*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini
Seperti Orang Angkola Mandailing dan Orang
Agam, Orang Kerinci juga berada di pedalaman Sumatra di pegunungan Bukit Barisan.
Kabupaten Kerinci, kini masuk provinsi Jambi, dapat diakatakan satu-satunya di
provinsi Jambi yang bernuansa pegunungan. Memang ada Pegunungan 12 dan
Pegunungan 30, tetapi yang dimaksud adalah pegunungan Bukit Barisan yang lebih
dekat ke pantai barat Sumatra.
Suku Kerinci adalah suku bangsa atau kelompok etnik pribumi Sumatra yang mendiami wilayah Kabupaten Kerinci, Kota Sungai Penuh, Jambi dan daerah lainnya. Bahasa Suku Kerinci termasuk ke dalam rumpun bahasa Austronesia, Melayu Polinesia Barat, keluarga bahasa Melayu dan juga Minangkabau. Berdasarkan bahasa dan adat-istiadat termasuk dalam kategori Melayu proto, dan paling dekat dengan Jambi (Melayu deutro) dan juga Minangkabau (Melayu deutro). Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci yang merupakan bagian dari bahasa Melayu, bahasa Kerinci memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda cukup signifikan antar satu dusun dengan dusun lainnya di dalam wilayah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Untuk berbicara dengan pendatang biasanya digunakan bahasa Melayu lainnya seperti bahasa Melayu dialek Jambi untuk berkomunikasi serta bahasa Minangkabau juga digunakan karena pendatang dari Sumatra Barat juga cukup signifikan, bahasa Minang utamanya dipakai di pasar-pasar wilayah kabupaten kerinci khususnya di kota sungai penuh. Bahasa Indonesia juga digunakan untuk berkomunikasi kepada pendatang dari luar, dan menjadikan bahasa ini menjadi bahasa kedua setelah bahasa daerah disana. Suku Kerinci memiliki aksara yang disebut aksara incung yang merupakan salah satu variasi surat ulu. Sebagian penulis seperti Van Vollenhoven memasukkan Kerinci ke dalam wilayah adat (adatrechtskring) Sumatra Selatan, sedangkan yang lainnya menganggap Kerinci sebagai wilayah rantau Minangkabau. Suku Kerinci merupakan masyarakat matrilineal. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah Orang Kerinci di pedalaman Sumatra pegunungan Bukit Barisan? Seperti yang disebut di atas, geografi kabupaten Kerinci adalah khas dan juga masyarakatnya diantara penduduk provinsi Jambi yang dikenal sebagai Orang Kerinci, yang awalnya berpusat di sekitar danau Kerinci. Kota terbesar di kabupaten Kerinci adalah Kota Sungai Penuh. Lalu bagaimana sejarah Orang Kerinci di pedalaman Sumatra pegunungan Bukit Barisan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Orang Kerinci di Pedalaman Sumatra Pegunungan Bukit Barisan; Danau Kerinci dan Terbentuknya Kota Sungai Penuh
Ada dua wilayah di provinsi Jambi yang berada pada situasi dan kondisi yang khas. Dua wilayah itu adalah wilayah Kerinci dan wilayah Tungkal. Dua wilayah ini secara geografis di provinsi Jambi tidak terhubung dalam navigasi sejarah zaman kuno di daerah aliran sungai Batanghari. Wilayah Kerinci berpusat di danau Kerinci di pantai barat Sumatra (kini ibu kota Sungai Penuh) dan wilayah Tungkal berpusat di daerah aliran sungai Batang Tungkal di pantai timur Sumatra (kini ibu kota Kuala Tungkal). Artikel ini fokus wilayah di Kerinci dimana terdapat Orang Kerinci (wilayah Tungkal pada artikel berikutnya).
Secara geomorfologis, antara wilayah Kerinci dengan wilayah Tungkal,
menjadikan sejawah awal kedua wilayah menjadi sangat berbeda.Wilayah Kerinci berada
di wilayah pegunungan, wilayah Tungkal di hilir daerah sungai di pesisir
pantai. Secara heologis, wilayah pegunungan terbentuk dari awal pembentuk permukaan
bumi, berbatu, sedangkan wilayah pantai cenderung terbentuk karena proses
sedimentasi yang membentuk daratan, berpasir. Batu di lereng/gunung, pasir di
pantai/laut. Ekosistem yang berbeda, flora dan fauna juga berbeda. Wilayah pegunungan
kehidupan awal, wilayah pantai kehidupan lebih baru. Yang menghubungkan
keduanya adalah sungai, sungai yang berhulu di pegunungan dan berhilir/muara di
laut. Dalam konteks inilah kita membicarakan Orang Kerinci di dekat danau Kerinci.
Bagaimana Orang Kerinci sulit dipahami jika hanya melihat tipologi ekologi pegunungan (gunung dan danau pegunungan) yang relatif terhadap ekologi di pesisir. Jika kita sampai di sekitar danau Kerinci, yang menjadi pusat peradaban awal di wiilayah Kerinci, pandangan pertama tertuju pada bentuk dan arsitektur bangunan rumah. Tampak berbeda dengan bentuk/arsitektur di wilayah Minangkabau dan di wilayah Jambi (daerah hilir sungai Batanghari). Bentu bangunan rumah di Kerincil mirip dengan di Redjang/Lebong (Bengkulu/Palembang) dan arsitekturnya khususnya atap mirip di Tanah Batak seperti di Angkola Mandailingan.
Bagaimana Orang Kerinci berproduksi, Bertani dengan sawah-sawah yang luas
tidak ada perbedaan dengan cara penduduk bersawah di di wilayah hilir di daerah
aliran sungai Batanghari (Jambi) dan di hulu aliran sungai Batanghari
(Minangkabau). Demikian juga bagaimana Orang Kerinci mengolah hasil hutan
seperti kulit manis dan kopi.
Jika diperhatikan lebih lanjut Orang Kerinci berbahasa dengan bahasa yang berbeda dengan di Jambni dan di Minangkabau. Ada unsur bahasa Melayu yang kuat dan bahasa Minangkabau (ada pengaruh bahasa Melayu sebagai dasar dan pengaruh bahasa Minangkabau sebagai lanjutan). Namun ada satu hal yang khusus bahasa Orang Kerinci, ada banyak kosa kata yang tidak dikenal dalam bahasa Melayu maupun bahasa Minangkabau. Boleh jadi kosa kata yang kurang dikenal (umum) tersebut merupakan sisa bahasa Orang Kerinci yang asli (di zaman kuno). Unsur kurang dikenal dari bahasa Orang Kerinci ini kira-kira mirip yang terjadi dalam bahasa Orang Rejang (selatan wilayah Kerinci).
Ada perbedaan antara bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau. Seperti disebut
di atas, banyak persamaan, namun terutama dalam pelafalan yang berbeda. Kosa
kata dalam bahasa Minangkabau yang kurang dikenal di wilayah berbahasa Melayu (di
Jambi) boleh jadi merupakan siswa bahasa asli Minangkabau. Kosa kata Minangkabau
yang dapat dikatakan bersifat orirgin (asli, berbeda bahasa Melayu) ini banyak
yang memiliki kemiripan dengan bahasa Batak (khususnya Angkola Mandailing). Dalam
konteks inilah seakan mengindikasikan bahasa Orang Kerinci dipengaruhi oleh
bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau, sementara bahasa (asli) Minangkabau sendiri
(diduga) diperngaruhi sangat kuat oleh bahasa Melayu. Dengan mengeluarkan
bahasa Melayu dalam perbandingan, lantas apakah ada garis continuum
bahasa-bahasa di Sumatra di wilayah pedalaman, mulai dari selatan
(Redjang/Lampuung), di tengah (Kerinci dan Minangkabau) hingga di utara (Batak
dan Gayo).
Jika kita perhatikan kembali lingkungan yang sama (wilayah pegunungan Sumatra), bentuk dan arsitektur rumah dan bahasa, lalu apakah dalam hal ini Orang Kerinci merupukan salah satu bagian dari garis continuum peradaban awal di Sumatra yang secara geomorfologis bermula di pegunungan yang berpusat di sekitar danau-danau pegunungan (danau Ranau, danau Kerinci, danau Singkarak, danau Maninjau, danau Siabu, danau Toba, danau Takengon dan danau Tangse). Lalu muncul pertanyaan: setelah memperhatikan bahasa, jaman setelah era bahasa Sanmskerta dan aksara Pallawa, lantas mengapa di wilayah Minangkabau tidak ditemukan aksara asli (hanya aksara Jawi, Arab gundul).
Di Nusantara ada dua jenis aksara yang umum (masih eksis dan digunakan
hingga masa ini): aksara Jawa dan aksara Batak. Aksara Jawa memiliki kemiripan
dengan di wilayah Sunda dan di wilayah Bali/Lombok. Meski ada perbedaan yang
kontras antara aksara di Jawa dan aksara di Sumatra, tipologi aksara Batak
(Angkola Mandailing) memiliki kedekatan dengan aksara-aksara di wilayah selatan
(Kerinci dan Lampong) dan di wilayah utara (Toba dan Gayo). Apakah dalam hal
ini di masa lampau ada aksara Minangkabau, tetapi kemudian digantikan sepenuhnya
oleh aksara Jawi? Lalu apakah siswa aksara Minangkabau zaman kuni tersebut
masih dapat ditemukan dalam aksara Kerinci di selatan dan aksara Angkola
Mandailing di utara?
Orang Kerinci di wilayah pegunungan di sekitar danau Kerinci memiliki wujud peradaban sendiri. Namun seperti disebut di atas, dalam peradaban/kebudayaan Orang Kerinci masa kini, tampaknya telah terserap dari peradaban/kebudayaan tetangga, terutama dari wilayah Jambi dan wilayah Minangkabau. Elemen-eleman kebudayaan antara lain bahasa, religi, seni, teknologi dan adat istiadat lainnya.
Dalam studi yang dilakukan oleh Monita Sholeha dan Hendrokumoro (2022) yang
berjudul ‘Kekerabatan Bahasa Kerinci, Melayu Jambi, dan Minangkabau’ disimpulkan
Bahasa Kerinci dan Melayu Jambi memiliki persentase kekerabatan 85,5%, bahasa Kerinci
dan Minangkabau 81%, dan bahasa Melayu Jambi dan Minangkabau 77,5%. Bahasa
Kerinci dan Melayu Jambi diperkirakan merupakan bahasa yang tunggal pada
439-307 tahun yang lalu atau antara 1583—1715 M. Adapun bahasa Kerinci dan
Minangkabau merupakan bahasa yang tunggal pada 577-423 tahun yang lalu atau
antara 1445—1599. Bahasa Melayu Jambi dan Minangkabau merupakan bahasa yang tunggal
pada 692-516 tahun yang lalu atau antara 1330—1506. Dalam kamus Bahasa Kerinci
Indonesia (1985) disebutkan bahasa Kerinci memiliki awalan yang khusus yakni
ma/mar, sesuatu yang tidak ditemukan dalam bahasa Melayu dan bahasda Minangkabai
tetapi ditemukan dalam bahasa Batak.
Danau Kerinci dan Terbentuknya Kota Sungai Penuh: Bagaimana Peradaban Kerinci Tumbuh dan Berkembang
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar