Jumat, 04 Juli 2025

Sejarah Indonesia Jilid 5-1: Pemerintahan Hindia Belanda Dibentuk,Diakuisisi Properti VoC; Penduduk Menjadi Subyek Sejak 1665


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini

Dalam KBBI, "penjajahan" mengacu pada tindakan suatu negara atau bangsa yang menguasai dan mengendalikan negara atau bangsa lain secara paksa, biasanya untuk kepentingan ekonomi, politik, atau perluasan wilayah. Lebih lanjut, "penjajah" adalah negara atau bangsa yang melakukan tindakan penjajahan. Apakah penjajahan Belanda di Indonesia dimulai sejak Pemerintah Hindia Belanda terbentuk? Mari kita cek fakta! 


Jilid 5: Respons terhadap Penjajahan (Kerangka Konsep Penulisan “Sejarah Indonesia”): Keputusan pemerintah Belanda untuk menguasai kekayaan VOC yang bangkrut pada penghujung abad ke-18 menjadi awal dari usaha menjadikan Nusantara sebagai tanah jajahan. Sempat “jatuh” ke tangan Inggris, Belanda sejak 1810-an segera melakukan ekspansi kekuasaan ke semua wilayah (Pax Neerlandica). Hal itu menjadi awal, disusul berbagai kebijakan ekonomi dan politik yang diterapkan (sistem tanam paksa dan ekonomi liberal). Pembangunan infrastruktur, terutama jalan raya, pos, dan kereta api, yang berdampak besar pada perubahan sosial dan ekonomi. Bersama dengan itu, respons masyarakat Hindia Belanda terhadap penjajahan, dalam bentuk perang dan pemberontakan. Kelompok sosial yang memilih bersikap akomodatif terhadap kekuasaan kolonial, umumnya elite tradisional berbasis kerajaan dan kemudian pegawai kolonial, kelompok minoritas seperti Arab dan Cina, dan pemimpin agama yang tergabung dalam penghulu. Dinamika keagamaan di tengah hegemoni kolonial, mulai dari kegiatan misionaris hingga kebangkitan intelektual Islam yang berlangsung sejalan dengan intensifikasi jaringan dengan Mekkah pada abad ke-19. 

Lantas bagaimana sejarah properti VOC diakuisisi, dibentuk Pemerintah Hindia Belanda? Seperti disebut di atas, penjajahan mengacu pada tindakan suatu negara atau bangsa yang menguasai dan mengendalikan negara atau bangsa lain secara paksa. Penjajahan sudah dimulai sejak era VOC dimana penduduk dijadikan subyek sejak 1665. Lalu bagaimana sejarah properti VOC diakuisisi, dibentuk Pemerintah Hindia Belanda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Properti VOC Diakuisisi, Dibentuk Pemerintah Hindia Belanda; Penduduk Dijadikan Subyek Sejak 1665

Properti VOC tidak hanya benteng-benteng dan bangunan-bangunan lainnya, juga komitmen terhadap kontrak-kontrak yang diperjanjanjikan di dalam plakaat (dekrit antara Gubernur Jenderal VOC dengan para pemimpin lokal di berbagai wilayah). Bangunan bisa rusak seiring waktu berjalan, isi perjanjian (kontrak) bersifat abadi.


Seperti kita lihat nanti, Kerajaan Belanda sudah lama mengincar wilayah Hindia Timur. Namun hak perdagangan VOC di Hindia Timur tidak bisa diganggu gugat. Dari namanya saja, VOC sendiri adalah perusahaan dagang yang bersifat private (dan juga bukan ‘BUMN’-nya pemerintahan kerajaan Belanda). Perusahaan dagang swasta VOC sudah eksis lama bahkan telah beroperasi sejak 1619 (ketika benteng Kasteel Batavia didirikan di muara sungai Tjiliwong).

Sejak kehadiran ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman (1595-1597), belum ada perjanjian yang dilakukan oleh pelaut Belanda terhadap siapapun, baik pemimpin pribumi maupun orang-orang Portugis. Perjanjian (plakaat) pertama orang Belanda baru mulai dilakukan pada tahun 1619 oleh zoon Coen dengan Pangeran Jacatra. Sejak ini pulalah dapat disebut orang Belanda mulai berkoloni di Hindia Timur. Jan Pieter zoon Coen tidak hanya membangun benteng besar (Kasteel) Batavia, juga mulai merencanakan kota (stad) Batavia.


Ekspedisi pertama Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman sungguh sangat sengsara. Ketika pertama kali tiba di Hindia Timur di Enggano dan kemudian diterima di Dampin (pantai selatan Lampong) mulai ada harapan. Namun ketika eskpedisi berlabuh di teluk Banten, harapan yang semakin besar kemudian sirna karena ada resistentis orang Portugis dan kesultanan Banten akhirnya menolak kehadiran mereka. Mereka sempat ke Zunda Calapa dan perairan Iapara, namun ketika tiba di Toeban, reaksi orang Madoera di Arosbaja yang dihadapi. Salah satu kapal mereka sempat kandas di dekat pulau Mangare, sebelum beringgsut menuju Maluku. Di perairan Bali, kapal yang kandas tersebut mulai mengalami keruskan berat sehingga tujuan Maluku diurungkan dan berbelok ke selatan di kampong Lomboc. Di kampong ini mendapat rsistensi karena sudah ada koloni orang Iapara (dalam pengumpulan kayu). Lalu akhirnya kapal yang rusak tersebut dikosongkan dan lalu dibakar di dekat selat Lombok bagian selatan dan akhirnya tenggelam. Sebelum kembali ke Eropa, sisa ekspedisi singgah di pantai timur Bali. Cornelis de Houtman diterima dengan baik oleh Radja Bali. Sebulan setelahnya ekspedisi melanjutkan pelayaran mengitari pulau Bali dan selat Balambangan dan kemudian menyusuri selatan Jawa ke Afrika Selatan. Di Bali ada dua orang Belanda ditinggalkan. Dalam konteks ini pihak Belanda sudah melakukan MOU tetapi belum ke wujud perjanjian (plakaat). Singkatnya ekspedisi-ekspedisi Belanda susul menyusul ke Hindia Timur seperti yang dipimpin Oliver Nort. Kemudian Cornelis de Houtman kembali memimpin ekspedisi tahun 1599 namun ketika bentrok di Atjeh, Cornelis de Houtman meninggal. Adikanya Frederik de Houtman ditahan di Atjeh. Pada tahun 1605 ekspedisi Belanda yang kesekian yang dipimpin oleh admiral van Hagen menyerang Portugis di Amboina dan menduduki benteng Victoria dan kemudian Frederik de Houtman diangkat sebagai Gubernur. Rute navigasi pelayaran Belanda ke Maluku via Afrika Selatan dan selatan Jawa hingga Bali untuk menuju Maluku Portugis menjadi penghalang di Solor. Pada tahun 1612 dari Amboina ekspedisi dikirim ke Solor untuk menaklukkan benteng Solor. Ekspedisi juga manaklukkan benteng Portugis di Coepang (pulau Timor bagian barat). Sejak ini orang-orang Portugis bergeser ke bagian timur pulau Timor (yang kini menjadi wilayah Timor Leste). Dalam konteks inilah kemudian Jan Pieter zoon Coen membangun benteng di pulau Ontong Java (benteng Asmterdam) untuk berdagang dengan Banten. Namun orang Banten di Kerajaan Jacatra bereaksi. Perang tidak terhindarkan. Jan Pieter zoon Coen akhirnya berhasil menaklukkan (kerajaan) Jacatra. Orang-orang Banten mengungsi dari Jacatra, lalu Jan Pieter zoon Coen membuat perjanjian dengan Pangeran Jacatra tahun 1619. Inilah perjanjian pertama Belanda dengan orang pribumi di Hindia (Plakaat, 13 April, 11 dan 14 November 1620). Atas dasar plakaat itulah diduga yang menyebabkan Jan Pieterszoon Coen dapat merealisasikan membangun benteng besar (Kasteel Batavia) dan merencanakan kota (stad) Batavia.     

Koloni Belanda semakin dalam di Jacatra. Itu terjadi pada masa Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier. Hal itu karena sebelumnya banyaknya warga asing dari berbagai negara (kerajaan) yang bermukim di daerah aliran sungai Tjiliwong seperti Inggris, Portugis dan Jepang. Para warga itu banyak yang berhianat untuk melawan otoritas (orang) Belanda dan kemudian ada yang dihukum mati.


Pada saat Gubernur Jenderal Pieter de Carpentier semua plakaat yang ada sejak zoon Coen dibekukan dan diabaikan lalu kemudian dibuat plakaat-plakaat baru. Salah satu dari semua plakaat yang dikeluarkan Pieter de Carpentier yang terpenting saat itu adalah plakaat tertanggal 16 Juni 1625, karena isinya maupun cakupannya cukup baik (lihat Indisch Plakaat-boek). Dalam plakaat ini dengan tegas dinyatakan perihal Schepenen, Baljuw en Justitie dan hal lainnya, semua aturan dan tata tertib tersebut belum pernah dibuat, sebagaimana pengalaman sehari-hari menunjukkan bahwa hal itu berguna untuk perdamaian dan kesejahteraan masyarakat yang lebih besar.

Orang asing adalah musuh utama orang Belanda. Karena orang Belanda ingin mendirikan kekuasaan yang dapat mengatasi musuh-musihnya. Bagaimana dengan orang pribumi? Seperti orang asing lainnya, orang Balanda juga ingin (menjalin) bekerjasama dengan penduduk melalui para pemimpinnya. Atas dasar untuk tujuan berkuasa penuh di suatu wilayah, orang Belanda disamping terus berusaha membujuk juga akan berusaha menahan serangan orang pribumi (pijak pribumi yang melawan otoritasnya). Dalam hal ini benteng menjadi tempat perlindugan yang terakhir untuk tetap aman dan selamat. Kalah berarti keinginan berkuasa berakhir.


Terusirnya orang Banten dari Jacatra/Batavia membuat pangeran Jacatra terlindungi dari infiltrasi dari luar tembok (pager) kota (stad) Batavia. Orang-orang asing lainnya seperti Portugis, Inggris yang berada di luar tembok lebih mudah mengikuti kemauan otoritas Belanda di dalam kota (karena sama-sama mengacu pada hukum Eropa). Sebaliknya orang pribumi, memiliki hukum sendiri, mempertahankan hak dan berusaha melawan setiap kehadiran (orang) asing yang merugikan. Pada tahun 1628 Radja Mataram melancarkan serangan dari pedalaman ke benteng Kasteel Batavia. Pertempuran di laut bukan tandingan Mataram. Kekuatan pasukan Mataram dari darat (pedalaman) adalah kemungkinan yang bisa mengusir VOC/Belanda dari Batavia. Meski banyak kerusakan dalam perang itu, benteng Kasteel Batavia masih terlalu kuat untuk pertahanan bagi orang Belanda yang bersenjata lebih modern. Perlawanan Mataram akhirnya dapat dieliminasi Belanda.

Kekuasaan VOC/Belanda hanya sebatas di Batavia dan Amboina. Di Maluku (Ternate dan Tidore) masih sangat kuat Portugis dan Spanyol. Pada masa Gubernur Jenderal Antonio van Diemen (1636-1645) datang utusan Bali ke Batavia. Penduduk Hindoe di pantai timur Jawa di Balambangan tengah menghadapi ekspansi Mataram (Islam). Boleh jadi karena tidak/belum ada perjanjian dengan Bali (dan hanya sekadar MOU), VOC tidak memprioritaskan membantu Bali, apalagi yang akan dilawan kekuatan Mataram dari daratan. Apakah Bali kecewa?


Musuh Bali adalah Mataram. Sejak perang 1628/1629, VOC/Belanda sudah lama tidak bersinggungan dengan Mataram. VOC/Belanda hanya bersinggungan dengan Banten karena kehadiran Inggris di Banten. Gubernur Jenderal Antonio van Diemen masih melihat Portugis sebagai musuh alami. Mengapa? Portugis sudah lebih dari satu abad di Hindia Timur. Seperti halnya Belanda, Inggris juga masih pendatang baru. Benteng Malaka menjadi prioritas VOC daripada membantu Bali. Mengusir Portugis dari Malaka adalah peluang dan potensi besar VOC menguasai kawasan perdagangan di utara khatulistiwa bagian barat seperti selat Malaka (pantai timur Sumatra dan pantai barat Semenanjung Malaya), selat Karimata (terutama pantai barat dan pantai selatan Kalimantan. Catatan: yang menamai pulau Kalimantan sebagai Borneo adalah pelaut Portugis ketika pada tahun 1521 membuka pos perdagangan di kota pelabuhan Broenai. VOC/Belanda yang sudah membuka jalur perdagangan ke pantai timur Tiongkok (Formosa) dan Jepang (semasa GG Jacques Specx, 1629-1632)], kerap hilir mudik melalui selat Karimata. Dua kerajaan kuat di pantai barat Borneo adalah Sambas dan Matan (sukses kerajaan Tandjoengpoera). Besar dugaan nama selat Karimata yang menjadi asal usul nama kerajaan Matan (di muara sungai Kapoeas). Orang-orang Belanda kemudian menamai pulau Borneo dengan nama baru, pulau Kalimantan (Carymata, Rijk Matan).

Ekspedisi VOC dikirim ke selatan Malaka dan pada tahun 1641 pelabuhan Malaka dapat ditaklukkan. Masih pada tahun yang sama pelabuhan Kamboja juga dapat ditaklukkan. Habis sudah kekuatan Portugis di bagian barat (hanya tersisa di Ternate dan Timor bagian timur) plus di Macao (pantai timur Tiongkok). Sementara Spanyol sudah sangat mengakar di pulau-pulau Filipina plus Manado dan Ternate/Tidore. Dengan menyapu habis kekuatan Portugis di Malaka dan Kamboja, praktis kekuatan Portugis di pelabuhan Borneo lemah (seperti halnya di Timor bagian timur). Intinya, kekuatan Portugis di Hindia Timur terjepit diantara kekuatan Belanda di selatan dan Spanyol di utara.


Dengan situasi dan kondisi terbaru, VOC/Belanda semakin bernafsu untuk menjadi penguasa tunggal di Hindia Timur (bagian selatan). Untuk meratakan jalan antara Eropa/Belanda ke Hindia Timur/Batavia, VOC mulai berinisitif membangun wilayah produksi di Afrika Selatan di teluk Cape Town (Goode Hoop) tahun 1652. Pada era Gubernur Jenderal G Maetsuycker (sejak 1653) pemerintah VOC mengambil langkah untuk mengusir Spanyol dari (pulau) Manado. juga pemerintah VOC kemudian membangun pos perdagangan di muara sungai Tondano dan kemudian membangun benteng di dekat pos tersebut pada tahun 1657. Tampaknya alasan Pemrintah VOC ingin mengusir Spanyol dari Manado karena ingin menguasai sepenuhnya pulau Celebes. Orang-orang Spanyol yang terakhir keluar dari wilayah Ternate pada bulan Mei 1663. Fase ini mengindikasikan orang Spanyol di Tidore dan orang Belanda di Manado overlap. Dari situasi dan kondisi ini terkesan hubungan antara Spanyol dan VOC tidak dalam berselisih pada era transisi ini. Sebelum itu Portugis sudah berangsur-angsur keluar dari Ternate dan Tidore.

Pada tahun 1663 kekuatan VOC/Belanda sudah menyeluruh di Hindia Timur (minus Filipina). Orang-orang Portugis di Timor bagian timur lebih pada aktivitas kemasyarakat (keagamaan) daripada aktivitas perdagangan. Boleh jadi karena aktivitas perdagangan VOC di pantai timur Sumatra (selat Malaka) sudah eksis, termasuk di Palembang dan Djambi, pada tahun 1663 ini utusan para pemimpin lokal di pantai barat Sumatra tiba di Batavia. Para pemimpin lokal berkeinginan untuk bekerjasama untuk mengusir (pengaruh) Atjeh di pantai barat Sumatra. Gayung bersambut. Para pemimpin Bone yang terusir dari Sulawesi oleh kerajaan Gowa-Tallo, menyebabkan Aroe Palaka yang berada di Batavia sukarela membantu VOC mengusir Atjeh dari pantai barat Sumatra. Ekspedisi ke pantai barat Sumatra dilakukan pada tahun 1665. Plakaat-plakaat baru dibuat dengan para pemimpin di pantai barat Sumatra termasuk Pariaman, Tikoe, Baroes dan Singkil.


Hubungan yang sempat membaik antara Belanda dan Atjeh setelah terbebasnya Frederik de Houtman pada tahun 1603, kembali menjadi longgar. Atjeh dan VOC menjadi renggang dan menyimpan dendam masing-masing. Dendam VOC terhadap kerajaan Gowa dimajukan kembali. Saat ini Residen VOC yang sebelumnya di Somba Opoe sudah direlokasi ke Bima (pulau Sumbawa). Pangkal perkaranya kepala pedagang VOC di Somba Opoe terbunuh pada tahun 1645. Tuntutan VOC di Batavia selama ini tidak digubris kerajaan Gowa. Kini, VOC/Belanda dan Aroe Palaka memiliki musuh yang sama. Plakaat Ternate dan Plakaat Boeton akan turut menjepit kerajaan Gowa.

Pada tahun 1665, selepas penguasaan pantai barat Sumatra dan rencana untuk menaklukkan kerajaan Gowa, Pemerintah VOC di Batavia membuat beberapa kebijakan baru. Salah satu kebijakan baru itu adalah tentang penduduk akan dijadikan sebagai subyek. Artinya, aktivitas perdagangan VOC tidak lagi sekadar aktivitas perdagangan yang longgar di wilayah pesisir pantai, tetapi juga untuk membuat kerjasama (plakaat) yang lebih intens dimana para pemimpin lokal diarahkan untuk melakukan kegiatan produksi dalam hubungannya dengan menyediakan kebutuhan produk perdagangan. Lalu bagaimana hubungan dengan Spanyol? Satu yang jelas di dalam cacatan Kasteel Batavia (Daghregister) tanggal 7 Februari 1665 disebutkan sebuah misi dari Gubernur Spanyol di Manila datang menemui Gubernur Jenderal VOC di Batavia.


Implementasi kebijakan baru VOC pada tahun 1665, juga akan menekan para pemimpin lokal yang dianggap berseberangan. Kegiatan produksi hanya akan lancar jika situasi dan kondisi wilayah kondusif. Para pemimpin lokal yang melakukan perlawanan di pantai barat Sumatra dibawa dan ditahan di Batavia. Pada tahun 1667, tiga tahanan utama dan para pengikutnya yang berasal dari pantai barat Sumatra diasingkan ke Afrika Selatan. Wujud koloni sudah mulai menunjukkan tanda-tanda praktek penjajahan. Prasasti yang ditampilkan di samping ini, dikirimkan oleh salah satu pembaca blog ini dari Cape Town di Afrika Selatan beberapa tahun yang lalu. Bagaimana isi prasasti tersebut dibuat di Afrika Selatan tidak terinformasikan dalam sejarah di Indonesia. Mengapa? Satu yang jelas, di dalam blog ini sudah dideskripsikan.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Penduduk Dijadikan Subyek Sejak 1665: Politik Etik Pemerintah Hindia Belanda adalah Politik versus Etik  

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 *Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar