*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Asal usul nama tempat di berbagai kota di Indonesia sudah banyak diceritakan. Tapi tampaknya masih diceritakan dengan asal usil yang keliru. Itu dapat dimaklumi, karena ada ambisi kuat untuk menceritakan tetapi lemah dalam menunjukkan bukti. Dalam bahasa sekarang: nafsu besar tenaga kurang. Namun ambisi adalah ambisi, bagaimana munculnya nama tempat, dengan jalan pintas hanya didasarkan pada arti dan kedekatan arti dari nama tersebut.
Asal usul nama tempat di berbagai kota di Indonesia sudah banyak diceritakan. Tapi tampaknya masih diceritakan dengan asal usil yang keliru. Itu dapat dimaklumi, karena ada ambisi kuat untuk menceritakan tetapi lemah dalam menunjukkan bukti. Dalam bahasa sekarang: nafsu besar tenaga kurang. Namun ambisi adalah ambisi, bagaimana munculnya nama tempat, dengan jalan pintas hanya didasarkan pada arti dan kedekatan arti dari nama tersebut.
Pemukiman (perkampungan) di Batavia, 1860 |
Sejarah asal usul nama-nama
tempat di Jakarta tentu saja menjadi pusat perhatian yang menarik. Sebab
nama-nama tempat di Jakarta sudah sangat dikenal di seluruh Indonesia, sebut
saja Senen, Senayan, Kemayoran, Kebayoran, Tanah Tinggi, Tanah Abang dan lain
sebagainya. Mari kita mulai sejarah asal usul Kemayoran.
Kemayoran: Mayor Portugis
Pada tahun 1890 wilayah
Kemayoran yang sekarang sudah ramai. Saat itu di wilayah tersebut hanya satu bangunan
yang terbilang besar. Bangunan ini terbuat dari batu. Penghuni rumah bangunan
besar itu adalah keturunan Portugis (Bataviaasch handelsblad, 20-04-1890).
Pemilik rumah itu dulunya dikaitkan dengan nama wilayah tersebut sebagai
Kemajoran. Yang membangun rumah tersebut adalah pensiunan (majoor) yang juga
pemilik (landheer) lahan luas tersebut. Penghuni lingkungan tersebut, yang juga
merupakan turunan Portugis banyak yang bisa bermain biola.
Bataviaasch handelsblad, 20-04-1890 |
Menteng: Marga Menting Belanda
Menting adalah salah satu nama
keluarga orang Eropa di era VOC. Keluarga Menting ini kemudian membuka lahan di
selatan Ryswyck. Nama pemilik lahan (land) ini dengan mengambil nama keluarga
menjadi Land Menting. Dalam perkembangannya terjadai proses linguistik nama
Menting sering dipertukarkan dengan nama Menteng. Pusat Land Menteng (Landhuis)
ini berada di sekitar Terminal Manggarai yang sekarang. Lokasi landhuis
merupakan jalan kuno dari Padjadjaran ke (pelabuhan) Sunda Kelapa. Dari Landhuis
Menteng ini dibangun jalan ke Jalan Pos Trans Java di Afdeeling Meester
Cornelis (melalui Jalan Tambak ke persimpangan Jalan Pramuka dan Jalan Salemba
yang sekarang). Land Menteng kemudian diperjual belikan dengan berganti
pemilik. Dalam perubahan kepemilikan ini juga muncul land baru seperti Land
Gondangdia. Land Menteng semakin populer ketika pelukis terkenal Raden Saleh (peranakan
Arab Jwa) membangun rumah di salah satu lokasi di land tersebut (Bataviaasch
handelsblad, 19-04-1862). Pada tahun 1894 jalan dari Landhuis ke Buitenzorg via
Depok diperkuat (Bataviaasch handelsblad, 04-06-1894). Jalan ini kelak dikenal
sebagai Jalan Sahardjo dan Jalan Pasar Minggu. Pemilik land Menteng sebelum
dibeli pemerintah adalah seorang Arab, Alie Shahab (Bataviaasch nieuwsblad, 12-08-1898).
Rumah Raden Saleh di Menteng, 1862 |
Kwitang: Nama Wilayah di Tiongkok (Kwitang/Canton)
Kwitang bukanlah nama asli.
Kwitang pada mulanya adalah suatu area antara jalan sisi timur sungai Tjiliwong
(kelak ditingkatkan menjadi Groote Postweg di era Daendles) dengan sungai
Tjiliwong di selatan Noordwyck. Di dalam area ini awalnya ditempati (disewa) oleh
orang-orang Tionghoa. Mereka yang menyewa ini adalah orang-orang Tiongkok yang berasal
dari Kwitang (Canton). Perkampungan orang-orang asal Kwitang ini kemudian
disebut Kampong Kwitang.
Pada tahun 1824 area Kampong Kwitang ini dijual pemerintah (verponding) berdasarkan
Resolutie van de Govenrneur Genaraal in Rade dd 28 Desember 1824 No 25. Area
Kampong Kwitang ini menjadi Land Kwitang. Pembeli pertama persil Kampong Kwitang (Land Kwitang) ini adalah F. Rijnkarl
(Javasche courant, 20-04-1939). Lahan Kwitang kemudian dimiliki oleh Voute de
Guérin (Javasche courant, 10-04-1847). Dalam perkembanganya pemerintah menjual
area yang disebut Land Kwitang Oost (Tanah Tinggi) dan Land Kwitang West (sisi
barat sungai Tjiliwong). Di Kampong Kwitang, zending mulai melakukan misi dan pada awalnya terdapat
empat orang Tionghoa (lihat HC Millies, 1850). Dalam perkembangannya didirikan
gereja Kwitang.
Pada tahun 1919 Land Kwitang
West dibeli oleh Burgemeester Batavia senilai f150,000 (Bataviaasch nieuwsblad,
21-10-1919). Upaya pembelian ini oleh pemerintah kota diduga setelah Gemeente
Batavia membeli sebelumnya Land Menteng tahun 1913 (untuk dibangun/dieksploitasi).
Heusen & Mees menjual Land Kwitang Oost (Tanah Tinggi) seharga f70.000 (De
Sumatra post, 10-12-1925).
Jatinegara: Awalnya Meester Cornelis
Buncit: Tan Boen Tjit di Mampang
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Salam pak, maaf pak mau minta tolong.. kalau boleh minta referensi2 mengenai asal usul nama daerah kwitang pak. Saya sdg membahas habib ali al habsyi kwitang.
BalasHapusTerimakasih🙇🙇
Silahkan diemail saya alamat emailnya. Alamat email ada di read me. tks
HapusLuarbiasa pak....ulasan² sejarah anda
BalasHapus