*Untuk melihat semua artikel Sejarah Surakarta/Solo dalam blog ini Klik Disini
Ibarat Jakarta (dulu: Batavia) dampak letusan
gunung Salak dan gunung Pangrango sangat terasa. Tentu saja kurang lebih sama dengan
Surakarta dimana terdapat gunung Merapi dan gunung Lawu. Seperti apa dampaknya?
Nah, itu yang ingin kita pahami. Satu yang jelas, seperti sungai Tjiliwong di
Jakarta, sungai Bengawan Solo berhulu di gunung Merapi dan gunung Lawu.
Gunung Merapi (ketinggian puncak 2.930 M adalah gunung berapi di bagian tengah Pulau Jawa dan merupakan salah satu gunung api teraktif di Indonesia. Lereng sisi selatan berada dalam administrasi Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan sisanya berada dalam wilayah Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Magelang di sisi barat, Kabupaten Boyolali di sisi utara dan timur, serta Kabupaten Klaten di sisi tenggara. Gunung ini memiliki potensi kebencanaan yang tinggi karena menurut catatan modern, gunung merapi telah mengalami erupsi setiap dua sampai lima tahun sekali. Sejak tahun 1548, gunung ini sudah meletus sebanyak 68 kali. Gunung Lawu terletak di Pulau Jawa, tepatnya di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Gunung Lawu terletak di antara tiga kabupaten yaitu Kabupaten Karanganyar di Jawa Tengah; Kabupaten Ngawi dan Kabupaten Magetan di Jawa Timur. Status gunung ini adalah gunung api "istirahat" (diperkirakan terakhir meletus pada tanggal 28 November 1885 dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Studi pada 2019 tentang geothermal heat flow menyugestikan bahwa Gunung Lawu masih aktif sampai sekarang. Di lerengnya terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu memiliki tiga puncak, yakni Hargo Dalem, Hargo Dumiling, dan puncak tertinggi bernama Hargo Dumilah (Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah gunung meletus di Surakarta, masa ke masa? Seperti disebut di atas, gunung Merapi dan gunung Lawu yang juga cukup dekat dengan wilayah Surakarta, dengan sendirinya mengalami dampak jika terjadi peristiwa letusan. Hingga masa ini gunung Merapi masih aktif dan apakah gunung Lawu tetap non-aktif? Bagaimanapun kewaspadaan tetap harus ada. Lalu bagaimana sejarah gunung meletus di Surakarta, masa ke masa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Gunung Meletus di Surakarta, Masa ke Masa; Gunung Merapi Masih Aktif, Apakah Gunung Lawu Non-Aktif?
Wilayah Soerakarta pada dasarnya diapit oleh dua gunung aktif (gunung Merapi dan gunung Lawoe). Tapi itu tempoe doeloe. Pada awal Pemerintah Hindia Belanda tidak ada laporan tentang meletusnya gunung Lawu. Dalam studi-studi Jung Huhn juga tidak ada ditemukan indikasi gunung Lawoe tercatat pernah meletus. Sebelumnya gunung Merapi meletus tahun 1823 dilaporkan oleh Residen Jogjakarta HG Nahuijs (dimana Nahuijs semasih menjadi residen Soerakarta pernah mendakinya hingga ke puncak pada tahun 1821).
Gunung Lawoe sudah dicatat sejak era VOC. Ahli geografi Belanda, Francois Valentijn di dalam bukunya mencatat nama gunung ini adalah gunung Loewoe (lihat Peta 1724). Pada awal Pemerintah Hindia Belanda nama Loewoe juga dipertukarkan dengan nama Loeboe (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1843). Gunung Lawu dicatat sesuai nama yang sekarang sudah muncul pada tahun 1820 (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 08-02-1820). Besar dugaan nama gunung Lawu pada awalnya adalah Loeboe dan kemudian bergeser menjadi Loewoe dan terakhir menjadi Lawoe (hingga sekarang). Nama Loeboe atau Loewoe adalah nama-nama kuno sejak era Hindoe Boedha (nama Lawu tidak dikenal sezaman itu). Loeboe atau Loewoe penamaan untuk kampong pada era Hindoe Boedha. Di Tapanoeli saling tertukar antara Loewoe/k dan Loeboe/k dimana variannya Loboe diartikan sebagai kampong tua (sudah lama ditinggalkan) dan Loeboek sebagai kampong (baru) di pinggir sungai dimana terdapat cekungan sungai yang dalam (banyak ikan). Penggunaan nama tempat Loewoe terdapat banyak tempat termasuk di Sulawesi dan Maluku. Oleh karena itu nama Lawu diduga merujuk nama kampong di zaman kuno. Di pulau Borneo, nama Loewoe bergeser menjadi Lawie.•
Catatan tertua meletusnya gunung Lawu terjadi pada
tahun 1885 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 16-12-1885). Disebutkan pada malam tanggal 27 hingga 28
November lalu, di Ngrambe (Residentie Madioen) antara pukul 01.00 hingga 04.00,
terdengar tiga kali embusan tumpul disertai suara gemuruh dari Gunung Lawoe,
sedangkan keesokan paginya di sungai-sungai yang bermuara di gunung itu, lumpur
berpasir vulkanik terlihat. Keesokan harinya, sekitar pukul 4 sore, terjadi
hujan abu ringan di tempat tersebut.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Gunung Merapi Masih Aktif, Apakah Gunung Lawu Non-Aktif? Riwayat Masa ke Masa
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar