*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Pada era kolonial Belanda district Bekasi adalah wilayah yang unik. Dari empat afdeeling yang berada di Residentie Batavia, hanya Afdeeling Bekasi yang tidak memiliki Asisten Residen. Pemangku tertinggi di district Bekasi hanya setingkat Sheriff yang dalam bahasa Belanda disebut Schout. Padahal luas Bekasi jauh lebih luas dari Afdeeling Meester Cornelis dan Afdeeling Tangerang. Afdeeling Bekasi dirangkap oleh Asisten Residen Meester Cornelis. Perpanjangan tangan Asisten Residen Meester Cornelis di district Bekasi adalah seorang Schout. Di berbagai daerah Schout adalah setingkat Cotroleur.
Pada era kolonial Belanda district Bekasi adalah wilayah yang unik. Dari empat afdeeling yang berada di Residentie Batavia, hanya Afdeeling Bekasi yang tidak memiliki Asisten Residen. Pemangku tertinggi di district Bekasi hanya setingkat Sheriff yang dalam bahasa Belanda disebut Schout. Padahal luas Bekasi jauh lebih luas dari Afdeeling Meester Cornelis dan Afdeeling Tangerang. Afdeeling Bekasi dirangkap oleh Asisten Residen Meester Cornelis. Perpanjangan tangan Asisten Residen Meester Cornelis di district Bekasi adalah seorang Schout. Di berbagai daerah Schout adalah setingkat Cotroleur.
Lencana Sheriff (illustrasi) |
Lantas mengapa di district Bekasi diberlakukan
Schout? Itu yang menjadi pertanyaan. Padahal district Bekasi tidak jauh dari
ibukota (Stad Batavia). Sementara di tetangga Bekasi, wilayah dipimpin oleh
seorang Asisten Residen di Meester Cornelis (di barat), di Buitenzorg (di
selatan) dan di Krawang (di timur). Di Buitenzorg sendiri, pemerintahan juga
menyertakan bupati (Regent) dan Demang. Di district Bekasi tidak ada regent dan
juga tidak ada demang. Oleh karenanya, district Bekasi adalah wilayah yang
khas. Hanya sesuai dipimpin oleh seorang Sheriff?. Untuk itu, nari kita
telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Schout Bekasi dan Penduduk Militan
Sebelum tahun 1830 tidak ada pemerintahan di
Afdeeling Bekasi (lihat Javasche courant, 03-04-1830).
Di Afdeeling Bekasi sejak era VOC sudah terbagi ke dalam tanah-tanah partikelir
(land). Para pemilik land bertanggung jawab terhadap land yang dikuasainya.
Landheer dapat dikatakan adalah penguasa di dalam land, dimana land sendiri
ibarat negara (land) di dalam negara (Nederlandsche Indie).
Sebagai
penguasa land, landheer memiliki hak terhadap semua lahan dan juga semua hal
yang berada di atas land termasuk manusia (penduduk lokal). Penguasa land memiliki
hak eksklusif terhadap land. Landherr lain yang melintas di land miliknya harus
atas izin pemilik land yang dapat membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu.
Meski land sebagai negara dalam negara, pemerintah (VOC/Hindia Belanda)
memiliki tanggungjawab kewilayahan untuk tercapainya keamanan di setiap land.
Untuk mengendalikan keamanan, pemerintah dapat mengirimkan militer untuk
memulihkan situasi wilayah agar para landheer dapat bekerja dengan produktif di
land masing-masing. Land dan landheer adalah perpanjangan tangan sebagai fungsi
produksi bagi pemerintah.
Pada era Pemerintah Hindia Belanda semasa
Gubernur Jenderal Daendels, pemerintah mulai mengefektifkan pemerintahan dengan
mendirikan kota-kota sebagai ibukota pemerintahan. Untuk mendapatkan lahan
kota, pemerintah harus membeli dari swasta (pemilik land) yang dimulai di Batavia
(membeli land Weltevreden) dan Buitenzorg (membeli land Bloeboer. Lana-land di
sepanjang daerah aliran sungai Bekasi dimiliki oleh keluarga Riemsdijk.
Jeremis
van Riemsdijk adalah pemilk land pertama di sepanjang daerah aliran sungai Bekasi
sejak era VOC. Land Bekasi ini diakses dari laut melalui kampong Moeara. Pusat
land ini berada tidak jauh dari kampong Bekasi dengan mendirikan landhuis dan
menginisiasi pendirian sebuah pasar. Landhuis dan pasar ini menjadi cikal bakal
kota Bekasi yang sekarang. Jeremis van Riemsdijk pernah menjabat sebagai
Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1775 hingga 1777. Setelah Jeremis van
Riemsdijk meninggal tahun 1777, land Bekasi ini tetap diteruskan oleh
keluarganya. Persil-persil land di hilir hingga ke pantai dijual keluarga
Riemsdijk pada tahun 1818 (lihat Bataviasche courant, 24-10-1818). Kapan
persil-persil land di hulu termasuk kota Bekasi kemudian dijual keluarga
Riemsdijk tidak diketahui secara pasti. Persil land tepat berada kota Bekasi
diduga kuat telah diakuisisi pemerintah sebelum tahun 1830 untuk dijadikan
sebagai ibukota. Saat ini akses jalan darat sudah ada dari Meester Cornelis ke
(kota) Bekasi.
Pada tahun 1830 pemerintah mulai membentuk
pemerintahan lokal di Afdeeling Bekasi. Pembentukan pemerintahan lokal di
Bekasi ini bersamaan dengan pembentukan pemerintahan lokal di wilayah Stad en
Voorsteden van Batavia; di wilayah zuiderkwartier der Ommelanden yang berpusat
di Meester Cornelis; ooster kwartier di Becassi dan wester kwartier di
Tangerang; serta wilayah Afdeeling Buitenzorg dan Afdeeling Krawang. Saat
inilah diketahui nama pemerintah tertinggi di wilayah-wilayah tersebut. Di wilayah
Bekasi disebut Schout (lihat Javasche courant, 03-04-1830).
Javasche courant, 03-04-1830 |
Di berbagai wilayah, tidak dikenal atau tidak
diberlakukan jabatan atau pangkat Schout. Nama jabatan setara Schout disebut
Controleur. Dalam hal ini pangkat Schout dan Controleur berada di bawah seorang
pejabat Asisten Residen/Residen. Oleh karena situasi dan kondisi keamanan wilayah
berbeda-beda, jabatan Asisten Residen ada yang dijabat seorang militer dan juga
seorang sipil. Controleur umumnya adalah seorang sipil. Dalam hal ini Schout
bukan seorang militer dan juga bukan sipil, tetapi seorang yang diposisikan
sebagai pengendali keamanan (politie)
Nama
jabatan/pangkat Controleur kali pertama diperkenalkan di wilayah Sumatra’s
Westkust (Pantai Barat Sumatra dari Bengkoelen hingga Singkel) sejak statusnya
diubah menjadi provinsi tahun 1834 yang dijabat oleh Kolonel AV Michiels. Setelah
pemerintahan dibentuk di Padangsche, lalu pada tahun 1840 pemerintahah setingkat
Asisten Residen di Afdeeling Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli) yang
juga membawahi dua controleur di Onderfadeeling Mandailing (di Panjaboengan) dan
di onder afdeeling Angkola (Padang Sidempoean).
Tidak
seperti di Batavia dan Java, dan juga tidak seperti di wilayah lainnya termasuk
di wilayah Padangsche, di Residentie Tapanoeli para pemimpin lokal tidak
disertakan dalam struktur pemerintahan. Jabatan bupati (Regent) tidak diberikan
kepada pemimpin lokal di Afdeeling Mandailing en Angkola baik pada tingkat
Residen/Asisten Residen maupun pada tingkat Controleur. Residen Tapanoeli dan
Asisten Residen Afdeeling Mandailing en Angkola bestatus militer aktif. Akan
tetapi untuk posisi Controleur di Panjaboengan dan Padang Sidempoean tidak
pernah militer dan selalu sipil (dan banyak diantaranya yang berpendidikan sarjana
(Mr). Sebagaimana umumnya, desain pemerintahan berdasarkan rekomenfasi para
sarjana yang mendahului ekspedisi sebelum pemerintahan dibentuk (ditetapkan). Dalam
hal ini, para sarjana mengusulkan di Tapanoelie dan di Bekasi serta Tangerang
jangan menyertakan pemimpin lokal. Tetapi pada tingkat pemerintahan terendah harus
dipimpin oleh sipil yakni Controleur di Panjaboengan dan Controleur di Padang
Sidempoean dan dipimpin oleh setengah militer (polisi) di Tangerang dan Bekasi.
Ternyata betul, indikasinya nyata.
Pada tahun 1842 Edward Douwes Dekker diangkat menjadi Controleur di
Afdeeling Natal, tetangga Afdeeling Mandailing en Ankola. Sejak pemerintahan
dimulai di Afdeeling Mandailing en Angkola pada tahun 1840 dimulai program
Koffistelsel (tanam paksa kopi yang sudah lebih dahulu diterapkan di Jawa
semasa Gubenur Jenderal van den Bosh 1830-1833). Penduduk dan pemimpin di
Afdeeling Mandailing dan Ankola menolak stelsel (dan menginginkan kebebasan
menanam) dan melakukan pemberontakan. Akibatnya sering terjadi kerusuhan.
Pengiriman militer menyebabkan banyak penduduk Mandailing dan Angkola eksodus,
selain ke Afdeeling Natal juga menyeberang ke Semenanjung Malaka. Controleur
Edward Douwes Dekker melihat stelsel ini tidak adil dan tidak membuat kondusif
pembangunan. Penduduk dan pemimpin lokal Mandailing en Angkola yang eksodus ke
Afdeling Natal berkeluh kesah kepada Edward Douwes Dekker yang juga merespon
keluhan itu dan mulai aktif mengadvokasi orang-orang Mandailing en Ankola.
Akibat perbuatan Edward Douwes Dekker ini, dirinya lalu dipecat pada tahun 1843
mendapat sanksi tahanan rumah selama satu tahun di Padang (Edward Douwes Dekker
kelak dikenal sebagai Multatuli dengan bukunya yang terkenal Max Havelaar).
Persoalan-persoalan keamanaan di Afdeeling Mandailing en Angkola baru mulai
reda pada tahun 1848 setelah menempatkan Mr. AP Godon sebagai Asisten Residen
Mandailing en Ankola. Mr. AP Godon cepat paham berdasarkan rekomendasi Dr. N
van der Tuuk bahwa jangan terlalu lembut memimpin di Tapanoeli dan juga jangan
terlalu keras. Risalah ini dapat ditemukan dalam surat-surat van der Tuuk ke
NBG di Batavia.
Posisi dan pangkat di Bekasi inilah yang membuat
wilayah Afdeeling Bekasi menjadi khas. Sudah barang tentu di Bekasi tidak
menempatkan seorang militer karena Bekasi sangat dekat dengan pusat militer di
Weltevteden (kini wilayah Senen). Sebaliknya juga tidak menempatkan sipil di
Bekasi karena terlalu lemah untuk menghadapi penduduk Bekasi yang keras
(militan). Boleh jadi dalam hal ini hanya sesuai untuk seorang yang diangkat
sebagai polisi (Schout). Seperti halnya penduduk Tangerang, penduduk Bekasi juga
termasuk penduduk melting pot.
Alam Bekasi yang Keras
Penduduk yang keras (kuat) cenderung militan (tidak mudah takluk). Salah
satu tantangan penduduk di wilayah melting pot adalah mewujudkan persatuan.
Orang-orang Tionghoa sangat paham arti persatuan (misalnya kongsi). Hal ini
muncul karena mereka menghadapi organisasi yang kuat (di perantaun) di Bekasi
yakni persatuan Eropa/Belanda. Tapi penduduk lokal juga cepat belajar dan
perlunya persatuan tidak hanya menghadapi senjata Eropa/Belanda tetapi juga
kongsi atau koneksi ekonomi orang-orang Tionghoa. Menghadapi ‘musuh’ yang sama
di tanah yang baru ‘dimana bumi dipijak disitu langit dijunjung’ menimbulkan
ikatan-ikatan sodalitas senasib sepenanggungan diantara para pemukim di Bekasi yang
membentuk ke arah persatuan, tetapi sulit menentukan siapa yang memimpin. Oleh
karena itu di Bekasi tidak ada pemimpin lokal yang kuat.
Seperti umumnya wilayah-wilayah pantai, terutama di pantai utara Jawa,
secara khusus penduduk Bekasi yang melting pot menyebabkan karaktersnya berbeda
dengan penduduk di pedalaman (Soenda). Wilayah Bekasi yang sudah menjadi pusat perlintasan
peradaban sejak jaman kuno menyebabkan penduduk Bekasi bercampur dari migran
pedalaman dengan para migran baru dari seberang lautan. Secara pragmatik, sejak
era VOC di wilayah Bekasi ditemukan titik-titik migran dari Sumatra (Melayu),
Kalimantan (Bandjar), Sulawesi (Makassar dan Bugis) dan pulau-pulau lainnya
termasuk Ternate dan Madoera. Tentu saja ada yang migrasi dari Jawa. Seperti
penduduk lokal, orang-orang Tionghoa juga datang dari berbagai tempat di
Tiongkok dan pemukim-pemukim Tionghoa yang sudah lama berada di Semenanjung dan
Indo China. Populasi melting pot ini juga ditemukan di Ambonia, Soerabaja,
Deli, Padang, Makassar, Chirebon, Demak dan Banten serta Atjeh.
Secara perlahan-lahan orang-orang Eropa/Belanda
pemilik land di Bekasi ‘minggat’. Mereka menjual lahan-lahan mereka dan lebih
memilih membeli land baru di wilayah hulu atau membuka lahan-lahan baru di
wilayah lainnya. Tidak diketahui sebab yang pasti mengapa minggat, tetapi
diduga karena soal lahan, karena lahan-lahan di Bekasi sulit ditingkatkan
produktivitasnya (banyak rawa dan kerap banjir). Juga bisa jadi karena sulitnya
akses menuju land-land di Bekasi (umumnya melalui pelayaran sungai). Penjualan
land-land Eropa/Belanda di Bekasi kemudian diketahui umumnya jatuh ke tangan
orang-orang Tionghoa. Tidak ditemukan orang-orang timur asing lainnya seperti
Arab memiliki land di Bekasi.
Akumulasi
orang-orang Tionghoa di wilayah Bekasi menjadi sebab tambahan sulitnya bagi
penduduk lokal dalam kehidupan (mata pencaharian). Sebelumnya, orang-orang
Eropa/Belanda cenderung menggunakan modal besar dan penggunaan tenaga kerja
yang banyak. Sebaliknya, land-land yang dikusai orang Tionghoa selain disewakan
kepada orang-orang Tionghoa juga, usaha-usaha yang dilakukan orang Tionghoa tidak
sebanyak modal orang Eropa/Belanda dan juga cenderung menggunakan tenaga kerja yang
jumlahnya sedikit. Alam yang keras dan semakin sulitnya untuk mendapatkan
tambahan penghasilan boleh jadi menyebabkan timbulnya masalah sosial baru.
Semakin berkurangnya orang-orang Eropa/Belanda di
Bekasi, tidak membuat masalah sosial berkurang, tetapi semakin banyak masalah
yang muncul. Sulitnya meningkatkan penghasilan bagi penduduk lokal dan semakin
terpolarisasinya kemakmuran pada orang kaya memicu munculnya masalah sosial
seperti pertengkaran dalam hal pencaharian, pencurian dan bahkan perampokan
yang disertai kekerasan. Schout dari waktu ke waktu menghadapi persoalan yang
semakin pelik. Tingkat kriminalitas semakin meningkat. Penjara Bekasi dari
waktu ke waktu juga semakin sesak.
Persoalan
‘narkoba’ juga makin melemahkan banyak orang, membuat ketergantungan pada
opium. Pasokan opium di wilayah Bekasi sangat mudah masuk sebab wilayahnya yang
sangat luas banyak jalur-jalur sungai sebagai pintu masuk. Buruknya lalu lintas
darat karena kurangnya perhatian dari para pemilik land untuk memperbaiki jalan
yang rusak membuat pejabat pengendali dari Meester Cornelis malas ke Bekasi.
Kondisi ini menyebabkan jalur-jalur opium aman dari pengawasan. Permasalahan
opium ini juga menjadi salah satu faktor lain menyebabkan tingkat kriminalitas
meningkat.
Permasalahan sosial yang belum selesai kemudian
semakin menguat permasalahan politik (pertentangan antara penduduk lokal dengan
orang-orang Tionghoa pemilik land). Pada tahun 1869 eskalasi politik mencapai
puncaknya, Sejumlah penduduk menginginkan salah seorang pimpinannya dibebaskan
dari penjara Meester Cornelis. Namun permintaan demonstran yang banyak sekitar
200 orang ini justru direspon pemerintah dengan mengirim polisi dan kemudian
menyusul tentara. Tindakan represif ini boleh jadi tidak diterima warga lalu
para warga yang mundur mulai melakukan tindakan anarkis dengan melakukan
pembakaran dan penganiayaan. Puncaknya terjadi pada tanggal 3 April 1869.
Demonstrasi
berubah menjadi anarkis dan kemudian menjadi kerusuhan (pemberontakan). Serelah
para demonstran meundur dan esok harinya para demonstran ini membakar rumah
kongsi (Kongsiehuis) di Tamboen dan juga bangunan-bangunan pemilik land di
sekitar. Kabar terjadi anarkis membuat Asisten Residen Meester Cornelis
bergegas ke TKP, dan Schout Bekasi kemudian bergabung. Asisten Residen yang
hanya didampingi sejumlah polisi dan Schout yang coba meredakan, sebaliknya
diserang para demonstran yang marah. Rombongan Asisten Residen dan Schout
Bekasi terbunuh semua.
Setelah
dikerahkan militer, para demonstran dapat dilumpuhkan dan sebanyak 271 orang
ditahan dan dibawa ke Bekasi. Setelah diadili dan dikenakan denda dan
hukuman terdapat sebanyak tujuh orang
yang diputuskan untuk hukuman mati, Mereka yang dihukum mati ini dilakukan
dengan metode hukuman gantung pada tahun 1870.
Tulisan yang menarik.
BalasHapus