Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Padang dalam blog ini Klik Disini
Dahlan Abdoellah adalah seorang pribumi yang terus maju. Dahlan Abdoellah memulai karir sebagai guru, seorang yang gigih yang dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh guru lainnya yang berjuang sejak era kebangkitan bangsa hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia.
Dahlan Abdoellah adalah seorang pribumi yang terus maju. Dahlan Abdoellah memulai karir sebagai guru, seorang yang gigih yang dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh guru lainnya yang berjuang sejak era kebangkitan bangsa hingga tercapainya kemerdekaan Indonesia.
Dahlan Abdoellah |
Bagaimana perjalanan Dahlan Abdoellah tentu saja sangat
menarik untuk diketahui. Sangat penting bagi generasi muda di zaman now ini
untuk melihat kembali kiprah para pendahulu seperti Dahlan Abdoellah yang dapat dijadikan
sebagai inspirasi. Mari kita telusuri dari awal karirnya.
Artikel ini dibuat
panjang lebar secara kontekstual supaya memudahkan mendapatkan uraian yang
komprehensif bagaimana Dahlan Abdoellah mengawali kiprahnya dan bagaimana akhir
perjalanannya di dalam empat era yang berbeda: era kolonial Belanda, era
pendudukan Jepang, era proklamasi dan perang kemerdekaan serta era pasca
pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda. Dengan pendekatan kontekstual dimungkinkan
untuk melihat relasi Dahlan Abdoellah dengan pendahulu dan penerusnya yang
memiliki visi nasional. Untuk studi sejarah nasional, pengujian terhadap relasi
itu lebih penting dari hanya sekadar mendeskripsikan event atau figur yang terpisah-pisah.
Dengan pendekatan analisis kontekstual (relasi) dengan sendirinya setiap event
atau figur menjadi dapat dipahami (terjelaskan). Dalam hubungan ini, sebagai
bagian dari upaya pejuangan nasional (persatuan dan kemerdekaan), sosok Dahlan
Abdoellah akan sendirinya tampak menjadi bagian tidak terpisahkan dari barisan
tokoh-tokoh nasional yang terdapat di berbagai tempat di Indonesia. Seperti
kata pepatah: Semua tidak lahir secara tiba-tiba, tidak ada yang hadir sendiri. Sebagaimana artikel-artikel lainnya di dalam blog ini, sumber
utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman.
Sumber buku dan majalah hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena buku
dan majalah pada dasarnya juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari ‘sumber
primer’. Adakalanya informasi yang terdapat dalam buku dan majalah sudah ‘masuk
angin’. Dalam hal ini tidak semua sumber primer disebutkan lagi karena sudah
disebut di artikel yang lain dalam blog ini. Hanya sumber-sumber baru yang
disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan
kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Soetan Casajangan pulang ke tanah air pada bulan Juli
1913. Soetan Casajangan guru berlisensi Eropa langsung ditempatkan di Fort de
Kock. Surat penempatannya (resolutie van den minister van kolonien) di Fort de
Kock sudah keluar pada bulan April (De Preanger-bode, 19-04-1913). Seorang guru, alumni Kweekschool Fort de Kock, Dahlan
Abdoellah berangkat studi ke Belanda pada bulan Oktober 1913.
Buku Soetan Casajangan, 1913 |
Dahlan Abdoellah tentu saja di Belanda langsung menjadi bagian
dari Indisch Vereeniging. Saat itu ketua Indisch Vereeniging adalah Husein
Djajanegara. Dahlan Abdoellah tidak sendiri di Belanda, teman-temannya yang
asal Sumatra sudah cukup banyak, antara lain Abdoel Firman Siregar gelar
Mangaradja Soangkoepon (tiba di Belanda 1910), Todoeng Harahap gelar Soetan
Goenoeng Moelia (tiba 1911). Dahlan Abdoellah datang tahun 1913 bersamaan
dengan Tan Malaka (lulusan Kweekschool Fort de Kock). Di lain pihak, pada tahun
1913 juga tiba Dr. Sorip Tagor, alumni dan asisten dosen Veeartsen School di
Buitenzorg. Mangaradja Soeangkoepon, Soetan Goenoeng Moelia dan Sorip Tagor
adalah kelahiran Padang Sidempoean.
Semasa di Belanda, Soetan Casajangan tidak hanya pendiri Indisch
Vereeniging, juga adalah tokoh sentral di lingkungan masyarakat Indonesia di
Belanda. Soetan Casajangan pernah diundang oleh Vereeniging
Moederland en Kolonien (Organisasi para ahli/pakar bangsa Belanda di negeri
Belanda dan di Hindia Belanda) untuk berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam
forum yang diadakan pada tahun 1911, Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat
percaya diri dengan makalah 18 halaman yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch
Onderwijs' (peningkatan pendidikan pribumi): Berikut beberapa petikan penting
isi pidatonya.
Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen).
..saya selalu berpikir tentang
pendidikan bangsa saya...cinta saya kepada ibu pertiwa tidak pernah
luntur...dalam memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung
mengemukakan yang seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir
dalam forum ini). Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku
untuk saya dan juga untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang
indah. Bukan hanya ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan
yang lebih tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada konflik antara 'coklat' dan
'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan dalam pendidikan
pribumi).
Boleh jadi statement Soetan Casajangan yang
mempertentangkan ‘coklat’ dan ‘putih’ di antara intelektual Indonesia di
Belanda adalah yang pertama. Perasaan itu sudah dikemukakannya secara gamblang di
depan publik yang mengindikasikan tidak ada lagi ketakutan dan memulai
perjuangan (tentu saja pada ssat itu masih pada level ketidakadilan). Dengan membaca
buku yang telah diterbitkannnya, statement ini merupakan kesimpulan. Dalam hal
ini Dahlan Abdoellah sudah barang tentu telah membaca buku Soetan Casajangan
dan juga makalah yang dibacakan Soetan Casajangan di hadapan pakar Belanda.
Oleh karena Dahlan Abdoellah sudah pernah bertemu dengan Soetan Casajangan di
Fort de Kock, sudah barang tentu Dahlan Abdoellah dengan sendirinya telah menyimak
kiprah Soetan Casajangan yang sejatinya. Upaya menyimak yang dilakukan Dahlan
Abdoellah ini, tentu saja juga sudah dilakukan oleh Dr. Sorip Tagor yang sudah
pernah bertemu dengan Soetan Casajangan di Batavia/Buitenzorg.
Soetan Casajangan: De Pionier |
Gagasan Soetan Casajangan ini tampak lebih tajam jika
dibandingkan dengan visi misi Boedi Oetomo yang semakin dininabobokkan Belanda
di Jawa. Soetan Casajangan pada tahun 1908 sendiri pada tahun 1908 membentuk
persatuan nasional (Indisch Vereeniging) di Belanda sebagai respon atas berdirinya
Boedi Oetomo beberapa bulan sebelumnya (yang bersifat kontranasional dan terbatas
di Jawa). Padahal Medan Perdamaian yang didirikan tahun 1900 di Padang oleh Dja
Endar Moeda sudah mengusung persatuan nasional dan bahkan Medan Perdamaian
telah memberikan bantuan pendidikan di Semarang. Kini, Boedi Oetomo melenggang
sendiri, tidak melihat persatuan nasional dan bahkan para pemudanya dan juga
sebagian besar mahasiswa yang tergabung dalam Indisch Vereeniging telah
berkiblat ke Boedi Oetomo (seiring dengan munculnya anak Boedi Oetomo: Jong
Java). Singkat kata: Medan Perdamaian telah digembosi dengan berdirinya Boedi
Oetomo dan kini Indisch Vereeniging juga ikut digembosi. Untuk menuju cita-cita
nasional, Soetan Casajangan tidak bisa intervensi ke Boedi Oetomo, karena itu,
Soetan Casajangan memulai dari nol lagi dengan memprakarsai penduduk Sumatra
dengan organisasi Madjoe.
Soetan Casajangan di For
de Kock dan Dahlan Abdoellah di Belanda. Soetan Casajangan memulai program aksi
di Fort de Kock (1914) dan di Padang Sidempoean (1915). Dahlan Abdoellah lulus
ujian Onderwij Hulp Akte pada bulan Juni 1915 (Haagsche courant, 05-06-1915). Tuntutan
Soetan Casasajangan tentang perbaikan pendidikan di Hindia dalam forum pertemuan
(1911) tampaknya mulai direspon lebih lanjut di Belanda. Pada tahun 1915 di
Belanda diadakan kongres pertama Pendidikan Hindia (lihat Algemeen Handelsblad,
24-03-1916). Dalam kongres hampir semua yang hadir orang Belanda. Kongres ini
diketuai oleh JH Abendanon. Dalam kongres ini turut hadir junior Soetan
Casajangan yakni Dahlan Abdoellah. Inilah perjuangan guru, dari senior yang diturunkan
kepada juniornya. Peserta yang juga hadir adalah Raden Mas Suardhy Soejaningrat
dan dr. DA Rinkes, penasihat untuk urusan pribumi. Isu yang dibahas dalam
kongres ini terkait dengan pengaturan pendidikan di Hindia. Pada bulan Juni
1916, Sorip Tagor lulus ujian kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool,
Utrecht (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Kepengurusan Indisch
Vereeniging tahun 1916 diketuai oleh Raden Loekman Djajadiningrat. Dalam
kepengurusan ini Dahlan Abdoellah duduk sebagai archivaris (Nieuwe
Rotterdamsche Courant, 10-08-1916).
Organisasi penduduk, Madjoe, di Sumatra telah
direvitalisasi di Fort de Kock oleh Soetan Casajangan. Ketertinggalan di
Sumatra akan dapat dikejar dengan apa yang telah terjadi di Djawa. Sepeninggal
Soetan Casajangan, Indisch Vereeniging sejatinya sudah terkesan mati suri,
karena hanya mahasiswa asal Sumatra yang tetap antusias, sementara mahasiswa
asal Jawa sudah lebih mementingkan Boedi Oetomo daripada perjuangan (bersama di
dalam) Indisch Vereeniging. Apalagi Boedi Oetomo telah disokong habis oleh Sosro
Kartono dari Belanda (abang RA Kartni), rekan Soetan Casajangan ketika
membangun awal Indisch Vereeniging (untuk ‘melawan’ Boedi Oetomo). Untuk mewujudkan
cita-cita nasional, Soetan Casajangan mundur satu langkah, untuk maju kembali,
yang dalam hal ini merespon (kembali) Boedi Oetomo yang berlari sendirian, Gerakan
Soetan Casajangan di Fort de Kock kemudian disambut oleh mahasiswa asal Sumatra
di Belanda dengan mendirikan organisasi Sumatra Sepakat. Organisasi Sumatra
Sepakat ini pada level junior menjadi head to head dengan Jong Java (sedangkan
pada level senior: Madjoe vs Boedi Oetomo).
Sumatra Sepakat di Utrecht, 1 Januari 1917 |
Di tengah gerakan
Sumatra ini, Sorip Tagor, Dahlan Abdoellah, Soetan Goenoeng Moelia dan Tan Malaka harus membagi perhatian untuk
membangun Sumatra dan juga untuk menyelesaikan studi. Pada bulan September 1917,
Sorip Tagor dipromosikan dari tingkat tiga ke tingkat empat (lihat Algemeen
Handelsblad, 23-09-1917). Meski anak-anak Sumatra telah mendirikan Sumatra
Sepakat, tetapi visi persatuan nasional Indonesia tetap dipejunjung. Salah satu
misi yang dijalankan adalah melangsungkan suatu kongres.
Algemeen Handelsblad, 24-11-1917: ‘Indisch
Studentencongres. Kemarin pagi Kongres Mahasiswa Hindia
dibuka di Leiden dalam rangka peringatan lustrum ketiga (15 tahun) Asosiasi
Mahasiswa-Indologis (Studenten-Indologenvereeniging) yang didirikan pada tahun
1902. Auditorium kecil Universitas sepenuhnya diisi dengan peserta konferensi
(yang secara konsisten terdiri dari mahasiswa yang terdaftar di universitas
Belanda). Saat ini Masyarakat Hindia adalah; Chineesebc Vereeniging Chungwa
Hui; de vereeniging van Indologlsche studenten van het Utreehtsch
Studentencorps ‘Van Verre’; de vereeniging Onze Koloniën te Delft; de
Studjentenafdeeling van de Vereeniging Oost en West (Leiden); de vereeniging
Kcempoelan Tani Djawi (Wageningen); en de onderaf deelingen Tropische Land- en
Boschbouw van de Studentcnvcreenlging te Wageningen. Mr. van Mook, presiden
serikat membuka pertemuan...(tiba giliran) Dahlan Ahdoellah sebagai pembicara mewakili
Indisch Vereeniging: ‘Kami, Indonesiers adalah elemen utama di Belanda, rakyat
Hindia, dan karena itu kami memiliki hak untuk memiliki lebih dari sebelumnya
dalam pemerintahan nasional. Indisch Vereenigingner lebh tua dari yang
lainnya...’. Dahlan Abdoellah mengurai di awal tentang kehidupan awal di Hindia
hingga datangnya Belanda.
Dari kongres tersebut, pada
intinya, pidato Dahlan Abdoellah mirip dengan pidato Soetan Casajangan pada
tahun 1911. Dalam pidato Dahlan Abdoellah, tampaknya Dahlan Abdoellah telah
mengganti terminologi ‘coklat vs putih’ yang diapungkan Soetan Casajangan pada
tahun 1911 dengan terminologi Indonesier: ‘Wij, Indonesiers vormen in, Nederlandsch
Indie het hoofdbestanddeel der bevolking van Indie en als zoodanig hebben wij
het recht meer dan tot, dusver aandeel te hebben in het landsbestuur’ (Kami Indonesiers
membentuk Hindia Belanda adalah konstituen utama penduduk Hindia dan karena itu
kami memiliki hak untuk memiliki lebih dari berpartisipasi dalam pemerintahan
nasional). Ini dengan sendirinya, Dahlan
Abdoellah telah melanjutkan perjuangan Soetan Casajangan. Doktrin kesamaan hak,
kebebasan, keadilan dan kamajuan telah diterima Dahlan Abdoellah dari Soetan
Casajangan di Fort de Kock tahun 1913.
Pada tahun 1907 Dja Endar Moeda dihukum
cambuk dan diusir pemerintah dari Padang karena delik pers, lalu hijrah ke Kota
Radja (menirikan surat kabar Pembrita Atjeh, 1907) dan kemudian ke Medan
(mendirikan Sjarikat Tapanoeli dan surat kabar Pewarta Deli, 1909). Saat
berangkat studi ke Belanda tahun 1905, Soetan Casajangan bertemu di Padang. Dja
Endar Moeda adalah kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang
Sidempoean. Pada tahun 1908 Soetan Casajangan mendirikan persatuan Hindia
(Indisch Vereeniging). Setelah pulang dari Belanda, yang pertama dilakukan oleh
Soetan Casajangan adalah untuk menggalangkan persatuan kembali (1914) di Fort
de Kock dan sekitarnya dengan mendirikan sarikat Madjoe. Setelah di Fort de
Kock, Soetan Casajangan melanjutkan gagasan persatuannya ke Tapanoeli dimana agendanya
membentuk Parsadaan Koeria (koeriabond) dan mendirikan surat kabar Poestaha di
Padang Sidempoean pada tahun 1915.
Soetan Casajangan pada
dasarnya adalah untuk melanjutkan perjuangan Dja Endar Moeda. Untuk memajukan
bangsa, Dja Endar Moeda mendirikan Medan Perdamaian di Padang tahun 1900. Pada
tahun 1900 juga Dja Endar Moeda menerbitkan majalah bulanan tentang pembangunan
yang diberi nama Insulinde. Dalam hal ini terjadi proses penamaan bangsa:
Insulinde, Indisch dan Indonesia.
Insulinde adalah nama yang telah
dipopulerkan oleh Multatuli untuk menyebut wilayah yang kelak disebut Indonesia.
Multatuli adalah nama lain dari Edward Douwes Dekker, Controleur di Natal pada
tahun 1842-1843 yang dipecat karena mengadvokasi pendudukan Mandailing dan
Angkola karena kebijakan tanam paksa (koffiestelsel). Nama Insulinde muncul
dalam buku Multatuli yang berjudul Max Havelaar. Istilah Indonesia sendiri
sudah ada sejak tahun 1850 oleh peneliti Inggris. Pada tahun 1920 muncul nama
Nusantara oleh Dr. Setiabudi. Sebelumnya tiga serangkai (Setiabudi, Tjipto dan
Soewardi) mendirikan partai yang disebut Indisch Partij (1912) suatu
terminologi yang sama dengan yang digunakan Indisch Vereeniging.
Ada perbedaan penafsiran pada masa ini tentang
posisi Sumatranen Bond, Jong Sumatranen Bond dan Sumatra Sepakat. Tiga nama ini
terkait dengan Indisch Vereeniging yang dihubungkan dengan Medan Perdamaian, Boedi
Oetomo dan Jong Java. Pada saat Medan Perdamaian (organisasi nasional) masih
eksis muncul (organisasi kedaerahan) Boedi Oetomo di Batavia yang dimotori
Soetomo dkk (Mei 1908). Format Boedi Oetomo ini copy paste dari Medan
Perdamaian. Lalu pada bulan Oktober di Leiden, Soetan Casajangan muncul dengan
gagasan persatuan nasional (Indisch Vereeniging). Ketika Boedi Otomo telah
memiliki anak yang namanya Jong Java, pada tahun 1914 Soetan Casajangan
mempelopori kembali persatuan di Sumatra dengan mendirikan di Fort de Kock dan Padang
Sidempoean versus Boedi Oetomo di Jawa. Pada Januari 1917 Sorip Tagor dkk
merespon semakin menguatnya Jong Java dan pada Desember 1917 diperkuat
berdirinya Jong Sumatranen Bond di Batavia yang dimotori mahasiswa-mahasiswa
STOVIA. Pada tahun 1918 di Batavia didirikan organisasi Sumatranen Bond dalam
kaitan pencalonan wakil Sumatra di Volksraad. Dalam hal ini, Sumatranen Bond representatif
organisasi senior (induk), sedangkan Jong Sumatranen Bond menjadi representasi junior
(sayap). Idem dito dengan Boedi Oetomo (senior) dan Jong Java (junior).
Dahlan Abdoellah sebagai
Ketua Indisch Vereeniging di Belanda. Pada
periode 1917-1918 Soetan Casajangan menjadi asisten JH Nieuwenhuys dan DA
Rinkes (penasehat urusan pribumi).
Sebelumnya Dahlan Abdoellah
menghadiri suatu perayaan Boedi Oetomo di Den Haag yang diadakan tanggal 20 Mei
(Het volk : dagblad voor de arbeiderspartij, 21-05-1918).
Ketua panitia membuka acara dan mengucapkan terimakasih kepada undangan dan
sekaligus memberi kata pengantar. Pada intinya ketua panitia menguraikan
perjalanan Boedi Oetomo yang mana pendidikan adalah syarat untuk perkembangan
lebih lanjut. Ketua panitia juga mengutip beberapa hal dari buku Goenawan M. Sementara
itu Dahlan Abdoellah yang turut hadir diberi kesempatan berbicara. Dahlan
Abdoellah memberi ucapan selamat kepada Boedi Oetomo. Dr. Tumbelaka, yang didaulat
sebagai atas nama Minahaser diberi kesempatan untuk berbicara. Selain itu ada
beberapa orang Belanda yang diberi kesempatan berbicara. Dalam pertemuan ini
beberapa pembicara Belanda menyebut Indonesier untuk orang-orang Hindia. Banyak asosiasi, terkait dengan koloni telah mengirimkan
perwakilan dan Van Kol telah mengirimkan telegram sebagai rasa simpati.
Sejak adanya pertemuan-pertemuan
Moederland en Kolonie (East-West) yang pernah mengundang Soetan Casajangan dan
Kongres Mahasiswa (Indologi) yang pernah dihadiri oleh Dahlan Abdoellah sejumlah
aspek mulai terlihat kecenderungan berubah di Hindia, seperti di bidang
parlemen, kuota pribumi ditambah di Volksraad, pemilihan umum bagi pribumi di
gemeeteraad, pembentukan sekolah tinggi teknik di Bandoeng (THS). Juga berkembang
pameran dan pegelaran seni yang dilakukan di Belanda yang dihadiri oleh
orang-orang Belanda terutama yang pernah bertugas di Hindia. Di bidang media,
yang selama ini surat kabar dan majalah masih berifat pemberitaan mulai tumbuh
media-media (majalah) penerangan yang mengulas bidang pendidikan, budaya dan politik,
seperti majalah Hindia Poetra yang menjadi organ Indisch Vereeniging (Algemeen
Handelsblad, 01-12-1918). Majalah Hindia Poetra muncul Juni 1918 (Algemeen
Handelsblad, 21-06-1918). Semua bergerak secara simultan menuju cita-cita
bersama: persamaan hak, keadilan dan kemajuan.
Parada Harahap seorang krani di
perkebunan di Deli berinisiatif membongkar kekejaman di perkebunan oleh ulah
para planter terhadap para koeli (dalam penerapan poenale sanctie). Hasil
investigasi Parada Harahap dikirimnya ke surat kabar Benih Mardeka di Medan
(terbit pertama tahun 1916). Laporan surat kabar tersebut tahun 1918 dilansir
oleh surat kabar Soeara Djawa yang membuat heboh di Djawa. Akibat perbuataan
Parada Harahap ini dirinya dipecat sebagai krani. Parada Harahap melamar
menjadi wartwan Benih Merdeka tetapi justru jabatan editor yang diberikan. Oleh
karena Benih Mardeka dibreidel, Parada Harahap pindah sebagai editor Pewarta
Deli (yang didirikan oleh Dja Endar Moeda tahun 1909). Namun kemudian Parada
Harahap pulang kampung di Padang Sidempoean dan mendirikan surat kabar Sinar
Merdeka tahun 1919. Parada Harahap juga menjadi editor untuk surat kabar
Poestaha (yang didirikan oleh Soetan Casajangan tahun 1915).
Pada tahun 1918 kembali
diadakan kongres mahasiswa di Belanda disebut Congres van het Indonesisch
Verbond van Studeerenten (De Maasbode, 31-08-1918). Sejumlah Belanda, Tionhoa
dan pribumi berbicara. Dahlan Abdoellah kembali berbicara. Di dalam kongres ini isu pendidikan tinggi kembali mendapat porsi.
Isu kurangnya insinyur dan dokter di Hindia. Satu hal lain nama Indonenesier
menjadi lazim diucapkan untuk menyebut penduduk di Hindia. Dalam kongres ini
juga turut berbicara (bertanya): Zain Rasad (Landbouwonderwij); Sorip Tagor
(Utrecht); Goenawan Mangoenkoesoemo, dan S. Sastrawidagda. Saat dimana seorang
pembicara mengatakan ‘kami ingin membebaskan diri, tidak hanya dalam politik,
tetapi juga di bidang pendidikan dan ekonomi’ disambut dengan tepuk tangan. Sorip
Tagor, Dahlan Abdoellah dan Zain Rasad, tiga diantara pengurus Sumatra Sepakat yang
didirikan tahun 1917 (De Sumatra post, 31-07-1919).
Dahlan Abdoellah
diangkat sebagai asisten dosen bersama Samsi Sastrawidagda di Universiteit
Leiden (Nederlandsche staatscourant, 29-08-1917).
Dahlan Abdoellah untuk bahasa Melayu dan Samsi untuk bahasa Jawa. Mas Samsi dan
Dahlan Abadoellah lulus ujian Melayu dan Etnografi di ‘sGravenhage (Bataviaasch
nieuwsblad, 27-12-1915). Samsi lulus di Handelseconomie di Rotterdam (De Tijd :
godsdienstig-staatkundig dagblad, 29-06-1918). Dahlan Abdoellah dan Samsi
diangkat kembali sebagai asisten dosen tahun 1918 (De Preanger-bode,
05-10-1918). Jabatan ini pernah dilakukan oleh Soetan Casajangan pada tahun
1911. Soetan Casajangan diangkat sebagai guru bahasa Melayu di Handelschool dan
merangkap sebagai asisten dosen Prof Charles A. van Ophuijsen di Universiteit
Leiden. Handelschool ini menjadi cikal bakal Nederlandsch Handelshoogeschool di
Rotterdam (dimana tahun 1922 Mohammad Hatta studi). CA van Ophuijsen adalah
mantan gurunya di Kweekschool Padang Sidempoean. Dahlan Abdoellah dan Samsi
Sastrawidagda diangkat kembali sebagai asisten dosen Melayu dan Jawa (Bataviaasch nieuwsblad,
02-10-1919).
Indisch Vereeniging
telah mendapatkan rohnya kembali. HJ Vermeer menulis riwayat Indisch
Vereeniging dengan judul De Indisch Vereeniging yang dimuat pada Bataviaasch
nieuwsblad edisi 05-05-1919. Perkembangan Indisch Vereeniging sejak era Soetan
Casajangan telah mengalami metamorfosis. Ini dimulai pada tahun 1917 pada saat
kongres mahasiswa yang pertama. Peran Dahlan Abdoellah mulai terlihat di
Indisch Vereeniging.
Pada tahun 1916 Dahlan Abdoellah
duduk sebagai archiparis. Pada tahun 1917 ketika muncul Sumatra Sepakat yang
diketuai oleh Sorip Tagor dan wakil ketua Dahlan Abdoellah berdua ikut
berpartisipasi dalam kongres mahasiswa yang pertama. Dalam kongres ini Dhalan
Abdoellah memberi kejutan dengan menyebut ‘Wij, Indonesier...’. Ketika Dahlan
Abdoellah menjadi ketua Indisch Vereeniging tahun 1918, gaung Indisch
Vereeniging dengan organ Hindia Poetra sekan kembali menggema. Pada fase ini
juga muncul Indonesissch Persbureau. Perjuangan Dahlan Abdoellah tampak lebih
menggigit jika dibandingkan dengan ketua-ketua sebelumnya. Sementara ketua
Ibndisch Vereeniging yang pertama, Soetan Casajangan terus melakukan
perjuangannya di luar Indische Vereeniging. Tema-tema yang diusung Dahlan
Abdoellah kurang lebih sama dengan yang diusung Soetan Casajangan. Ini sekan
menjelaskan bahwa ada semacam hubugan saling memperkuat antara Dahlan Abdoellah
di dalam dan Soetan Casajangan di luar. Dengan kata lain, jiwa Soetan
Casajangan di Indisch Vereeniging masih hidup melalui figur Dahlan Abdoellah. Dalam perkembangannya,
tugas Dahlan Abdoellah tidak diperpanjang lagi sebagai asisten dosen di
Universiteit Leiden. Dahlan Abdoellah dilaporkan berangkat ke Mekkah (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-08-1920). Dahlan Abdoellah tiba
di Port Said tanggal 20 Juli 1920 (De Telegraaf, 10-10-1920).
Geachte Dames en Heeren! (Dear
Ladies and Gentlemen).
....saya berterimakasih kepada Mr.
van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan
kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar
sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap
sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya
peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya
orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang
ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan
bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras
untuk merealisasikannya..yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah
membawa perbaikan..termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip
(setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa..
Sekarang saya ingin berbicara dengan
cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari
keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar
sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan
putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda,
bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling
takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan
kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan
intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani
perlunya kebijakan baru pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging
Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini
lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan..
Sorip Tagor, rekan Dahlan
Abdoellah di Sumatra Sepakat dan Indisch Vereeniging, lulus dari
Rijksveeartsenijschool, Utrecht dan mendapat gelar dokter hewan (Dr) pada tahun
1920 (lihat De Tijd : godsdienstig-staatkundig dagblad, 02-07-1920). Di Batavia,
Gubernur Jenderal menunjuk Sorip Tagor untuk menjadi dokter hewan di lingkungan
istana. Penunjukan dan pengangkatan ini secara resmi berdasarkan surat
keputusan menteri koloni no 89 tanggal 26 Mei 1921 (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 22-09-1921). Sorip Tagor Harahap kelak dikenal sebagai kakek dari
Risty/Inez Tagor dan Destri Tagor (istri Setya Novanto).
Parada Harahap dan Mohammad
Hatta bertemu di kongres pertama Sumatranen Bond di Padang tahun 1919. Sumatranen
Bond didirikan tahun 1918 (harus dibedakan dengan Sumatra Sepakat yang
didirikan di Belanda Januari 1917 dan Jong Sumatranen Bond yang didirikan di
Batavia Desember 1907). Ketua Panitia kongres Sumatranen Bond di Padang adalah
Dr. Abdoel Hakim Nasution. Parada Harahap hadir sebagai representatif
Sumatranen Bond dari wilayah Tapanoeli, sedangkan Mohammad Hatta representatif
Jong Sumatra dari Kota Padang. Setelah kongres Sumatranen Bond tiga hari usai,
Parada Harahap kembali ke Padang Sidempoean dan kemudian mendirikan surat kabar
berbahasa Melayu yang diberi nama Sinar Merdeka (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
02-09-1919). Sementara Mohammad
Hatta berangkat studi ke Batavia. Setelah lulus handelschool di Prins Hendrik
School Batavia, pada tanggal 2 Agustus 1921 Mohammad Hatta berangkat studi ke
Negeri Belanda dari Tandjong Priok ke Rotterdam dengan kapal Tambora (Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 02-08-1921). Parada Harahap, Ketua
Sumatranen Bond wilayah Tapanoeli yang berpusat di Sibolga, pada tahun 1922
(setelah sukses mengelola surat kabar Poestaha dan Sinar Merdeka di Padang
Sidempoean) hijrah ke Batavia. Parada Harahap di Batavia bekerja sama dengan Dr.
Abdul Rivai mendirikan surat kabar Bintang Hindia 1923. Di Belanda, Mohammad
Hatta diterima di Nederlandsch Handelshoogeschool Rotterdam, dan lulus ujian
handels-economie (Algemeen Handelsblad, 28-11-1923).
Sejak Dahlan Abdoellah
berangkat ke Mekkah, kabarnya tidak terdengar lagi. Jabatan asisten dosen
Melayu di Universiteit Leiden yang cukup lama kosong, kemudian diisi oleh
Soetan Mohammad Zain (De Maasbode, 27-07-1922). Untuk posisi asisten dosen Jawa
diisi oleh Perbatjaraka (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 18-09-1922). Dahlan
Abdoellah lulus ujian acte MO vóór de Maleis che taal en letterkunde (Het
Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 28-06-1923). Dahlan Abdoellah
diangkat sebagai guru HIS di Tandjong Pinang (De Preanger-bode, 02-07-1924).
Dahlan Abdoellah dan istri tiba di Singapoera tanggal 26 (De Sumatra post,29-07-1924).
Dahlan Abdoellah tidak
pernah kembali ke Belanda. Senior Dahlan Abdoellah, Soetan Casajangan diangkat
menjadi Direktur Normaal School di Meester Cornelis. Sementara rekan Dahlan
Abdoellah di Sumatra Sepakat, Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia
setelah beberapa tahun sebagai Kepala sekolah HIS di Kotanopan, kembali ke Belanda
untuk studi lebih lanjut. Soetan Goenoeng Moelia meraih gelar doktor (Ph.D)
dalam bidang sastra dan filsafat di Universiteit Leiden dengan desertasi
berjudul: ‘Het primitieve denken in de moderne wetenschap' (Algemeen
Handelsblad, 09-12-1933). Sebelumnya, Poerbatjaraka meraih gelar doktor (Ph.D) pada
bidang sastra di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul 'Agastya in den
Archipel' (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 11-06-1926).
Parada Harahap, Penerus Soetan Casajangan dan Mohammad
Hatta, Penerus Dahlan Abdoellah
Generasi terdahulu
digantikan oleh generasi berikutnya. Generasi terdahulu telah membuka/merintis
jalan, suatu jalan yang diperlebar dan diperkuat oleh generasi berikutnya.
Dalam usaha memperjuangkan bangsa, peran para intelektual dan organisasi-organisasi
menjadi sangat strategis: karena orang cerdas akan efektif memimpin melalui
organisasi yang dibentuk. Tanpa organisasi, kecerdasan individu dari
orang-orang yang terjajah hanya habis dikuras oleh penjajah (Belanda).
Organisasi yang efektif untuk mengusir penjajah adalah organisasi yang bersifat
nasional. Tidak akan efektif juga dilakukan hanya bersifat sektarian
(horizontal) atau berisifat lokal kedaerahan (vertikal).
Dalam sejarah bangsa (Indonesia) tidak
ditemukan organisasi supra (trans nasional). Hanya para intelektual yang
memiliki pemahaman yang komprehensif (terhadap realitas) yang mampu mengerti arti
mengapa harus dibentuk organisasi trans nasional. Organisasi dalam hal ini
memiliki misi ganda: membangun dirinya dan memperkuat barisasn melawan
penjajah. Organisasi trans nasional akan efektif untuk memobilisasi semua anak
bangsa (etnik dan daerah) untuk melawan musuh yang sama: kolonialisme dan
imperialisme. Itulah mengapa muncul organisasi trans nasional di Padang tahun
1900 yang digagas oleh Dja Endar Moeda dan itu pula mengapa Soetan Casajangan
di Belanda membentuk organisasi mahasiswa trans nasional Indisch Vereeniging.
Organisasi yang bersifat
nasional mampu untuk merangkul semua (all for one dan one for all). Indisch
Vereeniging (di Belanda) sudah jelas dan pada dasarnya meneruskan platform organisasi
Medan Perdamaian yang telah dibentuk sebelumnya di Padang. Dalam hal ini
Indisch Vereeniging di satu sisi meneruskan visi misi Medan Perdamaian dan di
sisi lain untuk ‘memperingatkan’ Boedi Oetomo yang baru dibentuk tidak berlari
sendiri dibawah sokongan Belanda. Kenyataanya, organisasi trans nasional
digembosi dan organisasi kedaerahan seperti Boedi Oetomo didukung pemerintah.
Namun begitu, organisasi trans nasional tetap eksis (meski berjalan secara
tertatih-tatih). Disinilah peran penting Soetan Casajangan yang kemudian
diteruskan oleh Dahlan Abdoellah dalam menjalankan visi senior mereka: Dja
Endar Moeda dan Dr. Abdoel Rivai.
Sebagaimana kita lihat, generasi
ketiga akan muncul figur baru: Parada Harahap dan Mohammad Hatta. Dua tokoh ini
akan berkolaborasi untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Mereka ini
berkolaborasi mengikuti kolaborasi antara Soetan Casajangan dan Dahlan Abdoellah.
Koloborasi ini juga telah ditunjukkan oleh para senior mereka yang terdahulu:
Dja Endar Moeda dan Dr. Abdoel Rivai. Parada Harahap tidak cukup hanya
membimbing Mohammad Hatta, karena itu diperlukannya Soekarno. Hal ini juga
sebelumnya, Soetan Casajangan tidak cukup dengan membimbing Dahlan Abdoellah,
karena itu diperlukan tokoh muda lainnya yang juga kuat: Dr. Sorip Tagor.
Pada tahun 1926, di
Batavia dengan basis jurnalis yang kuat mendirikan surat kabar Bintang Timoer dan
kantor berita Alpena sebagai organ penjuangannya. Surat kabar berhaluan ‘politik’
ini didirikan setelah setahun sebelumnya Parada Harahap melakukan perjalanan
jurnalistik ke Sumatra dan Semenanjung yang telah dibukukan dan terbit tahun
1926. Pada tahun yang sama (1926) Mohammad Hatta di Belanda terpilih menjadi
Ketua Perhimpoenan Indonesia yang disngkat PI (suksesi Indisch Vereeniging)
yang mana Hindia Poetra organ Indisch Vereeniging diubah namanya menjadi
Indonesia Merdeka. Inilah estafet terpenting dari Parada Harahap (Sinar Merdeka
1919 di Padang Sidempoean) menjadi Indonesia Merdeka di Belanda tahun 1926. Ini
pula yang dulu estafet Medan Perdamaian (trans nasional) di Padang tahun 1900 oleh
Dja Endar Moeda di Padang dan Indisch Vereeniging di Belanda tahun 1908.
Langkah pertama Parada Harahap yang
pertama adalah menggagas didirikannya supra organisasi yang disebut
Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia yang disingkat
PPPKI tahun 1927. Pembentukan PPPKI ini dilakukan di rumah Husein
Djajadiningrat (dosen Rechthoogeschool) yang juga dihadiri Soetan Casajangan
(Direktur Normaal School Meester Cornelis), Mangaradja Soangkoepon (anggota
Volksraad dari dapil Oostkust Sumatra), Dr. Alimoesa Harahap (anggota Volsraad
dari dapil Tapanoeli), dan Dr. Abdoel Rivai. Organisasi yang hadir dalam
pertemuan pembentukan supra organisasi ini antara lain Sumatranen Bond
(diwakili oleh Parada Harahap yang menjabat sekretaris Sumatranen Bond),
Pasoendan, Kaoem Betawi dan Boedi Oetomo. Ketua PPPKI didaulat MH Thamrin
(anggota Volksraad) dan Parada Harahap sebagai sekretaris. Kantor/gedung PPPKI
ditetapkan di Gang Kenari. Parada Harahap dan MH Thamrin adalah pendiri
organisasi pengusaha pribumi di Batavia (semacam Kadin pada masa ini).
Sedangkan Soetan Casajangan, Dr. Abdoel Rivai dan Abdoel Firman Siregar gelar
Mangaradja Soangkoepon, dan Husein Djajadiningrat adalah pentolan pengurus di
tahun-tahun awal Indisch Vereeniging di Belanda.
Langkah pertama yang dilakukan oleh
Mohammad Hatta di Belanda adalah merevitalisasi Perhimpoenan Indonesia (PI)
menjadi organisasi mahasiswa yang lebih pro demokrasi dan lebih menegaskan
cita-cita kemerdekaan Indonesia (yang berifat non-cooparative). Langkah ini
tidak lain juga untuk meneruskan seniornya: Soetan Casajangan dan Dahlan
Abdoellah.
Parada Harahap dan
Mohammad Hatta yang telah menjalin persahabatan kuat sejak kongres Sumatranen
Bond di Padang tahun 1919 telah menjadi dua tokoh sentral: Parada Harahap di
dalam negeri dengan PPPKI dan Mohammad Hatta di luar negeri dengan PI.
Saat-saat kesibukan Parada Harahap dan Mohammad Hatta inilah Ir. Soekarno dari
Bandoeng bergabung dan kerap berkunjung ke Gang Kenari (Algemeene Studieclub).
Sebelum dibentuknya PPPKI bulan Juli 1927, beberapa minggu sebelumnya di
Bandoeng didirikan Perserikatan Nasional Indonesia (orang-orang dari
Studieeclub yang diketuai Dr, Tjipto) yang lalu bergabung saat pertemuan
pembentukan PPPKI di Batavia. Namun tidak lama kemudian Dr. Tipto diasingkan ke
Banda. Setelah itu Perserikatan Nasional Indonesia bekerjasama dengan PPPKI
melakukan pertemuan di Bandoeng yang melahirkan organ baru Parsarikatan Partij
Politiek Indonesia (PPPI).
De Sumatra post, 30-12-1927: ‘ Pendirian
partai politik di Bandoeng. Pertemuan pada Sabtu malam (17 Desember 1927) diadakan
di gedung sekolah Taman Siswa di Poengkoerweg. Hadir sebagai berikut: PNI
diwakili oleh Ir. Sukarno dan Mr. Ishaq; dari PSI, diwakili oleh Drs. Sukiman
dan Shahboudin Latif; dari BO hadir Mr. RMAA Koesumo Oetoyo dan Soetopo
Wonobojo; dari Pasoendan oleh Oto Kushumasoebrata dan Soetisma Seudjaja; van
den Soematranen Bond, diwakili oleh Parada Harahap dan Dachland Abdullah; Kaoem
Betawi, diwakili Mr. Hoesni Thamrin, kelompok studi Indonesia adalah Soejono,
Soenarjo, Gondo Koesoemo dan Soeadjoto. Selanjutnya, pertemuan dihadiri, tanpa
asosiasi pihak manapun, Soeroso, Soetadi, Mr. Boediarto, Mr. Sukjardi, Mr.
Sartono, Dr.Soerono, Panoedjoe Darmobroto. Ir. Sukarno memimpin diskusi dengan
memaparkan tujuan dan makna federasi masyarakat politik. Lalu dibentuk organ
yang diberinama Parsarikatan Partij Politiek Indonesia (PPPI)...Ketika forum
meminta Ur. Soekarno menjadi pengurus tidak bersedia karena kesibukan tertentu.
Akhirnya yang terpilih adalah Ketua Mr. Isjaq dan sekretaris/bendahara Dr.
Samsi. Untuk komisioner diangkat Parada Harahap dan Mr. Sartono..diminta untuk
kerjasama dan dukungan dari anggota Volksraad.. Pertemuan itu
mengungkapkan simpatinya kepada Dr Tjipto Mangoenkosoemo, yang diinternir di
Banda..’. [Catatan: salah satu anggota Volksraad adalah Mangaradja Soeangkoepon
yang turut hadir dalam pembentukan PPPKI di rumah Husein Djajanegara dengan
ketua terpilih MH Thamrin dan Sekretaris Parada Harahap].
Sementara Mohammad Hatta di Belanda
harus berbagi perhatian untuk menyelesaikan studi dan berjuang melalui PI untuk
mencapai cita-cita kemerdekaan, Parada Harahap di Batavia mulai mempersiapkan
Kongres PPPKI (senior) bulan September dan Kongres Pemuda (junior) pada bulan
Oktober 1928. Jelang kongres PPPKI, Parada Harahap meminta Mohammad Hatta untuk
mengumpulkan semua tulisan-tulisan DR. Abdoel Rivai di Belanda supaya dibukukan
(setelah terbit kata pengantar dibuat oleh Parada Harahap). Parada Harahap dan
Dr. Abdoel Rivai adalah pemilik saham utama Percetakan Bintang Hindia di
Batavia yang menerbitkan surat kabar Bintang Timoer. Untuk lebih
menyebarluaskan kongres senior (PPPKI) dan kongres junior (PPPI) Parada Harahap
juga memperluas cakupan surat kabar Bintang Timoer dengan membuat edisi
Semarang (Midden Jaba) dan edisi Soerabaja (Oost Java). Untuk ketua panitia
Kongres PPPKI ditunjuk Dr. Soetomo dan untuk ketua panitia Kongres PPPI
(Kongres Pemuda) disusun sebagai berikut: Ketua, Soegondo (PPPI), sekretaris, Mohammad
Jamin (Jong Sumateranen Bond) dan bendahara, Amir Sjarifoeddin Harahap
(Bataksch Bond). Umumnya panitia kongres pemuda ini adalah mahasiswa-mahasiswa
Recthooheschool yang dibimbing oleh Prof. Husein Djajadiningrat (guru besar
Rechthoogeschool). Pendanaan kongres, baik PPPKI (kongres senior) dan PPPI
(kongres pemuda) didukung oleh MH Thamrin dan Parada Harahap (pentolan KADIN
Batavia). Secara admisnitratif Kongres Pemuda bermuara pada dua orang: Mohammad
Jamin (materi substansi) dan Amir Sjarifoeddin (materi finansial). Mohammad
Jamin dan Amir Sjarifoeddin adalah ‘anak buah’ Parada Harahap. Untuk lagu
kebangsaan, WR Supratman mengambil partisipasi. WR Supratman juga adalah ‘anak
buah’ Parada Harahap (WR Supratman tinggal bersama Parada Harahap yang diangkat
sebagai editor kantor berita milik Parada Harahap, Alpena).
Dalam Kongres PPPKI
(September 1928 di Gang Kenari), Parada Harahap mengundang Ir. Soekarno dan
Mohammad Hatta untuk hadir sebagai pembicara. Ir. Soekarno bisa hadir, tetapi
Mohammad Hatta berhalangan hadir karena kesibukan di Belanda. Untuk mewakili
dirinya, Mohammad Hatta mengutus Ali Sastroamidjojo. Dalam hal ini Soekarno
mewakili organisasi kebangsaan yang baru dibentuk di Bandoeng, Perserikatan
Nasional Indonesia (cikal bakalnya studieclub). Oleh karenanya Ir. Soekarno
(yang baru setahun lulus di THS, bukan mahassiswa lagi tetapi sudah masuk
golongan senior) diundang ke PPPKI. Sedangkan Mohammad Hatta, sejatinya masih
junior (dan dimasukkan ke Kongres Pemuda), tetapi Parada Harahap justru meminta
Mohammad Hatta hadir sebagai pembicara di Kongres PPPKI. Inilah cara Parada
Harahap mengangkat (secara sengaja) Mohammad Hatta tetap sejajar dengan Ir.
Soekarno di forum yang lebih besar. Ini juga mencerminkan konsistensi Parada
Harahap dalam memajang dua foto pemuda revolusioner di kantornya di Gang
Kenari.
Sebagaimana kita lihat nanti, para
pemuda-pemuda revolusioner inilah yang memimpin di era pendudukan Jepang, Proklamsi
Kemerdekaan, Perang Kemerdekaan dan Pasca Pengakuan Kedaulatan RI oleh Belanda.
Para pemuda revolusioner saat ini (1928): Soekarno, Mohammad Hatta, Mohammad
Jamin, Amir Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir yang masih berada di sekolah
menengah di Bandoeng.
Dahlan Abdoellah Berjuang Lewat Parlemen: Parada Harahap
Memimpin Tujuh Revolusioner ke Jepang
Nama Dahlan Abdoellah tidak
terdeteksi lagi sejak ditempatkan menjadi guru HIS dan tiba di Tandjong Pinang,
Residentie Riouw (De Sumatra post,29-07-1924). Namanya baru muncul pada awal
tahun 1927 sehubungan dengan nominasi kandidat anggota Volksraad mewakili
Sumatra.. Saat pencalonan Dahlan Abdoellah ini diduga sudah berada di Batavia.
Bataviaasch nieuwsblad, 14-02-1927:
‘Kemarin dilakukan pertemuan Sumatranen Bond di Batavia. Ini dilakukan
sehubungan dengan penunjukan pemerintah bahwa Dr. Abdoel Rivai sebagai anggota
Volksraad yang baru. Panitia menjelaskan bahwa Sumatranen Bond sudah lama tidak
aktif dan baru ini bertemu kembali. Namun panitia menyadari bahwa Dr. Abdoel
Rivai adalah seorang naturalisasi Belanda, jadi tidak tepat untuk mewakili pos untuk
pribumi. Untuk itu, diharapkan pemerintah mengangkat kembali satu nominasi
untuk repesentasi Sumatra. Nominasi yang akan diusulkan antara lain Dahlan
Abdoellah, Mohammad Zain dan Soetan Goenoeng Moelia’
Dalam perkembangannya
Mohammad Zaid yang melenggang ke Pedjambon (kini Senayan). Untuk wakil Sumatra
lainnya dari dapil Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh
yang terpilih adalah Dr. Alimoesa Harahap. Untuk dapil Provice Oostkust Sumatra
yang terpilih adalah Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon. Dr.
Ali Moesa adalah adik kelas Dr. Sorip Tagor di Vearstsen School di Buitenzorg.
Sementara itu dalam perkembangannya Dahlan Abdoellah mulai merintis dari bawah
melalui dewan kota (gemeeteraad) di Batavia. Dalam pemilihan, Dahlan Abdoellah
guru di Batavia terpilih sebagai anggota dewan di gemeente Batavia tahun 1931.
Akhirnya kembali seorang guru duduk di dewan kota.
Tidak banyak guru yang menjadi
anggota dewan kota (gemeenteraad). Yang pertama diketahui adalah Radja Goenoeng
di Gemeete Medan pada tahun 1918 (De Sumatra post, 16-07-1918). Pada tahun 1918
di Bandoeng juga terpilih seorang guru, Raden Atmadinata. Radja Goenoeng adalah
kakak kelas Dahlan Abdoellah di Kweekschool Fort de Kock. Radja Goenoeng pada
saat terpilih menjadi anggota dewan kota, menjabat sebagai penilik sekolah di
Medan dan Sumatra’s Oostkust (Sumatera Timur). Kajamoedin Harahap gelar Radja
Goenoeng, kelahiran Hoetarimbaroe, Padang Sidempoean lulus dari sekolah guru
(kweekschool) di Fort de Kock (Bukitting) pada tahun 1897. Setelah cukup lama
mengajar di Padang Sidempuan dan berbagai tempat di Residentie Tapanoeli
diangkat menjadi penilik sekolah dan ditempatkan di Medan (1915). Dalam
karirnya sebagai guru maupun penilik sekolah Radja Goenoeng telah banyak menulis
buku pelajaran sekolah dan diterbitkan. Masih pada tahun 1918, di Kota Padang
terpilih sebagai anggota dewan adalah Abdoel Hakim, kepala dinas kesehatan.
Abdoel Hakim Nasution alumni ELS Padang Sidempoean dan Docter Djawa School
tahun 1905 (sekelas dengan Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo). Pada periode berikutnya
seorang mantan guru yang menjadi pemimpin surat kabar Pewarta Deli, Abdoellah
Lubis kembali terpilih menjadi anggota gemeeteraad Medan. Abdoellah Lubis juga
adalah kakak kelas Dahlan Abdoellah di Kweekschool Fort de Kock. Hebatnya
Abdoellah Lubis masih terpilih sebagai anggota dewan untuk yang kesekian pada
tahun 1934. Pada tahun 1934 ini selain Abdoellah Lubis terdapat dua guru lagi
yakni GB Joshua Batubara dan Madong Lubis.
Dahlan Abdoellah seakan
kembali ke habitat lamanya. Pada tahun 1917 Dahlan Abdoellah adalah ketua
Indisch Vereeniging di Belanda. Statement saat diadakan kongres mahasiswa pada
akhir tahun 1917 di Belanda membuat kejutan. Di awal pembicaraannya Dahlan
Abdoellah menyebut ‘Wij, Indonesianer’. Kini, Dahlan Abdoellah akan beradu argumen
lagi di forum (publik) di parlemen Kota Batavia.
Pada tahun dimana Dahlan Abdoellah
berada di dewan kota, situasi dan kondisi di Batavia sangat krusial. Sehabis
kongres PPPKI di Solo Desember 1929, Ir. Soekarno ditangkap dan kini (1930)
prosesnya masih berlangsung di Landraad Bandoeng.
Sementara itu, Parada
Harahap terus memonitor perkembangan terutama permasalahan yang dihadapi oleh
Ir. Soekarno dan memberitakannya di surat kabar Bintang Timoer. Akhirnya
hukuman Ir. Soekarno dipersingkat dan keluar dari penjara akhir tahun1931.
Parada Harahap cukup lega dan menyambutnya di surat kabar Bintang Timoer.
Parada Harahap dan Dahlan Abdoellah juga sedikit lega dan sumringah karena
Mohammad Hatta setelah sukses studinya sudah pulang dan berada di tanah air
(1932). PNI yang dulu didirikan Soekarno dan sewaktu berada di penjara telah
dibubarkan Mr. Sartono. Lalu muncul Partai Indonesia pimpinan Sartono. Sebagian
dari massa PNI tersebut dibentuk parta Pendidikan Nasional Indonesia oleh
Soekemi (dokter alumni Belanda) dan Sjahrir. Dalam fase ini Ir. Soekarno
memilih Partai Indonesia dan dalam perkembangannya Drs. Mohammad Hatta memilih
partai Pendidikan Nasional Indonesia. Soekarno kembali naik panggung pada rapat
umum di Bandoeng pada Februari (De Sumatra post, 24-02-1933).
De Sumatra post, 24-02-1933 memberitakan
bahwa di Tjilentah [Bandoeng] Ir. Soekarno ikut berbicara di dalam suatu
pertemuan publik Partai Indonesia yang dihadiri 3.000 orang. Dalam pembukaan
pertemuan itu lebih dahulu dinyanyikan lagu Indonesia Raja. Setelah dibuka oleh
ketua PI dilanjutkan dengan orasi para pembicara. Pembicara kedua tampil Amir
Sjarifoeddin (ketua PI Batavia) Menurut Amir imperialisme adalah bahan bakar
dari gerakan nasional. Tentu saja kebijakan Nasionalisme dan imperialisme tidak
bisa bekerja bersama, jadi non-cooperative juga harus menjadi pondasi
perjuangan. Non-cooperative, bagaimanapun, tidak berarti duduk kosong, karena
PI berusaha untuk membangkitkan kesadaran nasional. Kebebasan hanya dapat
diperoleh oleh orang-orang, itulah sebabnya aksi massa diperlukan. Pembicara
terakhir adalah Ir. Soekarno. Menurut Soekarno imperialisme dan kapitalisme
adalah lagu lama. Kebebasan adalah jembatan mencapai kesejahteraan. PI mengedepankan
demokrasi dalam politik dan ekonomi. Gerakan nasional adalah bersumber dari
perut orang-orang yang berderak-derak. Mengenai aksi massa, bahwa PI akan dapat
menghadirkan 60 juta orang ke Indonesia Merdika. Pertemuaan berakhir pada pukul
12 sesuai batasan polisi.
Isi pidato Soekarno dan
Amir Sjarifoeddin Harahap kembali bergetar tetapi di sisi lain menjadi
perhatian serius intel/polisi Belanda. Menurut surat kabar Bintang Timoer bahwa
Soekarno telah menjadi target dan dalam daftar tunggu menyusul nama Amir
Sjarifoeddin dan Mohammad Jamin. Parada Harahap mengisyaratkan wait and see.
Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 14-07-1933: ‘Kemarin
malam Ketua Komite Bantuan untuk bencana di Zuid Sumatra, mengumumkan panitia
telah didirikan yang bertujuan untuk mengumpulkan dana untuk kepentingan warga di
daerah yang dilanda gempa di Sumatra Selatan. Komite terdiri dari: Ketua:
Moechtar, anggota Volksraad, sekretaris satu B. Dahlan Abdullah, anggota Dewan Kota, sekretaris
dua Parada Harahap, Direktur Bintang-Timoer, bendahara: M. Soangkoepon, anggota
Volksraad. Commisaries: Dr. Arifin, Joebhaar, Dr. A. Datoek Toemenggoeng,
Soetan Sajoer dan E. Harahap’
Seperti yang
dikhawatirkan surat kabar Bintang Timoer, akhirnya tak terelakkan dan Soekarno
pada bulan Agustus ditangkap kembali yang dianggap pemerintah sebagai tokoh
yang berbahsya di Partai Indonesia . Dalam kasus kedua Soekarno ini pemerintah
langsung membuat resolusi untuk kemudian mengasingkan Soekarno (ke Ende,
Flores). Dalam situasi ini Parada Harahap semakin geram. Parada Harahap
berpikir sudah waktunya untuk mencari negara lain untuk berkolaborasi.
Parada Harahap melakukan kontak
politik dengan berdalih kerjasama ekonomi dengan konsulat Jepang di Batavia.
Nama Parada Harahap sudah sejak lama dikenal di konsulat-konsulat Jepang di
Nederlandsch Indie. Pada tahun 1918, sewaktu menjadi editor Pewarta Deli di
Medan, Parada Harahap membongkar kasus prostitusi wanita Jepang hotel-hotel
kelas mewah di Medan yang merupakan ulah para germo di Singapoera.
Pada bulan November 1933
Parada Harahap memimpin tujuh orang revolusioner ke Jepang. Dari Batavia
berangkat dengan kapal Panama Maru. Dalam rombongan ini termasuk Mohammad
Hatta. Di Jepang rombongan diterima sangat istimewa. Pers Belanda menyebut (nyinyir)
bahwa Parada Harahap bagaikan menteri ekonomi. Sementara, pers Jepang menyebut
Parada Harahap dengan julukan yang tepat The King of Java Press (ini terkait dengan tujuh
media Parada Harahap, termasuk Bintang Timoer dan satu surat kabar berbahasa
Belanda).
Dalam rombongan yang terdiri dari
tujuh revolusioner ini tiga jurnalis, satu akademisi, dua pedagang dan satu
orang guru. Mereka ini, selain Parada Harahap dan Mohammad Hatta adalah Dr.
Samsi Sastrawidagda (rekan Dahlan Abdoellah ketika menjadi asisten dosen di
Universiteit Leiden) yang kini menjadi guru di Bandoeg (bersama Soekarno
mendirikan PNI) dan Abdullah Lubis (pimpinan Pewarta Deli di Medan). Parada
Harahap sudah sejak lama mengenal Abdullah Lubis. Pada saat di Medan, ketika
surat kabar Benih Mardeka dibreidel, sang editor Parada Harahap ditampung oleh
Abdullah Lubis sebagai editor di Pewarta Deli (Abdullah Lubis saat itu kepala
editor). Pada tahun 1930 ketika dua editor Pewarta Deli hengkang (diduga karena
Pewarta Deli semakin radikal), Untuk mengisi kekosongan ini, Abdullah Lubis
datang ke Batavia menemui Parada Harahap di Bintang Timoer. Editor Bintang
Timoer saat itu Adinegoro. Setelah musyawarah akhirnya Adinegoro dipindahkan
dari Bintang Timoer ke Pewarta Deli, padahal Adinegoro yang bernama asli Djamaloeddin
belum setahun menjadi editor Bintang Timoer (sepulang studi jurnalistik di Eropa
tahun 1929). Adinegoro adalah abang dari Mohammad Jamin. Parada Harahap sudah
lama mengenal Mohammad Jamin yakni jelang Kongres Pemuda 1928.
Pada bulan Januari
rombongan Parada Harahap kembali dari Jepang dan tiba di tanah air. Rombongan
tidak langsung ke Tandjong Priok, Batavia tetapi turun di Tandjong Perak,
Soerabaja. Diduga karena khawatir ditangkap intel/polisi Belanda, Pilihan turun
di Tandjong Perak, Soerabaja karena ada dua tokoh revolusioner yakni Dr.
Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution (pendiri Partai Bangsa Indonesia/PBI). Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin
Nasution sudah kenal sejak lama, satu kelas di STOVIA. Saat itu, Radjamin
Nasution selain anggota dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja adalah pimpinan
sarikat buruh pelabuhan Tandjong Perak.
Tidak lama setelah di Batavia Parada
Harahap dan kawan-kawan ditangkap. Parada Harahap berhasil lolos karena tidak
terbukti tuduhan setelah Konsulat Jepang memberikan kesaksian. Sementara Mohammad
Hatta tidak bisa lolos karena intel/polisi melancarkan tuduhan lain (soal
politik). Setelah penangkapan Mohammad Hatta dan juga Soetan Sjahrir pada bulan
Februari1934 lalu keduanya diasingkan (ke Digoel). Soekarno, Mohammad Hatta dan
Sjahrir telah diasingkan. Parada Harahap merasa khawatir juga akan menyusul
target polisi/intel Belanda kepada Mohammad Jamin dan Amir Sjarifoeddin.
Saat genting ini
sejumlah revolusioner masih aman. Namun orang-orang dekat Parada Harahap yang
berhaluan lebih moderat (satu hal cooperative dan hal lain non-cooperative).
Mereka ini, selain Dr. Soetomo, juga terdapat anggota gemeenteraad dan Volksraad.
Di gemeenteraad, selain Radjamin Nasution di Soerabaja, juga Abdoel Hakim
Nasution di Padang, Abdoel Hakim Harahap dan GB Joshua Batubara di Medan dan
Dahlan Abdoellah dan MH Thamrin di Batavia. MH Thamrin, sebagai wethouder
(anggota dewan senior) sejak 1929 diangkat sebagai Wakil Wali Kota (Loco
Burgemeester) Gemeente Batavia; sedangkan Abdoel Hakim sebagai wethouder
diangkat sebagai Loco Burgemeester di Gemeete Padang (hanya dua pribumi yang
pernah menjabat posisi ini).
Parada Harahap meski aktivis di
dalam berbagai organisasi, tetapi tidak pernah terlibat dalam partai politik. Parada
Harahap bertindak dengan caranya sendiri. Parada Harahap berpolitik melalui
jalur media dengan pena-pena yang tajam (berita investigasi dan kolom editorial
yang radikal). Parada Harahap dan MH Thamrin adalah pengusaha. Parada Harahap
berbeda dengan Soekarno yang arsitek dan guru, Mohammmad Hatta, Sjahrir dan
Amir Sjarifoeddin yang akademisi (suka membaca). Parada Harahap juga berbeda
dengan Dr. Soetomo dan Dr. Radjamin Nasution yang juga masih bekerja untuk
pemerintah. Karena itu Soetomo dan Radjamin Nasution lebih mengambil jalan
tengah: untuk satu hal coopearative dan untuk hal lain non-cooperatif. Meski
demikian, tujuan mereka semua sama: kemerdekaan Indonesia.
Bataviaasch nieuwsblad, 05-05-1934:
kandidat anggota gemeenteraad Batavia untuk pribumi delapan orang: Mohamad Sjah
Sapiie, Iskandarbrata, Ir. Djoehanda, Mr. Hadi, HA Lunicnta. Dahlan Abdullah, Dr.
J. Kayadoe en MH Thamrin. Bataviaasch nieuwsblad, 25-06-1934: ‘Rapat Direksi
Koran di Solo. Hampir semua direktur surat kabar pribumi dipenuhi dengan tujuan
untuk membangun Asosiasiini didirikan, dengan Dr R. Soetomo, direktur ‘Soeara
Oemoem di Soerabaya sebagai presiden, Saeroen, direktur Pemandangan dan Parada
Harahap, direktur Bintang Timoer sebagai komisaris’
Dalam
perkembangannya di Soerabaja sebagaimana kita lihat nanti, Dr. Soetomo dan Dr.
Radjamin Nasution merasa perlu untuk memperbesar partai PBI.
Cara yang mungkin dilakukan adalah menggerakkan Boedi Oetomo berafiliasi dengan
partai politik. Lalu muncullah gagasan pembentukan Partai Indonesia Raja yang disingkat Parindra. Partai Parindra didirikan tahun 1935 dengan tujuan yang sama dengan organisasi revolusioner yang lain
seperti Partindo dan PNI. Akan tetapi strategi Parindra berbeda dengan
mengambil jalan tengah, yakni tetap mengusung demokrasi dan nasionalisme. Dalam
hal ini Parindra bersifat pro-aktif: Parindra untuk satu hal cooperative tetapi
untuk hal lain non-cooperative. Parindra berjuang lewat parlemen. Hal ini sudah
dijalankan oleh Radjamin Nasution di Soerabaja atas sokongan sobatnya Dr.
Soetomo (sejak 1931). Prinsip demokrasi parlemen ini juga diamini oleh MH
Thamrin di Batavia. Dalam hal ini juga
termasuk Dahlan Abdoellah.
Parada Harahap lalu kemudian
mendorong Amir Sjarifoenddin dan Mohammad Jamin mendirikan partai. Lalu
kemudian didirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pada tahun 1937. Gerindo
juga mengikuti format yang dilakukan oleh Parindra: satu hal cooperative tetapi untuk hal lain non-cooperative.
Parada Harahap di satu
sisi ikut mendorong rekan-rekannya untuk mendirikan partai dan memperbanyak
orang di parlemen (terutama di Volksraad). Di sisi lain Parada Harahap terus
mengkonsolidasi agar hukuman Soekarno, Mohammad Hatta dan Sjahrir dibebaskan
atau diringankan. Upaya pertama berhasil dengan dipindahkannya Mohammad Hatta
dan Soetan Sjahrir dari Digoel ke Bandaneira di Maluku (1937). Permintaan
awalnya adalah ke Sumatra tetapi ditolak pemerintah, karena Mohammad Hatta dan
Soetan Sjahrir berasal dari Sumatra. Bagaimana dengan Soekarno di Flores?
Algemeen Handelsblad dan
Soerabaijasch handelsblad yang mengutip dari kantor berita Aneta yang
melaporkan Soekarno akan dipindahkan dari Flores ke Bengkoeloe. Algemeen
Handelsblad, 05-05-1938 menyebutkan Soekarno sendiri yang mengajukan permohonan
dipindahkan. Soekarno berdalih bahwa di Bengkulu akan dapat menggunakan
pengetahuan teknisnya dengan lebih baik. Pemerintah telah mengabulkan
permintaan. Ir. Soekarno tiba hari ini di Soerabaja. Dalam Soerabaijasch
handelsblad, 05-05-1938 juga terdapat informasi bahwa Soekarno akan tiba di
Tandjoeng Priok tanggal 8 Mei
Berita pemindahan
Soekarno sudah muncul pada bulan Mei 1938. Tentu saja permohonan Ir. Soekarno
dipindahkan dari Flores ke Bengkoeloe tidak terlalu penting bagi penmerintah
Hindia Belanda. Demikian juga polisi/intel Belanda tidak terlalu
menghiraukannnya. Sebab situasi politik sedikit agak terkendali, demokrasi melalui
parlementer di Volksraad masih aman-aman saja. Tentu saja bagi sebagian
pemimpin pribumi permohonan pindah ini dianggap sebagai sikap cengeng Soekarno
dan dianggap angin lalu. Akan tetapi, sebaliknya, bagi para revolusioner
permohonan Soekarno dipindahkan adalah hal yang sangat strategis. Para
revolusioner telah memiliki skenario di belakang proses pemindahan ini.
Ir. Soekarno tentu saja memiliki ‘musuh’
politik. Soekarno diasingkan ke Flores akan menjadi keuntungan bagi lawan-lawan
politiknya. Tentu saja masih banyak orang yang peduli dan terus memperhatikan
Soekarno (sebagai calon pemimpin bangsa). Dalam hal ini Parada Harahap terus
konsisten dalam perjuangan: persatuan dan kemerdekaan.
Parada
Harahap dan Mohammad Hoesni Thamrin menyusun skenario pemindahan Ir. Soekarno
ke Sumatra. Pilihan tempat bukan ke (pulau) Bangka, tetapi ke Bengkoeloe.
Tempat pengasingan ini terkesan terpencil dari mana-mana dan supaya ada kesan
Soekarno dilokasir dari teman-temannya di Jawa. Parada Harahap dan MH Thamrin
memiliki niat yang lain yang tidak diketahui oleh siapapun.
Skenarionya
jadi begini: Parada Harahap dan MH Thamrin menginginkan Soekarno tetap bahagia
di pengasingan (Bengkoeloe) dan juga tetap terhubungan dengan Parada Harahap
dan MH Thmarin. Untuk bisa berinteraksi dengan para pendukungnya perjalanan Ir.
Soekarno dibuat singgah di Soerabaja (alasan bertemu keluarga); lalu naik
kereta ke Batavia dan kemudian melalui Merak dan Lampoeng hingga ke Lahat dan
seterusnya ke Bengkoeloe. Titik-titik persinggahan ini (dalam sudut pandang
Parada Harahap dan MH Thamrin supaya ada kemungkinan bertemu dengan Dr.
Radjamin Nasution di Soerabaja, MH Thamrin dan Parada Harahap di Batavia; Mr.
Gele Haroen dan Mr. Abdoel Abbas Siregar di Tandjong Karang. Selanjutnya selama
di pengasingan di Bengkoeloe dimungkinkan mudah dikunjungi oleh Gele Haroen
Nasution dan Abdoel Abbas Siregar dari Tandjong Karang dan Mr. Egon Hakim dari
Kota Padang. Egon Hakim adalah anak Dr. Abdoel Hakim Nasution wakil wali kota
(Loco-Burgemeeter) Kota Padang. Egon Hakim bersama Amir Sjarifoeddin sudah sejak 1924 sekolah
menengah hingga fakultas hukum di Belanda (tetapi Amir tahun 1927 transfer ke
Batavia) karena itu juga saling kenal dengan Mohammad Hatta. Tahun 1935, Egon
Hakim sudah menjadi advocaat terkenal di Padang. Mr. Egon Hakim Nasution adalah menantu dari MH Thamrin.
Sementara, Gele Haroen Nasution adalah sepupu dari Egon Hakim yang juga kuliah hukum di Belanda. Lantas, siapa Mr. Abdoel Abbas? Teman kuliah Amir Sjarifoeddin dan
Hazairin di Batavia. Parada
Harahap adalah ‘tulang’ dari Abdoel Abbas.
Soerabaijasch
handelsblad, 06-05-1938 melaporkan Ir. Soekarno saat transit di Soerabaja.
Bersama KPM Steamer Valentijn, Ir Soekarno bersama istrinya, dua anak angkat
dan tiga pelayan tiba, pada hari Selasa siang (5 Mei) dan keluarga tersebut
pada malam hari ini ke Batavia dalam perjalanan mereka ke Benkoelen. Selama
Soekarno berada disini (Soerabaja), Soekarno mencari dan memesan kamar di pusat kota, sementara istri
dan orang-orang lain yang besertanya diijinkan untuk mengunjungi teman-teman
dan kerabatnya. Keberangkatan Soekarno dari Soerabaja ke Batavia dilaporkan
tiga surat kabar. Bataviaasch nieuwsblad edisi 07-05-1938 Soekarno yang awalnya
diberangkatkan dengan kapal ke Batavia tiba-tiba diubah dengan menggunakan
kereta api dan dilakukan pada malam hari. Saat keberangkatan dari Soerabaja
hanya hanya ada orang tua dan kerabat dekat yang hanya diberikan kesempatan
salam perpisahan selama lima belas menit.
Ada dua kesempatan Soekarno bertemu dengan Radjamin
Nasution yakni yang pertama pada saat di hotel penginapan. Kesempatan kedua
adalah pada saat pengantaran keberangkatan dari Soerabaja menuju Batavia. Soekarno
dalam hal ini tentu bukan orang bodoh. Soekarno dan petugas PID yang
mengawalnya berbeda level. Soekarno meminta pindah kepada pejabat dengan alasan
teknis: membuat peluang bertemu dengan siapa Soekarno menginginkan bertemu.
Petugas PID hanya melihat Soekarno bertemu dengan orangtua dan kerabat.
Sementara Soekarno sudah barang tentu telah menskenariokan ingin bertemu dengan
koleganya. Kolega itu ada di dalam barisan kerabat yang hadir di stasion kereta
api Soerabaja. Harus diingat inilah satu-satunya kesempatan bertemu dengan
kolega (seperjuangan). Singkat kata: Soekarno bukan saja ingin pindah sendiri
dari Ende ke Bengkoelen tetapi juga keinginan para koleganya.
Siapa beberapa orang yang hadir dalam salam
perpisahan di stasion kereta Soerabaja tersebut? Hanya ada kemungkinan Dr.
Soetomo dan Dr. Radjamin. Bahwa Dr. Soetomo kecil kemungkinan hadir. Haagsche
courant, 30-05-1938 melaporkan bahwa Dr. Soetomo meninggal dunia hari ini yang
diterima dari Aneta yang dirawat selama sebulan di rumah sakit sipil pusat di
Surabaya. Dr. Soetomo mengambil alih posisi Soekarno mengenai prinsip
non-kerjasama. Berdasarkan berita ini, Dr. Soetomo sudah sakit selama sebulan
(sebelum meninggal) dan Dr. Soetomo dianggap non-koperatif (sebagaimana
Soekarno). Dr. Radjamin dianggap masih mau bekerjasama. Saat itu Radjamin
adalah anggota senior (Wethouder) dewan kota (gemeenteraad) Soerabaja. Dr.
Radjamin (Nasution) teman sekelas Dr. Soetomo di STOVIA. Pertemanan Radjamin
dan Soetomo sudah bagaikan keluarga. De Sumatra post, 31-05-1938 menyebut Dr.
Soetomo pernah bertugas di Batoebara dan Loeboek Pakam. Sementara Dr. Radjamin
juga pernah bertugas di Medan dan Belawan. Pendiri PIB (Partai Bangsa
Indonesia) adalah Dr. Soetomo yang mana Dr. Radjamin salah satu pengurus di
Soerabaja. PIB kemudian melebur ke Parindra. Dalam pemakaman Soetomo ini akan
datang dari Batavia beberapa perwakilan gerakan pribumi, termasuk MH Thamrin
(Parindra). Dalam pemakaman Soetomo ini, Dr. Radjamin berpidato atas nama
keluarga Dr. Soetomo. Dengan demikian, saat keberangkatan Soekarno ke Batavia
diduga kuat Dr. Radjamin (Nasution) hadir. Saat pembentukan PPPKI tahun 1927,
Dr. Radjamin yang berdinas di Batavia sebelum dipindahkan ke Soerabaja adalah
orang yang diminta Parada Harahap untuk mendekati dan mengubah status quo
Soetomo (Boedi Oetomo) untuk bergabung dengan PPPKI. Oleh karena itu, melalui Dr,
Radjamin pesan politik Soekarno ke teman-teman seperjuangan sebelum berangkat
ke Bengkoeloe. Dalam hubungan ini, di Telok Betong sudah barang tentu Dr.
Radjamin telah menelpon Mr. Gele Haroen, seorang advokat terkenal di Lampong
yang berkantor di Telok Betong tentang rute perjalanan Soekarno tersebut. Gele
Haroen (Nasution) adalah alumni sekolah tinggi hukum di Leiden (kelak menjadi
Residen Lampoeng). Singkat kata: proses perpindahan Soekarno dari Ende ke
Bengkulu adalah kerja gotong royong diantara koleganya yang dikoordinasikan
oleh Parada Harahap. Di parlemen (Volksraad), Parada Harahap akan terus
berkomunikasi secara intens dengan MH. Thamrin (mertua Egon Hakim) yang juga
akan berkoordinasi dengan tiga anggota Volksraad lainnya kelahiran Padang Sidempoean:
Mr. Abdul Firman gelar Mangaradja Soangkoepon, Dr. Abdul Rasjid dan Mr. Dr.
Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Untuk mengingatkan kembali: MH
Thamrin dan Parada Harahap adalah pendiri PPPKI (1927) yang berkantor di Gang
Kenari, dimana di kantor tersebut Parada Harahap memajang dua foto juniornya:
Soekarno dan M. Hatta.
Sebelumnya
di dalam berita disebutkan bahwa permintaan Soekarno untuk pindah ke Bengkoeloe
didorong oleh MH. Thamrin di Volksraad. Di dalam berita disebutkan MH Thamrin
mengatakan bahwa Soekarno menderita di Flores karena malaria, jika Soekarno
mati karena serangan malaria tersebut maka Pemerintah akan bertanggungjawab
(lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
11-06-1957) [Catatan: surat kabar Java Bode sejak 1952 sudah diakuisisi oleh
Parada Harahap].
Upaya menakut-nakuti oleh MH Thamrin ini
akhirnya permintaan Soekarno dikabulkan. Perpindahan ini akan memberi manfaat:
menjauhkan diri dari area Australia (internasional) ke Sumatra (domestik);
mendekatkan diri kepada para koleganya terutama di Sumatra yang besar
kemungkinan Jepang akan mendudukinya terlebih dahulu; memiliki kesempatan
sepanjang perjalanan bertemu para koleganya. Sebelum perpindahan ini sempat
muncul keraguan pejabat tinggi untuk menyetujui perpindahan (De Telegraaf,
21-03-1966). Dan harus diingat bahwa yang terbuka ke publik bahwa perpindahan
itu adalah atas permintaan Soekarno dan atas biaya sendiri. Dalam hal ini tentu
saja pemerintah Hindia Belanda terkecoh. Ini adalah buah pemikiran yang cerdas.
Tegasnya bahwa sangat naif proses
perpindahan dari Ende ke Bengkoelen jika dianggap hal sepele dan tidak begitu
penting. Ini nyata-nyata kemenangan para revolusioner.
Setelah
Soekarno di Soerabaja sempat muncul perjalanan dilanjutkan ke Batavia melalui
laut. Akan tetapi terjadi perubahan mendadak. Tentu saja itu menimbulkan
pertanyaan. Apa pun yang mendasarinya dan bagaimana keputusannya sehingga
perjalanan dengan kereta api malam, tentu hanya para revolusioner yang
diuntungkan. Perubahan rute perjalanan tersebut dapat diubah haruslah dikaitkan
dengan orang yang memiliki pengaruh, baik secara individu maupun secara
kolektif. Saat itu orang-orang yang berpengaruh adalah Dr. Radjamin Nasution
(wethouder di Soerabaja yang menjadi anggota Volksraad). Di Volksraad sendiri
paling tidak masih ada empat anggota Volksraad yang terkoneksi dengan Parada
Harahap, yakni tiga anggota Volksraad kelahiran Padang Sidempoean: Mr. Abdul
Firman gelar Mangaradja Soangkoepon, Dr. Abdul Rasjid Siregar dan Mr. Dr.
Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia. Pemindahan Soekarno ini seakan
dilakukan secara diam-diam sebagaimana diberitakan di dalam surat kabar,
kenyataannya diketahui oleh para revolusioner. Radjamin Nasution, Dr. Soetomo
dan MH Thamrin adalah tokoh utama Parindra. MH Thamrin juga besan dari Dr.
Abdoel Hakim Nasution, wakil wali kota Padang. Singkat kata: saat pemindahan
Soekarno dari Flores ke Bengkoeloe dikelilingi oleh orang-orang Parada Harahap.
Tidak ada nama-nama yang terhubung dengan Soekarno dalam proses pemindahan ini,
kecuali Parada Harhap dan kawan-kawannya.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
07-05-1938 menambahkan bahwa Soekarno pagi ini telah tiba di Batavia. Pada
pukul 11 dengan mobil polisi ke Serang dan malam hari dari pelabuhan Merak
(dengan kapal) menuju Oosthaven (Telok Betong?). Dari tempat terakhir ini,
dengan kereta api menuju tempat tinggal yang ditunjuk di Benkoelen. Bataviaasch nieuwsblad, 10-05-1938
bahwa Soekarno sekarang telah tiba di bawah pengawasan seorang pejabat
penyelidikan politik. Jika Soekarno berangkat dari Batavia tanggal 7 Mei maka
keesokan harinya tanggal 8 Mei tiba di Telok Betong. Jika perjalanan ini
langsung diteruskan dengan naik kereta ke Lahat dan lalu dilanjutkan dengan
mobil ke Bengkoeloe, Soekarno kemungkinan besar sudah tiba di Bengkoeloe
tanggal 9 Mei. Dengan demikian benar apa yang dilaporkan Bataviaasch
nieuwsblad, 10-05-1938 bahwa Soekarno telah tiba di Bencoelen.
Soekarno
selama di Bengkoeloe meski tetap diawasi tetapi masih dapat melakukan aktivitas
sosial. Aktivitas yang dilakukannnya diantaranya mengajar dan turut membantu
warga untuk membangun atau merenovasi fasilitas umum seperti sekolah dan
masjid. Pada situasi inilah Soekarno bertemu dengan seorang gadis bernama
Fatmawati. Dalam foto disamping ini pada tahun 1939 di Bengkoelen, Soekarno (di
tengah) yang mana pada barisan depan di sebelah kiri anak angkat Soekarno
bersama Inggit Garnasih bernama Ratna Djoeami dan di sebelah kanan adalah pacar
Soekarno bernama Fatmawati (De tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Orang yang bertanggung jawab atas pembayaran tunjangan
bulanan Soekarno adalah LGM Jaquet, aspirant-controleur di Benkoelen (NRC
Handelsblad, 28-04-1979).
Soekarno pertama menikah dengan putri
Tjokroaminoto, Oetari di Soerabaja. Saat Soekarno di Bandoeng, Soekarno yang
tinggal di rumah [Hadji Mohammad] Sanoesi jatuh cinta dengan putrinya, Inggit
Garnasih. Oetari diceraikan dan Inggit dinikahi. Inggit yang lebih tua dari
Soekarno ikut diasingkan ke Flores dan kemudian ikut ke Bengkoeloe.
Bengkulu
adalah segalanya bagi Ir. Soekarno, jauh melebihi penjara Soekamiskin di
Bandoeng (1930-1931) dan tempat pengasingan di Ende, Flores (1934-1938).
Bengkoeloe adalah suatu skenario, suatu tempat yang indah yang akan selamanya
terkesan bagi Soekarno. Pilihan Bengkoeloe sebagai tempat pengasingan Soekarno
bukanlah karena sesukahati Soekarno memilih. Bengkoeloe dipilih oleh Parada
Harahap.
Pada tahun 1938 Dr, Hazairin asisten dosen di
Rehthoogeschool diangkat menjadi Ketua Pengadilan di Landraad di Padang
Sidempoean. Di kampus ini Dr. Husein Djajadiningrat adalah guru besar. Parada
Harahap sudah kenal lama Husein Djajadiningrat sedangkan Hazairin saat menulis
desertasinya di Rehthoogeschool melakukan penelitian lapangan di Bengkulu
(lulus tahun 1936). Parada Harahap tahun 1927 adalah sekretaris Sumatranen Bond
juga sudah lama kenal Hazairin, selain asal satu daerah juga Hazairin adalah
anggota Sumatranen Bond ketika memulai kuliah Rehthoogeschool dengan Amir
Sjarifoeddin. Parada Harahap dan Hazairin kebetulan keduanya adalah ‘gibol’
yang kerap bermain sepakbola dalam satu tim. Oleh karenanya perpindahan
Soekarno dari Ende sangat naif jika itu bersifat random dan juga sangat naif
jika tempat yang baru dipilih Bengkulu juga bersifat random. Boleh jadi
pengenalan Bengkulu tidak hanya atas deskripsi Hazairin dan boleh jadi Soekarno
sudah pernah ke Bengkulu? Sebab Soekarno diduga kerap secara diam-diam ke
Tapanoeli. Pada tahun 1932 Ir. Soekarno datang ke Tapanoeli dalam rangka pembentukan divisi Partai
Nasional Indonesia (lihat De Sumatra post, 13-05-1932). Kunjungan Soekarno ke
Tapanoeli dapat mudah dipahami, karena besar dugaan atas petunjuk dari Parada
Harahap. Tentu saja tidak hanya itu, PNI memiliki basis massa di Tapanoeli dan
di Sumatra Barat. Sebagaimana diketahui pemimpin PNI di Sumatra Barat adalah
Dr. Abdul Hakim (lihat De Sumatra post, 14-01-1922) dan pemimpin NIP di
Tapanoeli adalah Dr. Abdoel Karim. Sebagaimana diketahui juga bahwa pendiri NIP
adalah Dr. Tjipto di Bandoeng. Hubungan antara Abdul Hakim dan Abdul Karim
dengan Tjipto Mangoenkosoemo adalah teman sekelas di Docter Djawa School. Untuk
sekadar diingat kembali bahwa (sejak awal kebangkitan bangsa/pergerakan politik
Indonesia) Parada Harahap di Batavia adalah ‘mentor politik’ dari trio
revolusioner muda: Soekarno, M. Hatta dan Amir. Dalam fase ini, pada tanggal 29
Desember 1929 sepulang dari Kongres PPPKI ke 2 di Solo, Soekarno ditangkap.
Lalu pada tanggal 18 Juni Soekarno diadili di Pengadilan Landraad di Bandoeng
dan kemudian didakwa hukuman empat tahun penjara. Namun, akibat adanya
pengurangan hukuman, Soekarno dilepas pada tanggal 31 Desember 1931 (lihat De
tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Pada hari-hari setelah bebas inilah
Soekarno terdeteksi berada di Tapanoeli. Lalu kemudian, pada tanggal 31 Juli
1933, Soekarno ditangkap lagi karena melakukan manuver politik. Kali ini
Soekarno tidak diadili namun dengan keputusan Gubernur Jenderal langsung
diasingkan ke Ende, Flores (lihat De
tijd: dagblad voor Nederland, 22-06-1970). Sejak diasingkan di Ende, Soekarno
kerap dipojokkan oleh pers pribumi. Sebagaimana Parada Harahap yang terus
konsisten mengawal karir politik Soekarno, ketika semua surat kabar memojokkan
Soekarno, hanya Parada Harahap yang terang-terangan melalui surat kabar
miliknya, Tjaja Timoer yang membela Soekarno. Dalam hubungan ini diduga bahwa
Parada Harahap adalah pendukung utama dana politik Soekarno termasuk dukungan
dana dalam proses perpindahan Soekarno dari Ende ke Bengkoeloe (lihat Het
Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 01-05-1940). Oleh karenanya,
Soekarno dalam pengasingan (terutama di Bengkoeloe) tidak sendiri alias
terasing secara sosial. Soekarno terkawal dengan baik mulai dari Soerabaja oleh
Dr. Radjamin Nasution, di Djakarta oleh Parada Harahap dkk, di Telok Betong,
Lampoeng oleh Gele Haroen Nasution dan ayahnya Dr. Haroen Al Rasjid serta Mr
Abdoel Abbas (Siregar), di Padang oleh Egon Hakim Nasution dan ayahnya Dr.
Abdul Hakim, di Solok oleh Eny Karim dan ayahnya Dr. Abdul Karim (Lubis) dan di
Padang Sidempoean oleh Mr. Dr. Hazairin (Harahap) dan tentu saja di Medan oleh
Adinegoro dkk. Relasi-relasi inilah secara politis nyaris tidak terungkap saat
mana Soekarno mengasingkan diri di Bengkoeloe (bukan diasingkan!).
Selama
hari-hari Soekarno di pengasingan merasa nyaman dan aman.Soekarno nyaman karena
selama berinteraksi sosial dengan menduduk mengalami jatuh cinta (seorang gadis
cantik Fatmawati). Soekarno juga aman karena kerap dikunjungi oleh Gele Haroen
dari Tandjong Karang dan Egon Hakim dari Padang. Gele Haroen dan Egon Hakim
yang bersaudara sepupu adalah sama-sama advocat lulusan dari Universiteit Leiden.
Antara
Tandjong Karang dan Padang tidak terlalu jauh dalam pelayaran. Di tengah dua
kota ini terdapat Bengkoeloe. Saling mengunjungi antar keluarga Gele Haroen dan
keluarga Egon Hakim tentu saja tetap terjaga. Dalam perjalanan antar dua kota inilah Egon Hakim dan Gele Haroen mampir ke
Bengkoeloe. Boleh jadi juga dilakukan oleh Parada Harahap jika pulang kampung
ke Padang Sidempoean melalui Tandjong Priok menuju pelabuhan Sibolga dan mampir
di Bengkoeloe. Sementara itu, Mohammad
Hatta yang dipindahkan dari Digoel ke Banda, memang terpencil dan sulit
dikunjungi oleh rekan-rekannya. Namun pemindahan ke Banda tahun 1937sudah
sedikit diuntungkan bagi Parada Harahap di Batavia dan Radjamin Nasution di
Soerabaja, karena sudah dipisahkan dari tahanan lain di Digoel. Hal ini baru
terlihat nanti, ketika terjadi pendudukan Jepang, pada tahun 1943 sudah habis
dievakuasi semuanya ke kamp Covra di New South Wales, Australia (200 Km dari
Sydney).
Sementara itu, Dahlan
Abdoellah tidak tergantikan di dewan kota (gemeenteraad) Batavia. Dahlan
Abdoellah dengan sendirinya menjadi wethouder. Di Batavia, Loco Burgemeester
dalam posisi kosong karena wakil wali kota R. Ng Soebroto dimutasi ke kota lain. Nama
Dahlan Abdoellah muncul ke permukaan untuk dicalonkan sebagai Loco Burgemeester
(Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-09-1939).
Dalam sejarah Hindia Belanda (baca:
Indonesia), sebelumnya hanya ada dua kota (gemeente) yang pernah memiliki wakil
wali kota (loco burgemeester) yang berasal dari orang pribumi. Dua wakil wali
kota tersebut adalah M. Husni Thamrin di Kota Batavia dan Abdoel Hakim di Kota
Padang. Menariknya, jabatan wakil wali kota Kota Padang ini dipegang Abdoel
Hakim selama 11 tahun (1931-1942). Suatu waktu yang terbilang sangat lama bagi
seorang wakil wali kota, apalagi pribumi, Untuk sekadar diketahui
MH Thamrin dan Abdoel Hakim Nasution besanan. Anak Abdoel Hakim bernama Egon
Hakim menikah dengan putri MH Thamrin.
Siapa yang menjadi wali
kota merupakan hasil proses ‘tawar menawar’ antara keputusan dewan kota dengan
Gubernur dan atau Gubernur Jenderal. Profil kandidat wali kota selalu dipilih
berdasarkan portofolio tertinggi. Dia harus mampu (kapabel) mengelola kota (karena
taruhannya untuk mampu mengkreasi pendapatan). Kandidat juga harus dapat
diterima (akseptabel) oleh penduduk (melalui wakil di dewan). Lamanya seorang
)tetap) menjadi wali kota tergantung kedua hal tersebut. Dua wali kota yang
berumur panjang adalah wali kota Medan (Daniël Mackay dari tahun 1918 hingga
1931) dan wali kota Padang WM. Ouwerkerk (selama 12 tahun tahun, dari 1928
hingga 1940). Demikian juga dengan kandidat wakil wali kota juga dipilih dan
ditetapkan atas dasar kapabilitas dan akseptabilitas baik yang berasal dari
orang-orang Eropa/Belanda dan (kemudian) dari orang pribuni.
De Tijd: godsdienstig-staatkundig
dagblad, 22-01-1930 Batavia, Januari 21 (Aneta). Dalam pertemuan pagi ini Dewan
Walikota dan Aldermen, Mr Thamrin diangkat wakil walikota kedua Batavia. Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 09-12-1931: ‘Wakil Walikota Padang: Sebuah laporan
resmi mengumumkan bahwa Mr C. Hoogenboom mengundurkan diri sebagai wakil
walikota Padang dan dia akan menggantikan Mr. M. Passer, sebagai anggota dewan
Kota Padang. Sementara untuk Wakil Wali Kota diangkat, anggota dewan, Dr A. Hakim’.
Akhirnya Dahlan
Abdoellah dari Partai Parindra ditetapkan menjadi Loco Burgemeester di Gemeete
Batavia (De Indische courant, 14-02-1939). Sementara Radjamin Nasution, wethouder di Soerabaja tidak
pernah menjadi Loco Burgemeester, karena Radjamin Nasution 'naik kelas' pada
pemilihan tahun 1938 menjadi anggota Volksraad dari Partai Parindra. Sedangkan
R. Atmadinata, wethouder di Bandoeng selain gagal menjadi Loco Burgemeester
juga gagal menjadi anggota Volksraad.
Dahlan Abdoellah, kelahiran Priaman
adalah satu-satunya pribumi yang menjadi Loco Burgemeester dari kalangan guru.
Satu guru, wethouder di Bandoeng, R Atmadinata tidak pernah memiliki
kesempatan. Sementara itu, MH Thamrin berasal dari kalangan pengusaha.
Sedangkan wethouder yang menjadi Loco Burgemeester di Padang adalah seorang
dokter, kelahiran Padang Sidempoean.
Dalam
perkembangannya Radjamin Nasution tengah reses di Volksraad dan pulang kampung
di Soerabaja. Saat itu sudah terdengar luas kabar bahwa militer Jepang telah
melakukan pemboman di sejumlah wilayah di Indocina. Radjamin Nasution tiba-tiba
mendapat surat dari anak perempuannya, seorang dokter yang bersuamikan dokter yang
sama-sama berdinas di Tarempa, Tandjong Pinang, Kepulauan Riau. Surat ini
ditujukan kepada khalayak dan cepat beredar, karena termasuk berita penting
masa itu.
Di Soerabaja, media berbahasa Melayu
paling berpengaruh adalah surat kabar Soeara Oemoem. Surat kabar Soeara Oemoem
merupakan bentuk lebih lanjut surat kabar Bintang Timoer milik Parada Harahap
pada tahun 1928. Setelah kongres PPPKI di Solo, Dr. Soetomo meningkatkannya
menjadi surat kabar Soeara Oemoem yang mengambil nama surat kabar tempo doeloe
yang bernama Soeara Djawa yang pernah melansir surat kabar Benih Mardeka yang
terbit di Medan tentang kasus Poenale Sanctie yang dibongkar oleh Parada
Harahap. Surat kabar Soeara Oemoem kemudian menjadi organ partai
PBI/Parindra.
Tandjong Pinang, 22-12-194l.
Dear all. Sama seperti Anda telah mendengar
di radio Tarempa dibom. Kami masih hidup dan untuk ini kita harus berterima
kasih kepada Tuhan. Anda tidak menyadari apa yang telah kami alami. Ini
mengerikan, enam hari kami tinggal di dalam lubang. Kami tidak lagi tinggal di
Tarempa tapi di gunung. Dan apa yang harus kami makan kadang-kadang hanya ubi.
Tewas dan terluka tidak terhitung. Rumah kami dibom dua kali dan rusak parah.
Apa yang bisa kami amankan, telah kami bawa ke gunung. Ini hanya beberapa
pakaian. Apa yang telah kami menabung berjuang dalam waktu empat tahun, dalam
waktu setengah jam hilang. Tapi aku tidak berduka, ketika kami menyadari masih
hidup.
Hari Kamis, tempat kami dievakuasi….cepat-cepat
aku mengepak koper dengan beberapa pakaian. Kami tidak diperbolehkan untuk
mengambil banyak. Perjalanan menyusuri harus dilakukan dengan cepat. Kami hanya
diberi waktu lima menit, takut Jepang datang kembali. Mereka datang setiap hari.
Pukul 4 sore kami berlari ke pit controller, karena pesawat Jepang bisa kembali
setiap saat. Aku tidak melihat, tapi terus berlari. Saya hanya bisa melihat
bahwa tidak ada yang tersisa di Tarempa.
Kami mendengar dentuman. Jika pesawat datang,
kami merangkak. Semuanya harus dilakukan dengan cepat. Kami meninggalkan tempat
kejadian dengan menggunakan sampan. Butuh waktu satu jam. Aku sama sekali tidak
mabuk laut….. Di Tanjong Pinang akibatnya saya menjadi sangat gugup, apalagi
saya punya anak kecil. Dia tidak cukup susu dari saya...Saya mendapat telegram
Kamis 14 Desember supaya menuju Tapanoeli...Saya memiliki Kakek dan bibi di
sana…Sejauh ini, saya berharap kita bisa bertemu….Selamat bertemu. Ini
mengerikan di sini. Semoga saya bisa melihat Anda lagi segera. [Catatan: kakek
dan bibinya di Padang Sidempoean; sedangkan orangtua, suaminya Dr. Amir Hoesin
Siagian berada di Laboehan Bilik, Labohan Batoe].
Boleh
jadi berita itu di satu sisi sangat menakutkan, karena tidak lama kemudian
Soerabaja juga dibom oleh militer Jepang. Sementara di sisi lain, kehadiran
militer Jepang akan melegakan napas. Selama ini orang Indonesia tertindas oleh
pemerintah Hindia Belanda, para politisi dijebloskan ke penjara dan diasingkan.
Militer Jepang telah memilih Radjamin Nasution
menjadi pemimpin di Soerabaja (Walikota). Radjamin Nasution dipilih
dibandingkan yang lain karena Radjamin Nasution satu-satunya tokoh pribumi di
Surabaya yang memiliki portfolio paling tinggi. Sahabat baiknya Dr. Soetomo
setahun sebelumnya telah meninggal dunia. Radjamin Nasution selain dikenal
sebagai Wethouder (anggota senior dewan kota) yang pro rakyat, Radjamin
Nasution juga diketahui secara luas sangat dekat dengan rakyat dan didukung
tokoh-tokoh ‘adat’ di Soerabaja. Radjamin Nasution juga berpengalaman dalam
pemerintahan Belanda sebagai pejabat tinggi (eselon-1) Bea dan Cukai di
Soerabaja. Tentu saja, Radjamin Nasution juga seorang yang cerdas, dokter,
lulusan perguruan tinggi, STOVIA di Batavia.
Dalam
perkembangannya terlihat reaksi penduduk sangat bersukacita dengan kehadiran
militer Jepang dan terusirnya Belanda. Tidak hanya di Soerabaja, di berbagai
wilayah militer Jepang kemudian membentuk pemerintahan.
Surat kabar Soerabaijasch Handelsblad yang
beberapa minggu terakhir berhenti terbit (karena proses pendudukan Jepang),
terbit kembali tanggal 27-04-1942. Disebutkan bahwa Radjamin telah membentuk
panitia peringatan ulang tahun Tenno Haika. Panitia terdiri dari, Ketua: Ruslan
Wongsokoesoemo, dan sekretaris: Dr Angka Nitisastro. Kegiatan menghormati Raja
Jepang itu meliputi berbagai kegiatan, seperti karnaval, hiburan rakyat, dan
pertandingan sepakbola. Untuk pertandingan sepakbola dilaksanakan tiga hari
28-30 April 1942 yang diikuti empat klub, yakni: Persibaja (Persatuan Sepakbola
Indonesia, Soerabaja), HBS, Tiong Hwa dan Excelsior.
Di Batavia, militer
Jepang mengangkat Dahlan Abdoellah sebagai wali kota, sebagaimana di Soerabaja,
Radjamin Nasution menjadi wali kota. Dahlan Abdoellah sebelumnya adalah
wethouder di gemeenteraad Batavia yang menjadi loco burgemeeter kedua bersama Drs. A. Th. Bogaardt. Bataviaasch
nieuwsblad, 17-01-1942 melaporkan bahwa Drs. A. Th. Bogaardt dan Dahlan
Abdoellah terlibat dalam penataan pekuburan boemi poetra Gaskoeba/BIKOS,
sementara Menteng Poelo sebagai kuburan korban perang.
Soerabaja dan Batavia adalah dua
kota utama pendudukan militer Jepang. Bahkan ibukota militer Jepang lebih tepat
disebut Soerabaja daripada Batavia. Sebagaimana diketahui hanya tiga kota di
era kolonial Belanda dimana Jepang memiliki konsulat yakni Batavia, Soerabaja
dan Medan. Kapal-kapal Jepang banyak bersandar di Soerabaja, bahkan armada laut
Jepang lebih memilih Tandjong Perak daripada Tandjong Priok. Hal inilah dulu
yang menjadi salah satu alasan mengapa Parada Harahap dan rombongan sepulang
dari Jepang lebih memilih Soerabaja daripada Batavia. Namun pada masa
pendudukan Jepang, pusat Jepang terbagi tiga: Batavia, Soerabaja dan Fort de
Kock (menggantikan Singapoera). Pusat militer Jepang di Asia Tenggara berada di
Saigon.
Penetapan Radjamin
Nasution dan Dahlan Abdoellah bukanlah karena pilihan sendiri oleh para
petinggi militer Jepang, melainkan usulan pimpinan di pihak Indonesia. Pada
masa transisi ini (Belanda digantikan Jepang), pemimpin militer Jepang harus
membagi perhatian dengan para pemimpin Belanda dan para pemimpin Indonesia. Dalam
hubungan ini, di pihak Indonesia sudah terbentuk grup pengambilan keputusan
(semacam kabinet bayangan) yang secara setara bekerjasama dengan pimpinan
militer Jepang di Indonesia. Siapakah mereka: Parada Harahap, Mohammad Hatta
dan Soekarno.
Siapakah yang
merekomendasikan bahwa Radjamin Nasution dan Dahlan Abdoellah sebagai wali kota
di dua kota utama tersebut?. Besar dugaan adalah Parada Harahap yang merapat ke
Jepang (MH Thamrin sudah tiada, meinggal tahun 1941). Sebab hanya Parada Harahap
yang masih bebas dan berada di Batavia. Ini tentu karena Parada Harahap sudah
sejak lama sangat dekat dengan konsulat Jepang di Batavia? Sementara Soekarno
di Sumatra dan Mohammad Hatta dan Sjahrir di Maluku yang pada posisi proses
evakuasi berada di bawah kendali Belanda. Kebetulan, Radjamin Nasution dan
Dahlan Abdoellah sama-sama pernah sebagai wethouder. Suatu jabatan terhormat di
lingkungan masyarakat pribumi, karena wethouder adalah anggota dewan kota
senior. Dengan kata lain Radjamin Nasution dan Dahlan Abdoellah didukung oleh
rakyat dan juga didukung dari atas. Radjamin Nasution dan Dahlan Abdoellah
adalah pentolan Partai Parindra, partainya MH Thamrin juga.
Pembentukan struktur
administrasi pemerintahan pendudukan militer Jepang dan proses penempatan siapa
yang menduduki posisi, seperti posisi Radjamin Nasution dan Dahlan Abdoellah
yang disebutkan, terlihat jelas merupakan orang-orang yang selama ini terhubung
dengan Parada Harahap, seperti Soekarno dan Mohammad Hatta di Batavia dan Adinegoro
di Medan (Abdullah Lubis telah tiada, meninggal tahun 1938) dan Dr. Samsi di
Bandoeng serta Abdoel Hakim Harahap di Tapanoeli. Apakah ini serba kebetulan
atau kepastian karena posisi strategis Parada Harahap, sebagai orang pertama
yang pernah berbicara dengan pemerintah Jepang di Kobe. Jepang tahun 1933/1934.
Mohammad Hatta dan Soetan Sjahrir
dipindahkan pada Februari 1942 dari Maluku dievakuasi oleh Belanda ke Soekaboemi.
Rute evakuasi ini dari Maluku ke Soerabaja lalu naik kereta via Djogjakarta dan
Bandoeng. Sementara Soekarno dievakuasi dari Bengcoelen ke Padang. Titik-titik
evakuasi ini berada di sisi Samudara Hindia (yang memudahkan tujuan evakuasi di
Australis (basis van Mook selama pendudukan Jepang). Sementara itu, ketika
Belanda di Sumatra melakukan evakuasi Soekarno dari Bengkoelen turut evakuasi
ke Padang. Dalam situasi panik ini, Egon Hakim mengamankan Soekarno di Padang.
Dalam perkembangannya, di
Batavia, Mohammad Hatta bertemu pimpinan militer Maj. Generaal Harada. Di
Padang, Soekarno bersama Egon Hakim pada bulan Maret 1942 menuju ke Fort de
Kock, markas pimpinan militer (dipindahkan dari Singapoera) (lihat De waarheid,
25-09-1945). Dari Fort de Kock inilah lalu kemudian kerjasama strategis
pimpinan militer Jepang dengan pimpinan politik Indonesia mulai dirancang. Dalam
fase transisi ini, di Batavia, Parada Harahap yang cukup dekat dengan konsulat
Jepang di Batavia memainkan peran dalam pembentukan struktur pemerintahan
pendudukan Jepang. Soekarno berada di Fort de Kock selama empat bulan (lihat De
waarheid, 25-09-1945). Kota di Sumatra yang pertama diduduki adalah Palembang
(16 Februari 1942) dan kemudian militer Jepang di Fort de Kock (17 Maret 1942).
Soekarno dievakuasi dari Bangkoelen ke Padang antara bulan Februari dan Maret
1942.
Mengapa begitu lama karena situasi
dan kondisi belum kondusif untuk mengimplementasikan kerjasama Jepang dan
Indonesia. Di satu pihak keberadaan Belanda belum steril dan di pihak lain
militer Jepang masih melakukan konsolidasi di seluruh Indonesia. Pada fase
inilah skenario kerjasama dimantapkan antara militer Jepang dengan para
pemimpin Indonesia, antara lain yang boleh jadi paling utama: Soekarno di Padang
dan Fort de Kock, Abdullah Lubis dan Adinegoro di Medan, Abdul Hakim Harahap
dan Hazairin di Tapanoeli, Parada Harahap dan Mohammad Hatta di Batavia serta
Gele Haroen dan Abdul Abbas di Tandjong Karang (Lampong).
Lalu kemudian, pada
bulan Juli 1942 Soekarno berangkat ke Batavia (lihat De waarheid, 25-09-1945)
dan tentu saja bergabung dengan kawan lama yang sudah lama menunggu yang satu
visi dan misi sebagai pejuang revolusioner (non-cooperative terhadap Belanda),
yakni: Parada Harahap dan Mohammad Hatta. Pada era kolonial, Soekarno adalah
anti Jepang bahkan Soekarno dievakuasi ke Padang minta untuk dievakuasi juga
karena takut Jepang (Amigoe di Curacao, 02-10-1945). Lantas mengapa setelah
kedatangan Jepang di Sumatra berubah dan dibawa ke pimpinan Jepang (di Fort de
Kock)? Di sinilah peran/jaminan Parada Harahap dan Mohammad Hatta dan yang
membawanya ke Fort de Kock adalah Egon Hakim.
Sebelumnya, Mohammad Hatta
dievakuasi dari Maluku 1 Februari 1942 ke Soekaboemi. Sebagaimana Soekarno dari
Padang ke Fort de Kock, juga Mohammad Hatta dari Soekaboemi ke
Batavia/Djakarta. Ini terjadi saat Belanda sudah merangsek ke Bandoeng dan
militer Jepang membuat markas di Batavia. Soekaboemi dengan Padang berbeda, Di
Padang, Belanda memiliki akses langsung ke kapal di laut, tetapi di Soekaboemi
tidak ada akses. Karenanya semua orang Belanda di Soekaboemi langsung
diinternir militer Jepang. Mohammad Hatta dengan sendirinya mudah bebas. Tanggal
21 Maret 1942 Mohammad Hatta dan Amir Sjarifoeddin berangkat ke Batavia. Soetan
Sjahrir tidak bersedia ikut. Perjalanan Mohammad Hatta dari Soekaboemi ke
Batavia relatif bersamaan perjalanan Soekarno dan Egon Hakim dari Padang ke
Fort de Kock. Di Batavia, satu-satunya tokoh yang memiliki kontak langsung
dengan konsulat Jepang (pemerintah militer Jepang) adalah Parada Harahap. Oleh
karenanya Parada Harahap adalah yang mengatur skenario pertemuan Soekarno dan Mohammad
Hatta dengan petinggi militer Jepang di dua tempat yang berbeda (sudah barang
tentu ada kalanya pertemuan jarak jauh ini dilakukan lewat radio dimana
Soekarno dan pimpinan Jepang di Fort de Kock dan Mohammad Hatta dengan pimpinan
Jepang di Batavia. Parada Harahap hanya sutradara yang bermain di belakang
layar.
Dalam perkembangannya
Amir Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir berbeda dengan Parada Harahap, Soekarno,
Mohammad Hatta dan Mohammad Jamin yang bekerjasama dengan Jepang. Amir
Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir bersikap non-cooperative dengan pemerintahan
militer Jepang. Mengapa? Amir Sjarifoeddin dan Soetan Sjahrir selain pernah
studi di Belanda pada dasarnya tidak pernah terhubung dengan Jepang. Lalu
bagiamana dengan Soekarno dan Mohammad Hatta? Saat Soekarno ditangkap (sebelum
muncul resolusi pengasingan ke Flores), Parada Harahap melakukan kontak
kerjasama (cooperative) dengan konsulat Jepang di Batavia lalu memimpin tujuh
revolusioner ke Jepang. Parada Harahap mengajak Mohammad Hatta dalam rombongan
ini sebagai penasehat ekonomi (yang baru selesai studi di Belanda dan sudah
berada di tanah air). Dengan demikian, rapor Parada Harahap dan Mohammad Hatta
di sisi Jepang sangat bagus, sebaliknya sangat buruk di sisi Belanda. Nah, sikap
terakhir berada di tangan Soekarno di Fort de Kock bersama Egon Hakim (yang
selama pengasingan Soekarno di Bengkoelen kerap dikunjungi oleh Egon Hakim,
sang anak Loco Burgemeester Padang yang juga menantu MH Thamrin)..
Kedatangan Soekarno di Batavia sudah barang tentu membuat
Parada Harahap dan Mohammad Hatta tersenyum, Lalu pemimpin militer Jepang
mengangkat Soekarno sebagai partner utama Jepang ditengah penduduk Indonesia
yang disebut Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Voorzitter van de Centrale Advies
Raad) Tjoeo Sangi In. Atasan Soekarno adalah Gunseikan (Kepala Pemerintahan
Militer Tertinggi yang merangkap Kepala Staf
Militer) di Indonesia. Wakil Ketua Dewan dalam hal ini, dan dengan
sendirinya adalah Mohammad Hatta.
Di daerah dibentuk Shu Sangi Kai (Dewan Penasehat
Daerah). Di Sumatra Timur yang berkedudukan di Medan, Adinegoro diagkat sebagai
Wakil Shu Sangi Kai. Sementara di Tapanoeli yang berkedudukan di Taroetoeng
diangkat Abdul Hakim Harahap yang membawahi beberapa kabupaten yang mana di
Tapanuli Selatan diangkat Hazairin (anggota Sumatranen Bond di Batavia teman
main sepakbola Parada Harahap). Dr. Radjamin Nasution, anggota senior
(Wethouder) dewan kota (gemeenteraad) Soerabaya diangkat menjadi Wali Kota
Soerabaya. Dan, Di Batavia Dahlan Abdoellah diangkat menjadi Wali Kota.
Kedudukan wali kota di kota utama tersebut sangat vital dan dalam hal ini
pernan Dahlan Abdoellah di Batavia dan Radjamin Nasution di Soerabaja sangatlah
strategi. Ringkasnya: Struktur keputusan terpenting pemerintahan militer Jepang
di Indonesia pada dasarnya hanya di Jawa dan Sumatra. Parada Harahap memulainya
di Batavia (dengan konsulat Jepang) lalu kemudian menyusul Mohammad Hatta dan
Soekarno. Setelah itu pengangkatan wali kota Batavia Dahlan Abdoellah dan wali
kota Soerabaja Radjamin Nasution. Selanjutnya baru menyusul struktur keputusan
di tingkat wilayah: Ibu kota Sumatra dipindah dari Medan ke Fort de Kock, yang
dalam hal ini Adinegoro di Medan pindah ke Fort de Kock. Lalu Abdoel Hakim Harahap
dari Makassar dipindahkan ke Tapanoeli di Tarutung. Bukankah semua nama-nama
ini telah terhubung dengan Parada Harahap sejak 1933? Dan, pusat wilayah
pemerintahan pendudukan militer Jepang hanya terdapat di tiga kota: Batavia
(angkatan darat), Soerabaja (angkatan laut) dan Fort de Kock (angkatan darat).
Koordinator propaganda Jepang di Sumatra adalah Adinegoro dan koordinator di
Jawa adalah BM Diah (keduanya boleh dibilang adalah anak buah Parada Harahap).
Yang duduk sebagai anggota Tjoeo Sangi In yang diketuai
Soekarno antara lain Drs. Mohammad Hatta, Dr. Abdoel Rasjid Siregar (anggota
Volksraad dari dapil Tapanoeli, pendiri Bataksc Bond, adik Mangaradja
Soeangkoepon ), Mr. Dr. Husein Djajadiningrat. Ketiga tokoh ini sangat dikenal
Parada Harahap. Dalam pembentukan PPPKI tahun 1927 dilakukan di rumah Husein
Djajadiningrat. Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (Tjoeo Sangi In) di Djakarta
melaporkan tentang (hasil) keputusan Sidang Dewan pertama kepada Kepala Dewan
Militer Jepang (Gunseikan) pada tanggal 20 Oktober 1943.
Parada Harahap sendiri
tidak termasuk dalam anggota dewan yang diketuai Soekano ini, tetapi Parada
Harahap (sesuai profesinya dan julukannya The King of Java Press) menjadi
pemimpin sentral dari pihak Indonesia di pusat informasi Jepang untuk urusan
intelijen dan propaganda. Dalam urusan intelijen Parada Harahap menempatkan
Zulkifli Lubis. Parada Harahap juga merekrut tiga pemuda seusia untuk bekerja
di Radio Militer Jepang di Batavia yang kelak lebih dikenal sebagai Adam Malik
(pendiri kantor berita Antara), Mochtar Lubis (pendiri surat kabar Indonesia
Raya) dan Sakti Alamsjah Siregar (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandoeng).
Sementara BM Diah menjadi pemimpin media Jepang di Batavia dan Adinegoro di
Sumatra. Armijn Pane memimpin di lembaga kebudayaan. Mereka ini semua kalau
tidak mau disebut kader adalah terkoneksi erat dengan Parada Harahap. Adam
Malik pada prinsipnya adalah kader dari Jahja Malik Nasution dan Tan Malaka.
Indonesia hanyalah salah satu wilayah pendudukan Jepang
di Asia Pasifik. Sukses Soekarno memimpin Tjoeo Sangi In dan telah melaporkan hasil keputusan sidang
pada tanggal 20 Oktober 1943 mengindikasikan Indonesia telah menjadi anggota
yang baik dalam Asia Raya (Japanse Groot-Azie). Karena itu, Kaisar Hirohito
merasa perlu mengundang Soekarno untuk berkunjung ke Jepang. Kunjungan ini lalu
dilaksanakan pada bulan November 1943.
Kunjungan Soekarno ke
Jepang didampingi oleh Mohammad Hatta dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Ini berarti
kunjungan ini merupakan kunjungan kedua Mohammad Hatta ke Jepang. Sebelumnya,
Mohammad Hatta berkunjung ke Jepang yang dipimpin oleh Parada Harahap pada
tahun 1933. Saat itu Mohammad Hatta masih berumur 31 tahun (baru lulus
sarjana). Kini, 1943 pada umur 41 tahun sudah sangat matang. Kunjungan Soekarno
dan Hatta ke Jepang boleh jadi membuat Parada Harahap sumringah. Parada Harahap
sangat mengidolakan Soekarno dan Hatta dan memajang foto tokoh revolusioner ini
di kantor Parada Harahap di Gedung PPPKI di Gang Kenari sejak 1928. Di Jepang,
Soekarno dianugerahi oleh Kaisar Hirohito bintang de orde van de Heilige Schat,
tweede klasse (lihat Het vrije volk: democratisch-socialistisch dagblad,
12-03-1966). Pada tahun 1933/1934 pers Jepang memberi julukan kepada Parada
Harahap sebagai The King of Java Press.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jepang menyerah kepada
Sekutu tanggal 14 Agustus 1945 setelah tanggal 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika
Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
Dalam situasi wait and see ini, Soekarno, pemilik bintang
de orde van de Heilige Schat, tweede klasse menjadi setia dan kepercayaan Kerajaan
Jepang. Dengan kata lain, apapun yang menjadi pendapat Soekarno di tengah
militer Jepang di Asia Tenggara dapat dianggap sebagai pendapat kerajaan
Jepang. Pada tanggal 9 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta diundang oleh
Marsekal Terauchi, pimpinan militer Jepang wilayah Asia Tenggara di Dalat,
Vietnam yang kemudian dari pertemuan mengindikasikan bahwa sudah waktunya
Indonesia mempersiapkan diri untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secara
mandiri (tanpa harus ada lagi keterlibatan militer Jepang). Dari Vietnam Soekarno
dan Mohammad Hatta bergegas agar PPKI yang dibentuk bertugas.
Dalam situasi yang tidak menentu (wait and see) Soekarno dan
Mohammad Hatta di satu sisi berpedoman pada hasil-hasil perumusan PPKI. Sikap
kehati-hatian Soekarno dan Mohammmad Hatta tidak seirama dengan aksi para
pemuda yang dimotori oleh Adam Malik dan kawan-kawan. Lalu Adam Malik dan
kawan-kawan memaksa Soekarno dan Mohammad Hatta untuk segera mendeklrasikan
kemerdekaan Indonesia. Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus 1945 Soekarno dan
Mohammad Hatta memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.
Siapa yang paling pantas
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat itu. Tentu saja bukan Soekarno dan juga
bukan Mohammad Hatta. Mengapa? Jika Jepang tidak menyerah (kalah) kepada
sekutu, maka Soekarno dan Mohammad Hatta yang seharusnya memproklamasikan. Hal
ini karena kedua tokoh ini pemilik portofolio tertinggi saat itu karena telah
ikut aktif menyiapkannya (BPUPKI/PPKI). Oleh karena Jepang takluk kepada
sekutu, maka pemilik portofolio tertinggi saat itu adalah Amir Sjarifoeddin dan
Soetan Sjahrir. Hal ini karena mereka berdua terang-terangan melawan Jepang
(non-cooperative). Soetan Sjahrir tidak bisa berbuat banyak, meski bebas,
tetapi sepak terjangnya terus diawasi intel/polisi Jepang. Sedangkan Amir
Sjarifoeddin Harahap masih mendekam di penjara di kamp militer Jepang. Situasi
dan kondisi inilah, meski bukan yang paling ideal, para pemuda akhirnya memaksa
Soekarno dan Mohammad Hatta untuk memproklamasikan kemerdekaan RI. Tak ada
rotan, akar pun jadi. Amir Sjarifoeddin baru dibebaskan dari penjara pada
tanggal 1 Oktober 1945 (lihat Limburgsch dagblad, 04-07-1947).
Setelah proklamasi
kemerdekaan ini mulailah dibentuk pemerintah Indonesia. Soekarno dan Mohammad
Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Di Djakarta, sejumlah tokoh diposisikan
untuk membentuk pemerintah di daerah. Untuk Sumatra yang berkedudukan di Medan diutus
tiga orang: Mr. Mohammad Hasan dan Dr, Amir yang kelak menjadi Gubernur dan
Wakil Gubernur menyusun pemerintahan dan Mr. Abdoel Abbas Siregar yang menjadi
ketua KNIP untuk menyusun dewan. Mr. Abdoel Abbas Siregar, advocaat di Tandjong
Karang yang kerap mengunjungi Soekarno di pengasikan di Bengkoelen lalu
diangkat sebagai Residen Lampoeng. Mr. Abdoel Abbas Siregar adalah teman
sekuliah Mohammad Jamin dan Amir Sjarifoeddin di Rechthoogeschool Batavia; Dr.
Amir adalah salah satu pendiri Jong Sumatranen Bond dan Mohammad Hasan adalah lulusan
fakultas hukum di Universiteit Leiden. Untuk Residen di Midden Sumatra yang
berkedudukan di Bukittinggi diangkat Masdoelhak Nasution, Ph.D (teman kuliah
Mohammad Hasan di Leiden). Untuk wali kota Medan diangkat Mr . Loeat Siregar
dan untuk wali kota Padang diangkat Dr. Abdoel Hakim Nasution (loco
burgemeester Padang di era kolonial Belanda). Namun Egon Hakim menolak karena
ayahnya sakit dan akan dilakukan operasi. Sebagai
penggantinya ditunjuk Mr. Aboebakar Jaar. Di Soerabaja diangkat Dr. Radjamin
Nasution. Di
Bandoeng diangkat RA Atmadinata sebagai walikota (yang dulu sebagai wethouder
di gemeenteraad).
Lantas bagaimana dengan Dahlan Abdoellah? Untuk Batavia,
wilayah administrasinya dianggap setingkat gubernur dan diangkat Soewirjo,
pendahulu Dahlan Abdoellah ketika menjabat wakil wali kota Batavia/di era
kolonial Belanda. Jabatan Dahlan Abdoellah sebagai wali kota Djakarta selama
pendudukan Jepang juga tidak mampu mengantarkan dirinya menjadi nomor satu di
Djakarta pasca proklamasi kemerdekaan. Dalam hal ini Dahlan Abdoellah kalah
bersaing dengan seniornya Soewirjo yang juga pernah sebagai wethouder dan loco
burgemeester di era kolonial Belanda. Yang tidak menguntungkan sebagaimana kita
lihat segera bahwa Dahlan Abdoellah tersandung kasus selama pendudukan Jepang
dan pada saat permulaan RI ini polisi/intel Belanda menangkap dan menahannya
(1946-1947). Sejak 1947 hingga pengakuaan kedaulatan RI oleh Belanda (RIS)
kabar berita Dahlan Abdoellah tidak terdeteksi. Pasca pengakuan kedaulatan RI,
Soewirjo menempati kembali posisinya sebagai Wali Kota Batavia. Namun sebelum
diangkatnya Soewirjo sebagai Wali Kota Djakarta, pejabat sementara yang
ditunjuk adalah Prof. Soetan Goenoeng Moelia (lihat Het nieuwsblad voor
Sumatra, 02-07-1949). Catatan: Dahlan Abdoellah dan Soetan Goenoeng Moelia sudah saling
kenal sejak lama ketika mendirikan Sumatra Sepakat di Belanda tahun 1917 dimana
ketua Sorip Tagor, Sekretaris Dahlan Abdoellah dan bendahara Soetan Goenoeng
Moelia.
Pejabat adalah pucuk-pucuk
pimpinan mulai dari Presiden dan Menteri serta di berbagai level mulai dari Gubernur,
Wali Kota/Bupati dan seterusnya. Tokoh-tokoh republik lainnya akan terserap ke
dewan yang mewakili organisasi atau partai. Hal ini banyak dialami oleh para
pejuang-pejuang RI yang dulunya dibuang/diasingkan. Sebagai contoh, Jahja Malik
Nasution yang baru pulang dari kamp interniran Belanda di Australia (ex Digoel)
menjadi pimpinan dewan kota di Djakarta. Jahja Malik Nasution adalah pimpinan
partai bentukan Tan Malaka, yang juga senior dari Adam Malik. Untuk sekadar
mengingatkan: Kantor berita Alpena yang didirikan Parada Harahap tahun 1925
tidak aktif lagi, lalu didirikan oleh Adam Malik dengan nama baru kantor berita
Antara tahun 1937 dengan pendanaan awal dari Parada Harahap dan kantor/gedung
menempati gedung Jahja Malik Nasution sehubungan dengan ditangkapnya Jahja
Malik Nasution ditangkap dan kemudian diasingkan ke Digoel tahun 1938. Jahja
Malik Nasution menjadi anggota dewan kota dan menjadi salah satu pimpinan 15
Maret 1950. Pada bulan-bulan inilah nama Dahlan Abdoellah direkomendasikan
menjadi duta besar di Irak. Namun Wali Kota Soewirjo mengundurkan diri (17
Februari 1950-2 Mei 1951) maka muncul kandidat yakni Mohammad Roem, Buntaran,
Sjamsoeridjal dan Jahja Malik Nasution. Kabinet Soekiman memilih Sjamsoeridjal.
Dahlan Abdoellah dan Parada Harahap
Wafat: Dwi Tunggal, Tanggal Tunggal, Tinggal Tunggal
Seperti telah diuraikan
sebelumnya, setelah proklamasi kemerdekaan RI, Belanda/NICA kembali dan secara
perlahan-lahan melakukan intervensi dan bahkan langsung melakukan aneksasi yang
menyebabkan meletusnya perang kemerdekaan dimana-mana utamanya di Batavia. Perang
kemerdekaan ini kali pertama meletus di Depok pada tanggal 11 Oktober 1945
sebagai respon Belanda/NICA membonceng sekutu/Inggris dalam pembebasan
interniran Belanda dan pelucutan tentara Jepang. Pada era perang kemerdekaan ini
selain sekutu/NICA mulai menekan pemerintahan RI yang baru juga sejumlah
individu menjadi target Belanda. Salah satu diantaranya adalah Dahlan Abdoellah.
Het dagblad : uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 29-08-1946: ‘Menurut kantor berita
Republik ‘Antara’, Mr HB Dahlan Abdullah, yang bertindak sebagai walikota
Republik Batavia, ditangkap oleh polisi sipil Belanda dan dibawa ke penjara
Struiswijk, meskipun orang-orang lingkaran peradilan Belanda di Batavia
membenarkan laporan ini, mereka bisa pada tahap belum memberikan rincian lebih
lanjut dari penyelidikan. Namun, dari sumber lain, Aneta mengetahui bahwa Mr.
Abdullah akan ditangkap, karena di zaman Jepang, ketika di bawah kekuasaannya,
ia bersalah karena merekrut anak perempuan Indonesia dan Eropa dalam skala
besar. untuk mengirimkan ini ke Jepang’. Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 30-08-1946: ‘Dahlan Abdullah. ditangkap oleh polisi
Belanda hari Selasa. Secara lebih rinci, Aneta melaporkan tentang penangkapan
walikota republik Batavia, Dahlan Abdullah, sebagai berikut: Dalam penyelidikan
kasus terhadap Molenkamp dan Benjamins, yang ditahan atas tuduhan memasok
gadis-gadis ke kamp-kamp Jepang, telah ditetapkan bahwa Abdullah diduga
terkait. Molenkamp dan Benjamins mempekerjakan gadis-gadis dengan dalih palsu
sebagai gadis bar dan ketika gadis-gadis ini kemudian membuktikan apa yang
sebenarnya mereka alami dan ingin mengundurkan diri, mereka diancam dengan
Kempetai. Dahlan Abdullah bekerja sama dalam perekrutan para gadis. Dia juga
walikota Batavia selama pendudukan’.
Semakin menguatnya
pasukan NICA di belakang pasukan sekutu/Inggris yang melaksanakan tugasnya,
pemerintah RI menjadi semakin terdesak. Akibatnya ibukota RI dipindahkan ke
Djogjakarta. Rombongan terakhir Pemerintah Republik Indonesia yang hijrah dari Djakarta
ke Djogjakarta berkumpul di bekas rumah Soetan Sjahrir yang terdiri dari bagian
Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Informasi dan Kementerian Perhubungan.
Struktur pemerintahan Idonesia cepat
berubah. Kabinet Presidentil (Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad
Hatta yang baru dimulai tanggal 2 September 1945 haru berakhir pada tanggal 14 November 1945. Ini sehubungan
dengan terjadinya di sejumlah tempat clash antara sekutu/Inggris dengan pejuang
RI. Ketika sekutu/Inggris yang masih bekerja (pembebasan interniran Belanda dan
pelucutan senjata militer Jepang) untuk membuat situasi lebih kondusif terpaksa
dimajukan Soetan Sjahrir sebagai PM (peran Presiden/Wakil Presiden dikurangi).
Soetan Sjahrir adalah anti Jepang, sementara Soekarno dan Mohammad Hatta
kerjasama dengan Jepang. Kerjasama Sjahrir dengan Inggris akan menjadi lebih
efektif. Namun anehnya, sebelum pembentukan kabinetnya, Sjahrir mengatakan ‘bahwa
kebijakannya adalah bekerja sama dengan Inggris dalam tugas yang dilakukan’
(perjanjian Postdam), Adapun Belanda, katanya: ‘Saya akan mendorong pemulihan
hubungan kami’. Sjahrir mengatakan akan mengesampingkan fasisme Jepang. Dalam
pamflet Soetan Sjahrir juga disebut Soekarno dan Mohammad Hatta (yang berada di
Djogjakarta) adalah kolaborator Jepang yang akan berakhir (Amigoe di Curacao, 13-11-1945).
Sebaliknya, Belanda di belakang sekutu/Inggris terus merangsek. Apakah Sjahrir
dalam hal ini telah memberi peluang kepada Belanda? Namun yang jelas hingga
pada akhirnya ibukota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta. Soetan
Sjahrir juga menyusul mengungsi ke Djogjakarta. Akan tetapi sejauh ini: sudah
terkesan ada perebutan kekuasaan (persaingan) diantara para pemimpin yang ada.
Dalam hal ini di satu pihak Soekarno dan Mohammad Hatta dan di pihak lain
Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin Harahap.
Situasi yang tampak chaos diadakan
perundingan yang disebut Perundingan Linggar Jati. Dalam perundingan ini wakil Indonesia
adalah Soetan Sjahrir sedangkan di pihak Belanda diwakili Wim Schermerhorn dan HJ
van Mook dan sebagai penengah dari wakil sekutu/Inggris. HJ van Mook adalah
ketua kongres mahasiswa Hindia di Belanda tahun 1917 yang mana saat itu Dahlan
Abdoellah mewakili Indisch Vereeniging menyebut dalam pidatonya: ‘Wij,
Indonesier’.
Sehubungan dengan
penahanan Dahlan Abdoellah, tentu saja tidak bisa diterima oleh Menteri Pertahanan/Keamanan
Rakyat Amir Sjarifoeddin Harahap. Untuk tetap menjaga warga republik di Batavia
dibentuk sebuah kantor sekretariat semacam perwakilan yang berfungsi sebagai penghubung,
antara Belanda dan Republik Indonesia (semacam konsulat). Untuk Kepala kantor sekretariat Belanda
di Djokja adalah Setiadjit dan untuk kepala kantor sekretariat RI di Batavia
diangkat Mr. Arifin Harahap. Dalam hal inilah salah satu fungsi Mr. Arifin
Harahap dapat membebaskan Dahlan Abdoellah.
Nieuwe courant, 27-02-1947:
‘Dahlan Abdullah, telah dibebaskan oleh pemerintah Belanda hari ini, menurut
Aneta. Dia ditangkap beberapa bulan yang lalu sehubungan dengan peran yang
dimainkannya selama pendudukan Jepang. Pada tingkat tertentu, kami diberi tahu
bahwa pembebasan ini tidak menyiratkan bahwa tidak ada proses hukum lebih
lanjut yang ditujukan kepadanya, tetapi hanya bahwa tidak ada persyaratan untuk
membuatnya ditahan lebih lama’.
Lalu kemudian giliran
pers yang menjadi target polisi/intel Belanda. Para wartawan republiken terus
melancarkan serangan terhadap kehadiran dan penetrasi Belanda dengan cara
mereka sendiri: investigasi dan editorial yang tajam. Surat kabar Merdeka
pimpinan BM Diah dan kantor berita Antara pimpinan Adam Malik menjadi target
utama.
De tijd: dagblad voor Nederland,
21-07-1947: ‘Sepuluh jam setelah penangkapan sejumlah anggota kantor berita
Antara Indonesia dilakukan konferensi pers. Mochtar Lubis, Direktur Antara,
mengatakan: Belanda telah memperlakukan kami dengan baik, pemancar kami
diambil. Ketika kami ditangkap, kami tegang. Keluhan utama bahwa mereka telah
menyita mobil saya. Kemudian kantor berita Antara ditutup’. Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te
Batavia, 12-08-1947: ‘Minggu lalu. edisi pertama dari koran pagi republik baru
di Batavia, bernama "Masa Indonesia Masa", subjudul "The Times
of Indonesia". Direktur editorial majalah adalah Mr Asa Bafagih, general
manager Mr MT Hoetagaloeng, penerbit adalah Mr BM Diah Dalam redaksi sekarang
termasuk Tuan Soemadi dan Mochtar Lubis. Majalah ini juga termasuk kolom berita
domestik singkat dalam bahasa Inggris’. Het dagblad : uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 13-01-1948: ‘Selain koran republican
Merdeka terbit majalah berita bergambar bernama Merdeka di Batavia, yang mana
sebagai editor adalah Mochtar Lubis’. Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 04-03-1948: ‘Berita Indonesia melaporkan bahwa kantor berita
Republik, Antara akan segera dibuka kembali yang berkantor di Batavia. Mochtar
Lubis akan termasuk dalam pimpinan, dan oleh karena itu, kantor berita akan
melayani koran republik, Merdeka’.
Dalam hal ini kembali
diplomasi Mr. Arifin Harahap efektif membebaskan kantor berita Antara
sebagaimana sebelumnya membebaskan Dahlan Abdoellah. Dalam hubungan ini, perang
kemerdekaan telah menimbulkan intrik-intrik politik. Reputasi Mochtar Lubis
tidak terbantahkan di era perang kemerdekaan. Sebagaimana dulu pers Belanda
mengakui Parada Harahap, maka kini adiknya juga diakui oleh pers Belanda.
De vrije pers: ochtendbulletin,
02-05-1949: ‘..surat terbuka…pers bebas.. Ini adalah tentang kehormatan kami
sebagai tentara, martabat kita sebagai Najie, pada hati nurani dicemarkan…
pengalaman saya selama 30 bulan, hanya sedikit dan dangkal… Itu percaya pada
kebebasan sebagai Menselyk-hukum, yang percaya pada akal dan keadilan sebagai
tugas manusia. Saya menunggu jawaban Anda. Di Amsterdam, di mana saya berasal,
saya memiliki beberapa rekan-rekan Anda bertemu selama dan setelah perang. Saya
bertemu termasuk Mochtar Lubis, salah satu tokoh terkemuka di pers republik di
pihak keberadaan Anda. Saya memiliki banyak kenangan indah dari mereka...’. Te
Velde, April 26, 1949 Sgt. Maj. H.J. Reijn. Het dagblad: uitgave van de
Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 03-08-1949: ‘Mochtar Lubis bersama
wartawan yang lainnya mendirikan organisasi wartawan Indonesia yang disebut
Persatuan Wartawan Indonesia. Dalam kepengurusan organisasi wartawa yang baru
ini (setelah kemerdekaan) Mochtar Lubis duduk sebagai komisaris (bersama
Rosihan Anwar). Sebagai ketua, diangkat wartawan senior, Adinegoro’. Het
nieuwsblad voor Sumatra, 19-08-1949: ‘Untuk menandai pembukaan kembali kantor
berita republic, Antara di Batavia, hari Rabu, Adam Malik, direktur dan Mochtar
Lubis, pemimpin redaksi mengundang kolega dan melakukan receptive di pavillioen
Hotel des Indes’.
Yang jelas selama perang
kemerdekaan telah membawa banyak korban materi dan non materi. Soekarno,
Mohammad Hatta dan Sjahrir diasingkan, Masdoelhak Nasution dibunuh. Paralel
dengan ini berbagai perundingan telah dilakukan (Linggar Jat oleh Sjahrir, Renville oleh Amir
Sjarifoeddin, Roem-Royen oleh Mohammad Roem) dan terakhir KMB di Den Haag oleh
Mohammad Hatta) Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 akhirnya diakui oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.
Meski demikian hasilnya, pasca
pengakuaan kedaulatan RI oleh Belanda, Belanda tetap ‘merecokin’. Hal ini
karena hasil KMB tidak sepenuhnya bulat. Negara-negara boneka yang sempat dibentuk
oleh Belanda (1947-1948) tetap mengganjal yang justru menjadi dasar pembentukan
RIS (Republik Indonesia Serikat). Negara-negara boneka itu antara lain, Negara
Sumatra Timur, Negara Pasoendan, Negara Sumatera Selatan, Negara Jawa Timur dan
Negara Indonesia Timur. Akibatnya pada fase in terdapat dua versi pemerintahan:
RIS di Batavia vs RI di Djogjakarta.
Dalam pemerintahan RIS (20
Desember 1949-6 September 1950) pemerintahan di Indonesia dibentuk kembali, seakan
memulai lagi pada awal proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945. Di dalam negeri
dilakukan konsolidasi. Kericuhan juga muncul terutama pemerintahan di wilayah
faderal (negara-negara boneka). Hal ini karena Republiken tidak bisa begitu
saja menerima struktur pemerintahan RIS. Untuk urusan luar negeri, pemerintah
RIS mulai menyiapkan fungsi diplomasi dengan mengangkat sejumlah duta besar.
Salah satu duta besar yang diangkat adalah Dahlan Abdoellah.
Java-bode : nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-02-1950:
‘Keputusan Kabinet RIS. Pada pertemuan Kabinet pada tanggal 20 Februari, Dewan
Menteri dari RIS antara lain memutuskan untuk mengangkat Dahlan Abdullah
sebagai duta besar RIS di Irak’. De locomotief : Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 23-03-1950: ‘Duta RIS akan berangkat ke lokasi mereka. Pada
Selasa pagi duta besar RIS di Irak, Hadji Dahlan Abdullah, diterima oleh
Presiden Soekarno di Istana Gambir. Pada hari Senin Dahlan Abdullah akan
terbang ke lokasi barunya’. Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 29-03-1950: ‘Selasa pagi bersama KLM ke tempat tugasnya,
di Baghdad, duta besar RIS di Irak, Hadji Baginda Dahlan Abdullah dengan
sekretarisnya Mochtar Mahjuddin’.
Penempatan duta besar
Indonesia (RIS) di luar negeri adalah bagian dari diplomasi Indonesia.
Sebaliknya negara lain juga sudah mulai menempatkan duta besarnya di Indonesia.
Seiring dengan diplomasi pemerintah ini juga terjadi diplomasi dalam bidang
pers nasional. Sudah mulai muncul media nasional yang melakukan liputan langsung
peristiwa internasional di negara lain. Ini juga menjadi langkah maju pers
Indonesia, sesuatu yang sulit dilakukan pada era kolonial Belanda maupun pada
era pendudukan Jepang. Perkembangan pers internasional bersamaan dengan
pertumbuhan pers domestik.
Setelah bermunculan duta besar
negara lain di Indonesia, seperti (secara berurutan) India, Inggris, Pakistan, Philippines,
Australia, Prancis dan lainnya, duta besar Indonesia juga secara bertahap
ditempatkan di luar negeri. Duta besar yang telah diangkat oleh pemerintahan
RIS, selain Dahlan Abdoellah adalah: Mr. Ali Sastroamidjojo untuk Washington,
Amerika Serikat (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 19-01-1950); Mohammad Roem di Belanda (De Volkskrant, 23-01-1950);
Mr. Samsoeddin di Pakistan, Mr. Maramis untuk Philippines, untuk di Kairo Mesir
Mr. Hadji Rasjidi menjadi wakil dari R.I.S. di Kairo (Trouw, 24-01-1950); Mr,
Nazir Pamontjak di Prancis (Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 13-02-1950); Soedarsono di India (De vrije pers:
ochtendbulletin, 14-02-1950). Soedarsono untuk Birma (Nieuwe courant, 20-02-1950);
Dahlan Abdoellah untuk Irak (De vrije pers : ochtendbulletin, 21-02-1950); Dr.
Soebandrio di London (Trouw, 25-02-1950); Mr. Sukardjo Wirjopranoto untuk
Vaticaan/Italia (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 27-02-1950); Mr. Tamzil untuk Denmark termasuk Norwegi dan
Swedia (Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-05-1950.
Sejak Mei 1950
pengiriman duta besar RIS ke luar negeri tampaknya berhenti. Ini sehubungan
dengan mulainya suhu politik memanas karena pihak RI mulai menggugat RIS.
Permasalahan Negara Sumatra Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT) sudah
masuk dalam rapat kabinet (Het nieuwsblad voor Sumatra, 10-05-1950).
Sebagaimana diketahui struktur wilayah dalam (pemerintahan) RIS bagian RI hanya
tinggal sejengkal terutama di wilayah Tapanoeli dan wilayah Jawa Tengah. Ini
dengan sendirinya hasil KMB digugat sebagaimana dulu hasil Linggar Jati dan
Renville digugat oleh para Republiken.
Orang-orang Republiken
di Sumatra Timur mulai melancarkan bahwa tidak ada negara di dalam negara. Para
Republiken hanya menganut satu negara yakni Republik Indonesia. Para Republiken
meminta Negara Sumatra Timur harus dibubarkan. Lalu pada bulan Mei di Medan
dilakukan Kongres Rakyat oleh para Republiken. Perdana Menteri Mohammad Hatta
mulai gelisah dengan struktur pemerintahan yang digunakannya. Trik para
pentolan federal di NST yang hanya segelintir orang mulai melobi Mohammad Hatta
di Djakarta agar RIS tetap dipertahankan. Ternyata hasil Kongres Rakyat di
wilayah Sumatra Timur mengindikasikan hanya RI yang sah dan negara-negara
federal seperti NST harus dibubarkan. Celah KMB yang mendasari terbentuknya RIS,
protes orang-orang Republiken yang dimotori oleh Dr. Djabangoen Harahap dkk
ternyata direspon positif oleh Presiden Soekarno. Wali Negara Sumatera Timur
adalah Dr. Tengku Mansoer. Selama perang kemerdekaan, Dr. Djabangoen Harahap
adalah Ketua Front Nasional (Republiken) di Medan. Dr. Djabangoen Harahap dan
Dr. Tengku Mansoer adalah sama-sama satu kelas di STOVIA. Akhirnya setelah
proses politik yang alot, negara-negara federal yang merupakan bentukan Belanda
dibubarkan. NST dibubarkan pada tanggal 14 Agustus 1950 dan muncul NKRI di
Sumatra Timur. Sementara dipusat RIS juga dibubarkan yang mana PM Mohammad
Hatta meletakkan jabatan pada tanggal 6 September 1950. Oleh karena RIS telah
diganti (kembali) menjadi NK(RI) seperti situasi dan kondisi Proklamasi
Kemerdekaaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, maka Kabinet RI di Djogjakarta
juga dibubarkan. Kabinet RI terakhir di Djogjakarta adalah Perdana Menteri
Abdoel Halim dan Wakil Perdana Menteri Abdoel Hakim Harahap. Sehubungan dengan pembubaran
RIS (kabinet Mohammad Hatta) maka kabinet RI dengan sendirinya membubarkan
kabinet Abdoel Halim. Mohammad Hatta kembali menjadi Wakil Presiden untuk
mendampingi Presiden Soekarno. Lalu dibentuk kabinet yang baru: Kabinet
Soesanto. Sejak itu NKRI tidak berubah hingga ini hari. Pengiriman duta besar
dimulai lagi. Peristiwa bersejarah kembalinya Indonesia ke kittah NKRI dipicu
oleh koneksi antara para Republiken di Djogjakarta dan para Republiken di Negara
Sumatra Timur atau dengan kata lain antara Abdoel Hakim Harahap dan Dr.
Djabangoen Harahap. Ini seakan kembali ke semangat tempo doeloe: Medan
Perdamaian oleh Dja Endar Moeda di Padang (1900), Indisch Vereeniging oleh Soetan Casajangan di Belanda (1908), PPPKI
oleh Parada Harahap di Batavia (1927) dan kini, NKRI oleh Abdoel Hakim Harahap di Medan (1950). Presiden Soekarno
lalu mengapresiasi dan kemudian mengangkat Abdoel Hakim Harahap menjadi Gubernur
Sumatra Utara pertama di era NKRI pada tanggal 25 Januari 1951.
Paralel dengan fase tersebut
mulai mekar kembali media pemberitaan republik. Setelah sebelumnya, Mochtar
Lubis mendirikan surat kabar Indonesia Raya pada tanggal 29 Desember 1949. Pers
republik juga mulai mengayungkan langkah baru ke jenjang internasional.
Diplomasi pemerintah Indonesia berjalan, aktivitas pers republik di dunia internasional
juga muncul. Mochtar Lubis telah memulainya.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 05-01-1950: ‘Adam Malik dan Mochtar
Lubis, masing-masing direktur dan kepala departemen internasional Antara segera
meninggalkan (tanah air) ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand
dan Burma untuk mempelajari situasi di sana dan untuk bertukar berita dengan
beberapa kantor berita di negara-negara tersebut’.
Di Baghdad, Dahlan Abdoelalh belum lama bertugas, sejak tanggal
27 Maret 1950 dikabarkan telah meninggal dunia. Sebagaimana para pejuang di
medan pertempuran pada masa perang kemerdekaan banyak yang gugur, kini muncul berita
diplomat Indonesia meninggal dunia dalam menjalankan tugas negara. Dahlan
Abdoellah meniggal tanggal 12 Mei 1950.
De locomotief : Samarangsch handels-
en advertentie-blad, 15-05-1950: ‘ Di Djakarta telegram telah diterima, bahwa
yang baru diangkat, duta besar di Irak di Baghdad, Hadji Dahlan Abdoellah, setelah
penyakit jangka pendek, Jumat malam di Baghdad telah meninggal’.
Meninggalnya Dahlan
Abdoellah jauh di negeri orang sangatlah berat bagi keluarga yang ditinggal dan
juga bagi pemerintah yang yang mengirimnya sebagai wakil negara. Dalam situasi
dan kondisi yang belum stabil di Indonesia, akhirnya pemerintah dan keluarga dengan
sangat berat merelakan Dahlan Abdoellah dimakamkan Irak. Dengan pemakaman yang
selayaknya, sudah barang tentu muncul perasaan lega, lebih-lebih diantara
keluarga terdekatnya di tanah air. Negara telah kehilangan
salah satu putra terbaiknya.
Pada zaman itu tindakan pengembalian
jenazah tentulah jarang dilakukan bahkan dengan jarak waktu yang dekat
sekalipun misalnya antara Djakarta dan Padang. Jarak yang sangat sangat jauh.
antar negara tindakan pemulangan sulitlah dilakukan bahkan oleh negara pun.
Sebab saat itu, dengan situasi dan kondisi moda transportasi, tentu saja sulit
terlaksana. Boleh jadi dalam hal ini pemerintah Irak mengambil inisiatif dan
memutuskan. Hal ini juga yang dilakukan sebelumnya, ketika Panglima Angkatan
Darat Belanda/NICA, Jenderal Spoor meninggal di Batavia setahun sebelumnya tanggal
25 Mei 1949 (Het nieuws: algemeen dagblad, 25-05-1949). Pemerintah Belanda/NICA
berinisiatif agar Jenderal Spoor dimakamkan di Batavia.
Yang jelas bahwa Dahlan
Abdoellah tetap seorang Republiken. Dalam perang kemerdekaan, setelah sempat
ditangkap dan ditahan oleh Belanda, Dahlan Abdoellah tetap menunjukkan
kesetiaanya terhadap Republik Indonesia (RI). Ini berbeda dengan beberapa
rekannya seangkatan pada era Sumatra Sepakat/Jong Sumatranen Bond 1917) sudah
banyak yang mengingkari RI dan lebih memilih bekerjasama dengan Belanda.
Diantara mereka yang menghianati RI adalah Dr. Tengkoe Masnsoer (membentuk NST)
dan Dr. Mohammad Amir (hengkang ke
Belanda) yang merupakan pentolan Jong Sumatranen Bond.
Foto Pengurus Perhimpunan Indonesia dan Dahlan Abdoellah |
Mr. Arifin Harahap, adik Amir
Sjarifoendin (Perdana Menteri RI kedua) dan sepupu Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D
(Menteri Pendidikan RI kedua), yang pernah menjabat kepala kantor sekretarian
RI di Batavia yang pernah membebaskan Dahlan Abdoellah dan Kantor Berita Antara
pimpinan Adam Malik dan Mochtar Lubis, mulai mengikuti langkah yang dulu pernah
dilakukan abangnya Amir Sjarifoeddin. Presiden Soekarno menugaskan Mr. Arifin
Harahap untuk mengurusi perekonomian luar negeri. Langkah yang pertama
dilakukannya adalah negosiasi perdagangan dengan Australia (Het nieuwsblad voor
Sumatra, 28-11-1952), lalu Kantor Pusat Untuk Impor (De nieuwsgier, 19-09-1953),
Kepala Departemen Perdagangan (De nieuwsgier, 03-12-1953) dan selanjutnya
menjadi Menteri Perdagangan RI. Dalam fase ini tidak ada lagi nama Mohammad Hatta.
Yang menjadi Perdana Menteri adalah Sekarno, Menteri Pertama adalah Djuanda
Kartawidjaja serta Menteri Keamanan dan Pertahanan/Kepala Staf Angkatan Darat
adalah Abdul Haris Nasution, sedangkan Menteri Perdagangan adalah Mr. Arifin Harahap.
Setelah menjabat beberapa pos menteri, Mr. Arifin Harahap sebagai Menteri
Perdagangan digantikan oleh Adam Malik. Kelak, hanya ada dua presiden di
Indonesia yang begitu lama menjabat: Sukarno dan Suharto. Juga hanya ada dua
orang yang begitu lama berada di rezim Sukarno dan rezim Suharto: Arifin
Harahap dan Adam Malik Batubara. Arifin Harahap dapat dipercaya oleh Sukarno
maupun Suharto; demikian juga Adam Malik dapat dipercaya Sukarno dan Suharto. Hal
penting lainnya, Mr. Arifin Harahap oleh Suharto diminta untuk memimpin
Pemulihan Ekonomi dengan Singapura dan Malaysia. Setelah hubungan Indonesia dan
Singapura beres, pada tanggal 24 April 1969 Mr. Arifin Harahap diangkat dan
dilantik menjadi duta besar. Tugas sebagai duta besar tentu tidak mudah, karena
Mr. Arifin Harahap akan ditempatkan di tempat yang baru sama sekali bagi
Indonesia yakni di Afrika, tepatnya di Alzajair. Tugas ini tentu dimaksudkan
untuk membuka hubungan diplomatik dengan negara-negara Afrika yang selama ini
belum memiliki hubungan ekonomi dan perdagangan. Sebagaimana sebelumnya, Dahlan
Abdoellah adalah duta besar Indonesia pertama di negara Islam di Timur Tengah, maka
Arifin Harahap adalah duta besar Indonesia pertama di negara Islam di Afrika.
Satu per satu tokoh-tokoh yang dianggap penting dan
signifikan dalam mengarahkan, menggerakkan, merebut, memproklamasikan dan
mempertahankan kemerdekaan Indonesia meninggal dunia. Soetan Casajangan telah
lama meninggal tahun 1929 (setelah Kongres Pemuda 1928), Dr. Abdoel Rivai tahun
1932, Amir Sjarifoeddin Harahap tahun 1948. Kini, giliran Hadji Dahlan
Abdoellah menyusul rekan-rekannya untuk menghadap Tuhan yang Maha Kuasa.
Parada Harahap pada
jelang kemerdekaaan RI menjadi anggota BPUPKI yang diketuai oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta. Pada saast dibentuknya PPKI posisi Parada Harahap digantikan
oleh Mr. Abdoel Abbas Siregar. Setelah kemerdekaan RI, Parada Harahap kembali
ke dunianya di bidang media. Menteri Informasi Amir Sjarifoeddin meminta Parada
Harahap membantu untuk penataan arsip negara.
Namun tidak lama kemudian Belanda kembali sehingga
terjadi lagi perselisihan antara orang Indonesia di satu pihak dan pasukan
sekutu dan NICA orang Belanda dipihak lain yang dipimpin oleh Hubertus Johannes
van Mook.
Dalam kongres mahasiswa
Hindia di Belanda tahun 1917 yang merupakan pertemuan semua mahasiswa Hindia di
Belanda apakah orang Belanda (Indo), Tionghoa maupun pribumi. Konfrensi/kongres
mahasiswa ini dipimpin oleh Mr. Van Mook (Hubertus Johannes van Mook). Saat
konferensi inilah Dhalan Abdoellah membuat kejutan dengan mengatakan ‘Wij,
Indonesier’. Kini, van Mook kelahiran Semarang menjadi pimpinan Belanda/NICA
dan harus berhadapan dengan pimpinan RI (Soekarno dan Mohammad Hatta).
Dengan semakin derasnya tekanan Belanda/NICA dan
perlawanan TRI/laskar di bawah komando Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin.
Untuk meredakan perselisihan diadakan perjanjian Linggar Jati yang dipimpin
oleh Perdana Menteri Soetan Sjahrir. Implikasi dari perjanjian ini adalah
ibukota RI harus pindah dari Batavia/Djakarta ke Djogjakarta. Rombongan
terakhir pemerintah dari Batavia/Djakarta pada tahun 1946 dipimpin oleh Arifin
Harahap (adik Amir Sjarifoeddin). Pemerintah RI di Djogjakarta (Soekarno dan
Mohammad Hatta mengganti Sjahrir dengan Perdana Menteri yang baru Amir
Sjarifoeddin pada tanggal 3 Juli 1947.
Namun Belanda/NICA terus
melancarkan aneksasi dengan alasan melancarkan apa yang disebut aksi polisional
Belanda pertama dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Lalu kemudian
dilakukan perjanjian Renville pada tanggal 17 Januari 1948 yang dipimpin oleh
Amir Sjarifoeddin. Kabinet PM Amir Sjarifoeddin harus pula berakhir tanggal 29
Januari 1948 dan digantikan oleh Mohammad Hatta. Dalam perkembangannya, muncul
pemberontakan PKI di Madioen. Amir Sjarifoeddin tanpa bukti yang jelas telah
ditembak mati. Soekarno menyesalkan keputusan ini. Nasi telah menjadi bubur.
Sementara Belanda/NICA telah membentuk negara-negara
boneka, Belanda/NICA juga terus menekan RI untuk melakukan aneksasi. Akhirnya
pada tanggal 19 Desember 1948 muncul agresi militer Belanda yang dimulai dengan
serangan terhadap Djogjakarta, ibu kota Republik Indonesia. Yang pertama
diculik adalah Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D, penasehat hukum Soekarno dan
Mohammad Hatta. Lalu beberapa hari kemudian Masdoelhak ditembak mati di ladang
jagung di Pakem. Dalam kasus pembunuhan ini PBB marah besar (sehingga dilakukan
penyelidikan dan dibawa ke pengadilan).
Dalam aneksasi ibukota
RI di Djogjakarta ini, selain sejumlah intelektual Indonesia telah ditembak
mati, juga dilakukan penangkapan terhadap Soekarno, Mohammad Hatta dan Sjahrir.
Mereka ini kemudian tanggal 22 Desember diasingkan ke Bangka dan di Brastagi lalu
ke Prapat. Beberapa tokoh yang selamat dalam penangkapan ini adalah Dr.
Parlindoengan Lubis, kepala dinas kesehatan. Parlindoengan Lubis adalah ketua
Perhimpoenan Indonesia di Belanda (1938-1942) yang pernah ditangkap militer
Jerman ketika melakukan aneksasi ke Belanda lalu dibuang ke kamp NAZI.
Setelah serangan Djogjakarta, dan ditangkapnya Soekarno
dan Mohammad Hatta merasa RI sudah berhenti alias bubar. Namun RI tetap
diperjuangkan dengan membentuk pemerintahan darurat RI di Bukittinggi (19
Desember 1948-13 Juli 1949) di bawah pimpinan Safroeddin Prawiranegara. Lalu
kemudian diadakan perjanjian Roem-Royen tanggal 7 Mei 1949. Setelah itu
Mohammad Hatta berangkat ke Sumatra.
Dalam fase ini Mohammad
Hatta kembali meminta Parada Harahap untuk membantu menerbitkan mejalah Detik
di Bukittinggi untuk menjadi media perjuangan dan menunjukkan bahwa RI masih
ada. Parada Harahap membawa peralatan percetakan dari Padang Sidempoean yang
dibantu oleh Ali Mochtar Hoeta Soehoet (ketua tentara pelajar Padang
Sidempoean).
Wilayah RI semakin sedikit dan terjepit, praktis hanya
tersisa sebagian kecil di Jawa dan sebagian di Sumatra. Pada tanggal 7-10
Agustus 1949 terjadi serangan umum ke Djogjakarta. Di Tapanoeli yang berpusat
di Paqdang Sidempoeanm pertempuran tetap memanas, karena pintu dari utara ke
ibukota RI di Bukittinggi. Kekuatan di Padang Sidempoean ini semakin tinggi
karena Kolonel Abdul Haris Nasution mengirim Letkol AE Kawilarang dan Major
Ibrahim Adji (dari Divisi Siliwangi). Benteng Huraba di Padang Sidempoean tetap
bisa dipertahankan sehingga militer Belanda tidak bisa merangsek ke Bukittinggi.
Akhirnya terjadi gencatan senjata dan akan dilakukan konferensi (KMB) di Den
Haag.
Delegasi RI ke KMB
dipimpin oleh Mohammad Hatta. Penasehat ekonomi dalam delegasi ini adalah
Abdoel Hakim Harahap (Residen Tapanoeli).
Setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda (sejak 27
Desember 1949) Parada Harahap untuk kedua kalinya kembali ke habitat bidang
media. Pada tahun 1951 Parada Harahap mengakuisisi surat kabar berbahasa
Belanda, Java Bode, surat kabar legendaris. Pada tahun 1952 muncul kisruh antara
Mochtar Lubis dengan Soekarno. Mochtar Lubis di dalam surat kabar Indonesia
Raja meminta pertanggungjawaban Soekarno selama pendudukan Jepang yang menjabat
ketua dewan karena kebijakannnya banyak penduduk Indonesia mati (romusha).
Sudah barang tentu kasus ini dipahaminya karena pada era pendudukan Jepang,
Mochtar Lubis bekerja di radio militer Jepang.
Dalam kasus ini Parada Harahap tidak berpihak. Di satu
sisi Soekarno adalah seorang revolusioner yang menjadi kader politik
praktisnya. Sedangkan di sisi lain, Mochtar Lubis adalah anak buahnya di bidang
media. Parada Harahap dan Mohammad Hatta dalam kasus Soekarno-Mochtar Lubis ini
memilih diam (tidak memihak). Pada era pendudukan Jepang, ketika melakukan
kerjasama dengan Jepang juga terjadi sejumlah pelanggaran (yang dikategorikan
delik kriminal?). Pelanggaran Soekarno itulah yang dituntuk oleh Mochtar Lubis.
Sebenarnya tidak hanya Mochtar Lubis, Mr. Van der Plas ketika tiba di Batavia
(di belakang sekutu/Inggris) langsung menuduh Soekarno sebagai penjahat perang,
jika itu tidak terbukti van der Plas setidaknya tidak mau bekerjasama dengan
Soekarno (lihat Het parool, 29-09-1945).
Hal seperti inilah yang juga dituduhkan kepada Dahlan Abdoellah sehingga
ditangkap dan ditahan (Het dagblad : uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers
te Batavia, 30-08-1946). De Temporaire Krijgsraad telah menetapkan hukuman bagi
Molenkamp dan Benjamins masing-masing 5 dan 12 tahun penjara (Het dagblad :
uitgave van de Nederlandsche Dagbladpers te Batavia, 02-12-1946), sementara
Dahlan Abdoellah dibebaskan bulan Februari (Nieuwe courant, 27-02-1947).
Pembebasan ini diduga karena peran Mr. Arifin Harahap sebagai kepala perwakilan
RI di Batavia dengan alasan Dahlan Abdoellah adalah tokoh politik. Lantas
mengapa Soekarno tidak ditangkap sebagaimana tuduhan van der Plas? Soekarno
(dan Mohammad Hatta) pada saat itu berada di lingkungan penjagaan militer
Jepang (lihat Trouw, 27-09-1945). Belanda/NICA
dengan sendirinya tidak memiliki akses langsung. Dr. Van Mook sendiri baru tiba
di Batavia kemarin (De Heerenveensche koerier : onafhankelijk dagblad voor
Midden-Zuid-Oost-Friesland en Noord-Overijssel, 03-10-1945).
Parada Harahap menjauh dari politik. Parada Harahap paham
dua orang yang memiliki karakter sama. Soekarno di bidang politik dan Mochtar
Lubis di bidang pers. Parada Harahap mengasingkan diri dengan mendirikan
Akademi Wartawan. Salah satu mahasiswa angkatan pertama adalah Ali Mochtar
Hoeta Soehoet yang pernah membantunya menerbitkan majalah Detik di Bukittinggi
(atas permintaan Mohammad Hatta). Ali Mochtar Hoeta Soehoet sendiri bekerja
sebagai manajer administrasi di surat kabar Indonesia Raja (milik Mochtar
Lubis).
Parada Harahap telah
banyak melahirkan jurnalis-jurnalis yang anda, semisal WR Supratman (1925
kantor berita Alpena), Adinegoro (1929 Bintang Timoer/Pewarta Deli), Adam Malik
(1935 kantor berita Antara), hingga BM Diah (Merdeka), Mochtar Lubis (Indonesia
Raja), Sakti Alamsjah Siregar (Pikiran Rakyat), dan menyusul Ali Mochtar Hoeta
Soehoet. Saat BM Diah mendirikan surat kabar Merdeka, wartawannya termasuk
Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar). Lalu kemudian Mochtar Lubis bergabung dengan
kantor berita Antara (bersama Adam Malik) sebelum mendirikan surat kabar
Indonesia Raja. Kemudian, Rosihan Anwar mendirikan surat kabar Siasat. Ketika
Mochtar Lubis ditekan pemerintah, Mochtar Lubis memimpin demonstrasi kebebasan
pers yang didukung oleh militer, Kolonel Abdul Harus Nasution (KASAD). Mochtar
Lubis akhirnya diadili dan Abdul Haris Nasution dipecat (kosong posisi KASAD
hingga tahun 1955 dan diambilalih sendiri Soekarno). Sejak itu Mochtar Lubis
dan Rosihan Anwar menggalang dukungan pers internasional. Catatan tambahan:
Kantor berita Antara didirikan oleh Adam Malik karena kantor berita Alpena
sudah tidak aktif lagi. Pendirian kantor berita Antara disokong pendanaan oleh
Parada Harahap yang menempati kantor di gedung milik Jahja Malik Nasution yang
tengah berada di Digoel sebagai tahanan politik. Jahja Malik Nasution adalah
kader Tan Malaka dan Adam Malik adalah kader Jahja Malik Nasution. Jahja Malik
Nasution adalah mertua penyanyi Bob Tutupoli. Dalam demonstrasi kebebasan pers
yang dipimpin Mochtar Lubis, dari kalangan mahasiswa dipimpin oleh Ali Mochtar
Hoeta Soehoet (ketua dewan mahasiswa Akademi Wartawan).
Pada tahun 1954 Parada Harahap yang sudah menjadi Ketua
Kopertis, menginisiasi diadakannya peringatan Kongres Pemuda 1928. Acara
peringatan diadakan di kampus Akademi Wartawan. Ketua Panitia adalah Ali
Mochtar Hoeta Soehoet, Ketua Dewan Mahasiswa Djakarta. Pada saat inilah hasil
Kongres Pemuda 1928 direvitalisasi dengan menambah embel-embel Hari Sumpah
Pemuda. Dengan kata lain, sumpah pemuda baru diadakan pada tahun 1954,
sedangkan tahun 1928 disebut Poetoesan Kongres Pemuda. Gerakan Sumpah Pemuda
ini direspon positif oleh Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan
Menteri Pendidikan Mohammad Jamin dan ketiganya menjadikannya slogan baru dalam
perjuangan (sehubungan dengan munculnya separatis di berbagai daerah). Parada
Harahap dalam hal ini tampaknya di satu sisi berhasil meredakan ketegangan
Soekarno dengan Mochtar Lubis dan di sisi lain membangkitkan peran pemuda
kembali untuk bersatu: Pemuda Bersumpah. Ketua Panitia Hari Sumpah Pemuda ini
adalah Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Sedangkan panitia Kongres Pemuda tahun 1928
adalah Sugondo (ketua), Mohammad Jamin (sekretaris) dan Amir Sjarifoeddin
Harahap (bendahara).
Amir Sjarifoeddin
Harahap telah tiada, mati dibunuh tanpa kejelasan dan tanpa diadili. Saat itu
terjadi persaingan kekuasaan diantara para pemimpin. Katakanlah di satu pihak
Soekarno dan Mohammad Hatta yang cooperative dengan Jepang dan non cooperative
dengan Belanda dan di pihak lain Soetan Sjahrir dan Amir Sjarifoeddin yang
non-cooperative dengan Jepang. Dalam hal ini, Parada Harahap sangat kenal
dengan Soekarno dan Mohammad Hatta, juga sangat kenal dengan Amir Sjarifoeddin
dan Mohammad Jamin. Empat orang ini tidak lain adalah empat sudut segi empat
pusaran Parada Harahap. Pada tahun 1928, Parada Harahap sebagai sekretaris
PPPKI menempatkan Soekarno dan Mohammad Hatta di kongres senior (Kongres PPPKI)
sedangkan di kongres junior (Kongres Pemuda) menempatkan Amir Sjarifoeddin dan
Mohammad Jamin. Setelah lulus, kedua sahabat ini Amir Sjarifoeddin dan Mohammad
Jamin mendirikan sebuah firma hukum dan juga secara bersama-sama atas
permintaan Parada Harahap mendirikan partai Gerindo. Kini, pada tahun 1954,
Mohammad Jamin adalah Menteri Pendidikan. Soekarno, Mohammad Hatta dan Mohammad
Jamin tiga orang pertama di depan yang mengkampanyekan semangat Soempah Pemoeda
setelah peringatan Sumpah Pemuda yang digagas oleh Parada Harahap dan diketuai
oleh Ali Mochtar Hoeta Soehoet. Kelak, Akademi Wartawan Djakarta ini berubah
menjadi ABA Cikini, Jakarta; Ali Mochtar Hoeta Soehoet sebagai pendiri IISIP
Lenteng Agung, Jakarta.
Parada Harahap di hari
tuanya, telah memerankan seorang guru. Kini, Parada Harahap menjadi dosen,
rektor Akademi Wartawan dan Ketua Kopertis (yang pertama). Sahabat baiknya,
Dahlan Abdoellah telah lama tiada. Dahlan Abdoellah adalah seorang guru, teman
Tan Malaka dan teman Sorip Tagor dan Soetan Goenoeng Moelia. Dahlan Abdoellah
dan Parada Harahap memiliki guru yang sama, yakni guru Soetan Casajangan. Satu
lagi yang menjadi guru Parada Harahap adalah Dr. Abdoel Rivai. Mohammad Hatta
berguru politik kepada Parada Harahap dan Dahlan Abdoellah.
Pada tahun 1955 ada dua permasalahan yang cukup krusial
dan mendesak diselesaikan: soal ketiadaan master plan pembangunan dan soal
ketiadaan KASAD. Hal ini juga terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum dan
Konferensi Asia-Afrika di Bandoeng.
Pada tahun 1955 Kabinet
Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo (PNI-Soekarno) mendapat tekanan di parlemen
yang dimotori oleh Zainul Arifin Pohan (Partai Masyumi/Partai NU). Akhirnya
kabinet Ali Sastroamidjojo tumbang dan digantikan oleh kabinet Perdana Menteri
yang baru, Boerhanoeddin Harahap (Masyumi).
Dalam daftar menteri terdapat nama Abdoel Hakim Harahap
sebagai menteri negara urusan pertahanan. Abdoel Hakim Harahap adalah mantan
Residen Tapanoeli, kader Masyumi yang menjadi penasehat Mohammad Hatta ke KMB
di Den Haag. Abdoel Hakim Harahap adalah Wakil Perdana Menteri, kabinet RI
terakhir di Djogjakarta.
Pasca KMB, muncul dua
pemerintahan: RIS dan RI. Presiden RIS (di Dajakarta) adalah Soekarno dan
Perdana Menteri adalah Mohammad Hatta. Sedangkan Presiden RI (di Djogjakarta)
adalah Ass’aat dan Perdana Menteri, Halim (dan wakilnya Abdoel Hakim Harahap).
Akhirnya RIS dibubarkan Soekarno pada tanggal 6 September 1950. Lalu RI tetap
eksis dan kembali Soekarno dan Mohammad Hatta menjadi Presiden dan Wakil
Presiden RI dengan perdana menteri yang baru Mohammad Natsir. Sejak itu RI
tidak berubah hingga sekarang.
Boerhanoeddin Harahap meminta Abdoel Hakim Harahap
mengisi kembali jabatan KASAD. Lalu Abdoel Hakim Harahap mengumpulkan semua
kolonel dari seluruh Indonesia. Dalam pertemuan seluruh kolonel tersebut Abdoel
Hakim Harahap meminta untuk memilih Komandan sendiri untuk mengisi jabatan
KASAD yang kosong. Muncul dua kubu, yakn kubu Kolonel Abdul Haris Nasution dan
kubu Kolonel Zulkifli Lubis. Saat itu juga hadir Kolonel Mohammad Dahlan
Djambek dan Kolonel Maludin Simbolon (Major Jenderal TB Simatupan yang juga
turut dipecat Soekarno bersama Abdoel Haris Nasution tahun 1952) tentu tidak
hadir, karena Abdoel Hakim Harahap harus memotong level pangkat paling tinggi cukup kolonel). Lantas siapa yang
dipilih jika muncul dua kubu? Abdoel Hakim Harahap adalah Residen Perang di era
agresi militer Belanda kedua di Tapanoeli. Jadi Abdoel Hakim Harahap paham soal
kemiliteran TNI. Lagi pula, pimpinan dua kubu kolonel adalah dua adik-adiknya
pula: Nasution vs Lubis. Karena itu, Abdoel Hakim Harahap tidak gamang diantara
semua kolonel yang hadir.
Apakah ini pilihan
sulit? Jelas sulit. Saat demosntrasi tahun 1952 di depan Istana, Kolonel Abdul
Haris Nasution ada di tengah-tengah para demonstran, sedangkan Kolonel Zulkifli
Lubis menemani Soekarno di dalam istana. Dari demosntrasi ini Major Jenderal TB
Simatupang dan Kolonel Abdoel Harris Nasution dicopot, sedangkan Kolonel
Zulkifli Lubis tetap menjadi setia Soekarno. Dalam pilihan ini Abdoel Hakim
Harahap dengan berbagai pertimbangan memilih Abdoel Haris Nasution dan
menyodorkan nama kepada PM Boerhanoeddin Harahap. Apakah ini membuat gusar
Soekarno? Jelas. Akan tetapi Boerhanoeddin Harahap tidak mau sendiri ke Istana
menghadap Soekarno dengan membawa Kolonel Abdoel Haris Nasution. Boerhanoeddin
Harahap mengajak ketua parlemen bidang pertahanan, yang juga mantan komandan
laskar Hizbullah di Jawa Barat di era perang kemerdekaan yang mempelopori
berdiriya Partai NU bernama Zainul Arifin Pohan. Presiden Soekarno sangat dekat
dengan Zainul Arifin Pohan (PNI dan Partai NU lagi bulan madu) ketika partai
Masyumi pimpinan Boerhanoeddin Harahap memimpin kabinet. Zainul Arifin Pohan,
kelahiran Barus dari pihak ibu masih memiliki hubungan kerabat dekat dengan
keluarga Abdoel Haris Nasution di Kotanopan. Inilah alasan mengapa Abdoel Hakim
Harahap memilih Kolonel Abdoel Haris Nasution daripada Zulkifli Lubis. Soekarno
akhirnya setuju dengan jaminan Boerhanoeddin Harahap dan Zainul Arifin Pohan.
Posisi KASAD terisi kembali, pangkat Abdoel Haris Nasution dinaikkan menjadi
Major Jenderal. Bagaimana dengan Kolonel Zulkifli Lubis? Mendongkol. Kelak,
Zainul Arifin Pohan (1963) tertembak disamping Soekarno yang mana yang menjadi
target sebenarnya adalah Soekarno, lalu meninggal dunia. Kolonel Zulkifli Lubis
mendukung gerakan PRRI/Permesta. Abdoel Haris Nasution tetap setia kepada
Soekarno (hingga munculnya G30 S/PKI 1965).
Parada Harahap lalu
diminta oleh Soekarno dan Mohammad Hatta untuk menyusun buku rencana
pembangunan (kira-kira mirip Repelita). Ketika tidak ingin terlibat lagi dengan
permasalahan negara, Parada Harahap tidak bisa menolak permintaan dua adiknya,
dua pemuda revolusioner yang diidam-idamkannya sejak 1927 di Gang Kenari.
Parada Harahap bersedia, lalu memimpin tim ke 14 negara di Eropa (minus
Belanda) untuk studi banding. Hasil studi banding inilah yang kemudian disusun
menjadi buku repelita yang diterbitkan pada tahun 1956. Setelah itu, Parada
Harahap lengser keprabon. Tidak mau dilibatkan kembali. Parada Harahap ingin
istirahat di tengah keluarga. Parada Harahap di Djakarta sumringah, karena
putrinya bernama Aida Dalkit Harahap diwisuda menjadi sarjana hukum di Fakultas
Hukum Universitas Indonesia bulan Mei 1956. Wisuda ini juga bersamaan dengan
putri Dr. Radjamin Nasution yang juga meraih gelar Mr (Sarjana Hukum).
Gerakan separatis di
berbagai tempat telah berhasil diredakan oleh Major Jenderal Abdoel Haris
Nasution dan Zainul Arifin Pohan. Namun sulit ditebak pada tahun 1957 muncul
lagi persoalan baru apa yang kemudian dikenal sebagai PRRI/Permesta (menentang
pusat/Soekarno). Pada awal tahun 1956 ‘diproklamiskan’ PRRI di Padang. Heboh.
Dua orang yang pernah menyelamatkan Soekarno merapat ke PRRI yakni Kolonel
Zulkifli Lubis dan Egon Hakim. Zulkifli Lubis menyelamatkan Soekarno pada waktu
demosntrasi tahun 1952 di Istana dan Egon Hakim adalah yang menyelamatkan
Soekarno dari kendali Belanda di Padang saat evakuasi Belanda seiring dengan
pendudukan Jepang.
Wakil Presiden Mohammad Hatta dan KASAD Major Jenderal
Abdoel Haris Nasution dalam dilema. Mereka berdua adalah pemerintah pusat
sementara yang menentang pusat yang dikomandoi oleh Lekol Achmad Husein dan
kabinetnya di Padang adalah teman-teman sendiri. Saat itu PNI yang memimpin
dengan perdana menteri Ir. Djoeanda (rekan Dahlan Abdoellah dulu di
gemeenteraad Batavia).
KASAD Major Jenderal
Abdoel Haris Nasution mengambil langkah awal dengan mensterilkan Medan, Palembang
dan Pekanbaru. Major Jenderal Abdoel Haris Nasution memecat Kolonel Maludin
Simbolon di Medan dan mengangkat Letkol Djamin Ginting. Lalu menempatkan
Kolonel Barlian di Palembang. Pasukan pusat berada di Pekanbaru. Tinggal Letkol
Ahmad Husein di Sumatra Barat tetapi menyusul datang Kolonel Maludin Simbolan.
Posisi PRRI terjepit.
Di pusat Presiden Soekarno mengambil langkah untuk
menyelesaikan segera dengan menyerang. Soekarno beranggapan bahwa masih banyak
persoalan yang harus diselesaikan. Presiden Soekarno menyodorkan persetujuan
penyerangan PRRI dengan pasukan penuh. Mohammad Hatta yang menjadi Wakil
Presiden menolak. Inilah pangkal keretakan antara Soekarno dan Mohammad Hatta.
Akhirnya keputusan diambil oleh Presiden Soekarno. Untuk urusan penyerangan
teritorial diserahkan kepada Major Jenderal Abdoel Haris Nasution. Akan tetapi
Major Jenderal Abdoel Haris Nasution setengah hati, sebab yang ingin diserang
oleh tangannnya sendiri adalah teman-temannya juga.
Major Jenderal Abdoel
Haris Nasution tidak mau menangung sendiri. Major Jenderal Abdoel Haris
Nasution mendelegasikan kepada Kolonel Achmad Yani. Untuk memonitor lebih dekat
Major Jenderal Abdoel Haris Nasution membuka markas di Pekanbaru. Ketika
komando Achmad Yani mau dimulai, Major Jenderal Abdoel Haris Nasution meminta
koridor Tapanoeli (Kotanopan dan Padang Sidempoean dikosongkan dari pasukan).
Alasannya bukan karena Kotanopan adalah kampung halaman Major Jenderal Abdoel
Haris Nasution, tetapi untuk memberi jalan keluar bagi pasukan Letkol Achmad
Husein jika terjadi serangan pusat secara frontal di Sumatra Barat. Serangan
pusat akhirnya dilaksanakan via darat laut dan udara. Banyak korban dan juga
banyak yang selamat, tetapi korban dan kerugian telah diminimalkan. Situasi dan
kondisi secara perlahan kembali terkendali. Itulah strategi Major Jenderal
Abdoel Haris Nasution, yang telah menulis buku Pokok-Pokok Gerilya selama
dirinya dipecat oleh Soekarno. Bagi Major Jenderal Abdoel Haris Nasution ini
bukan soal PRRI/Permesta semata, tetapi cita-cita NKRI (motto yang selalu
melekat pada Soekarno dan Abdul Haris Nasution).
Saat-saat genting itu,
Parada Harahap tutup mata dan tutup telinga. Soekarno dan Mohammad Hatta yang
retak bagi Parada Harahap adalah pilihan mereka sendiri-sendiri. Pada tahun
1957 Parada Harahap sibuk menikahkan dua putrinya. Dalam keseharian Parada
Harahap hanya menulis buku.
Setelah keretakan Soekarno dan
Mohammad Hatta dan pasca PRRI, Mohammad Hatta keluar dari dunia politik
sebagaimana sebelumnya Parada Harahap. Salah satu surat kabar di Djakarta
menulis di dalam pojok komentar dengan bunyi begini: Dwi Tunggal, Tanggal
Tunggal, Tinggal Tunggal.
Parada Harahap tutup
usia dengan tenang pada tahun 1959. Parada Harahap telah mengantarkan Soekarno
dan Mohammad Hatta secara bersama-sama untuk menjadi dwirunggal pemimpin RI.
Namun ketika keduanya retak dan berpisah, Parada Harahap merasa tugasnya
sebagai patriot sudah selesai. Parada Harahap adalah di masa mudanya seorang revolusioner
dan di masa tuanya menjadi negarawan.
Perstuan dan Kemerdekaan: Parada Harahap Connection |
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan
sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber
primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap
penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di
artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar