Monumen Cornelis Chastelein Pemilik Tanah Partikelir di Depok, 1930 |
Tanah-tanah partikelir ini ada pada era
Daendles. Namun kemudian pemerintah Belanda menyadari bahwa adanya tanah-tanah
partikelir dengan hak pertuanan seolah-olah ada negara-negara kecil di dalam
negara. Karena itu Pemerintah Belanda mengadakan pengambilan tanah-tanah itu
kepada Negara. Sekalipun sejak 1810 telah terjadi pembelian kembali tetapi
kemudian mengendor, baru kemudian pada tahun 1855 dilakukan kembali. Regering
reglement (S. 1855-2) larangan bagi para Gubernur Jenderal untuk menjual
tanah-tanah yang luas kepada perseorangan. Akan tetapi barulah sejak 1910, atas
desakan baik dari kalangan-kalangan di luar maupun di dalam Parlemen Belanda,
dilaksanakan usaha pengembalian itu secara teratur.
Berangsur-angsur telah banyak
tanah-tanah partikelir yang dapat dibeli kembali; diantara tahun 1912 dan 1931
saja ada seluas 456.709 Hektar. Berhubung dengan adanya penghematan, di antara
1931 dan 1936 tidak diadakan pembelian lagi. Pada tahun 1935 didirikanlah
sebagai usaha darurat: N.V. Javansche Particuliere Landerijen Maatschappij,
yang semua saham-sahamnya ada ditangan Pemerintah Maatschappij tersebut
mendapat tugas untuk mengusahakan pembelian kembali dan menguasai serta
mengurus tanah-tanah partikelir yang telah dibelinya itu, selama Pemerintah
belum dapat mengopernya sendiri.
Diantara tahun 1936 - 1941 sudah dibeli
dan diurus oleh Maatschappij itu: 13 tanah-tanah partikelir seluas 80.713
hektare. Tetapi oleh karena tanah-tanah itu selama belum dibeli oleh Pemerintah
masih tetap berstatus tanah partikelir, maka bagi penduduk tidaklah terasa
adanya perubahan yang berarti. Selama pemerintah pendudukan Jepang tidak
terjadi pembelian kembali. Adapun tanah-tanah partikelir itu diurus oleh Kantor
yang dinamakan "Siriyocti Kanrikoosya. Sesudah pendudukan Jepang maka oleh
Pemerintah Hindia Belanda usaha pembelian itu dimulai lagi. Terutama terdorong
oleh keadaan politik dan perkembangan masyarakat pada waktu itu, usaha
diselenggarakan secara besar-besaran.
Dalam tahun 1948 dibentuklah sebuah
Panitia yang diberi tugas untuk di dalam waktu yang singkat, mengajukan
usul-usul kepada Pemerintah tentang cara yang sebaik-baiknya untuk
menglikuidasi tanah-tanah partikelir yang masih ada. Berdasar atas usul Panitia
itu oleh Pemerintah dengan keputusannya tanggal 8 April 1949 No. 1 ditetapkan
suatu peraturan likuidasi, atas dasar mana dengan secara damai dapat
dikembalikan kepada Negara 48 tanah partikelir seluas 469.506 ha, semuanya
terletak di sebelah Barat Cimanuk. Dalam tahun 1949 tanah-tanah N.V. itu dibeli
oleh Pemerintah RI dan pada tanggal 13 Desember 1951 N.V. Javasche Particuliere
Landerijen Maatschappij itu dibubarkan.
***
Dalam perjalanannya, tanah partikelir
kemudian banyak yang dijual kepada orang-orang cina, arab, india, atau kepada
orang-orang belanda lainnya. Latar belakang penjualan tanah itu karena pemilik
tanah kekurangan uang atau sedang membutuhkan uang dalam waktu yang cepat.
Setelah berpindah tangan, para pemilik tanah partikelir lebih dikenal dengan
sebutan tuan tanah.
Ternyata kekuasaan para tuan tanah di
tanah partikelir sangat besar dan berbeda dengan kepemilikan tanah di
tempat-tempat yang lain. Para tuan tanah tidak saja berhak atas tanahnya,
melainkan juga dianggap menguasai orang-orang yang berada di wilayah tanahnya.
Oleh karena itu, penduduk pribumi menjadi menderita berada di tanah partikelir.
Mereka dikenakan bermacam kewajiban, seperti pajak hasil panen, uang sewa
rumah, juga penduduk diwajibkan bekerja rodi pada tanah partikelir. Dengan
demikian, tinggal di tanah partikelir seperti berada di tanah asing yang harus
disewanya. Padahal mereka sebagai pemilik tanah sebenarnya dan tidak mengetahui
adanya perpindahan tangan dalam hal kepemilikan tanah. Penduduk pribumi
akhirnya menjadi budak-budak para tuan tanah dan sebaliknya para tuan tanah
dengan leluasa mengeksploitasi kekayaan alam di Indonesia.
Dalam hal tersebut, Pemerintah Republik
Indonesia Serikat dan kemudian Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia
bukan saja melanjutkan pembelian kembali tanah-tanah partikelir, akan tetapi
sebagai Pemerintah nasional lebih-lebih merasakan hal itu sebagai kewajiban
yang pokok dan utama. Hingga akhir tahun 1956 dapat dibeli kembali 25 tanah
partikelir yang luasnya berjumlah 11.759 ha. Pada tahun 1958 diundangkan
mengenai penghapusan tanah-tanah partikel yakni UU No 1 Tahun 1958 tentang
Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. Dalam pasal 3 undang-undang tersebut
ditentukan, bahwa sejak mulai berlakunya Undang-undang ini hak-hak pemilik beserta
hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir dinyatakan hapus dan
tanah-tanah bekas tanah partikelir itu seluruhnya serentak menjadi tanah
Negara.
Landhuis
Depok adalah tanah partikelir. Selain di
Depok, tanah partikelir lainnya terdapat di Citayam, Cimanggis, Tapos, Pondok
Cina, Mampang, Cinere dan Cilangkap. Pusat tanah partikelir ini ditandai dengan
adanya landhuis (rumah pemilik tanah / tuan tanah). Lokasi landhuis in biasanya
berada di tempat strategis yang umumnya berada di tengah area tanah partikelir.
Di sekitar landhuis ini biasanya terdapat gudang, pabrik
pengolahan/penggilingan, bangunan yang digunakan untuk pekerja dan
bangunan-bangunan lain yang digunakan untuk pengelolaan usaha tanah partikelir.
Depok
Tanah partikelir di awal era Belanda
termasuk diantaranya di Depok. Luasnya 1.244 Ha. Bagi warga Depok lokasi ini
kira kira sebatas antara Balai Kota di sebelah utara hingga tanjakan Ratu Jaya
di selatan serta antara bioskop Sandra di barat dan sungai Ciliwung di timur.
Ini berarti area tanah partikelir itu pada waktu itu berbatasan dengan Kampung
Manggis di utara, Kampung Ratu Jaya di selatan, Kampung Sengon dan Kampung
Pitara di barat, dan Kampung Poncol dan Kampung Cikumpa di timur. Tanah ini
dibeli oleh Cornelis Chastelein di era VOC (1602-1811) pada tanggal 18 Mei
1696. Sebelum di Depok, Chastelein sudah memiliki tanah di daerah Senen, dan di
daerah Serengseng. Untuk mengolah lahan Depok ini, Chastelein mempekerjakan
150-an tenaga kerja. Cornelis Chastelein meninggal 28 Juni 1714 dan ia
mewariskan tanahnya itu untuk para pekerjanya yang dapat dilihat dari suart
wasiat yang dibuat sebelum meninggal.
Para mantan pekerja Cornelis Chastelein
ini beranak pinak sehingga jumlahnya cukup banyak. Oleh karena mereka berada di
dalam tanah partikelir yang diakui oleh Pemerintahan Hindia Belanda, maka pada
tahun 1871 tanah partikelir ini menjalankan organisasi pemerintahan sendiri
yang kemudian dijadikan Gementee Bestuur. Pimpinan pemerintahan dipilih setiap
tiga tahun (semacam pemerintahan mirip republic mini). Pemerintahan ini
menjalankan roda organisasi bersumber dari pendapatan pajak yang dikutip dari
hasil pertanian. Pembagian itu didasarka pada perbandingan berikut: 2.5 untuk
tuan tanah, 2 untuk petani penggarap, 1 untuk tukang panen dan setengah untuk
pajak pemerintah. Pajak pemerintahan ini digunakan untuk keperluaan
pemerintahan, pembangunan sarana prasarana umum dan pengairan.
Pada masa pendudukan Jepang, Gementee
Bestuur seakan hilang landasan. Secara konstitusional tidak diakui juga secara
defakto pengutipan pajak diambilalih oleh Jepang. Lantas pada era kemerdekaan
desa model pemerintahan republik ini benar-benar mulai redup dan akhirnya
runtuh dalam suatu kerusuhan di Depok. Pasca kerusuhan (1949) para pewaris
Chastelein diberi pilihan ikut RI atau Belanda. Ada yang memilih Belanda dan
sebagian yang lain RI. Kepada mereka yang memilih RI dapat pulang ke rumah
masing-masing di Depok. Pada tanggal 8 April 1949 pemrintah RI mengeluarkan
keputusan tentang penghapusan tanah
partikelir di seluruh Indonesia. Pada tanggal 5 Februari 1950 dilakukan
perundingan antara pimpinan Depok denga perwakilan RI yang mana keputusan bahwa
warga Depok bersedia mengembalikan hak eigendom atas tanah partikelir Depok
kepada pemerintah. Pada tanggal 15 Oktober 1951 diadakan pertemuan antara
Residen Bogor dengan pimpinan Depok yang menghasilkan persetujuan tanah
partikelir Depok diserahkan ke pemerintah RI. Selanjutrnya penyerahan tanah
partikelir didasarkan pada Akta Notaris tahun 1952 tentang perjanjian pelepasan
hak dan penyerahan tanah-tanah kongsi. Sebagai imbalannya pemerintah memberikan
uang sebesar Rp 229.261 serta beberapa gedung dan tanah-tanah yang ada
hubungannya dengan agama dan pendidikan. Lantas sejak 4 Agustus 1952 tanah
partikelir Depok menjadi desa Pancoran Mas dengan luas 837 Ha.
Landhuis
Tjimanggis
Landhuis
Tjilodong
Landhuis Tapos
Landhuis Tjilangkap
Landhuis Tjitajam
Landhuis Pondoktjina
Landhuis Sawangan
---------------
Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap
berdasarkan sumber-sumber berikut:
- Penjelasan UU No 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir.
- Peta topografi bersumber dari kitlv.nl
- Penjualan tanah partikelir
- Gedoran Depok oleh Wenri Wanhar
terlalu lengkap ,makasih..
BalasHapuskalo boleh tau nama penulis artikel ini siapa ya? untuk keperluan mengutip isinya.
BalasHapusSetiap kampoong biasanya Belanda meninggalkan Bangunan berarsitek Belanda, termasuk Landhuis Tjilangkap.Kurang lebih 30 tahun yg lalu tepatnya didepan Kantor Kelurahan Cilangkap berdiri bangunan Belanda tapi sayang sekarang sudah tidak ada, yg tersisa tinggal sumur tua. Semuanya menjadi Perumahan POLRI.
BalasHapusInfo yang bagus.. Terimakasih penulis.. Dapatkah saya meminta kontak penulis?
BalasHapusMba Hardiyanti dan Mba Sukmawati silahkan langsung korespondensinya ditujukan ke alamat email saya yang terdapat di laman Read Me di atas.
BalasHapusTerimakasih
Akhir MH @ Depok
Saya sangat tertarik dengan tulisannya.rasanya saya tidak bosan baca tentang tanah"kita jaman dulu.sayangnya mata saya cepat lelah.Terima-kasih
BalasHapusPermisi mas saya mau Tanya ? Kalau untuk arsip tanah partikelir belanda NYa Ada tidal yah
BalasHapusArsipnya dalam berbagai bentuk seperti surat kabar, majalah, peta-peta dan tabel-tabel sejak era VOC. Pada permulaan Pemerintah Hindia Belanda selain membeli/megakuisisi tanah-tanah partikel juga masih menjual lahan dengan status tanah partikelir seperti sdi sisi barat sungai Tangerang dan sisi timur sungai Tjitaroem. Pada era Inggris juga ada penjalan lahan dalam sttus partikelir seperi di Pekalongan, Tjipoetri/Tjipanas dan Soekaboemu tetap pada era Pemerintah Hindia Belanda land (tanah partikelir)dibeli lagi oleh pemerintah. Semua lanf dari sungai Tjimanoek/Indramajoe hingga sungai Tjinade pernah menjadi tanah partikelir. Tentang sejarah masing-masing sudah saya elaborasi pada artikel-artikel terdahulu dalam blog ini pada tajuk serialsejarah Depok, Jakarta, Bogor, Sukabumi, Tangerang dan Bekasi. Demikian, Terimakasih. Selamat meneliti,
Hapusada penjelasan di majalah jadul kotapraja
Hapus