*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Soal ‘darah Indonesia’ marak lagi pada minggu terakhir ini. Itu dipicu oleh soal pro-kontra jawaban artis Agnes Monica dalam suatu wawancara. Munculnya pro kontra karena yang ditanya (pewawanvara) dan yang dijawab (Agnes Monica) tidak sinkron. Demikian juga antara apa yang dimaksudkan Agnes Monica dengan apa yang dipikirkan netizen (pembaca dan pendengar) tidak sinkron pula. Akibatnya muncul gaduh.
Soal ‘darah Indonesia’ marak lagi pada minggu terakhir ini. Itu dipicu oleh soal pro-kontra jawaban artis Agnes Monica dalam suatu wawancara. Munculnya pro kontra karena yang ditanya (pewawanvara) dan yang dijawab (Agnes Monica) tidak sinkron. Demikian juga antara apa yang dimaksudkan Agnes Monica dengan apa yang dipikirkan netizen (pembaca dan pendengar) tidak sinkron pula. Akibatnya muncul gaduh.
Kegaduhan karena
kurangnya pengetahuan sejarah. Artikel ini tidak dalam konteks membicarakan
soal kegaduhan itu. Artikel ini hanya fokus untuk menyusun kronologis soal
(perdebatan) ‘darah Indonesia’ atau ‘bangsa Indonesia’ mulai dari ‘kesadaran
berbangsa’ hingga proklamasi kemerdekaan ‘bangsa Indonesia’. Sejauh ini soal
kronologis ini kurang mendapat perhatian dalam sejarah Indonesia. Untuk
menambah pengetahuan kita soal ‘bangsa Indonesia’ ini mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Perdebatan Soal
Pemisahan Diantara Pribumi: Islam vs Kristen
Apakah
ada pribumi? Tentu saja ada. Tapi itu dulu pada era kolonial Belanda.
Pemerintah Hindia Belanda di dalam berbagai beslit atau stadsblad jelas dibedakan
Eropa/Belanda, Timur Asing (Tionghoa, Arab dan lainnya) dan pribumi (Inlandsche).
Setelah proklomasi kemerdekaan Indonesia, terminologi pribumi seharusnya tidak
ada lagi tetapi masih ada yang menggunakan. Secara akademik, penggunaan kata
pribumi jika konteksnya era kolonial Belanda, tetapi kurang tepat digunakan
setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Hal ini karena sudah dikunci dengan
terminologi bangsa Indonesia.
Pada era
kolonial, sejak era VOC sebagian orang-orang Belanda yang rasis, tidak menggunakan Inlandsche
tetapi dengan terminologi yang lebih kasar: Zoo. Terminologi zoo mereka gunakan
untuk menyatakan suatu wilayah (landschap). Wilayah tersebut dianggap kebun
binatang. Semua yang hidup dan bergerak disebut zoo, termasuk penduduk yang berada
di wilayah tersebut disamakan dengan hewan (zoo). Pada era Pemerintah Hindia
Belanda penggunaan terminologi zoo itu lambat laun menghilang (meski masih
dalam beberapak kasus masih ditemukan).
Dari
susunan penghuni (wilayah) Hindia Belanda (Nederlandche Indie) yakni Belanda,
Timur Asing dan Inlandsche, orang Belanda berada pada status kelas pertama
(atas) baru di bawahnya orang Timur Asing dan di lapisan paling bawah adalah
Inlandsche (pribumi). Orang pribumi tidak berdaya dengan pembagian/pelapisan
itu (menerima). Sebaliknya orang-orang Belanda menikmati
pengelompokkan/pelapisan itu.
Orang-orang Belanda (di wilayah Hindia
Belanda) dengan sadar merasa berbeda dengan dua lapisan di bawah mereka. Oleh
karenanya dibedakan fasilitas, hukum dan gaji (meski produktivitasnya sama).
Orang Timur Asing (Tionghoa, Arba dan lainnya) yang dianggap sebagai pendatang
(baru atau yang sudah lama menetap), karena mereka diposisikan di bawah
lapisan.kelas Eropa/Belanda, maka mereka yang orang Timur Asing ini juga dengan
sadar menganggap mereka lebih tinggi dari orang Inlandsche (pribumi).
Jadi jelas fakta ini menunjukkan adanya kelompok pribumi. Dari sinilah kita mulai mengatakan adanya pribumi (yang dapat diperbandingkan), bukan berdasarkan analisis gen/DNA yang ribuan tahun lalu. Perdebatan tentang pribumi pada masa ini hanya relevan membandingkan dengan era kolonial Belanda, bukan dengan test DNA (tidak head tio head). Dengan kata lain analisis pribumi adalah satu hal, dan analisis DNA adalah hal lain, suatu relasi yang tidak bisa dicampur dalam analisis. Kalaupun dipaksakan mungkin bisa direlasikan jika periset DNA dapat mengisolasi DNA dengan time-series sejak era kolonial Belanda (1800an).
Oleh karena diantara
orang Timur Asing tergolong maju dan memiliki kekuatan politik, secara khusus orang
Jepang di Hindia Belanda diperlakukan sama dengan orang Eropa/Belanda. Hak ini
tidak diberikan kepada orang Tionghoa dan orang Arab. Ketika pada tahun 1898
muncul gagasan (Menteri Koloni) untuk mensejajarkan (diperlakukan) orang
pribumi yang beragama Kristen dengan orang Eropa/Belanda, seorang tokoh pribumi
yang beragama Islam di Padang, Dja Endar Moeda melontarkan kritik halus (kepada
pemerintah).
Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 02-11-1898 |
Gagasan (proposal) memperlakukan sama antara orang
pribumi yang beragama Kristen dengan orang Eropa tampaknya tidak direalisasikan
(layu sebelum berkembang). Lepas dari apakah karena ada kritik (pendapat) dari
Dja Endar Moeda atau tidak, yang jelas dalam berbagai peraturan (beslit atau
stadsblaat) yang diterbitkan sesudahanya tidak pernah ditemukan realisasi proposal/gagasan
tersebut. Tentu saja argumentasi Dja Endar Moeda tidak dalam rangka menghambat
kesempatan orang pribumi beragama Kristen untuk disamakan dengan orang
Eropa/Belanda, tetapi diduga karena alasan faktual semata, jika diterapkan justru
dapat menjadi kontraproduktif (saling iri dan menimbulkan rasa benci diantara
para pribumi yang dibedakan).
Dja Endar Moeda adalah seorang terpelajar. Pensiunan guru
pemerintah (semacam PNS) yang sejak pulang haji, pada tahun 1895 membuka
sekolah swasta di kota Padang. Sejak tahun 1897 Dja Endar Moeda juga adalah
pemimpin redaksi surat kabar Pertja Barat (surat kabar berbahasa Melayu,
investasi/yang dimiliki oleh orang Eropa/Belanda). Saleh Harahap gelar Dja
Endar Moeda adalah alumni sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean (Residentie
Tapanoeli). Dja Endar Moeda yang berasal dari Tapanoeli sangat memahami
diantara penduduk Tapanoeli yang berbeda keyakinan saling bersaudara
(harmonis). Boleh jadi Dja Endar Moeda berpikir bagaimana jadinya jika
penyetaraan yang beragam Kristen dengan orang Eropa/Belanda direalisasikan?
Seperti dikatakannya justru dapat menimbulkan kebencian dan perpecahan. Lepas
dari ada maksud Dja Endar Moeda ingin memperkokoh persatuan dan kesatuan
diantara penduduk pribumi, yang jelas cara berpikir Dja Endar Moeda lebih
cerdas jika dibandingkan dengan usulan Menteri Koloni.
Dja Endar Moeda tidak hanya peduli persatuan
diantara golongan pribumi. Dja Endar Moeda juga sangat sadar bahwa golongan
pribumi (Inlandsche) diperlakukan berbeda (dan cenderung diabaikan). Banyak
kesulitan yang dialami penduduk, Dja Endar Moeda dengan senang hati membantu
sesama. Dja Endar Moeda tidak hanya menyebarluaskan pengetahuan melalui sekolah
yang dimilikinya juga menambahkan konten dalam isi pemberitaan/editorial surat
kabar yang dimiliki oleh orang Eropa/Belanda yang sebelumnya editornya hanya
dipegang oleh orang Eropa/Belanda. Sebelum Dja Endar Moeda melakukan protes
terhadap usulan perbedaan (agama), Dja Endar Moeda telah (aktif) membantu penduduk
pribumi yang diabaikan.
Algemeen Handelsblad, 02-11-1898 |
Jadi jelas bahwa pada saat itu golongan
pribumi terdefinisi, suatu golongan penduduk yang dibedakan dengan golongan
Eropa/Belanda dan golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan lainnya). Saya tidak
suka penggunaan terminologi pribumi pada masa ini, tetapi dalam penulisan
sejarah (sesuai) konteks harus tetap dilakukan (karena tuntutan akademik).
Munculnya rekomendasi dari pihak periset gen/DNA yang
menyatakan tidak ada pribumi di Indonesia keliru. Mereka hanya membandingkan
tes DNA yang merujuk pada ribuan tahun yang lampau dengan situasi dan kondisi
terakhir (current situation). Dalam bahasa sepak bola tidak head to head
membandingkan ‘klub MU’ dengan ‘klub Kampong Sawah’ di kecamatan terpencil.
Kesadaran
berbangsa (baca: bangsa pribumi) segera tumbuh selepas gagalnya mempersamakan
orang pribumi Kristen dengan Eropa. Masih, di Padang, Dja Endar Moeda pada
tahun 1900 berinisiatif mendirikan organisasi sosial khusus untuk orang pribumi
(Inlandsche) yang diberi nama Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda bertindak
sebagai Presiden.
Dja Endar Moeda
menggagas organisasi sosial ini setelah sebelumnya telah mengakuisisi surat kabar
Pertja Barat dan percetakannya. Untuk memperluas jangkauan media, Dja Endar
Moeda menerbitkan surat kabar Tapian Na Oeli (untuk menyasar pembaca di kampong
halamannya di Residentie Tapanoeli). Lalu tidak lama setelah pendirian
organisasi Medan Perdamaian, Dja Endar Moeda menerbitkan majalah bulan yang
diberi nama Insulinde. Majalah ini memuat tulisan-tulisan yang terkait dengan
upaya pengembangan penduduk, seperti cara bertani dan pengembangan usaha
pertanian serta sistem perdagangan. Juga majalah ini memuat artikel-artikel
yang terkait permasalahan sosial seperti pendidikan, upaya menabung, kebersihan
dan kesehatan.
Dja
Endar Moeda, seorang Tapanoeli di Padang dengan latar pengetahuan yang banyak
(termasuk pengalamannya di Mekkah, Arab) dengan sadar mengembangkan populasi
pribumi (Inlandsche). Upaya ini tidak hanya menyebarkan pengetahuan melalui
pengembangan sekolah swasta dan penyebaran media serta mempersatukan
orang-orang pribumi dalam satu persatuan tersendiri (Medan Perdamaian), tetapi
juga menjalin komunikasi antar pribumi lintas nasional (antar etnik). Oleh
karena itu platform organisasi Medan Perdmaian adalah bersifat nasional
(pribumi), Surat kabar Pertja Barat diubah mottonya menjadi Oentoek Sagala
Bangsa (semua etnik pribumi). Kiprah lainnya Dja Endar Moeda dapat diringkas,
antara lain sebagai berikut:
De locomotief, 21-08-1902 (Insert Dja Endar Moeda) |
Pengaruh
Dja Endar Moeda segera cepat menyebar. Selain menyebarkan pengetahuan melalui
sekolah dan media, hanya dengan bersatu (memupuk persatuan) dapat mengumpulkan
kekuatan untuk bersaing dengan golongan lain (Belanda dan Timur Aisng). Sementara
Dja Endar Moeda bersama Medan Perdamaian fokus pada masalah politik (menghadapi
kebijakan Belanda) dan pengembangan sosial dan pertanian, di Buitenzorg (kini
Bogor) Hadji Samanhoedi mulai membentuk organisasi perdagangan tahun 1905 yang
disebut Sarikat Dagang Islam (upaya pribumi mengimbangi perdagangan Tionghoa
dan Arab). Dua tahun kemudian tahun 1907 di Medan muncul organisasi serupa
(organisasi perdagangan) dari orang-orang Tapanoeli yang diberi nama Sarikat
Tapanoeli yang dipimpin oleh Sjech Ibrahim dan Dja Endar Moeda.
Daftar pertama organisasi kebangsaan (Indonesia) |
Apa
yang telah dilakukan oleh Dja Endar Moeda di Sumatra, Dr. Wahidin menyadari
pula bahwa hanya dengan berorganisasi dimungkinkan untuk meningkatkan taraf
hidup penduduk pribumi di Jawa. Kesadaran Dr. Wahidin ini kemudian disambut
oleh sejumlah mahasiswa STOVIA (asal Jawa) untuk mendirikan organisasi
kebangsaan yang disebuut Boedi Oetomo pada bulan Mei 1908.
Namun dalam
perkembangannya organisasi Boedi Oetomo ini menjelang kongres pertama yang akan
diadakan di Jogjakarta terkooptasi oleh golongan senior sehingga arah orientasi
Boedi Oetomo bergeser dari organisasi yang berhaluan nasional (seperti Medan
Perdamaian) menjadi berhaluan kedaerahan dan hanya terbatas di Jawa, Madura,
Bali dan Lombok. Golongan muda, Soetomo dkk tampaknya gigit jari. Dalam kongres
Boedi Oetomo haluan ini dipatenkan dalam statuta. Dalam kongres ini setelah seorang
pejabat Belanda memberi pendapat bahwa organisasi Boedi Oetomo, semacamnya
sudah terbentuk di Sumatra. Dalam programnya, Boedi Oetomo merujuk pada pola
Medan Perdamaian, termasuk untuk menerbitkan surat kabar sebagai organnya.
Hanya saja yang membedakan Boedi Oetomo dengan Medan Perdamaian adalah soal
haluan yang bersifat kedaerahan.
Perubahan
haluan Boedi Oetomo ini direspon oleh seorang mahasiswa pribumi di Belanda.
Soetan Casajangan yang tiba di Belanda tahun 1905 untuk studi lebih lanjut
mengundang sekitar 20 orang mahasiswa di rumahnya di Leiden. Soetan Casajangan
menyampaikan gagasannya dan kemudian disepakati membentuk organisasi
(mahasiswa) berhaluan nasional dengan nama Indische Vereeniging. Soetan
Casajangan menjadi presiden pertama.
Dengan
didirikannya Indische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) maka sudah ada dua
organisasi pribumi yang berhaluan nasional (selain Medan Perdamaian). Boedi
Oetomo hanya memiliki ruang lingkup di Jawa dan sekitar. Dua organisasi lainnya
adalah organisasi perdagangan. Sarikat Dagang Islam terbatas untuk anggota yang
beragama Islam, sedangkan Sarikat Tapanoeli terbatas untuk orang-orang
Tapanoeli di Medan. Lantas mengapa Medan Perdamaian dan Indische Vereeniging
berhaluan nasional? Yang jelas Medan Perdamaian didirikan oleh Saleh Harahap
gelar Dja Endar Moeda, sementara Indische Vereeniging didirikan oleh Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan. Dja Endar Moeda adalah kakak kelas dari Soetan
Casajangan di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean. Dalam hal ini, guru
tidak hanya mencerdaskan anak bangsa tetapi guru juga mengarahkan bangsa untuk
memupuk persatuan untuk meningkatkan kesejahteraan (dan tentu saja untuk
mengimbangi orang Belanda dan orang Timur Asing Tionghoa dan Arab).
Dalam
perkembangabnnya, Boedi Oetomo mendapat dukungan (penuh) dari Pemerintah. Hal
ini karena Boedi Oetomo bersifat kedaerahan. Pemerintah Hindia Belanda alergi
terhadap organisasi trans-nasional (yang dapat membahayakan). Organisasi
trans-nasional Medan Perdamaian dan Indische Vereeniging terkesan lebih
independen dan terbuka untuk semua (semua anak bangsa apapun sukunya dan apapun
agamanya). Sementara itu, sejumlah pemimpin mulai gerah dengan hubungan
mutualisme antara Pemerintah dan Boedi Oetomo, maka SDI berttansformasi menjadi
organisasi kebangsaan (tidak lagi terbatas di dalam perdagangan semata).
Organisasi kebangsaan yang mengusung misi Islam ini didirikan Tjokroaminoto di
Soerabaja pada tahun 1912. Pada tahun yang sama Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
mendirikan organisasi Hindia (termasuk para Indo) yang diberi nama National Indisch
Partij (NIP).
Munculnya
gagasan/misi National Indisch Partij (NIP) ini karena semakin menguatnya
persatuan diantara para Indo (orang Eropa/Belanda di Hindia) yang ingin
melakukan pemisahan antara orang-orang Indo dengan orang-orang Eropa/Belanda.
Dalam susunan pengurus Indisch Partij ini termasuk Ernest Douwes Dekker yang
kemudian dikenal dengan nama Setia Boedi. Dengan demikian sudah terdapat tiga
jenis organisasi kebangsaan yang bersifat nasional: pribumi (Medan Perdamaian
dan Indisch Vereeniging); beragama Islam (Sarikat Islam/SI); dan multi ras
(Indisch Partij).
Oleh
karena sebagian anggota Indisch Vereeniging yang berasal dari Jawa juga
mendukung Boedi Oetomo, maka sejumlah mahasiswa asal Soematra di Belanda tahun
1917 membentuk organisasi anak Soematra yang disebut Sumatra Sepakat.
Organisasi ini digagas dan diketuai oleh Sori Tagor. Susunan pengurus Sumatra Sepakat
juga termasuk Dahlan Abdullah, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia dan
Tan Malaka. Organisasi Sumatra Sepakat tetap mendukung habis Indisch
Vereeniging. Sorip Tagor Harahap adalah mahasiswa kedokteran hewan di Utrecht,
kelak dikenal sebagai kakek buyut dari Inez Tagor dan Risty Tagor.
Masih pada tahun
1917 di Belanda diadakan kongres mahasiswa Hindia. Dalam kongres ini diketahui
sudah terbentuk sejumlah organisasi mahasiswa seperti organisasi mahasiswa Indo/Belanda,
organisasi mahasiswa Tionghoa. Kongres Hindia ini diketuai oleh Hubertus
Johannes van Mook, kelahiran Semarang yang kelak dikenal sebagai Letnan Gubernur
Jenderal NICA/Belanda (dalam perang kemerdekaan). Dalam kongres ini, para
anggota Indische Veteeniging yang diwakili antara lain Sorip Tagor dan Dahlan
Abdullah untuk kali pertama mendeklarasikan identitas diri mereka sebagai orang
Indonesia (Wij Indonesier). Dengan demikian dalam kongres mahasiswa Hindia
(Indische) ini paling tidak teridentifikasi tiga golongan: Indo/Belanda,
Tionghoa dan Indonesia (tidak teridentifikasi apakah ada mahasiswa dari kelompok
Arab).
Pada
tahun 1918, seorang krani (juru tulis), bernama Parada Harahap di perkebunan
mulai gerah dan tidak tahan melihat penindasan yang dialami oleh koeli dari
Djawa oleh para planter (Eropa/Belanda). Lalu Parada Harahap mulai melakukan
investigasi dan mengirmkan laporannya ke surat kabar Benih Merdeka di Medan.
Lalu laporan ini disajikan dalam sejumlah artikel yang kemudian dilansir surat
kabar Soeara Djawa. Heboh di Djawa. Satu yang pertama pasca kehebohan itu dan
setelah dilakukan penyelidikan, Parada Harahap dipecat sebagai krani.
Sebelumnya, Dr.
Soetomo pernah mengeluhkan penderitaan koeli asal Djawa di Deli. Raden Soetomo
lulus STOVIA tahun 1911 dengan menyandang gelar baru sebagai dokter. Selanjutnya
Raden Soetomo ditempatkan di Semarang. Kemudian dari Semarang dipindahkan ke
Rembang Residentie Toeban (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
01-03-1912). Raden Soetomo dipindahkan dari Semarang ke Loeboek Pakam, Oostkust
Sumatra (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 07-03-1912).
Selanjutnya Raden Soetomo dipindahkan dari Loeboek Pakam kembali ke Djawa
(Bataviaasch nieuwsblad, 11-05-1914). Di Batavia, Dr. Soetomo melakukan orasi
di Boedi Oetomo cabang Batavia yang dipimpin oleh Dr. Sardjito dengan topik
poenalie sanctie kuli kontrak di Deli. Dr. Soetomo dalam orasi tersebut
menggarisbawahi bahwa orang Jawa (baca: Boedi Oetomo) tidak bisa sendiri
mengatasi persoalan kuli asal Jawa di Deli. Orang-orang di luar Jawa terutama
Batak dan Minahasa/Manado juga banyak yang terpelajar. Orasi Dr. Soetomo, yang
hampir empat tahun berada di Deli’ seakan di depan anggota Boedi Oetomo ingin
mengingatkan mengapa Soetan Casajangan pada tahun 1908 (beberapa bulan setelah
pendirian Boedi Oetomo) berisiatif mendidirikan Indisch Vereeniging (Organisasi
mahasiswa bersifat nasional, sementara Soetan Casajangan hanya sendiri orang
Batak sementara anggota Indisch Vereeniging yang jumlahnya sekitar 20 mahasiswa
yang sebagian besar berasal dari Jawa). Setelah tiga tahun orasi Dr. Soetomo
tentang soal koeli asal Djawa di Deli muncul hasil investigasi Parada Harahap.
Benar seperti yang dikatakan Dr. Soetomo bahwa orang Jawa tidak bisa sendiri
mengatasi persoalan kuli asal Jawa di Deli.
Setelah
dipecat di perkebunan, Parada Harahap merantau ke Medan dan melamar menjadi
wartawan. Awalnya di Pewarta Deli tetapi kemudian surat kabar Benih Merdeka
merekrutnya untuk menjadi editor. Namun tidak lama kemudian surat kabar Benih
Merdeka dibreidel. Parada Harahap pulang kampong di Padang Sidempoean dan pada
tahun 1919 Parada Harahap mendirikan surat kabar baru di Padang Sidempoean yang
diberi nama Sinar Merdeka. Namun surat kabar ini tidak bertahan lama karena
dibreidel pemerintah tahun 1922. Parada Harahap kemudian hijrah ke Betavia dan
pada tahun 1923 mendirikan surat kabar Bintang Hindia.
Surat kabar
Bintang Hindia berhaluan nasional maju pesat bahkan telah mengalahkan tiras
surat kabar Neraca yang dipimpin oleh Abdul Moeis (pentolan Sarikat Islam).
Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi pertama yang
diberi nama Alpena (untuk mengimbangi kantor berita Eopa/Belanda, Aneta. Untuk
mendukung Alpena, Parada Harahap merekrut WR Supratman dari Bandoeng sebagai
editor (WR Supratman tinggal di rumah Parada Harahap). Pada tahun ini Parada
Harahap melakukan kunjungan jurnalistik ke kota-kota di Sumatra dan
Semenanjung. Laporan ini awalnya dimuat di Bintang Hindia kemudian dibukukan dan
diterbitkan oleh Percetakan/Penerbit Bintang Hindia pada tahun 1926.
Tunggu deskripsi
lengkanya....yang pada intinya mendeskripsikan sebagai berikut:: Embrio bangsa
Indonesia mulai terbentuk sejak 1898 ketika Dja Endar Moeda coba menghalangi
pemisahan di antara para pribumi (Inlandsche). Embrio bangsa Indonesia ini
menunjukkan bentuknya pada tahun 1908 ketika Soetan Casajangan di Belanda membentuk
perhimpunan pribum yang diberi nama Indonesia pada tahun 1917. Kesadaran
berbangsa Indonesia menjadi menyeluruh pada tahun 1927 ketika pemimpin pribumi
Indonesia bersepakat membentuk Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan
Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Konsep bangsa Indonesia didukung habis para
pemuda pada Kongres Pemuda 1928: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa—Indonesia.
Sehubungan dengan kelahiran PPPKI dan dukungan para pemuda, Parada Harahap
mulai mengklaim bahwa wilayah Hindia Belanda adalah warisan nenek moyang Bangsa
Indonesia, bukan Bangsa Belanda. Parada Harahap terus menangkis serangan pers
berbahasa Belanda klaim tersebut. Parada Harahap lalu membelakangi (bangsa) Belanda
sebagai penjajah dan tahun 1933 mulai melirik Bangsa Jepang sebagai partner
dalam kerjasama (setara). Pada bulan November 1933 Parada Harahap memimpin
tujuh revolusioner Indonesia berkunjung ke Jepang (termasuk Mohamad Hatta).
Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia: Bangsa Indonesia = Darah
Indonesia
Tunggu deskripsi lengkanya....yang pada
intinya mendeskripsikan sebagai berikut: Boedi Oetomo, setelah sekian lama
akhirnya mulai bergeser turut mendukung perjuangan bangsa Indonesia dan
puncaknya pada tahun 1935 Boedi Oetomo dibubarkan dan melakukan fusi dengan
Partai Bangsa Indonesia (PBI) dengan membentuk nama baru Partai Rakjat
Indonesia (Parindra). Langkah Boedi Oetomo ini kemudian diikuti oleh komunis
Arab pada tahun 1936 dengan membentuk Persatoean Arab Indonesia (PAI) dan juga
diikuti oleh komunitas Tionghoa dengan membentuk Persatoean Tionghoa Indonesia.
Komunitas orang-orang peranakan Eropa/Belanda (Indo) juga bergeser ingin
berjuang bersama Bangsa Indonesia. Semua persatuan/partai yang berafiliasi
Indonesia membentuk gabungan yang baru pada tahun 1939 yang disebut Gabungan
Politik Indonesia (GAPI). Struktur pengurus adalah Abikusno Tjokrosuyoso (PSII)
sebagai Sekretaris Umum, Amir Sjarifoeddin Harahap (Gerindo) sebagai Wakil Sekretaris
dan Husni Thamrin (Parindra) sebagai Bendahara. Singkat kata: sebelum berakhir
era kolonial Belanda indentitas Darah (Bangsa) Indonesia sudah terbentuk. Orang-orang
berdarah (Bangsa) Eropa/Belanda sudah ditinggalkan, mulai melemah, sebaliknya
orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai Bangsa (berdarah) Indonesia
semakin menguat. Pada era penduduk militer Jepang (sejak 1942) semua yang
berdarah (bangsa) Eropa/Belanda diinternir sementara yang berdarah (bangsa
Indonesia) apakah Pribumi, Tinghoa dan Arab diberi kebebasan. Pada saat
persiapan kemerdekaan Indonesia, pemerintah militer Jepang membentuk apa yang
disebut BUPKI yang anggotanya terdiri dari wakil-wakil Pribumi, Tionghoa dan
Arab. Ketika Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir.
Soekarno membacakan atas nama/wakil-wakil (berdarah) Bangsa Indonesia. Sejak
ini semua yang mengakui RI adalah Bangsa Indonesia atau Berdarah Indonesia.
Dengan kata lain setiap orang Jawa, Batak, Sunda dan lainnya mengakui berdarah
(berbangsa) Indonesia, demikian juga setiap Tionghoa, Arab atau lainnya
mengakui berdarah (berbangsa Indonesia). Orang-orang yang tidak mengakui itu
bukan Bangsa Indonesia, bukan Darah Indonesia. Dalam hal ini disebut Bangsa/Darah
Indonesia jika lahir di Indonesia dan menjadi (Diakui) Warga Negara Indonesia
atau WNI (proses budaya dan proses politik). Sedangkan Warga Negara Indonesia
(WNI) sendiri adalah Bangsa/Darah Indonesia dan individu yang telah dinaturalisasi,
diakui sebagai Warga Negara Indonesia (proses administratif).
Lantas bagaimana dengan
Agnes Monica? Si Nona cantik dan Si Penyani pintar ini adalah orang Indonesia,
bangsa Indonesia dan berdarah Indonesia. Hanya saja dalam kalimatnya tidak pas
ketika dia menjawab pertanyaan. Agnes Monica tidak mengikuti (tidak terlalu
paham) soal proses Indonesiasi. Tentu saja itu tidak semua salah Agnes, tetapi
juga dalam hal ini termasuk (cara penulisan) narasi Sejarah Indonesia yang ikut
memberi kontribusi. Sejauh Agnes Monica memiliki NIK, Paspor Indonesia dan
mengakui sebagai anak Bangsa Indonesia, Agnes Monica adalah Bangsa Indonesia,
Berdarah Indonesia. Soal keliru dalam omongan masih dapat diluruskan. Terus
berkarya Nona Pintar, berkarya atas nama Bangsa Indonesia, atas nama Darah
Indonesia. Cukup katakan Orang Indonesia atau Bangsa Indonesia atau Berdarah
Indonesia. Apa susahnya bilang Orang Indonesia, Bangsa Indonesia, Berdarah Indonesia.
Tunggu
deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar