrage ter kenschetsing van de Javaansche geschiedschrijving (1913). Dari disertasi ini tidak ditemukan informasi mengenai nama Jakarta kependekan Jayakarta dan Fatahillah (Faletehan) menyerang dan menduduki pelabuhan Sunda Kelapa pada tanggal 22 Juni 1527. Hoesein Djajadinigrat hanya menulis menaklukkan Soenda Kalapa dari pangeran Padjadjarau pada awal tahun 1527. Dalam hal bulan Juni bukanlah awal tahun (1527).
Fakta
bahwa Joao de Barros mengutip
laporan gubernur Lopo Vaz de Sampayo semasa di Hindia Timur (1527) mencatat
nama-nama Xacatara, Tangaram dan lainnya. Namun dalam buku Joao de Barros,
sebagaimana juga dikutip Hoesien Djajadiningrat bahwa sudah ada kapiten
Portugis di Zunda Calapa yang telah membuat kontrak dengan raja, sebelum Fatahillah
menyerang ke Zunda Calapa.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar