*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini
Siapa Tengku Amir Hamzah sudah sejak lama kisahnya secara panjang lebar telah diriwayatkan dan dipersepsikan secara umum. Tengku Amir Hamzah memulai kiprahnya sebagai Ketua Panitia Kongres Indonesia Muda di Batavia (1917). Tengku Amir Hamzah telah dipanggil Sultan untuk ‘berjuang’ menjaga kelangsungan kesultanan. Kepulangannya dari rantau kembali ke kraton menjadi akhir perjalanan hidupnya dalam tragedi Revolusi Sosial di Sumatra Timur (1946). Para pemuda pejuang curiga Tengku Amir Hamzah menjadi antek Belanda. Ketika arus gelombang menginginkan Sumatra Timur bebas dari Belanda, apakah Tengku Amir Hamzah telah mengingkari upaya pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Siapa Tengku Amir Hamzah sudah sejak lama kisahnya secara panjang lebar telah diriwayatkan dan dipersepsikan secara umum. Tengku Amir Hamzah memulai kiprahnya sebagai Ketua Panitia Kongres Indonesia Muda di Batavia (1917). Tengku Amir Hamzah telah dipanggil Sultan untuk ‘berjuang’ menjaga kelangsungan kesultanan. Kepulangannya dari rantau kembali ke kraton menjadi akhir perjalanan hidupnya dalam tragedi Revolusi Sosial di Sumatra Timur (1946). Para pemuda pejuang curiga Tengku Amir Hamzah menjadi antek Belanda. Ketika arus gelombang menginginkan Sumatra Timur bebas dari Belanda, apakah Tengku Amir Hamzah telah mengingkari upaya pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?
Amir Hamzah (kiri) dan Masdoelhak (kanan) di Belanda, 1932 |
Lantas siapa sebenarnta Tengku Amir
Hamzah? Riwayat ini yang akan dideskripsikan dalam artikel ini. Tengku Amir
Hamzah (jika boleh dikata) adalah sosok unik dalam sejarah sastra dan bahasa Indonesia.
Tengku Amir Hamzah bukanlah tokoh berkpribadian ganda, tetapi justru figur
berkpribadian tunggal (unik). Riwayat Tengku Amir Hamzah yang asli inilah yang
tidak ditemukan dalam sejarah (kontemporer) di Indonesia. Mari kita telusuri.
Revolusi Sosial di Sumatra Timur: Amir Hamzah Dibunuh
Amir Hamzah memulai pendidikan menengah (MULO) di Medan pada tahun 1927
(lihat De Sumatra post, 17-05-1929). Beberapa teman sekelasnya adalah Mahadi,
Johan Siregar, Abdul Wahab, Aboe Bakar, Sori Goenoeng, Abdoel Gani, Abbas
Siregar dan Panjahatan Siregar. Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya ke Jawa.
Amir Hamzah menekuni bidang sastra di sela-sela pendidikannya di bidang hukum.
Amir Hamzah juga disebut aktif dalam kegiatan kepemudaan.
Pesta Amir dan Kamaliah (De Sumatra post, 28-03-1938) |
Amir Hamzah menjadi salah satu
korban dalam tragedi Revolusi Sosial di Sumatra Timur tahun 1946. Revolusi
Sosial dalam hal ini merujuk pada penyerangan terhadap keluarga kesultanan di
Sumatra Timur dengan dalih sebagai antek dari Belanda (lihat Het nieuwsblad
voor Sumatra, 04-03-1949). Amir Hamzah termasuk salah satu korban yang dibunuh
pada tanggal 20 Maret 1946.
Revolusi sosial adalah
terminologi yang digunakan oleh pers berbahasa Belanda di Indonesia. Revolusi
sosial tidak hanya di Sumatra Timur. Pada bulan September 1945 terjadi revolusi
sosial di Depok. Para penyerang menawan orang-orang Depok yang berafiliasi
dengan Belanda. Di Lampung juga pernah terjadi revolusi sosial yang mana
Residen Mr. Abbas Siregar dan para pejabat pemerintah RI yang sah digulingkan
oleh kelompok tertentu. Revolusi ini tanpa pertumpahan darah (lihat Limburgsch
dagblad, 09-10-1946). Revolusi sosial juga terdapat di daerah yang lainnya.
Dalam revolusi sosial di Sumatra Timur telah ditangkap semua sultan, kecuali
Sultan Deli, istananya dijaga oleh pasukan Inggris (Het nieuws : algemeen
dagblad, 12-03-1946).
Setelah Belanda kembali dan
terbentuk Negara Sumatra Timur dilakukan peringatan revolusi sosial. Peringatan
revolusi sosial tersebut diadakan di gedung AMVJ pada tanggal 4 Maret 1949.
Dalam peringatan ini hadir Sultan Deli, Sultan Asahan dan anak-anak Sultan
Serdang (Het nieuwsblad voor Sumatra, 04-03-1949). Dari pertemuan ini muncul
satu resolusi untuk memanggil Dr. Amir yang saat ini berada di Belanda untuk
datang ke Medan untuk didengar sehubungan dengan banyaknya pembunuhan dan
penghancuran yang dilakukan selama revolusi sosial Maret 1946. Dr. Amir saat
itu adalah Gubernur Republik Indonesia di Sumatra Timur (Nieuwe Apeldoornsche
courant, 11-03-1949). Soekarno menginginkan
dilakukan penyelidikan tentang ‘revolusi
sosial’ (Het nieuwsblad voor Sumatra, 28-09-1949).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Armijn Pane, Amir Hamzah dan Sanoesi Pane: Riwayat Awal Bahasa Indonesia
Amir Hamzah telah tiada, tetapi Amir Hamzah meninggalkan karya sastra.
Suatu kumpulan (koleksi) puisi yang diberi judul Njanji Soenji dan Setanggi
Timoer (lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 01-12-1950). Njanji Soenji diterbitkan
oleh (majalah sastra) Poedjangga Baroe pada bulan November 1937. Puisi-puisi
yang terdapat dalam buku Njanji Soenji ini tidak mencantumkna nama tempat dan
tanggal. Buku ini diterbitkan setelah pertunangannya dengan Tengku Kamaliah
pada tanggal 21 Maret 1937. Boleh jadi Amir Hamzah telah menulis puisi-puisi
tersebut diantara bulan Maret dan bulan November 1937 atau hari-hari sebelum
pertunangannya.
Sejak pernikahannya (1938),
Amir Hamzah menetap di Langkat. Ketika Sultan Langkat berangkat ke Belanda
untuk mengikuti perayaan ratu (cukup lama), di Langkat diangkat dewan yang
terdiri dari tiga pangeran. Salah satu anggota dewan itu adalah Tengkoe
Pangeran Indra Poetra (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 18-07-1938). Ketika Gubernur Jenderal
datang ke Langkat tahun 1940, Amir Hamzah turut menyambut dengan hikmat. Amir
Hamzah sebagai Loehakhoofd dari Boven Langkat, Pangeran Indra Putera (De
Sumatra post, 05-03-1940). Langkat sangat penting saat itu karena ada
pertambangan minyak yang diusahakan BPM. Dengan kesibukan Amir Hamzah ikut
mengurus negeri Langkat, waktunya menjadi terbatas untuk ikut memperjuangkan
Indonesia di pusat di Batavia.
Hubungan Amir Hamzah dan Armijn Pane cukup dekat. Mereka awalnya bertemu
di Jawa. Amir Hamzah dari Medan ke Jawa , sedangkan Armijn Pane BTL dari Padang
Sidempoean. Setelah menyelesaikan pendidikan MULO di Medan, Amir Hamzah berangkat
ke Jawa tahun 1930 untuk melanjutkan studi (AMS). Pada tahun 1934 Amir Hamzah
memulai kuliah di Rechthoogeschool di Batavia.
Pada tahun 1924 Sanoesi Pane
masih berada di AMS. Sanusi Pane diberitakan naik dari kelas dua ke kelas tiga
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-05-1924). Sementara Armijn Pane di tahun yang
sama kuliah di STOVIA. Armijn diberitakan pada tingkat persiapan naik dari
kelas satu ke kelas dua (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
26-05-1924). Kakak kelas Armijn Pane adalah Soeleman Siregar (tingkat persiapan
dari kelas dua ke kelas tiga); Gindo Siregar (tingkat lanjutan naik dari kelas
satu ke kelas dua; Amir Hoesin Siagian dari kelas tiga ke kelas empat;
Aminoeddin Pohan dan Djabangoen Harahap, keduanya dari kelas lima ke kelas
enam. Armijn Pane keluar dari sekolah kedokteran dan mengikuti jalur abangnya
Sanusi Pane di AMS jurusan sastra dan bahasa. Armin Pane masuk AMS di
Soerakarta. Di sekolah inilah Armijn Pane dan Amir Hamzah bersua. Amir Hamzah
masuk tahun 1930 dan Armijn Pane lulus tahun 1931. Pada tahun 1933 majalah sastra
Poedjangga Baroe didirikan oleh Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah dan Armijn Pane
(lihat De vrije pers: ochtendbulletin, 01-12-1950).
Ketika manajemen pusat De Jong Islamieten-Bond dipindahkan ke Semarang
tahun 1935, Amir Hamzah terpilih sebagai sekretaris dan Gani sebagai bendahara.
Salah satu anggota adalah Soegondo (Bataviaasch nieuwsblad, 12-11-1935). Pada
tahun ini Amir Hamzah masih kuliah di Rechthoogeschool.
Bataviaasch nieuwsblad, 04-06-1936 |
Foto Algemeen Handelsblad, 13-04-1938 |
Soetan Takdir Alisjahbana asli
Natal lahir di Natal, Afdeeling Padang Sidempoean (sebelumnya bernama afdeeling
Mandailing dan Angkola). Kota Natal adalah kota pantai yang menjadi pelabuhan
di onderafdeeling Mandailing. Dua bersaudara Sanusi Pane dan Armijn Pane asli
Sipirok Angkola lahir di Moeara Sipongi, Mandailing. Ayah mereka bernama Soetan
Pangoerabaan Pane (lahir di Sipirok) adalah guru dan menjadi kepala sekolah di
Moeara Sipongi. Soetan Pangeorabaan Pane adalah sastrawan lokal di Afdeeling
Padang Sidempoean dengan roman/nevel terkenalnya berjudul Tolbok Haleon (saya
masih sempat membacanya di perpusatakaan SMP tempo dulu). Sutan Pangoerabaan
Pane tidak hanya mantan guru dan sastrawan tetapi juga pengusaha di bidang
media cetak dan penerbitan buku di Padang Sidempoean. Boleh jadi, dari sang
ayah, Soetan Pangoerabaan Pane menurun ke anak Sanusi Pane dan Armijn Pane
menjadi sastrawan terkenal.
Sastra dan bahasa Melayu di Afdeeling Mandailing dan Angkola bukanlah
baru. Bahkan sastra dan bahasa Melayu dalam aksara Latin di Mandailing dan
Angkola jauh lebih dulu eksis jika dibandingkan di Sumatra Timur. Sati Nasution
alias Willem Iskander, pendiri sekolah guru (Kweekschool) di Tanobato,
Mandailing sudah mempraktekkan pengajaran (proses pembelajaran) dalam tiga
bahasa sekaligus: Batak, Belanda dan Melayu. Praktek ini diakui oleh Inspektur
Pendidikan di Batavia, Crijs yang pernah berkunjung ke Kweekschool Tanobato
pada tahun 1863.
Nieuwe Rotterdamsche courant:
staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya
mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah
ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal
yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan
telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander,
kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem
Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum
daerah….Saya tahun lalu [1863] ke tempat dimana sekolah Willem Iskander
didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah
diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi,
matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas
dengan kinerja sekolah ini’.
Willem Iskander juga adalah sastrawan yang andal di jamannya. Willem
Iskander sudah mulai menyadur buku (buku pelajaran dan buku cerita) dan
diterbitkan di Batavia tahun 1862. Buku terkenalnya berjudul Siboeloes-boeloes,
Siroemboek-roemboek yang diterbitkan di Batavia 1871 (bayangkan, kota Medan saat
itu belum ada). Buku ini berisi puisi dan prosa dalam bahasa Batak
Angkola-Mandailing. Dalam dua bait terdapat puisi yang menetang Belanda. Ketika
sekolah guru yang lebih besar dibukan di Padang Sidempoean (1879) muncul
seorang guru yang sangat peduli sastra dan bahasa Batak bernama Charles Adriaan
van Ophuijsen. Selama menjadi guru delapan tahun (lima tahun terakhir menjadi
direktur sekolah guru Padang Sidempoean, Charles Adriaan van Ophuijsen mengajarkan
sastra dan bahasa Melayu. Charles Adriaan van Ophuijsen adalah penulis
tatabahasa Melayu yang pertama secara komprehensif.
Ada dua siswa Charles Adriaan
van Ophuijsen di sekolah guru Padang Sidempoean yang sukses menjadi guru dan
aktif memperjuangkan bahasa Melayu di Nederlandsch Indie (baca: Hindia Belanda)
di tengah penggunaan bahasa daerah (bahasa etnik) dan bahasa Belanda, yakni bernama
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda dan Radjioen Harahap gelar Soetan
Casajangan. Dja Endar Moeda adalah penulis roman pertama dari kalangan pribumi
yang berjudul Hikajat Tjinta Kasih Sajang (penerbit Otto Bäumer di Padang,
1895). Pada tahun 1897, Dja Endar Moeda menawarkan roman keduanya kepada
Percetakan Winkeltmaatschappij (sebelumnya Paul Baiimer en Co). Judulnya
Hikajat Dendam Ta' Soedah, Kalau Soedah Merewan Hati. Percetakan
Winkeltmaatschappij adalah penerbit koran berbahasa Melayu di Padang bernama
Pertja Barat. Editor Pertja Barat (orang Belanda) menganggap romannya Dja Endar
Moeda ini layak diterbitkan (lihat Sumatra-courant: nieuws-en advertentieblad,
25-10-1897). Sementara itu Soetan Casajangan adalah pendiri perhimpunan pelajar
Indonesia di Belanda (Indisch Vereeniging) tahun 1908. Sejak Charles Adriaan
van Ophuijsen diangkat menjadi guru besar di Universiteit Leiden untuk
pengajaran sastra dan bahasa Melayu, Soetan Casajangan menjadi asistennya. Pada tahun 1910, Soetan
Casajangan bersama Mangaradja Soeangkoepon mendirikan Julianafonds untuk mempelajari
bahasa Indonesia di Belanda (lihat De Indische courant, 08-04-1927).
Pengaruh Charles Adriaan van Ophuijsen sangat besar di dalam sastra dan
bahasa Batak serta sastra dan bahasa Melayu di dalam perkembangan sastra dan
bahasa di Padang Sidempoean. Soetan Pangoerabaan Pane dan Parada Harahap adalah
dua tokoh penting yang berkenaan dengan ini selanjutnya.
Parada Harahap memulai karir
sebagai editor di surat kabar yang terbit di Medan pada tahun 1918. Parada
Harahap juga pernah menjadi editor surat kabar Pewarta Deli (surat kabar yang
didirikan oleh Dja Endar Moeda di Medan pada tahun 1909).. Pada tahun 1919
Parada Harahap menerbitkan surat kabar berbahasa Melayu di Padang Sidempoean
bernama Sinar Merdeka. Saat itu sudah ada surat kabar berbahasa Batak di Padang
Sidempoean bernama Poestaha (didirikan oleh Sortan Casajangan tahun 1915). Pada
tahun 1923 Parada Harahap hijrah ke Batavia dan mendirikan surat kabar Bintang
Hindia (1923); mendirikan kantor berita pribumi pertama bernama Alpena (1925)
dan surat kabar Bintang Timoer (1926).
Rangkaian inilah yang menjadikan kedudukan Padang Sidempoean sebagai
basis pengembangan awal bahasa Melayu di Hindia Belanda. Rangkaian ini pula
satu sama lain terhubung: Willem Iskander, Charles Adriaan van Opuijsen, Dja
Endar Moeda, Soetan Casajangan, Soetan Pangoerabaan Pane, Parada Harahap hingga
Merari Siregar, Armijn Pane, Soetan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane. Jejak
pendahulu ini diikuti oleh Madong Lubis, Mochtar Lubis, Ida Nasution dan Ashadi
Siregar.
Willem Iskander memperkenalkan
bahasa Melayu dalam pengajaran di Kweekschool Tanobato sejak 1862. Ini bukan
tidak disadari oleh Willem Iskander, ternyata kemudian alumni Kweekschool
Tanobato banyak dikirim menjadi guru di luar Mandailing dan Angkola di daerah Riaouw,
Oostkust Sumatra dan Atjeh. Lalu seorang Indo, anak mantan Controleur di Natal,
Charles Adriaan van Ophuijsen, seorang pejabat (poziener) di Panjaboengan
melepaskan tugasnya dan mempelajari sastra dan bahasa Batak dan Melayu (1875).
Setelah dua tahun Kweekschool Padang Sidempoean dibuka (1879), Charles Adriaan
van Ophuijsen diangkat menjadi guru di ekolah pengganti Kweekschool Tanobato
tersebut. Charles Adriaan van Ophuijsen selama di Padang Sidempoean, selain
mengajar bahasa (Batak dan Melayu) juga mempelajari (riset) sasstra/bahasa
Batak/Melayu. Setelah menjadi direktur Kweekschool Padang Sidempoean selama
lima tahun, van Ophuijsen diangkat menjadi Inspektur Pendidikan di Pantai Barat
Sumatra (Sumatra’s Westkust). Salah satu alumni Kweekschool Padang Sidempoean (murid
Charles Adriaan van Ophuijsen) yakni Dja Endar Moeda setelah pensiun guru
menjadi editor dan pemilik surat kabar serta percetakan di Padang. Dja Endar
Moeda, editor surat kabar Pertja Barat mengusulkan agar di sekolah pribumi,
bahasa pengantarnya adalah bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda (Sumatra-courant:
nieuws-en advertentieblad, 25-03-1898). Alasannya adalah bahwa sangat sulit
bagi pribumi untuk bisa berbahasa Belanda. Mungkin inspirasi ini bersumber dari
kiprah C.A. van Ophuysen adalah orang
Belanda, berbahasa Belanda mengajar bahasa Melayu di Padang Sidempoean. Pernyataan
Dja Endar Moeda ini membuat petinggi di Batavia tersentak. Suratkabar Sumatra
Courant juga memuat hasil wawancara korespondennya di Batavia yang menanyakan
langsung kepada Menteri Pendidikan. Koresponden: ‘Apakah penggunaan bahasa kita
(maksudnya Belanda) dalam pendidikan akan dihentikan?”. Menteri menjawab:
‘Jangan sampai terjadi, nanti tidak ada ajaran yang lebih mengikat seperti
sebelumnya yang terjadi di sekolah guru’. Lalu, Soetan Casajangan (adik kelas
Dja Endar Moeda di Kweekschool Padang Sidempoean) di Leiden (bersama Abdul
Firman Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon) tahun 1910 mendirikan Julianafonds
untuk mempelajari bahasa Indonesia di Belanda. Saat itu, Soetan Casajangan
menjadi asisten dari Prof. Charles Adriaan van Ophujisen dalam pengajaran sastra
dan bahasa Melayu di Universiteit Leiden. Pada tahun 1925 pers Eropa memberi
penilaian terhadap wartawan pribumi yang mana Parada Harahap sebagai wartawan
terbaik (lihat De Indische courant, 23-12-1925). Parada Harahap adalah pemilik/editor
surat kabar Bintang Hindia dan pendiri Kantor Berita Alpena (dengan editor WR
Supratman) Pada tahun 1927 Parada
Harahap mempelopori didirikannya supra organisasi yang disebut (Permoefakatan
Perhimpoenan-perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia disingkat PPPKI (Bataviaasch
nieuwsblad, 26-09-1927). Dalam pembentukan itu hadir Soetan Casajangan,
Direktur Normaalschool di Meester Cornelis dan Mangaradja Soeangkoepon, anggota
Volksraad; pembentukan ini diadakan di rumah Prof. Husein Djajadiningrat, dosen
di Recgtschool; Husein Djajadiningrat pada tahun 1908 pernah menjadi sekretaris
Soetan Casajangan di Indisch Vereeniging. Parada Harahap, sekretaris PPPKI
menjadi pembina Kongres Pemuda 1928. Dua tokoh muda dalam kongres tersebut
adalah Amir Sjarifoeddin Harahap dan Mohammad Jamin. Kongres ini menghasilkan
keputusan: Satu Nusa, Satu Bangsa dan Satu Bahasa (Bahasa Indonesia). Dalam
kongres ini diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya karya WR Supratman
(anak buah dan tinggal bersama di rumah Parada Harahap). Surat kabar pribumi
terbaik menurut pers Eropa adalah milik Parada Harahap, Bintang Timur (Soerabaijasch
handelsblad, 05-11-1931). Pada tahun 1933 Armijn Pane, Soetan Takdir
Alisjahbana dan Amir Hamzah mendirikan majalah sastra Poejangga Baroe. Parada
Harahap memimpin tujuh tokoh politik ke Jepang (De Sumatra post, 16-10-1933).
Salah satu diantaranya Mohammad Hatta. Parada Harahap di Jepang membuat pers di
Belanda mulai khawatir keberadaan bangsa Belanda di Indonesia (Algemeen
Handelsblad, 14-02-1934), (Sepulang dari
Jepang) Parada Harahap mengatakan bahwa Nederlandsch (Negeri Belanda) tidak ada
apa-apanya (De banier: staatkundig gereformeerd dagblad, 16-02-1934). Parada
Harahap mempertanyaan khalayak umum mengapa tidak menyebut Bahasa Indonesia dan
masih menyebut bahasa Melayu (1935). Parada Harahap mendirikan organisasi
wartawan (PERDI) tahun 1935. Parada Harahap mendirikan Akademi Wartawan (1952).
Parada Harahap pendiri Kopertis. Parada Harahap memimpin Tiga Windu Sumpah
Pemuda (1952). Pada tahun 1954 diadakan Kongres Bahasa Indonesia di Medan
(diketuai oleh Madong Lubis).
Amir Hamzah pernah
kuliah di Rechthoogeschool tahun 1934. Amir Hamzah lulus ujian kandidat bagian
pertama (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 11-05-1934). Pada saat
Amir Hamzah masuk kuliah, Amir Sjarifoeddin tengah dalam proses pengadilan. Amir
Hamzah masih tercatat namanya di Rechthoogeschool tahun 1936. De Indische
courant, 02-03-1936 memberitakan Amir
Hamzah lulus untuk ujian ujian tingkat 2. Setelah tahun ini namanya tidak
pernah muncul lagi sebagai mahasiswa Rechthoogeschool.
Kakak kelas Amir Hamzah yang berasal dari Medan di Rechtschhol adalah Amir
Sjarifoeddin Harahap. Amir memulai studi pada tahun 1927 (lihat De Indische
courant, 12-07-1928). Amir Sjarifoeddin adalah bendahara Kongres Pemuda 1928.
Sejak kongres, Amir banyak berkaitan dengan politik. Dalam kongres Partai
Indonesia. Amir sebagai mahasiswa turut sbagai pembicara (De Indische courant, 18-04-1933).
Amir Sjarifoeddin tidak hanya pemimpin Partai Indonesia, juga direktur
Volksuniversiteit di Gang Kenari dan kepala editor majalah Banteng. Soerabaijasch
handelsblad, 02-06-1933 melaporkan Amir akan dituntut berdasarkan pasal 153 dan
154, mengikuti sebuah artikel di "Banteng" 30 Maret, yang berjuduk "Aksi
massa di Indonesia." Padahal Amir akan segera menjalani sidang. akan
melakukan ujian terakhirnya di Sekolah Hukum pada bulan Juli. Lalu kemudian
Amir diadili di Landraad (De Sumatra post, 30-06-1933).
Amir untuk sementara tidak ditahan (masih dalam proses penyidikan). Amir terus
mengikuti kuliahnya. Amir lulus ujian akhir (Bataviaasch nieuwsblad, 06-12-1933).
Dalam persidangan lanjutan, Amir dijatuhkan vonnis penjara satu setegah tahun (Bataviaasch
nieuwsblad, 03-05-1934). Amir Sjarifoedidin meski dalam fase perjuangan
(kemerdekaan) dalam kenyataannnya berhasil dalam studi.
Pada tahun 1937 muncul nama
Amir Hamzah. Namun Amir Hamzah ini bukan anak Medan. Amir Hamzah ini adalah
seorang mahasiswa Rechtschool di Leiden, karena mungkin alasan tertentu,
ditransfer ke Rechtschool di Batavia. Di Leiden, Amir Hamzah adalah adik kelas
Masdoelhak Nasution. Amir Hamzah berhasil lulus ujian akhir tahun 1940 (lihat
Bataviaasch nieuwsblad, 30-08-1940). Amir Hamzah lulus bersama dengan HR
Silitonga.
Masdoelhak adalah anak Padang Sidempoean kelahiran Siboga. Nama
lengkapnya Masdoelhak Nasoetion gelar Soetan Oloan, cucu dari Soetan Abdoel
Azis dari Goenoeng Toea, Mandailing. Ayah Masdoelhak bernama Nazar Samad
Nasoetion gelar Mangaradja Hamonangan (lahir di Padang Sidempoean) dan ibunya
bernama Namora Siti Aboer br Siregar (lahir di Padang Sidempoean). Masdoelhak,
anak keenam dari tujuh bersaudara ini setelah menyelesaikan pendidikan dasar
Belanda (ELS) di Siboga berangkat sekolah MULO di Medan dan kemudian
dilanjutkan ke AMS di Jawa dan tinggal bersama abangnya Makmoen Al Rasjid
(dokter lulusan STOVIA). Pada tahun 1930, Masdoelhak anak seorang pengusaha di
Residentie Tapanoeli ini lulus ujian AMS. Dari 55 kandidat lulus 42 orang dan
Masdoelhak salah satu dari lima siswa terbaik yang direkomendasikan melanjutkan
ke pendidikan tinggi di Negeri Belanda (lihat, Soerabaijasch handelsblad,
19-05-1930). Masdoelhak berangkat dari Batavia dengan menumpang kapal s.s.
Prins der Nederland’ menuju Amsterdam tanggal 4 Oktober 1930 dengan nama pada manifest kapal, Masdoelhak Hamonangan (lihat De Telegraaf,
01-10-1930). Di Universiteit Leiden, Masdoelhak mengambil bidang hukum. Selama
kuliah Masdoelhak yang terbilang cerdas ini juga aktif dalam organisasi
ekstrakurikulir. Masdoelhak dan kawan-kawan di Universitas Leiden menggagas
didirikannya himpunan mahasiswa untuk mempromosikan Indonesia dengan nama Studentenvereniging ter bevordering van de
Indonesische Kunst (SVIK). Menurut Pasal 2 Anggaran Dasar organisasi ini
dinyatakan bertujuan untuk mempromosikan seni rupa Indonesia dan untuk
meningkatkan kesadaran akan seni rupa Indonesia dan ekspresi lain dari budaya
Indonesia. Organisasi mahasiswa yang diresmikan tanggal 1 November 1935 ini
sebagai ketua disebut Masdoelhak Hamonangan gelar Soetan Oloan (lihat De
tribune : soc. dem. Weekblad, 23-11-1935). Setelah lulus tingkat sarjana di
Universiteit Leiden, Masdoelhak tidak pulang melainkan melanjutkan pendidikan
ke tingkat doktoral di Utrecht (Rijksuniversiteit). Pada tahun 1943 Masdoelhak
lulus ujian doctoral sebagaimana dilaporkan
Friesche courant, 27-03-1943. Masdoelhak berhasil mempertahankan
desertasinya yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche
Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Setelah berhasil
menjadi doktor hukum, Masdoelhak pulang kampung. Pada saat pulang ke tanah air,
Indonesia di bawah pendudukan Jepang.
Amir Hamzah Dibunuh dalam Revolusi Sosial di Langkat,
Masdoelhak Dibunuh dalam Agresi Militer Belanda II
Pada saat pemerintahan RI
dibentuk pasca proklamasi kemerdekaan RI, Amir Hamzah diangkat sebagai Bupati
di Langkat. Sementara Masdoelhak Nasution diangkat sebagai Residen Sumatra
Tengah yang berkedudukan di Bukittinggi.
Abdul Abbas Siregar anak Medan diangkat sebagai Residen di Lampung. Abdul
Abbas Siregar lulus Rechthoogeschool di Batavia sebelum pendudukan Jepang. Abdul
Abbas Siregar adalah kakak kelas Amir Hamzah dari Langkat. Setelah lulus, Abdul
Abbas tidak pulang kampung ke Medan tetapi memilih menjadi pengacara di
Lampung. Abdul Abbas Siregar termasuk salah satu anggota PPKI (satu-satunya
dari Sumatra Utara). Sebelumnya anggota BPUPKI adalah Parada Harahap
(satu-satunya dari Sumatra Utara). Pada saat pembentukan awal pemerintahan
diangkat tiga orang Sumatra untuk memulai pemerintah, yakni: Mr. Mohammad
Hasan, Dr. Amir dan Mr. Abdul Abbas Siregar. Lalu kemudian Muhammad Hasan
menjadi Gubernur Sumatra dan Amir menjadi Wakil Gubernur. Abdul Abbas Siregar
menjadi Residen di Lampung. Senior mereka Amir Sjarifoeddin menjadi Menteri. Amir
Masing-masing mereka belum lama
menjabat muncul Belanda (membonceng dibelakang sekutu/ Inggris). Pada saat kehadiran Belanda
ini rakyat Indonesia bereaksi keras. Namun sebagian rakyat di Sumatra Timur
malahan sebaliknya (ingin berkolaborasi dengan Belanda). Akibatnya tidak
terelakkan terjadi kerusuhan yang di dalam pers berbahasa Belanda sebagai revolusi
sosial. Dalam revolusi sosial di Sumatra Timur telah ditangkap semua sultan,
kecuali Sultan Deli, istananya dijaga oleh pasukan Inggris (Het nieuws :
algemeen dagblad, 12-03-1946).
Amir Hamzah termasuk salah satu korban yang dibunuh pada tanggal 20 Maret
1946. Amir Hamzah ssat itu masih menjabat sebagai wakil pemerintah RI di
Langkat.
Beberapa bulan kemudian di
Lampung juga terjadi revolusi sosial yang mana Residen Mr. Abdul Abbas Siregar
dan para pejabat pemerintah RI yang sah digulingkan oleh kelompok tertentu.
Revolusi ini tanpa pertumpahan darah (lihat Limburgsch dagblad, 09-10-1946). Mr.
Abdul Abbas Siregar kemudian ditarik ke pusat di Djakarta. Namun tidak lama
kemudian, pasca revolusi sosial di Sumatra Timur, Residen terdahulu dicopot dan
digantikan oleh Mr. Abdul Abbas Siregar sebagai Residen Sumatra Timur. Ketika
terjadi Agresi Militer Belanda pertama (1947) Republiken terdesak dari Medan
dan mengungsi ke Pematang Siantar. Dalam fase perang ini Dr. Gindo Siregar
diangkat sebagai Gubernur Militer Sumatra Utara.
Belanda lambat laun semakin menguat. Negara RI yang belum lama terbentuk
menemui banyak rintangan dengan semakin bernafsunya Belanda untuk menguasai seluruh
Indonesia. Pemerintahan di pihak RI menjadi silih berganti: Dari PM Sutan
Syahrir berganti ke PM Amir Sjarifoeddin. Lalu kemudian pemerintahan oleh
Mohammad Hatta. Dalam pemerintahan Mohammad Hatta ini terjadi revolusi sosial di
Madiun. PKI berupaya membentuk negara komunis di Madiun. Amir Sjarifoeddin
dituduh terlibat lalu ditangkap. Tepat pada saat Agresi Militer Belanda II
dimulai, tanggal 19 Desember 1948 Amir Sjarifoeddin ditembak mati tanpa
penyelidikan lebih dahulu. Mohammad Hatta menyetujui eksekusi ini tetapi
Soekarno tidak menyetujuinya.
Tekanan militer Belanda terus
berlanjut sehingga TNI dan para republiken bergeser ke Tapanoeli. Gubenur
Militer Dr. Gindo Siregar lalu beribukota di Padang Sidempoean. Dalam fase ini juga
terjadi revolusi sosial di Tapanoeli. Di Padang Sidempoean terjadi pertumpahan
darah, Komandan TNI Padang Sidempoean, Kapten Koima Hasiboean dibunuh.
Het nieuwsblad voor Sumatra, 17-09-1948: ‘Revolusi Sosial di Tapanoeli.
Di Republik Tapanoeli hari ini terjadi revolusi sosial. Pada tanggal 10
September pemberontak melawan tentara republic (TNI) dan pejabat administrasi
republik. Terjadi pertempuran di Padang Sidempuan, yang mana Komandan TNI
Padang Sidempoean, Kapten Koima Hasiboean dibunuh. Selain itu, sejumlah
pemimpin Republik (Indonesia) terkemuka, termasuk Mr. Abbas Siregar, Mayor M.
Panggabean, Maj. R. Sahian, Maj. AH Siagian dan Mr. Amir Hoesin Siagian telah
ditangkap oleh para pemberontak. Mantan Gubernur Militer Tapanoeli, Dr. Gindo
Siregar, dan Lt. Kol. P. Sitompoel, komandan pasukan Republik (Indonesia) di
wilayah ini berhasil bersembunyi. Di Sibolga, Mr. H. Silitonga, Dr. Loehoet
Loembantobing, Elam Artitonang dan M. Pangariboean ditangkap oleh
pemberontak.Ini disebut revolusi social kedua yang berlangsung di Tapanoeli.
Mr. Abdul Abbas Siregar lalu menjabat
sebagai Ketua Presidium Republik di Tapanuli Selatan yang berkedudukan di
Padang Sidempoean. Kedaulatan Republik Indonesia di Tapanuli tetap terjaga.
Semua infiltrasi dapat dicegah. Republik Indonesia adalah harga mati. Tidak ada
tawar menawar. Tokoh utama dalam mempertahankan Republik Indonesia di Tapanoeli
adalah Mr. Abdul Abbas Siregar. Sementara di Sumatra Timur telah berubah
menjadi Negara Sumatra Timur (negara boneka Belanda).
Dalam Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) di Djogjakarta, intel
dan militer Belanda menculik sejumlah tokoh Indonesia. Dalam pencarian
intel/militer Belanda, Madoelhak menjadi target pertama. Lalu setelah berhasil
Masdolhak diculik lalu beberapa hari kemudian ditembak mati oleh militer
Belanda di Pakem. Dewan Keamanan PBB marah besar. Pimpinan organisasi
bangsa-bangsa yang berkantor di New York meminta sebuah tim netral di Belanda
untuk melakukan penyelidikan segera atas kematian Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion
di Yogyakarta 21 Desember 1948. Reaksi cepat badan PBB ini untuk menanggapi
berita yang beredar dan dilansir di London sebagaimana diberitakan De
Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor Midden-Zuid-Oost-Friesland
en Noord-Overijssel, 01-02-1949. Koran ini mengutip pernyataan pers dari kepala
kantor Republik Indonesia di London yang pernyataannya sebagai berikut:
‘sejumlah intelektual terkemuka di Indonesia, diantaranya Masdulhak, seorang
penasihat pemerintah dibunuh hingga tewas tanpa diadili’. Mengapa PBB demikian
marahnya atas kasus ini? Masdoelhak adalah seorang intelektual paling terkemuka
di jajaran inti pemerintahan Republik Indonesia. Masdoelhak adalah akademisi
muda bergelar doktor di bidang hukum lulusan Eropa. Masdoelhak juga menjadi
adviseur der regering (penasehat pemerintah), penasehat pimpinan republik
(Soekarno dan Hatta). Masdoelhak adalah satu-satunya sarjana bergelar doktor di
lingkaran satu pemerintahan Republik Indonesia. Inilah alasan mengapa petinggi
Belanda (van Moek dan Spoor) menaruh
nama Masdoelhak pada baris pertama dalam list orang yang paling dicari sesegera
mungkin (wanted): dead or alive. Koran ‘De waarheid’
(waarheid=truth=‘kebenaran’) melihat kasus ini selama ini sengaja
ditutup-tutupi. Awalnya resolusi Dewan Keamanan hanya menuntut Belanda bahwa
semua tahanan politik harus dibebaskan, malahan membunuh dengan cara keji
begini. Koran ini memberi judul beritanya sebagai metode teror fasis
(Fascistische terreur-methoden). Desas-desus yang sebelumnya diterima Dewan
Keamaman PBB yang membuat mereka marah dan meminta dilakukan penyelidikan
secara tuntas akhirnya terungkap di pengadilan. Hasilnya penyelidikan yang
diungkapkan oleh koran ‘kebenaran’ ini sebagai: pembunuhan keji para
intelektual, pembunuhan secara pengecut dan penggunaan metode fasis.
Para Pahlawan: Siapa Pahlawan Sejati?
Dengan ketetapan pemerintah, Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor
106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975, Amir Hamzah ditabalkan menjadi
Pahlawan Nasional.
Gubernur Marah Halim Harahap waktu
itu memerlukan tokoh pahlawan dari etnik Melayu di Sumatra Utara. Marah Halim
Harahap coba menahan diri untuk tidak mengusulkan seniornya menjadi pahlawan
yakni Gubernur Abdul Hakim Harahap. Boleh jadi ini dimaksudkan Marah Halim
Harahap untuk membangkitkan semangat etnik Melayu yang menjadi layu setelah
terjadinya revolusi sosial tahun 1946. Selain itu, Marah Halim menyadari bahwa
pahlawan dari etnik Batak sudah ada yakni Sisingamangaradja (1961), Dr. Ferdinand
Lumban Tobing (1962), dan Mayor Jenderal
DI Pandjaitan (1965). Pada masa ini daftar pahlawan asal Provinsi Sumatra utara
semakin bertambah, yakni: Adam Malik Batubara (1998), Jenderal Abdul Haris
Nasution (2002), Kiras Bangun (2005), Jenderal TB Simatupang (2013) dan Letjen
Djamin Ginting (2014).
Namun belakangan ini nama Amir Hamzah sebagai pahlawan nasional diragukan
oleh sejumlah pihak. Majalah Tempo bahkan mengindikasikan status kepahlawanan
Amir Hamzah bersifat kontroversi.
Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D setelah sekian lama baru dianugerahi gelar
Pahlawan Nasional. Dalam buku 'Gele Harun: Residen Perang' (2014) yang ditulis
Mulkarnaen Gele Harun Nasution, Kaidir Asmuni, Umar Bakti dan Nihara
Dalimonthe, disebutkan bahwa Dr. Mr. Masdoelhak Nasoetion gelar Soetan Oloan
pada tahun 2008 mendapat gelar Pahlawan Nasional. Dr. Mr. Masdoelhak adalah sepupu
Letkol Mr. Gele Harun dan satu lagi sepupu mereka yakni Mr. Egon Hakim berjuang
di Sumatera Barat yang ketiganya adalah cucu dari Soetan Abdoel Azis Nasoetion
di Padang Sidempoean. Kapan Gele Harun, Residen Pertama Lampung menjadi pahlawan nasional? Mari kita tunggu.
Perjuangan Amir Hamzah sesungguhnya tak perlu diragukan. Demikian juga
perjuangan Amir Sharifoeddin Harahap tak perlu diragukan. Senior Amir
Sjarifoeddin Harahap yakni Tan Malaka sudah ditabalkan menjadi Pahlawan
Nasional. Perjuangan Amir Hamzah dengan dua sahabatnya Armjin Pane dan Sanusi
Pane di bidang sastra menjadi jaminan.
Armijn Pane dan Sanusi Pane adalah teman sejarah sastra dan bahasa
Indonesia dari Amir Hamzah. Meski dua bersaudara Pane (Armijn dan Sanusi) tidak
mendapat anugerah pahlawan nasional, tetapi adik mereka Lafran Pane telah
mendapat gelar Pahlawan Nasional (2017). Lafran Pane adalah Pahlawan Nasional
asal etnik Batak tetapi tidak melalui p-engusulan dari Provinsi Sumatra Utara.
Hal ini juga dengan Masdoelhak Nasution (2006) tidak melalui Sumatra Utara.
Demikian juga dengan Pahlawan Nasional Zainul Arifin Pohan (1963) dan Tuanku
Tambusai dengan nama kecil Hamonangan Harahap (1995).
Daripada mempermasalahkan gelar kepahlawanan Amir Hamzah, lebih baik
errgi dicurahkan untuk mengusulkan lebih banyak lagi pahlawan nasional yang pantas
dari asal Provinsi Sumatra Utara. Mereka itu yang dianggap tokoh-tokoh nasional
yang memiliki kriteria menjadi Pahlawan
Nasional, diantaranya Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap, Mr. Abdul Abbas Siregar, Mr.
SM Amin Nasution dan Dr. Gindo Siregar. Tentu saja jangan lupa tokoh-tokoh kebangkitan
bangsa yakni Dja Endar Moeda, Soetan Casajangan, Parada Harahap dan Abdul Hakim
Harahap. Tentu saja ke dalam daftar ini termasuk Willem Iskander serta dua
bersaudara Armijn Pane dan Sanusi Pane sahabat Amir Hamzah.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Dikompilasi oleh Akhir
Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang
digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan
peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena
saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber
primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar