*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini
Ada dua kejadian mengerikan di seputar perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda yang mendapat perhatian Dewan Keamanan PBB. Pertama, pembunuhan penduduk Rawagede, Krawang pada tanggal 9 Desember 1947. Pada masa ini diketahui sebanyak 431 penduduk menjadi korban pembantaian. Kedua, Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta dilepas di ladang jagung di Pakem, Jogjakarta lalu diburu. Dor.dor.dor. Pembunuhan brutal ini terjadi pada tanggal 21 Desember 1948.
Ada dua kejadian mengerikan di seputar perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda yang mendapat perhatian Dewan Keamanan PBB. Pertama, pembunuhan penduduk Rawagede, Krawang pada tanggal 9 Desember 1947. Pada masa ini diketahui sebanyak 431 penduduk menjadi korban pembantaian. Kedua, Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D penasehat hukum Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta dilepas di ladang jagung di Pakem, Jogjakarta lalu diburu. Dor.dor.dor. Pembunuhan brutal ini terjadi pada tanggal 21 Desember 1948.
Taman Makam Pahlawan Rawagede (Masdoelhak Nasution) |
Pembunuhan brutal terhadap penduduk Rawagede dan Mr.
Masdoelhak Nasution, Ph.D sangat khusus. Dua peristiwa tersebut memakan korban
warga sipil dan mendapat perhatian Dewan Keamanan PBB. Pers Belanda mencemooh Pemerintah
Belanda: ‘pembunuhan oleh pegecut, sebagai metode teror fasis’. Lantas bagaimana
dua kejadian pembunuhan brutal ini terjadi? Mari kita telusuri sumber-sumber
tempo doeloe.
Rawa Besar (Peta 1877) |
Pembantaian Penduduk di Rawagede
Kementerian Informasi RI merujuk pada Perdana
Menteri/Menteri Pertahanan Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap menuduh militer
Belanda yang melakukan aksi polisionil dari tanggal 9 hingga 12 Desember telah
melakukan tindakan brutal terhadap penduduk Rawagede, Krawang, 70 Km sebelah
timur Batavia yang menelan korban lebih dari 300 dan melukai 200 orang warga
sipil (lihat Het Parool, 22-12-1947).
‘Sementara
itu, penjelasan resmi Belanda tentang aksi ini dikatakan bahwa elemen-elemen Republiken
telah menyusup dan melakukan tindakan penghancuran besar-besaran di jembatan,
merobohkan rumah dan kereta api dan juga menggali perangkap tank. Banyak yang
tidak bekerja sama dipenggal kepalanya, setelah itu mayat-mayat dibuang ke
sungai. Sebanyak 28 mayat telah ditemukan. Oleh karena itu pada tanggal 9
Desember sebuah tindakan dimulai untuk menutup daerah ini. Kampung tempat dimana
kelompok beroperasi dikepung. Dalam pertempuran berikutnya, sebanyak 150
anggota perlawanan tewas dan 8 ditangkap lalu ditahan, termasuk seorang Indo.
Tidak ada senjata yang lebih berat digunakan dan hanya menggunakan mortir,
sementara kami berhenti bertempur jika dari pihak musuh menghentikan kegiatan.
Tuduhan perampokan dan kekejaman sama sekali tidak benar. Hanya beberapa rumah
kampung yang harus dibakar atau dihancurkan’.
Pemberitaan kejadian di Rawagede, juga bersamaan
dengan kedatangan Perdana Menteri Belanda Drees yang telah tiba di Batavia pada
hari Minggu sore (21-12-1947). Drees telah disambut oleh Mr. van Mook, Beel dan
Neher. Tidak begitu jelas apakah kedatangannya terkait kasus Rawagede atau
karena perundingan Renville tengah berlangsung. Yang jelas statement Belanda atas
kejadian di Rawagede baru diberitakan setelah kedatangan Drees.
Atas
desakan Dewan Keamanan PBB dan dengan pembentukan Komisi Tiga Negara, van Mook
menginstruksikan gencatan senjata tangga; 5 Austus 1947. Sementara tengah
dilakukan persiapan Komisi Tiga Negara, secara sepihak van Mook membuat garis
demarkasi yang mempersempit wilayah RI. Garis ini pada saat gencatan justru
menimbulkan pertempuran baru. Perundingan Renville sendiri dimulai tanggal 8
Dsemeber 1947. Aksi polisional Belanda di Rawagede dilakukan setelah sehari
perundingan dimulai. Delegasi
Indonesia dalam perundingan ini dipimpin oleh Perdana Menteri Mr. Amir Sjarifoeddin
Harahap, sementara delegasi Belanda dipimpin oleh Colonel KNIL Abdoel kadir
Widjojoatmodjo, sedangkan delegasi Amerika Serikat dipimpin oleh Frank P.
Graham. Ada dua pimpinan berkulit coklat dalam konferensi Komisi Tiga Negara
ini, yang satu di pihak Indonesia yang lain di pihak musuh. Seperti kata
pepatah ‘dalam setiap pertempuran selalu muncul penghianat’.
Pada saat situasi yang sangat mengenaskan di
Rawagede, 20 orang patriot Indonesia dari Jawa Barat di Bandoeng yang dipimpin
oleh Prof. Djoehana Wiyadikarta datang ke Batavia untuk menyampaikan manifesto
kepada Komisi Tiga Negara yang isinya menyatakan bahwa mereka tidak mengakui Konferensi
Jawa Barat yang telah mengklaim status Jawa Barat berada di pihak Belanda (Het
Parool, 23-12-1947). Prof. Djoehana
Wiyadikarta dkk mewakili orang Jawa Barat yang pro-RI.
Sisa
bara api Bandung Lautan Api (24 Maret 1946) belum sepenuhnya padam, para
pejuang RI masih berjuang di luar kota, di Bogor Soeria Karta Legawa, mantan
Bupati Garoet mendirikan Partai Rakyat Pasoendan. Partai bentukan Soeria Kerta
Legawa cepat menyebar. Tidak hanya di Bogor, tetapi juga dengan cepat melebar
ke Tjinadjoer dan Bandoeng. Di lapis pemudanya, di ketiga daerah ini juga
muncul Partai Pemoeda Rakjat Pasundan. Manajemen pusat mengumumkan bahwa tujuan
dari organisasi Partai Rakjat Pasoendan adalah untuk mendirikan negara sendiri.
Jumlah anggota saat itu diperkirakan sudah lebih dari 6.000 orang (lihat Nieuwe
courant, 02-01-1947). Ketika wilayah Republik makin menyusut, karena digrogoti
oleh Belanda, Negara Pasoendan diproklamirkan di Bandoeng pada tanggal 4 Mei
1947. Sebagian warga Bandoeng dan penduduk Priangan ‘ngembang kadu’. Sebab saat
proklamasi pembentukan Negara Pasoendan di tengah-tengah kaoem Pasoendan tampak
didukung oleh militer Belanda. Rakyat Pasoendan yang sebelumnya 100 persen Republiken,
molohok dan penduduk menjadi terpecah: pro RI menolak Belanda dan pro Belanda
menolak RI. Partai Pasoendan inilah yang melakukan Konferensi Jawa Barat yang
ditentang oleh Prof. Djoehana Wiyadikarta dkk. Dalam Konferensi Djawa Barat
yang baru saja berlangsung, Raden Djoearsa, telah mengumumkan di Bandung bahwa
diharapkan bahwa Konferensi Jawa Barat ketiga akan diadakan pada bulan Februari
1948. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan Banten. Disebutkan Raden Djoearsa,
Bandoeng kemungkinan akan menjadi ibu kota negara baru, Nagara Pasoendan (lihat
Het Parool, 23-12-1947).
Sebagian masyarakat Jawa Barat tidak peduli apa
yang telah terjadi di Rawagede. Mereka ini semakin nyaman di pelukan Belanda.
Akan tetapi sebagian masyarakat Jawa Barat yang militan, mendengar tragedi
Rawagede membuat mereka meradang dan jiwa patriotnya semakin membara. Sementara
itu, ketika Negara Pasoendan diproklamisrkan dan berada di barisan Belanda, TNI
seakan tidak punya tuan lagi, para tuan yang diamini konstituennya sibuk
memperkuat posisi diri di persatuan Belanda. Singkat kata: TNI pada tanggal 1
Februari 1948 TNI harus hijrah dari Jawa Barat menuju daerah Republik di Jawa
Tengah dan Jogjakarta. TNI tidak hanya kehilangan anggota di Rawagede, banyaknya
warga sipil yang terbunuh di Rawagede semakin membuat kesedihan TNI semakin menjadi-jadi.
Pada Konferensi
Negara Pasoendan dari tanggal 23 Februari hingga tanggal 5 Maret 1948 segala
persiapan tuntas dan pemimpin Negara Pasoendan diangkat yang disebut Wali
Negara Pasoendan. Peresmian dan pengambilan sumpah Wali Negara Pasoendan, Raden
Adipati Wira Nata Koesoema tanggal 26 April 1948. Nama RA Wiranata Koesoema
tidak asing bagi penduduk Priangan. Nama ini mirip dengan Bupati Bandoeng yang
pertama yang diangkat oleh Belanda pada tahun 1829.
Tidak ada lagi yang mengingat tragedi Rawagede.
Rawagede yang menjadi bagian wilayah Krawang sudah menjadi bagian dari Negara
Pasoendan. Para TNI yang mendukung perjuangan rakyat dan yang selalu ingat
warga Rawagede yang terbunuh sudah jauh berada di luar wilayah. Pahlawan
Rawagede mungkin berdoa dalam kubur agar TNI cepat kembali dari hijrah.
Pembunuhan Brutal Terhadap Intelektual Muda Indonesia di Jogjakarta
Belanda yang belum puas dengan berdirinya
sejumlah negara boneka ingin mencaplok wilayah RI dengan melancarkan aksi
militer keduanya yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Aksi
ini dimulai pada tanggal 19 Desember 1948 ke jantung ibukota Republik Indonesia
di Jogjakarta. Aksi ini secara tersirat ingin menduduki semua wilayah republik
di seluruh Indonesia.
Korban
pertama dari serangan militer Belanda ke jantung ibukota RI di Jogjakarta
adalah penasehat hukum Presiden Sorkarno dan Wakil Presiden Mohamad Hatta
bernama Mr. Masdoelhak Nasution, Ph.D. Tentara Belanda menciduk Masdoelhak di
rumahnya di Kaliurang dan membawanya ke Pakem di sebuah ladang jagung.
Masdoelhak di rantai dengan penjagaan ketat dengan todongan senjata. Selama
menunggu, Masdoelhak hanya bisa berdoa dan makan apa adanya dari jagung
mentah.Akhirnya setelah beberapa waktu, beberapa tahanan berhasil dikumpulkan,
total berjumlah enam orang, lalu keenam orang ini dilepas di tengah ladang lalu
diburu, dor..dor..dor. Masdoelhak tewas ditempat. Seorang diantara mereka (Mr.
Santoso, Sekjen Kemendagri) terluka sempat berhasil melarikan diri, tetapi
ketika di dalam mobil dalam perjalanan ke Jogya dapat dicegat tentara Belanda lalu
disuruh berjongkok di tepi jalan dan kemudian ditembak dan tewas di tempat.
Mr.
Masdoelhak Nasution, Ph.D, lahir di Sibolga adalah doktor muda alumni
Universiteit Leiden dengan predikat Cum Laude. Masdoelhak lulus ujian doctoral di
bidang hukum sebagaimana dilaporkan Friesche courant, 27-03-1943 dan berhasil mempertahankan
desertasinya yang berjudul ‘De plaats van de vrouw in de Bataksche
Maatschappij’ (Tempat perempuan dalam masyarakat Batak). Masdoelhak berangkat dari
Batavia dengan menumpang kapal s.s. Prins der Nederland’ menuju Amsterdam
tanggal 4 Oktober 1930 dengan nama pada
manifest kapal, Masdoelhak Hamonangan
(lihat De Telegraaf, 01-10-1930).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar