*Untuk melihat semua artikel Sejarah Malang dalam blog ini Klik Disini
Wilayah Malang adalah wilayah dataran tinggi
dan wilayah pegunungan. Di seputar kota Malang dengan jelas terlihat
puncak-puncak gunung Kawi, Arjuno, Bromo dan gunung Semeru. Namun dalam sejarah
peradaban di kawasan sejatinya memiliki dua ‘pintu gerbang’ yakni Pegunungan
Penanggungan di sebelah utara dan Pegunungan Selatan di sebelah selatan. Artikel
ini membicarakan Pegunungan Penanggungan dimana puncaknya disebut gunung
Penanggungan.
Gunung Penanggungan (Pawitra) (1.653 m dpl) gunung berapi kerucut kondisi istirahat. Posisinya berada di perbatasan kabupaten Mojokerto (sisi barat) dan kabupaten Pasuruan (sisi timur). Gunung Penanggungan gunung kecil satu kluster dengan gunung Arjuno dan Welirang. Memiliki kesejarahan, di sekujur permukaannya, dari kaki sampai puncak, dipenuhi banyak situs kepurbakalaan dari periode Hindu-Buddha. Gunung Penanggungan dipandang gunung keramat, suci, dan jelmaan Mahameru, gunungnya para dewa. Dalam kitab Tantu Panggelaran 1635 M, dinyatakan para dewa sepakat untuk menyetujui bahwa manusia dapat berkembang di Pulau Jawa, namun pulau itu tidak stabil, selalu berguncang diterpa ombak lautan. Untuk menstabilkan, para dewa memindahkan gunung Mahameru dari Jambhudwipa ke Jawadwipa. Dalam perjalanan kepindahan tersebut, sebagian Mahameru ada yang rontok berjatuhan, menjelmalah gunung-gemunung yang ada di Pulau Jawa dari barat ke timur, bagian terbesarnya jatuh menjadi gunung Semeru, puncak Mahameru dihempaskan oleh para dewa menjadi Pawitra yang sekarang disebut Gunung Penanggungan. Karena itu, Pawitra menjadi gunung keramat dalam pemikiran Jawa masa Hindu-Buddha, karena puncak Mahameru yang dipindahkan ke Jawa. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah pegunungan Penanggungan di pantai dan gunung Brama, Bromo di pedalaman? Seperti disebut di atas, gunung Penangungan adalah salah satu gate menuju pegunungan di pedalaman di wilayah Malang. Sebagaimana diketahui tempo doeloe terdapat Kerajaan Singhasari. Lalu bagaimana sejarah pegunungan Penanggungan di pantai dan gunung Brama, Bromo di pedalaman? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pegunungan Penanggungan di Pantai dan Gunung Brama, Bromo di Pedalaman; Kerajaan Singhasari
Gunung Penanggungan mungkin kurang mendapat perhatian pada masa kini. Namun boleh jadi pada zaman kuno, gunung Penanggungan begitu penting. Mengapa? Di situs gunung inilah awal peradaban di pantai timur Jawa bermula. Pada masa ini gunung Penanggungan hanya dikenal sebagai penanda batas wilayah semata. Fakta bahwa pada zaman kuno di sebelah timur adalah wilayah pantai (kerajaan) Singhasari, di sebelah barat di daerah aliran sungai Kediri wilayah dimana kemudian terbentuk Kerajaan Majapahit.
Puncak gunung Penanggungan memang tidak tinggi, tetapi cukup tinggi dilihat dari laut. Gunung Penanggungan di zaman kuno diduga lebih penting dari gunung Arjuna dan gunung Kawi (antara dua gunung ini terdapat gunung Welirang). Nama Penanggungan sendiri tidak asli (tidak unik). Nama gunung Penanggungan hanya di pantai timur Jawa, nama gunung di pantai barat Jawa di selat Sunda di pulau Krakatau adalah gunung Perboewatan. Lantas apakah ada hubungannya? Tentulah ada, wong kedua nama gunung ini sama-sama mudah dilihat dari pantai (sisi laut). Gunung Penanggungan (disebut nama lamanya gunung Pawitra) di pantai timur Jawa puncaknya 1.653 M dpl. Seperti di pantai barat, gunung Penanggungan di pantai timur Jawa juga adalah gunung berapi (dalam bentuk kerucut).
Pada zaman kuno, area sekitar gunung Penanggungan terdapat banyak situs-situs kuno. Gunung Penanggungan pada zaman kuno memiliki arti penting seperti gunung Sindoro (Jawa Tengah), gunung Pangrango (Soenda), gunung Pulosari (Banten) dan gunung Malea (Tapanuli Selatan). Nama Penanggungan mirip dengan nama gunung Tanggung di Tulungagung, nama distrik di Kediri dan di Semarang serta di Bogor (Naggung), Juga nama tempat Tanggung di Turen, Malang. Namun apakah secara linguistik ada kaitan nama Penanggungan dengan Tanggung atau Nanggung tidak diketahui secara jelas.
Jika nama tempat Tanggung atau yang mirip dengannya ditemukan di berbagai tempat, bahkan saling berjauhan, sebenarnya apa yang terjadi, besar dugaan di masa lampau, yang secara spesifik patut ditanyatakan: apa arti ‘tanggung’ dalam hal ini. Tentu saja tidak ada kaitannya dengan kata ‘tanggung’ (KBBI: beres, lebih daripada sedang). Yang jelas dalam sejarah masa lalu, ‘tanggung’ hanyalah sekadar menjadi nama tempat. Apakah hanya itu? Biasanya nama tempat ada artinya dan jika tidak ada artinya itu berarti hanya nama tempat saja (yang artinya telah hilang di masa lampau). Tampakanya nama Tanggung atau yang mirip dengannya seperti Penanggungan adalah nama local (terbatas di pulau Jawa).
Nama Tanggung, Naggung dan yang mirip diduga kuat adalah nama zaman kuno yang berasal dari era Hindoe Boedha. Secara epistemology, berdasarkan toponimi, nama tampat Tanggung atau Nanggung bersumber dari sebutan masyrakat untuk menunjukkan posisi/tempat tertentu. Sebagai contoh nama gunung Arjuna tentu saja dikaitkan dengan nama tokoh pewayangan pada masa ini. Contoh lain nama gunung Bromo diduga berasal dari Brama atah Brahma.
Nama gunung Penanggungan mulai menjadi perhatian baru pada tahun 1935 ketika puncak gunungnya terbakar. Orang mulai menghubungkan puncak gunung Penanggungan dengan gunung Mahameru di India (lihat De locomotief, 19-04-1937). Gunung Mahameru ini menjadi nama gunung Smeru atau Semeru di Jawa, di sebelah selatan gunung Bromo. Lantas apakah nama gunung Penanggungan terkait dengan puncak atau punggung gunung yang kerap terbakar? Itu satu soal? Yang jelas penampilan gunung dan nama gunung Penanggungan diduga sudah dikenal sejak zaman kuno karena kedekatannya dengan luat (pantai/pesisir). Puncaknya yang hanya 1.653 M dpl mungkin dianggap tidak penting, orang hanya lebih tertarik dengan gunung-gunung yang tinggi seperti gunung Arjuna (3.339 M), gunung Welirang (3.156 M), gunung Kawi (2.551 M), gunung Raung (3.344 M) atau gunung-gunung berapi seperti gunung Kelud (1.731 M) dan gunung Argopura (2.032 M). Daam hal ini gunung Penanggungan tidak tinggi dan juga tidak berapi, karena itu kurang dikenal. Hanya faktor kebakaran di bagian puncak yang menyebabkan nama gunung ini mulai dikenal. Boleh jadi karena gunung Penanggungan tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah serta tidak berapi menjadi suatu ukuran di zaman kuno untuk dipilih sebagai suatu tempat yang penting. Tempat yang penting ini boleh jadi dikaitkan dengan religi. Di Sumatra Utara terdapat beberapa gunung tinggi dan gunung berapi. Namun ada dua gunung di wilayah Tapanuli Selatan tidak terlalu tinggi tetapi juga tidak berapi yakni gunung Loeboe Raja di Angkola (1.862 M) dan gunung Malea di Padang Lawas (2.199 M). Dari namanya adalah nama kuno Loeboe Raja (kini Lubuk Raya) dan Melea (kini tetap Melea yang diduga merujuk pada nama gunung Himalaya). Diantara dua gunung ini terdapat candi zaman kuno, yang lebih tua dari candi Borobudur yang kini disebut candi Simangambat. Seperti halnya gunung Penanggungan di pantai timur Jawa, dua gunung di Tapanoeli ini yang dekat dengan candi juga diduga memiliki sisa peninggalan zaman kuno. Di dekat gunung Penanggungan terdapat candi-candi kuno.
Sebagai gunung yang paling dekat ke pantai (laut) diduga kuat menjadi sangat penting di zaman kuno sebagai pusat religi, bahkan jauh sebelum terbentuknya kerajaan Singhasari. Sebagaimana diketahui bahwa ibu kota kerajaan Majapahit (suksesi kerajaan Singhasari) berada di suatu teluk yang kini dikenal sebagai situs Trowulan (Mojokerto), maka garis pantai dari arah utara melalui wilayah Mojokerto terus ke selatan di sisi terluar gunung Penanggungan terus ke arah belakang pantai Pasuruan (district Bangil) dimana kini terdapat situs kuno candi gunung Gangsir (candi terdekat ke pantai).
Secara geomorfologis bahwa wilayah pantai zaman kuno telah bergeser ke arah laut di timur gunung Penanggungan. Hal ini dapat diperhatikan dengan penemuan sumur minyak di district Bangil yang ditemukan pada tahun 1899 (lihat De Telegraaf, 30-09-1899). Minyak sebagai bahan fosil yang berasal dari sampah vegetasi di zaman kuno telah tertimbun di dasar laut yang kemudian di atasnya terbentuk sedimentasi jangka panjang hingga terbentuknya daratan. Dalam hal ini garis pantai timur Jawa yang sekarang tempo doeloe haruslah dilihat pada masa kini jauh berada di pedalaman. Bukti-bukti ini juga kurang lebih sama dengan garis pantai utara di daerah aliran sungai Bengawan Solo yang awalnya di hilir Ngawi (Tjepoe/Blora) kemudian bergeser secara berahap sehubungan dengan proses sedimentasi jangka panjang hingga ke Bojonegoro, Lamongan dan kini Gresik.Tentulah hal serupa garis pantai yang mengikuti daerah aliran sungai Kediri/Brantas muaranya telah bergeser dari Mojokerto menjadi di Sidoarjo dan di Bangil.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kerajaan Singhasari: Kerajaan Kuno di Area Tertinggi Dataran Tinggi Wilayah Malang
Pegunungan Penaggungan (dengan puncaknya gunung Penanggungan) dari sudut pandang masa kini menjadi batas (wilayah) Singhasari dan Majapahit. Akan tetapi di masa lampau, gunung Penanggungan lebih dekat ke Bangil daripada ke Modjokerto. Pusat kerajaan Singosari berada di Singosari, sementara ibu kota kerajaan Majapahit di Mojokerto. Lalu bagaimana dengan Bangil? Besar dugaan Bangil dan Pasoeroean adalah pelabuhan dari kerajaan Singosari. Dengan demikian, gunung Penanggungan awalnya dilihat dari Singosari.
Kerajaan Singosari adalah kerajaan maritime. Seperti kita lihat nanti,
kerajaan Singasari suatu kerajaan di pantai timur Jawa memiliki relasi yang
kuat dengan kerajaan Panai di pantai timur Sumatra. Pertanyaannya? Apakah
kerajaan Singhasari berasal dari pedalaman (Kediri/Blitar) atau berasal dari
pantai (Bangil/Pasoeroean)? Secara topografi, letak ibu kota kerajaan Singasari
tepat berada di area tertinggi di dataran tinggi Malang (posisi dimana kini
candi Singosari ditemukan). Dari area ini menurun ke arah utara di pantai
(Bangil) dan juga menurun ke arah selatan ke sungai Brantas (Malang). Namun
karena kerajaan Singosari adalah kerajaan maritim, haruslah dia lahir dari
wilayah pesisir (yang berbeda dengan kerajaan-kerajaan pedalaman seperti Kediri
dan Medang/Mataram). Pertanyaan yang sama seperti kita lihat nanti kerajaan
Majapahit adalah kerajaan maritime/yang tentu saja berasal dari pesisir).
Secara geomorfologis Bangil dan Pasoeroean adalah pintu masuk ke ibu kota kerajaan Singosari di Singosari. Oleh karena Bangil sebagai pelabuhan Singosari, maka gunung Penanggungan adalah penanda navigasi dari lalu lintas navigasi pelayaran di laut. Dalam konteks inilah nama (gunung) Penanggungan menjadi penting di masa lampau.
Tanggung atau Nanggung
adalah nama tempat yang generik terdapat di berbagai wilayah. Namun nama
(tempat) Pananggungan adalah nama yang unik. Disebut satu-satunya karena hanya
terdapat di sekitar gunung Penanggungan seperti district Penanggungan di afd
Malang Res Pasoeroean (dimana desa Batoe termasuk di dalamnya) dan district Penanggungan
Res Besoeki. Pada masa ini ada nama desa Penanggungan di wilayah Mojokerto dan
juga ada nama kelurahan di Kota Malang dan ada juga di Gempol, Pasuruan. Pada
masa lalu Pananggungan adalah nama distrik di afdeeling Malang.
Lantas apa artinya Penanggungan? Harus diingat bahwa kata pananggungan dalam bahasa Batak dan dalam bahasa Melayu yang artinya beban yang harus dirasakan. Di dalam bahasa Jawa ada kaitan antara kata ‘tanggung’ dengan kata ‘penanggungan’ (lihat kamus bahasa Jawa-Belanda, 1906). Dalam kamus bahasa Jawa-Belanda tanggoeng, kurang, setengah, kurang; tanggoeng, menjamin; jamin; tanggoeng, jamak; juga menghalangi, menghalangi; ke--an, terlalu pendek, tidak cukup, tetapi setengah membantu atau menyelesaikan; kekurangan, cacat; tanggoeng, untuk menjamin, untuk menjadi penjamin, untuk tetap menjadi penjamin; --an, juga jaminan; pananggoengan, jaminan. Lantas apakah dalam hal arti penanggungan adalah jaminan. Namun begitu nama gunung Penanggungan tetap menjadi pertanyaan. Jika itu hanya sekadar nama tempat, maka tidak perlu dilacak lagi, hanya dianggap sebagai nama tempat semata. Hanya saja yang perlu ditanyakan sejak kapan mulai eksis. Jika arti penanggungan dalam bahasa Jawa jaminan, sebenarnya kurang lebih artinya dengan bahasa Batak dan bahasa Melayu.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar