Pada masa awal kolonial di wilayah Cinere (Ci Kanyere) terdapat satu hamparan lahan milik Isaac de I’ Ostale de Saint Martin (lahir di Oleron, Bearn, Prancis tahun 1629) yang bekerja untuk VOC. Pada era kemerdekaan Cinere bahkan tidak pernah dibicarakan, karena pada waktu itu, Cinere hanyalah kumpulan beberapa dusun yang didiami oleh orang Betawi yang di sana sini masih terdapat hutan karet, lahan persawahan dan rawa-rawa. Namun pada masa kini, adakalanya Cinere justru lebih populer dibanding Depok atau Cimanggis. Apa yang menyebabkan Cinere menjadi begitu populer khususnya bagi warga Jakarta?
Sebelum
tahun 1999, Desa Cinere masuk wilayah Kabupaten Bogor. Sementara Kota Adimistratif (Kotif)
Depok yang dibentuk tahun 1981 hanya terdiri dari tiga kecamatan, yaitu:
Pancoran Mas, Beji dan Sukmajaya. Dalam perkembangannya, status Kotif Depok pada
tahun 1999 ditingkatkan menjadi Kota Depok dengan menambah tiga kecamatan yang
sebelumnya masuk wilayah Kabupaten Bogor, yakni: Kecamatan Cimanggis, Kecamatan
Sawangan dan Kecamatan Limo. Nama Desa Cinere merupakan salah satu dari delapan
desa yang berada di Kecamatan Limo. Namun demikian, pada waktu itu nama Cinere jauh
lebih dikenal daripada Limo sebagai nama kecamatan.
Secara
georafis, sesungguhnya wilayah Cinere di Kecamatan Limo, Kota Depok secara sosial
budaya berada di wilayah geografis Jakarta. Dengan kata lain, wilayah Cinere ini tampak
menjorok masuk ke dalam wilayah Jakarta. Dari sisi pandang Kota Depok sekarang,
wilayah Cinere berada persis di ‘Kepala Garuda’ Kota Depok. Oleh karena itu, warga
Jakarta sering keliru menganggap Cinere adalah bagian dari Jakarta, demikian
juga warga Depok keliru menganggap Cinere masuk Jakarta. Padahal, kenyataannya
wilayah Cinere masuk wilayah Kecamatan Limo yang merupakan bagian wilayah Kota
Depok. Pada tahun 2007, Kecamatan Cinere terbentuk (pemekaran dari Kecamatan
Limo) yang melengkapi 11 kecamatan di Kota Depok. Kecamatan Limo terdiri dari
empat kelurahan, yaitu: Cinere, Gandul, Pangkalan Jati Lama dan Pangkalan Jati
Baru. Empat kelurahan inilah yang secara ‘defacto’ berada di wilayah sosial DKI Jakarta,
tetapi secara ‘dejure’ merupakan wilayah administratif Kota Depok.
***
Pada awal pembangunan, nama Depok dan nama Cinere mulai dikenal
masyarakat luas hampir bersamaan. Pada tahun 1979 di wilayah Cinere sebuah pengembang swasta yang
menguasai lahan yang kini luasnya telah mencapai 300 Ha mulai membangun
perumahan. Sementara di Depok pada tahun 1976 Perum Perumnas (milik pemerintah)
sudah memulai pembangunan perumnas pertama di Indonesia. Di perumnas Depok rumah-rumah yang dibangun ditujukan untuk kalangan masyarakat menengah ke bawah, sementara di
kavling pemukiman Cinere, rumah-rumah yang dibangun justru untuk 'pasar' dari kelompok masyarakat menengah ke atas. Dua
wilayah pemukiman ini umumnya dihuni oleh ex penduduk Jakarta. Namun karena,
rumah-rumah yang dibangun di wilayah Cinere lebih berkualitas dan lebih mewah maka dengan sendirinya
warga Jakarta lebih memfavoritkan Cinere sebagai daerah hunian dibanding Depok. Dari sisi inilah
popularitas Cinere terkesan lebih tinggi dibandingkan Depok kala itu. Seiring dengan perubahan waktu, dua wilayah awal perumahan
ini terus membentuk jatidirinya masing-masing. Wilayah perumahan Depok kemudian
diunggulkan ketika akses ke Depok lebih baik dibandingkan wilayah Cinere.
Lebih-lebih dengan kehadiran Universitas Indonesia di Kota Depok, maka popularitas wilayah
perumahan Depok semakin melejit dibandingkan dengan Cinere. Namun demikian,
popularitas wilayah pemukiman Cinere yang sempat memudar mulai bersinar kembali
seiring dengan adanya rencana akses tol dari dua arah menuju Cinere: dari arah
Antasari (tol Desari) dan dari arah tol Jagorawi (Cijago).
Kepada bapak walikota Depok DR Ir Nurmahmudi Ismail , Bapak Kepala Dinas Pertamanan dan Kebersihan Kota Depok Mulyo Handono, Bapak Camat Tapos Depok Drs Taufan Abdul Fattah MH, adalah sangat layak bila kita memuliakan pahlawan apalagi pahlawan wanita yang ada di wilayah Tapos Depok sebagaimana makam Ambo Mayangsari di kompleks pemakaman umum kelurahan Cimpaeun, wanita guru spiritual Untung Suropati ini pejuang sejati, pernah dibuang ke Ceilon bersama suaminya Pangeran Purbaya putra Sultan Ageng Tirtayasa Banten, wanita keturunan Ki Jepra yang bersemayam di Kebun raya Bogor ini pemegang kunci harta karun kerajaan Banten, setidaknya ijinkan kami untuk menanam pohon penghijauan disekitar wilayah makam, agar hijau pemandangannya agar sehat sehat lingkungannya, sekaligus memelihara semangat perjuangan Ambo Mayangsari , pejuang Banten 1682 yang tewas diujung peluru Letnan VOC Kueffler. http://kecamatantapos.blogspot.com/2013/01/menghijaukan-makam-leluhur-tapos-ambo.html
BalasHapussepertinya menarik catatan sejarah ambo mayangsari, dimana saya bisa temukan catatan mengenai sejarah dan ceritanya Pak, terimakasih
Hapus