*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Gunung meletus, gempa dan banjir, tsunami
adalah kejadian yang sangat dirasakan dampaknya sejak tempoe doeloe. Tentu saja
ada epidemic dan serangan binatang buas, kejadian alam banjir kerap menjadi
sumber pemberitaan. Terjadi di banyak tempat, termasuk di Surakarta. Banjir di
Surakarta tidak hanya di daerah aliran sungai bengawan solo rivier.
Ngerinya Banjir Besar di Solo Maret 1966, Puluhan Nyawa Melayang. Solopos.com. Banjir besar merendam hampir 75% wilayah Kota Solo pada 1966 menimbulkan kengerian. Sebanyak 90 orang meninggal. Berdasarkan catatan dan data dihimpun Solopos.com, banjir besar berlangsung tiga hari yakni 16-18 Maret 1966. Ridha Taqobalallah dari Ilmu Sejarah UNS Solo dalam skripsinya ‘Banjir Bengawan Solo Tahun 1966’: Masyarakat Kota Solo menyebut jumlah korban jiwa dalam banjir mencapai 90 orang, 72 warga Solo dan 18 warga luar Solo. Selain itu, 611 rumah roboh dan 711 rumah rusak plus tiga rumah yang terbakar. Sebanyak 7.500 orang kehilangan tempat tinggal. Banjir dipicu luapan Sungai Bengawan Solo yang mengakibatkan tanggul-tanggul penahan jebol. Politikus PDIP Solo YF Sukasno yang saat kejadian masih berusia tujuh tahun ingat betul kengerian banjir pada Maret 1966 itu. Menurut Sukasno, banjir diawali dengan hujan selama tiga hari berturut-turut. Lalu pada 16 Maret 1966 sore, Sukasno ingat air mulai masuk perkampungan. Sukasno kemudian diajak keluarganya untuk mengungsi ke SD Widya Wacana Solo. Malamnya, Sukasno bersama keluarga dan beberapa tetangga keluar untuk melihat situasi di sekitar SMAN 3 Solo. “Kira-kira pukul 19.30 WIB geger terdengar orang teriak-teriak tanggule jebol. Saya malah lari ke pinggir jalan, dicari orang tua, dimarahi,” katanya saat diwawancarai Solopos.com beberapa waktu lalu. Berdasarkan Peta Banjir 1966 FS DRIP Kota Surakarta diketahui banjir menggenangi hampir tiga perempat wilayah Solo. Wilayah terdampak banjir meliputi Pasar Kliwon, Jebres, Serengan, dan Banjarsari (https://www.solopos.com/)
Lantas bagaimana sejarah banjir di Surakarta, masa ke masa sejak era Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, kota Surakarta adalah wilayah rawan banjir sedari dulu. Berdasar memory warga Solo terjadi banjir besar tahun 1966. Sejatinya banjir di Surakarta sudah diketahui sejak era VOC. Apakaha Sungai Bengawan Solo Rivier sudah aman? Lalu bagaimana sejarah banjir di Surakarta, masa ke masa sejak era Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Banjir di Surakarta, Masa ke Masa Sejak Era Hindia Belanda; Sungai Bengawan Solo Rivier Apakah Sudah Aman?
Seperti dikutip di atas, banjir besar terjadi di Surakarta tahun 1966. jumlah korban jiwa mencapai 90 orang, 611 rumah roboh dan 711 rumah rusak. Sebanyak 7.500 orang kehilangan tempat tinggal. Banjir ini dipicu luapan sungai Bengawan Solo yang mengakibatkan tanggul-tanggul penahan jebol. Tentulah banyak banjir-banjir berikutnya yang mungkin dengan skala kecil. Namun sesungguhnya banjir di Surakarta sudah sejak lama ada, bahkan sejak zaman kuno, hanya saja tidak tercatat. Satu abad yang lalu tahun 1861 dilaporkan adanya banjir di Surakarta dimana sungai Solo meluap.
Rotterdamsche courant, 15-04-1861: ‘Soerakarta. Dilaporkan melalui telegraf bahwa banjir besar yang disebabkan oleh luapan air di sungai Solo telah terjadi di Surakarta. Sabtu pagi, 23 Februari, air mencapai titik tertinggi, dan masih terlihat genangan 2 hasta di bekas banjir tertinggi tersebut. Rumah Residen, kantor telegraf dan banyak tempat lainnya, air setinggi 6 kaki. Sejak saat itu air surut, tetapi sangat lambat. persediaan di tempat, serta barang dagangan lain dan barang rumah tangga orang Eropa, orang Cina dan pangeran pribumi sebagian besar telah musnah oleh air. Selain itu beberapa orang telah hilang dan sangat banyak kuda dan ternak juga yelah hilang. Harga tinggi telah dapat dipulihkan oleh kerabat Soesoehoenan dan Pangeran Mangkoe Negoro dari luar kota, sementara warga masih tinggal di atap dan lantai atas rumah mereka mencari perlindungan. Para tahanan, yang tidak makan selama 36 jam, berusaha melakukan kerusuhan dan melarikan diri. Akan tetapi, karena tindakan tegas Residen, pemberontakan di penjara itu dapat diatasi; dan kemudian tahanan juga disediakan makanan dan lalu mereka diam sejak itu. Pemerintah menerima bantuan dari para pangeran dan kepala pribumi yang hanya dapat mereka berikan sampai batas tertentu. Pada malam tanggal 24 hingga 25, air surut secara signifikan. Akibatnya, komunikasi hampir sepenuhnya dibuka kembali. Namun demikian, banyak yang masih menemukan diri mereka dalam keadaan yang mengkhawatirkan saat ini sehubungan dengan ketersediaan makanan mereka. Menurut laporan lebih lanjut yang diterima, air terus turun pada tanggal 26 dan kemudian habis sama sekali. Dimana pun ada kebutuhan akan makanan, dewan memenuhinya sebanyak mungkin. Bahan makanan disediakan dengan harga yang relatif wajar. Jumlah pasti korban belum dapat diketahui, tetapi sekarang terbukti tidak sepenting yang dikhawatirkan. Disisi lain, kerusakan properti sangat besar. Belum ada laporan yang diterima tentang dampak banjir terhadap tanaman ladang’.
Banjir di Surakarta tidak sendiri, tetapi merupakan banjir karena hujan yang intens di berbagai wilayah. Berapa korban jiwa di Surakarta belum diketahui. Di sejumlah distrik sudah ada yang dapat memperkirakan korban jiwa. Dari gambaran yang ada banjir yang relative bersamaan dengan di Surakarta tergolong sebagai bencana nasional.
Sementara di dalam laporan itu disebutkan dari Bagelen
diterima
telegram menginformasikan bahwa pada tanggal 19 Februari lalu, hujan deras terus menerus telah
turun, menyebabkan semua sungai meluap tepiannya, sebagian naik 25 kaki dalam beberapa jam. Di
distrik Loana saja, lebih dari 200 orang, termasuk dua kepala desa, tewas
akibat tanah longsor. District Kadoe sepenuhnya terisoalasi. Semua jembatan di distrik Ledok dan di Bagelen selatan telah runtuh. Disana
juga, jumlah nyawa manusia yang hilang pasti banyak. Kota utama Koeto-Ardjo
sudah lenyap tidak ada lagi. Pegawai kolektor disana telah
kehilangan lima anaknya, dan juga semua pemimpin lokal lainnya, istri dan anak mereka. Air
setinggi 5 kaki di rumah Controleur. Jalur
telegraf antara Koeto-Ardjo dan Magelang tertimbun di lima tempat yang longsor.
Residen berhasil mencapai Koeto-Ardjo dengan mempertaruhkan nyawanya untuk
menilai situasi. Penderitaan warga tak
terlukiskan. Semua sawah tertutup lumpur setinggi kaki, sementara hasil panen
hilang sama sekali. Gaji satu bulan sudah dibayarkan Residen kepada pemimpin local dan pejabat yang kehilangan
harta benda. Transportasi pengirim semuanya hilang. Orang-orang dan para pemimpin local benar-benar putus asa untuk
saat ini. Pesan telegraf tanggal
28 Februari memberikan gambaran singkat tentang bencana terakhir, yaitu: Di district Ledok semua jembatan, tanpa kecuali,
telah hanyut, kecuali sebagian di jalan menuju Sapoeran. Sebanyak 200 orang telah meninggal di wilayah itu, sedangkan banjir telah
menyebabkan kerusakan besar pada jalan, rumah dan desa, tetapi lebih sedikit
pada sawah. Enam jembatan utama telah hancur di Bagelen Selatan, empat di
antaranya berada di jalan pedalaman dan dua di jalan pos utama di Poerworejo. Sebanyak 500 nyawa telah hilang disini.
Koeto Arsjo dan setengah dari wilayah Keboemen hancur; sementara
Karanganjar dan Poerworejo sebagian besar terhindar. Ambal hampir seluruhnya
tergenang air. Padi setengah matang dari 15.000 bau (dua pertiganya bisa ditanam lagi Mei mendatang)
telah hilang. Dua puluh ribu rumah. Separuh dari populasi kehilangan
properti dan untuk sementara tanpa kondisi hidup. Semua saluran irigasi tertimbun lumpur, rusak atau
hancur. Gudang garam telah terhindar. Jumlah orang yang membutuhkan
diperkirakan mencapai 50.000 orang. Dari Koeto-ardjo, dua pertiga penduduk
telah menfungsi sementara. Desa-desa masih terendam air. Di Banjoemas, juga rusak parah akibat banjir.
Menurut telegram yang diterima dari Residen, semua
orang Eropa diketahui telah diselamatkan. Hampir semuanya bersama Residen mengungsi ke perbukitan. Mereka telah kehilangan
segalanya, tetapi untuk saat ini mereka hanya memikirkan cara untuk memenuhi
kebutuhan penduduk. Kesengsaraannya begitu besar
sehingga orang tidak dapat membayangkannya. Para kepala pemerintahan daerah
yang bersangkutan telah disurati oleh Pemerintah untuk segera menggunakan
segala cara yang memungkinkan untuk memberikan bantuan dan pertolongan. Pada tanggal 26 Februari air surut, sehingga
jalan-jalan masih tertutup pepohonan dan reruntuhan rumah. Seluruh lembah itu diselimuti lapisan lumpur,
yang di beberapa tempat tingginya 4 kaki, sebanyak 2.700 orang diberi makan hari itu. Residen bersama 40 orang Eropa di
sebuah rumah bambu kecil. Tidak bisa dibayangkan pada awalnya. Semangat
penduduk itu baik. Penyediaan beras segera memiliki efek yang sangat baik pada
hal ini. Jika semua tahanan melarikan diri pada saat kesusahan yang
ekstrim ini, tidak dapat dibayangkan untuk
saat ini. Banyak mayat di lembah mulai membusuk dan menyebarkan bau
yang paling tidak menyenangkan. Pada 1 Maret, sekitar 1.000 orang dari berbagai
distrik sudah bekerja untuk membersihkan mayat dan bangkai. Banyak pencurian
dilakukan di kota, mungkin oleh para tahanan yang melarikan diri dan orang jahat lainnya. Polisi
belum bisa bekerja secara teratur. Pada tanggal 28 Maret, dewan menyediakan
makanan untuk 6.845 orang’Lebih.
Pada awal permulaan era Pemerintah Hindia Belanda, banyak hal yang terjadi di berbagai wilayah yang berdampak buruk bagi penduduk dan lingkungan, seperti perampokan/bajak laut di pulau-pulau dan pantai-pantai, juga bahaya banjir di sekitar muara-muara sungai dan bahaya bencana gunung meletus di hulu di lereng-lereng gunung. Belum lagi memperhitungkan epidemic dan kekurangan pangan karena berbagai factor dan semakin buruk ketika terjadi perang (adanya pemberontakan). Di Surakarta masalah banjir adalah yang kerap terjadi. Banjir yang terjadi tahun 1861 tersebut sebenarnya lima tahun sebelumnya juga di Surakarta ada banjir.
Javasche courant, 05-01-1856: ‘Soerakarta. Pada sore hari tanggal 20 Desember 1855, hujan deras turun selama beberapa jam di ibu kota Soerakarta, setelah itu terjadi banjir yang meningkat begitu cepat sehingga dalam beberapa saat sejumlah rumah, terutama di sebelah barat benteng. ke utara dan selatan ke arah rumah tempat tinggal Residen, hingga dua setengah meter air tingginya. Kantor Residen dan ruang kas pemerintah benar-benar kebanjiran dalam beberapa saat. Bagian dari penutup lereng benteng di sudut barat daya telah runtuh, demikian pula bagian dari dinding tembok gereja, sementara beberapa dinding tempat tinggal pribadi mengalami kerusakan. Di kampung-kampung di dalam ibu kota dan sepengetahuannya, air naik sedemikian tinggi sehingga beberapa rumah terbalik dan terbawa arus, sementara banyak ternak kecil, seperti domba, kambing, dan beberapa babi mati; seorang lelaki tua yang tidak bisa menyelamatkan dirinya kehilangan nyawanya dalam bencana ini. Beberapa jembatan banyak yang rusak, begitu pula jalan yang sekarang sedang dikerjakan dengan susah payah. Sementara itu di Bagelen, akibat hujan lebat, tiga puluh dua tanah longsor terjadi di kawasan pegunungan district Tjangkreb, Afdeeling Poerworejo’.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sungai Bengawan Solo Rivier Apakah Kini Sudah Aman? Belajar dari Banjir agar Tidak Kebanjiran
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar