*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Soetan Casajangan dan Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon mendirikan Studiefond di Belanda tahun 1911. Dalam satu pertemuan Indische Vereeniging tahun 1913, yang mana Soetan Cassajangan akan kembali ke tanah air, Soetan Casajangan berharap agar dana Studiefond lebih dialokasikan untuk pengiriman guru-guru pribumi studi ke Belanda. Namun itu ditentang oleh RM Noto Soeroto yang lebih menginginkan untuk bantuan siswa-siswa prubumi yang melanjutkan studi ke universitas di Belanda.
Lantas bagaimana sejarah upaya peningkatan pendidikan di Jawa? Seperti disebut di atas, perbedaan pendapat antara Soetan Casajangan dan RM Noto Soeroto soal alokasi dana yang terkumpul dalam Studifond, sesungguhnya persoalan yang terus berulang sejak 50 tahun sebelumnya. Lalu bagaimana sejarah upaya peningkatan pendidikan di Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia dan Upaya Peningkatan Pendidikan di Jawa: Medan Perdamaian dan Boedi Oetomo
Tidak ada satupun orang Tapanoeli (Angkola Mandailing) yang telah diterima di sekolah menengah (HBS), tetapi sebaliknya sudah cukup banyak siswa-siswa pribumi dan Cina di Jawa yang telah menyelesaikan pendidikan HBS 5 tahun. Hal ini karena HBS baru ada di Batavia, Soerabaja dan Semarang. Bahkan sudah beberapa pribumi lulusan HBS yang melanjutkan studi ke universitas di Belanda.
Sekolah menengah HBS hanya ada di (pulau) Jawa. Siswa yang diterima di HBS adalah lulusan sekolah dasar Eropa (ELS). Lama studi di HBS adalah lima tahun. Lulusan HBS dapat melanjutkan studi ke universitas (di Belanda). Lulusan ELS dari Tapanoeli, khususnya afdeeling Angkola Mandailing baru bisa diterima di sekolah kedokteran Docter Djawa School di Batavia, sekolah kedokteran hewan Veeartsenschool di Buitenzorg dan sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock. Persaingan di tiga HBS di Jawa sangat ketat karena kuota pribumi paling banyak lima siswa. Oleh karena itu dua siswa asal Angkola Mandailing tidak kehilangan akal. Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon setelah lulus ELS di Medan pada tahun 1910 berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi; lalu kemudian disusul Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia setelah lulus ELS di Sibolga tahun 1911 langsung berangkan ke Belanda untuk melanjutkan studi. Saat itu sudah ada satu lulusan Kweekschool Padang Sidempoean (Afd Angkola Mandailing) yang melanjutkan studi di Belanda, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan (tiba di Belanda tahun 1905). Soetan Casajangan di Belanda berinisiatif membentuk organisasi mahasiswa pribumi yang diberi nama Indische Vereeniging. Saat pertemuan pembentukan di kediaman Soetan Casajangan pada tanggal 25 Oktober 1908 hadir sebanyak 15 mahasiswa. Tiga minggu sebelumnya di Jogjakarta diadakan Kongres Boedi Oetomo yang pertama dimana ketua Boedi Oetomo pertama terpilih.
Dalam hubungan ini pendidikan bagi pribumi khususnya sekolah-sekolah rakyat kedodoran, Boedi Oetomo tertantang. Karena soal pendidikan pribumi inilah sesungguhnya awal dibentuknya Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908 di Batavia. Namun kepengurusan Boedi Oetomo periode pertama belum menunjukkan kemajuan, karena masih bersifat konsolidasi perluasan keanggotaan Boedi Oetomo. Pada kepengurusan periode kedua, pengurus menganggap soal pendidikan pribumi menjadi program prioritas.
Program prioritas bidang pendidikan tersebut adalah pada tahun 1912 mengirim siswa sekolah guru (kweekschool) di Jogjakarta, Sjamsi Sastra Widagda untuk melanjutkan pendidikan keguruan di Belanda. Prioritas kedua adalah penerbitan majalah Goeroe Desa. Dua program prioritas bidang pendidikan Boedi Oetomo uni adalah dalam rangkan peningkatan kualitas guru.
Pada bulan Agustus 1912 Boedi Oetomo mengadakan pertemuan (kongres) tahunan ke-4 yang diadakan di Djogjakarta di rumah Wahidin Soediro Hoesodo (lihat De expres, 29-08-1912). Para peserta dari 42 afdeeling Boedi Oetomo, hadir perwakilan dari 30 afdeeling. Dalam sidang hari pertama, dalam laporan tahunan ke-4 yang dibacakan sekretaris, pengurus menyimpulkan belum banyak kemajuan. Di sebutkan setahun terakhir bertambah 14 afdeeling yang kemudian secara keseluruhan jumlah anggota Boedi Oetomo menjadi 700 orang. Disebutkan afdeeling Bandoeng dan afdeeling Soerabaja jumlah anggota semakin berkuranng. Pencapaian program terkendala karena kekurangan dana yang terus menerus. Lalu pada sesi tanya jawab antara pengurus pusat dan para anggota terjadi debat yang panas.
Dari beberapa pertanyaan yang diajukan forum ada satu pertanyaan yang harus panjang lebar dijawab pengurus yakni pertanyaan ‘Apa yang telah Anda lakukan untuk BO?. Setelah pembelaan oleh pengursu pusat terhadap banyak serangan dari anggota, sekretaris menjawab bahwa calon guru Mas Samsi, dikirim ke Belanda, dididik di sebuah perguruan tinggi keguruan swasta di Den Haag. Disana, Mas Samsi dititipkan dalam asuhan Soetan Casajangan, yang membantu mengawasi kegiatan sehari-hari calon guru tersebut, yang kemungkinan akan lulus pada bulan Mei tahun berikutnya. Hasil yang baik telah diperoleh dengan diterbitkannya majalah pribumi Goeroe Desa. Cetakan dari majalah tersebut adalah 4.050 eksemplar dimana 1.850 dibiayai oleh rekening pemerintah. Secara umum, kegiatan yang telah dilakukan terdiri dari mempromosikan pendidikan dan saling mendukung. Sementara kepentingan perdagangan eceran juga diperhatikan, Beberapa afdeling juga melakukan kegiatan pertanian dan peternakan, sedangkan afdeeling Djokdja mendorong anggota untuk mengembangkan industri. Slogan yang selalu dijunjung tinggi oleh pengurus pusat adalah "pelan tapi pasti". Dalam tanya jawa perwakilan afdeeling Weltevreden (Batavia) banyak mengkritik ketua pengurus pusat. Juga disebutkan bahwa sebagian besar pelanggan majalah terlambat membayar langganan mereka. Banyak penutur berbahasa Belanda tidak suka membaca artikel berbahasa Melayu, sedangkan mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda tidak ingin artikel berbahasa Belanda di majalah. Dengan demikian minat terhadap majalah berangsur-angsur berkurang, sehingga banyak yang membatalkan berlanggana majalah tersebut.
Dalam sidang hari kedua terjadi sesuatu yang tidak terduga. Setelah hari pertama sekretaris pengurus pusat mengundurkan diri, pada sidang hari kedua ketua pengurus pusat tidak hadir tetapi menitipkan surat. Isi surat tersebut dibacakan berbunyi sebagai berikut: ‘Kepada Anggota Pengurus Pusat Boedi Oetomo. dengan ini saya sampaikan dengan hormat bahwa untuk keperluan mendesak saya, Saya telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari kursi kepresidenan Boedi Oetomo. Hormat kami, Raden Adipati Ario Tirtokoesoemo’. Keheningan terjadi, lalu kemudian sekretaris kedua, R Sosrosoegondo berbicara yang isinya tidak terduga karena memohon kepada pengurus pusat bahwa dirinya mengundurkan diri. Semua tercengang. Lalu Boediardjo (guru di kweekschool Djogja) yang menjadi pengelola majalah, bangkit dari kursinya dan berkata: ‘Karena mungkin tidak mungkin untuk tetap bersama R Adipati Aria Tirtokoesumo, saya menyarankan kita semua pengurus pusat untuk mengundurkan diri.
Kepengurusan berjalan sebenarnya baru berjalan setahun. Masih tersisa dua tahun lagi untuk pemilihan pengurus baru. Karena situasinya terjadi kekosongan, lalu mosi diadopsi untuk melakukan pemilihan ketua pengurus. Ada beberapa kandidat: 1. Pangeran Ario Notodirodjo, 2 Gaidin, 3 R Atmodirono, dan 4 Kepala Jaksa di Magelang. Dalam pemilihan terpilih sebagai suara terbanyak adalah Pangeran Notodirodjo. Lalu kandidat diajukan untuk anggota pengurus lainnya, yakni: Wahidin Soedirohoesodo; Gondoatmodjo, Sastrowidjono, Ardiwinata, Boediardjo, Atmodirono, Soesatio, dan Soemarsono.
Dari informasi di atas, tampaknya Boedi Oetomo masih dalam tahap pertumbuhan (konsolidasi) bahkan hingga ke periode kepengurusan kedua ini, tetapi para (perwakilan) afdeeling tidak mau bersabar seperti motto pengurus lama. Namun satu hal yang dapat dianggap prnting adalah bahwa ada indikasi buruk pada pendidikan pribumi yang kemudian dijadikan pengurus menjadi program prioritas. Dam ketika pengurus pusat diserang dengan berbagai pertanyaan, jawaban yang diandalkan oleh pengurus pusat adalah pengiriman guru ke Belanda dan penerbitan majalah Goeroe Desa. Dalam hal ini harus diartikan bahwa pengurus pusat menganggap perlu peningkatan kulitas pendidikan pribumi dengan langkap awal peningkatan kualitas guru. Upaya peningkatan kualitas pendidikan melalui upaya peningkatan kualitas guru haruslah selalu diupayakan secara berkesinambungan. Namun jika di dalam organisasi program itu menjadi prioritas dibanding yang lainnya, berarti adalah masalah pendidikan yang krusial yang diperhatikan para pengurus Boedi Oetomo.
Masalah peningkatan kualitas pendidikan bagi pribumi sudah muncul sejak setengah abad yang lampau. Hal itu dirasakan oleh seorang lulusan sekolah dasar di Angkola Mandailing dimana Sati Nasution alias Willem Iskander melanjutkan studi ke Belanda pada tahun 1857 untuk ,mendapatkan akta guru. Upaya Willem Iskander ini menyebabkan didirrikannya sekolah guru di Angkola Mandailing oleh Willem Iskander pada tahun 1862. Pada tahun 1865 Inspektur Pendidikan CA van der Chijs mengumumkan ke pubalik bahwa sekolah guru di Mandailing yang diasuh Willem Iskander yang terbaik (dibandingkan dua yang lainnya di Soeracarta yang didirikan tahun 1851 dan Fort de Kock yang didirikan tahun 1857). Pengunuman Chijs ini menjadi heboh di Jawa dan mulai terungkap bagaimana situasi dan konsisi terkeni pendidikn pribumi di Jawa. Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander, kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi, matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas dengan kinerja sekolah ini’. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang mengutip dari surat kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat menyentuh: ‘Mari kita mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai Barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik). Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar terjadi, tandas Chijs’. Arnhemsche courant, 13-11-1869: ‘…Hanya ada 7.000 siswa dari jumlah populasi pribumi yang banyaknya 15 juta jiwa di Jawa. Anggaran yang dialokasikan untuk itu kurang dari tiga ton emas. Hal ini sangat kontras alokasi yang digunakan sebanyak 6 ton emas hanya dikhususkan untuk pendidikan 28.000 orang Eropa… lalu stadblad diamandemen untuk mengadopsi perubahan yang dimenangkan oleh 38 melawan 26 orang yang tidak setuju’.Algemeen Handelsblad, 26-11-1869: ‘…kondisi pendidikan pribumi di Java adalah rasa malu untuk bangsa kita (Belanda). Dua atau tiga abad mengisap bangsa ini, berjuta-juta sumber daya penghasilan telah ditransfer ke ibu pertiwi (Kerajan Belanda), tapi hampir tidak ada hubungannya untuk peradaban pribumi di sini (Hindia Belanda)…’.
Sukses pendidikan pribumi di afdeeling Angkola Mandaili (Residentie Tapanoeli) menyebabkan pemerintah ingin meniru yang telah terjadi di Angkola Mandailing dengan mengaplikasikanya secara khusus di Jawa. Lalu pemerintah meminta Willem Iskander untuk membimbing tiga guru muda yang kesemuanya dibiayai pemerintah untuk studi ke Belanda. Ketiga guru muda yang dibawa Willem Iskander tersebut adalah Raden Soerono dari Soeracarta dan Raden Adhi Sasmita dari Bandoeng plus Barnas Lubis dari Angkola Mandailinfg sendiri. Mereka berangkat ke Belanda pada bulan Mei tahun 1874. Sekolah guru asuhan Willem Iskander lalu ditutup dan akan dibuka tahun 1879 sekolah guru yang lebih besat di Padang Sidempoean dimana Willem Iskander diproyeksikan sebagai direktur (sepulang dari Belanda).
Pada tahun 1900 di Padang, Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda mendirikan organisasi kebangsaan yang diberi nama Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda menjadi ketuanya. Pada tahun 1902 Medan Perdamaian memberikan bantuan sebesar f14.000 untuk peningkatan pendidikan di Semarang. Ini mengindikasikan bahwa di pantai barat Sumatra masalah kualitas pendidikan pribumi sudah tidak bermasalah relatif dengan permasalahan pendidikan di Jawa khususnya di Jawa Tengah (ibu kota Semarang). Dja Endar Moeda adalah kakak kelas Soetan Casajangan di Kweekschool Padang Sidempoean. Setelah 10 tahun kemudian, seperti disebut di atas, pengurus pusat Boedi Oetomo menganggap kualitas pendidikan pribumi masih bermasalah.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Soetan Casajangan dan Upaya Peningkatan Pendidikan di Jawa: Tirtokoesomo vs Notosoeroto
Soetan Casajangan, guru di Padang Sidempoean tidak puas dengan apa yang diraihnya sebagau beberapa tahun, dan juga melihat pendidikan pribumi masih jauh dari yang diharapkan. Soetan Casajangan pada tahun 1905 berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi keguruan. Boleh jadi Soetan Casajangan teringat bagiama 50 tahun yang lampu berangkat ke Belanda untuk mendapat akta guru. Soetan Casajangan adalah satu-satunya mahasiswa pribumi yang mengambil bidang keguruan.
Namun guru tetaplah guru. Di Belanda, Soetan Casajangan studi keguruan. Pada akhir tahun 1905 Soetan Casajangan menulis artikel di majalah Bintang Hindia yang isinya ajakan untuk siswa-siswa pribumi di tanah air belajar ke Belanda. Soetan Casajangan menginformasikan tip selama persiapa, selama pelayaran dan selama di Belanda serta perguruan tinggi yang dapat dimasuki di Belanda. Lalu setelah jumlah mahsiswa cukup banyak, pada tahun 1908 Soetan Casajangan berinisiatif mendirikan organisasi mahasiswa yang diberi nama Indische Vereeniging. Tentu saja tidak ada hubungannya dengan didirikannnya Boedi Oetomo pada bulan Mei 1908. Soetan Casajanga, boleh jadi, melihat dengan adanya organisasi, persatuan akan memperkuat satu sama lain di Belanda, yang jauh dari tanah air, jauh dari orang tua dan keluarga.
Pada tahun 1909 Soetan Casajangan lulus ujian akta guru LO. Lalu kemudian meneruskan studi ke jenjang yang lebih tinggi dan lulus ujian mendapat akta guru MO pada tahun 1911. Selesai sudah apa yang dicita-citakan dari kampong di Padang Sidempoean. Soetan Casajangan tidak segera pulang ke tanah air karena ada tawaran untuk mengajar bahasa Melayu di sekolah Handelschool di Amsterdam. Pada saat inilah seorang siswa sekolah guru Kweekschool di Djogjakarta yang menemui Soetan Casajangan untuk menjadi pembimbingnya, Siswa tersebut adalah Sjamsi Sastra Widagda.
Sebelum kedatangan Sjamsi Sastra Widagda, Soetan Casajangan dan Maangaradja Soangkoepon mendirikan Studiefond di Belanda. Tujuannya menggalang dana (fundraising) untuk membanti siswa yang kesulitan keuangan yang ingin melanjutkan studi ke Belanda dan juga mahasiswa pribumi di Belanda yang bermasalahan dalam soal keuangan. Studiefond in terbilang berhasil karena banyak pihak yang memberi kontribusi.
Di satu sisi Soetan Casajangan telah berhasil membentuk studiefon di Belanda, di sisi lain kedatangan Sjamsi Widagda ke Belanda untuk melanjutkan studi dibiayai oleh Boedi Oetomo. Para pengurus Boedi Oetomo ingin terjadi peningkatan kualitas guru pribumi di Jawa. Dalam semua segi, para penguruan Boedi Oetomo menitipkan Sjamsi Widagda kepada Soetan Casajangan sungguh sangat tepat. Terbukti bahwa Sjamsi Widagda lulus ujian akta guru LO pada bulan Mei tahun 1913. Sjamsi Widagda tidak segera kembali ke tanah air tetapi melanjutkan studi untuk mendapatkan akta guru MO (seperti yang telah diraih Soetan Casajangan. Lalu sebaliknya, Soetan Casajangan harus segera ke tanah air karena telah turun beslit Menteri Koloni yang menyatakan Soetan Casajangan diangkat sebagai direktur sekolah guru Kweekschol Fort de Kock. Soetan Casajangan berangkat ke tanah air pada bulan Julio 1913.
Pada waktu detik-detik kepulangan Soetan Casajangan diadakan pertemuan Indische Vereeniging. Pada saat inilah Soetan Casajangan menitipkan Studiefond yang telah dibentuknya dititipkan ke Indische Vereeniging. Satu permintaan Soetan Casajangan, karena dia berhak sebab dia yang mendirikan, agar alokasi dana dalam studiefond intu proporsinya lebih banyak untuk siswa yang mengambil keguruan dibandingkan siswa lainnya. Tentu saja itu sangat mulia, tentu saja itu bukan karena Soetan Casajangan seorang guru yang telah berhasil melanjutukan studi keguruan di Belanda, tetapi faktanya pendidikan pribumi masih sangat rendah kualitasnya di tanah air. Namun tiba-tiba Notosoeroto tidak setuju. Lalu timbnl perdebatan diantara keduanya. Namun tidak terinformasikan hasil dari perdebatan itu. Yang jelas RM Notosoero anak dari Pangeran Ario Notodirodjo, ketua Boedi Oetomo yang menggantikan ketua Raden Adipati Ario Tirtokoesoemo, orang yang sangat sadar mengirim calon guru Sjamsi Widagda untuk melanjutkan studi keguruan di Belanda. Lalu apakah serba kebetulan relasi antara Tirtokoesoemo dan Sjamsi Widagda di satu sisi dan antara Notodirojo dan Notokoesoemo di sisi lain? Tampaknya apa yang dipikirkan oleh Soetan Casajangan telah dikacaukan oleh adanya faksi yang berbeda di dalam Boedi Oetomo.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar