*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disin
VEEARTSEN SCHOOL. Sekolah kedokteran hewan bermula di Buitenzorg (baca: Bogor). Ini dipicu karena kurangnya dokter hewan lulusan Belanda yang bekerja di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia). Untuk membantu dokter-dokter Belanda diperlukan dokter-dokter pribumi dengan melatih sejumlah siswa dalam bentuk kursus (magang) tiga tahun. Dalam perkembangannya, untuk menghasilkan dokter hewan pribumi secara berkesinambungan lalu di Buitenzorg didirikan Sekolah Kedokteran Hewan (Inlandsche Veeartsen School). Tahun pertama perkuliahan sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg dibuka tahun 1907 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1928).
VEEARTSEN SCHOOL. Sekolah kedokteran hewan bermula di Buitenzorg (baca: Bogor). Ini dipicu karena kurangnya dokter hewan lulusan Belanda yang bekerja di Nederlandsch Indie (baca: Indonesia). Untuk membantu dokter-dokter Belanda diperlukan dokter-dokter pribumi dengan melatih sejumlah siswa dalam bentuk kursus (magang) tiga tahun. Dalam perkembangannya, untuk menghasilkan dokter hewan pribumi secara berkesinambungan lalu di Buitenzorg didirikan Sekolah Kedokteran Hewan (Inlandsche Veeartsen School). Tahun pertama perkuliahan sekolah kedokteran hewan di Buitenzorg dibuka tahun 1907 (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 30-06-1928).
Nederlands-Indische veeartsenschool, Buitenzorg (1930) |
Pada
tahun 1908 surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-09-1908
memberitakan Inlandsche Veeartsen School di Buitenzorg kenaikan kelas
(promosi), siswa dari tahun pertama ke tahun kedua. Dari lima siswa dari tahun
pertama ke tahun kedua lulus empat siswa yakni: Raden Notosoediro, Raden Mas Nataningrat,
Sorip Tagor dan Raden Soetedja (Raden Moehamad Isak Winala Prawira dinyatakan
tidak lulus). Juga dalam berita ini disebutkan dua siswa dari tahun kedua naik ke
tahun ketiga (hanya dua siswa), yakni Raden Mas Ario Moebamad dan JA Kaligis.
Raden Mas Ario Moebamad dan JA Kaligis pada tahun
1907 Landbouwschool yang baru naik dari tahun pertama ke tahun kedua
(tampaknya) ditransfer (langsung) ke tingkat dua Inlandsche Veeartsen School
yang baru dibuka. Hanya mereka berdua yang ditransfer dari 13 siswa Landbouwschool
yang naik dari tahun pertama ke tahun kedua. Ini mengindikasikan bahwa Raden
Mas Ario Moebamad dan JA Kaligis memenuhi syarat untuk langsung ke tingkat dua Inlandsche
Veeartsen School. Boleh jadi skema ini diterapkan Inlandsche Veeartsen School
lebih cepat menghasilkan lulusan untuk memenuhi kebutuhan dokter hewan yang
mendesak. Sejak itu, skema ini tidak pernah diterapkan dan skema yang ada
bersifat normal (dimulai dari tahun pertama).
Landbouwschool
semacam sekolah menengah pertama (SMP) pada masa ini. Siswa yang diterima di Landbouwschool
adalah tamatan sekolah dasar (HIS). Landbouwschool memiliki dua program (level
pendidikan). Program (diploma) dua tahun diduga setara MULO (setingkat SMP) dan
program diploma tiga tahun setara HBS (setingkat SMA). Besar dugaan Raden Mas
Ario Moebamad dan JA Kaligis mendapat akselerasi, ketika mereka naik ke kelas
dua Landbouwschool (MULO) disetarakan (akselerasi) dengan tingkat dua Veeartsen
School (HBS). Veeartsen School sendiri dianggap sebagai perguruan tinggi. Program
Veeartsen School mengikuti dua tahap. Pada tahap pertama yakni dua tahun
pertama sebagai kelas persiapan (setingkat SMA) dan dua tahun berikutnya kelas
spesialis (setingkat akademi).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-09-1909:
‘Inlandsche Veeartsen School. Hasil ujian transisional dari tahun ke-3 hingga
ke-4 studi adalah sebagai berikut: Lulus satu-satunya siswa: J. A. Kaligis. Idem
dari 2 ke 3 tahun: Dari 4 siswa 2 siswa siswa lulus Notosoediro dan Raden Mas
Nataningrat. Dua sisa siswa Sorip Tagor dan Raden Soetedja, karena sakit, ujian
kepada mereka akan dilakukan setelah libur poeasa. Idem dari 1 ke tahun 2: Dari
4 siswa 3 siswa lulus, Raden Soedarmo, FK Waworoentoe dan Lowij. Lulusan
pertama Inlandsche Veeartsen School tahun 1910. Pada bulan Oktober sebagaimana
diberitakan surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 31-10-1910
JA Kaligis dinyatakan lulus ujian akhir. Tidak diketahui apakah Raden Mas Ario
Moehamad lulus atau harus mengulang (tinggal kelas). Dengan demikian lulusan
pertama diploma dokter hewan Inlandsche Veeartsen School adalah JA Kaligis.
Mahasiswa Veeartsen School Buitenzorg1907-1912
|
JA Kaligis kemudian ditugaskan sebagai dokter
hewan di Residentie Pasoeroean (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
10-03-1911). JA Kaligis sebelumnya telah diangkat sebagai asisten pengajar di Veeartsen
School (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 01-11-1910). Sorip
Tagor menggantikan JA Kaligis sebagai asisten pengajar di Veeartsen School. JA
Kaligis kemudian dipindahkan ke Manado (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-08-1912).
Pada tahun 1913, Sorip Tagor diangkat lagi
sebagai asisten dosen di Sekolah Dokter Hewan (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
30-08-1913). Tidak berapa lama kemudian (akhir tahun 1913), Sorip Tagor berangkat ke Belanda untuk
melanjutkan studinya untuk mendapatkan gelar dokter hewan penuh (setara dokter
hewan Belanda). Bulan Juni 1916, Sorip Tagor lulus ujian kandidat dokter hewan di Rijksveeartsenijschool, Utrecht (lihat Algemeen
Handelsblad, 19-06-1916). Ini menandakan babak baru bagi pribumi untuk memulai
studi kedokteran di negeri Belanda. Sorip Tagor menjadi pionir.
Sementara
itu JA Kaligis terdeteksi di surat kabar sebagai kandidat anggota dewan kota
(gemeenteeraad) Magelang bersama Raden Soetopo, guru sekolah pertanian (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 22-02-1919). Juga diberitakan JA
Kaligis berangkat ke Institut Pasteur di Batavia dalam rangka menguji spesimen
anjing yang diduga mengandung penyakit (lihat De Preanger-bode, 19-03-1919). JA
Kaligis sebagai dokter hewan di Magelang diperbantukan untuk Residentie
Soerabaja yang berkantor di Moedjokerto (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 15-09-1919).
Pada tahun 1917, Sorip Tagor
mempelopori didirikannya Sumatranen Bond. Pada tanggal 1 Januari 1917,
Sumatranen Bond resmi didirikan dengan nama ‘Soematra Sepakat’. Dewan terdiri
dari Sorip Tagor (sebagai ketua); Dahlan Abdoellah, sebagai sekretaris dan
Soetan Goenoeng Moelia sebagai bendahara. (Salah satu) anggota (benama) Ibrahim
Datoek Tan Malaka (yang kuliah di kampus Soetan Casajangan). Tujuan didirikan
organisasi ini untuk meningkatkan tarap hidup penduduk di Sumatra, karena
tampak ada kepincangan pembangunan antara Jawa dan Sumatra (lihat De Sumatra
post, 31-07-1919).
Di Batavia
juga didirikan Sumatranen Bond. Organisasi ini dibentuk oleh
mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang berasal dari Sumatra. Sumatra Bond yang disebut
Jong Sumatra didirikan pada tanggal 8 Desember 1917. Asosiasi pemuda ini lahir
dari suatu pemikiran bahwa intesitas (pembangunan) hanya berada di Jawa dan di
Sumatra dan pulau-pulau lainnya terabaikan. Dengan kata lain pemikirannya sama
dengan Sumatranen Bond yang berada di Belanda. Susunan pengurus Jong Sumatranen
di Batavia ini adalah Tengkoe Mansoer sebagai ketua, Abdoel Moenir Nasoetion
sebagai wakil ketua, Amir dan Anas sebagai sekretaris serta Marzoeki sebagai
bendahara (lihat De Sumatra post, 17-01-1918
Pendirian Sumatranen Bond (baik di Belanda dan di
Batavia) adalah ekses dari semakin loyonya Perhimpoenan Hindia (Indische
Vereeniging) akibat para anggota Perhimpoenan Hindia yang berasal dari Jawa
condong melihat Boedi Oetomo daripada Perhimpoenan Hindia sendiri. Padahal
Indische Vereeniging digagas oleh Soetan Casajangan di Leiden pada tanggal 25
Oktober 1908 sebagai respon balik terhadap semakin menguatnya sifat kedaerahan
Boedi Oetomo jelang kongres pertama Boedi Oetomo di Djogjakarta pada tanggal 3
dan 4 Oktober 1908. Soetan Casajangan telah merasakan Boedi Oetomo (yang
bersifat nasional) yang didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa STOVIA, Soetomo dkk
di Batavia pada tanggal 20 Mei 1908 telah terkooptasi oleh para orangtua
(senior) dengan mengubah arah menjadi organisasi yang bersifat kedaerahan
(hanya terbatas di Jawa, Madura, Bali dan Lombok: lihat statuta Boedi Oetomo
yang ditetapkan pada kongres Djogjakarta, pen).
Tidak
hanya itu, ‘anak-anak Sumatra’ di Belanda juga ‘semakin gerah’ melihat euforia
Jong Java (yang terlah terbentuk sejak 1915). Jong Java adalah organ
pemuda/pelajar dari Boedi Oetomo. Sementara Boedi Oetomo semakin didukung habis
oleh pemerintah dan para pengurus Boedi Oetomo semakin tergantung pemerintah.
Pemerintah dan Boedi Oetomo mulai lupa dan kurang sensitif melihat telah
terjadi perbedaan yang mencolok antara hasil pembangunan di Jawa dan sekitar
dengan hasil pembangunan di luar Jawa. Inilah esensi mengapa muncul organisasi
pemuda/pelajar Sumatra Sepakat di Belanda yang dipelopori oleh Sorip Tagor dkk
(yang kemudian diikuti oleh mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra di STOVIA
Batavia).
Sorip Tagor pada bulan Desember 1920 lulus ujian
akhir (2de helft) di Rijksveeartsenijschool, Utrecht. Sorip Tagor diwisuda dan
mendapat gelar dokter hewan (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig
nieuwsblad, 30-01-1921). Secara kronologis studi Sorip Tagor sebagai berikut:
Sorip Tagor terdaftar sebagai mahasiswa Rijksveeartsenijschool pada akhir tahun
1913 lalu mengikuti program matrikulasi (penyetaraan). Pada tahun 1915 kuliah
tingkat satu (lulus ujian); tahun 1916 kuliah tingkat dua (lulus ujian kandidat
dokter hewan); tahun 1917 kuliah tingkat tiga (lulus ujian); tahun 1918 kuliah
tingkat empat (lulus ujian propa. dan melakukan riset); pada bulan Juni 1920
lulus ujian pertama atau ist helft. Terakhir pada bulan Desember 1920 lulus
ujian 2de helft (eindexamen). Dr. Sorip Tagor meski aktif berorganisasi dan
mempelopori gerakan politik mahasiswa di lingkungan organisasi mahasiwa
Perhimpoenan Hindia, namun kelancaran studinya tetap berjalan normal. Seperti
pernah dikatakannya bahwa 'studi dan politik sama pentingnya'. Setelah mendapat
gelar dokter hewan, Sorip Tagor pulang ke tanah air. Di Batavia, Gubernur
Jenderal menunjuk Sorip Tagor untuk menjadi dokter hewan di lingkungan istana.
Penunjukan dan pengangkatan ini secara resmi berdasarkan surat keputusan
menteri koloni no 89 tanggal 26 Mei 1921 (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
22-09-1921).
Setelah
lama nama JA Kaligis terdeteksi, muncul namanya dalam manifest kapal Grotius
yang akan berangkat tanggal 31 Januari dari Batavia menuju Amsterdam (lihat Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 30-01-1920). Ada apa JA Kaligis ke
Belanda? Surat kabar Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 14-10-1920
memberitakan bahwa JA Kaligis salah satu dari mahasiswa yang lulus ujian bagian
pertama di Utrecht. JA Kaligis menyelesaikan sebagian yang lain (lihat Het
Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-01-1921).
Sejak Sorip Tagor memulai studi di Utrecht, Belanda
tahun 1913 hingga lulus dan mendapat gelar dokter hewan berlisensi Eropa tahun
1920, belum ada pribumi yang mengikuti langkah Sorip Tagor. JA Kaligis sebagai
pribumi kedua studi kedokteran hewan di Utrecht datang saat Sorip Tagor sudah
hampir selesai studi. Sorip Tagor adalah dokter hewan pertama Indonesia dan pelopor
pendidikan kedokteran hewan di Indonesia.
Een eeuw veeartsenijkundig onderwijs, 1821-1921 |
DOKTER ASAL PADANG SIDEMPOEAN. Sorip Tagor lahir di desa Huta Imbaru, Padang
Sidempuan, 21 Mei 1888. Anak dari pasangan Radja Tagor Harahap dan Dorima
Siregar ini memulai pendidikan dasar berbahasa Belanda (ELS) di Padang
Sidempuan. Setelah lulus melanjutkan ke HBS di Batavia. Selanjutnya masuk
Sekolah Dokter Hewan (Inlandschen Veeartsen School) di Bogor 1907. Sorip Tagor
Harahap kelak dikenal sebagai ompung (kakek) dari Risty/Inez Tagor (artis) dan
Destri (istri Setya Novanto, Ketua DPR). Bagi warga Bogor pada masa lalu
sangat mengenal Radio Kauman Bogor yang beralamat di Gunung Batu, Ciomas Bogor. Radio
ini adalah milik dari Haji Agus Tagor Harahap (anak dari Dr. Sorip Tagor).
Lulusan
Veeartsenijkundige Hoogeschool, Utrecht yang berasal dari Indonesia tidak
banyak. Selain Sorip Tagor dan JA Kaligis juga ditemukan nama Tarip. Memulai
studi di Veeartsen School, Buitenzorg tahun 1910. Lulus tahun 1914. Di
sela-sela tugasnya memberi layanan pemerintah, Dr. Tarip Siregar melakukan penelitian
dan hasilnya dipublikasikan. Hasil penemuannya adalah metode membasmi cacing
pita pada kerbau. Setelah beberapa kali pindah tempat bertugas, pada tahun 1922
Dr. Tarip dipindahkan dari Medan ke Padang Sidempuan untuk membantu LVM Lobel
(De Sumatra post, 28-08-1922). Kontribusinya dalam dunia riset telah mengundang
perhatian pemerintah. Setelah bekerja beberapa tahun praktek, pemerintah
mengapresiasi kinerja Dr. Tarip dan memberikannya beasiswa untuk studi lebih
lanjut ke Belanda. Setelah bekerja beberapa tahun praktek, pemerintah
mengapresiasi kinerja Dr. Tarip dan memberikannya beasiswa untuk studi lebih
lanjut ke Belanda. Dr. Tarip berangkat ke Belanda tahun 1927. Tarip lulus ujian
akhir dokter hewan tahun 1930 di Veeartsenij Hoogeschool di Utrecht, Belanda
(De Sumatra post, 07-10-1930). Setelah lulus tahun 1932, Dr. Tarip kembali ke
tanah air dan atas permintaannya sendiri untuk ditempatkan di tanah
kelahirannya di Padang Sidempuan (Residentie Tapanoeli). Dr. Tarip sangat
terkenal di Tarutung. Demikian juga di Nias. Dr. Tarip telah melakukan
penelitian dan telah menyelamatkan populasi babi di Nias dari penyakit. Ternak
babi tersebut telah dijamin oleh Dr. Tarip dan dipasarkan ke Medan dan sebagian
ke Singapoera. Tarip lahir di Sipirok dan memulai pendidikan dasar di sekolah
pribumi (Inlandsche school) 2de klasse di Sipirok. Tarip belajar secara
tutorial (les) bahasa Belanda. Pada tahun 1903 Tarip lulus ujian masuk untuk
sekolah guru pribumi (kweekschool voor Inlandsche onderwijzers). di Fort de
Kock. Setelah lulus Tarip diangkat sebagai guru sekolah negeri di Sibolga.
Profesi guru ini hanya dijalaninya hingga tahun 1909. Pada tahun 1910 Tarip
melanjutkan studi untuk sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool) di
Buitenzorg (lihat De Indische courant, 24-08-1936).
Sorip Tagor |
Dokter-dokter
hewan asal Padang Sidempoean (Residentie Tapanoeli) di era permulaan sangat banyak
dan terkenal. Tidak hanya Dr. Sorip Tagor dan Dr. Tarip Siregar (lulus 1914), juga Dr.
Alimoesa Harahap (lulus 1914). Alimoesa Harahap adalah anggota dewan kota
(gemeenteraad) Pematang Siantara. Selain itu terdapat nama Dr. Anwar Nasution
(lulus 1930). Dr. Anwar Nasution kelak dikenal sebagai ayah dari
Prof. Dr. Ir, Andi Hakim Nasution (Rektor IPB dua periode: 1978-1987). Foto
Sorip Tagor (https://margaharahap.org)
.
.
Dalam peringatan
‘Seabad Dokter Hewan Indonesia’ (lihat Kompas.com 07/01/2010) tidak satupun
disebut nama dokter hewan yang beerasal dari Padang Sidempuan, bahkan nama Dr.
Sorip Tagor Harahap, Dr. Tarip Siregar dan Dr. Anwar Nasution pun tak digubris.
Padahal, Dr. Sorip Tagor adalah pelopor kedokteran hewan di Indonesia dan Dr.
Tarip Siregar adalah peneliti terbaik di bidang kedokteran hewan di Indonesia.
Jasmerah: Sudah waktunya sejarah kedokteran hewan di Indonesia direvisi. Jangan lupa, bahwa sebelum kursus kedokteran hewan dibuka di Buitenzorg tahun 1907 sudah pernah diadakan kursus dan program khusus (program magang) kedokteran hewan. Salah satu alumni kursus/program kedokteran hewan tersebut
adalah Radja Proehoeman yang terdeteksi namanya sebagai dokter hewan tahun 1886. Setelah
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya, pada tahun 1907 dokter
hewan Radja Proehoeman ditempatkan di Padang
Sidempoean (Bataviaasch nieuwsblad, 07-03-1907). Radja
Proehoeman kelahiran Pakantan (Afdeeling Mandailing dan Angkola/Afdeeling Padang Sidempoean) adalah ayah
dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D, dokter begelar doktor (Ph.D) gernerasi
pertama. Sjoeib Proehoeman diterima di sekolah kedokteran STOVIA tahun
1909 dan lulus tahuh 1917. Dr. Sjoeib Proehoeman awalnya ditempatkan di Batavia dan kemudian pada tahun 1919 Sjoeib
Proehoeman dipindahkan ke Padang Sidempoean (De Sumatra post, 26-06-1919).
Tidak lama kemudian Sjoeib Proehoeman dipindahkan ke Panjaboengan (Bataviaasch
nieuwsblad, 29-10-1919). Selanjutnya Sjoeib Proehoeman diberi
kesempatan untuk melanjutkan studi kedokteran ke Belanda (Bataviaasch nieuwsblad,
31-05-1926). Sjoeib Prohoeman
lulus mendapat gelar dokter (Dr) tahun 1926. Dr. Sjoeib Proehoeman
tidak langsung pulang tetapi langsung
melanjutkan ke tingkat doktoral. Dr. Sjoeib Proehoeman berhasil meraih
gelar doktor (Ph.D) di
bidang kedokteran di Universiteit Amsterdam dengan desertasi berjudul
‘Studies
over de epidemiologie van de ziekte van Weil, over haren verwekker en de
daaraan verwante organismen’ (lihat Nieuwsblad van het Noorden,
20-11-1930). Seperti halnya nama Tagor, nama Proehoeman juga menjadi
nama generik untuk keluarga keturunan Radja Proehoeman, dokter hewan
Indonesia generasi pertama.
Kursus kedokteran hewan di Buitenzorg pada tahun 1907 kemudian diubah statusnya menjadi sekolah Veesrtsen School yang diresmikan pada tahun 1910. Hal ini juga terjadi pada sekolah Landbouwschool ditingkatkan dan namanya diubah menjadi Middelbare Landbouwschool yang diresmikan tahun 1914. JA Kaligis yang terdaftar sebagai peserta kursus tahun 1907 terbilang sebagai lulusan pertama Veeartsen School tahun 1910. Hal ini juga terjadi pada Abdoel Azi Nasution gelar Soetan Kenaikan yang terdapat sebagai siswa Landbouwschool tahun 1911 terbilang sebagai lulusan pertama Middelbare Landbouwschool tahun 1914. Salah satu adik kelas Soetan Kenaikan adalah Djohan Nasution yang masuk tahun 1919. Setelah lulus Dohan Nasution diangkat sebagai de adjunct landbouwconsulent dan ditempatkan di ressort Oostkust van Sumatra. Setelah beberapa kali pindah Djohan Nasution dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1930. Djohan Nasution adalah ayah Prof. Dr. Ir. Lutfi Ibrahim Nasution (Ketua Jurusan Ilmu-Ilmu Tanah dan Direktur Lembaga Penelitian IPN dan juga pernah menjabat sebagai Kepala BPN RI pada periode 2001–2005).
Dengan demikian, dokter hewan pertama Indonesia bukan Radja Proehoeman maupun JA Kaligis. Radja Proehoeman hanyalah diploma sekolah kedokteran hewan (setara SMP); JA Kaligis hanyalah diploma sekolah kedokteran hewan (setara SMA). Namun yang jelas, dokter hewan pertama Indoesia yang benar-benar sarjana adalah Dr. Sorip Tagor (setara Universitas) dari Rijksveeartsenij Hoogeschool te Utrecht. Demikian juga insinyur pertanian pertama bukan Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan yang hanya diploma sekolah pertanian (setara SMA). Namun yang jelas insinyur pertanian pertama Indonesia yang benar-benar sarjana adalah Ir. Zainoedin Rasad (setara Universitas). Zainoedin Rasad diterima di Landbouwhoogeschool te Wageningen 1912. Setelah tujuh tahun, seperti halnya Dr. Sorip Tagor, akhirnya Zainoedin Rasad berhasil menjadi insinyur pertanian di Wageningen (lihat Algemeen Handelsblad, 29-09-1919). Di Indonesia, pada tahun 1947 Veeartsen Hoogeschool dan Landbouw Hoogeschool yang menjadi dua fakultas di Universiteit van Indonesie kemudian menjadi Insitut Pertanian Bogor pada tahun 1963.
Kursus kedokteran hewan di Buitenzorg pada tahun 1907 kemudian diubah statusnya menjadi sekolah Veesrtsen School yang diresmikan pada tahun 1910. Hal ini juga terjadi pada sekolah Landbouwschool ditingkatkan dan namanya diubah menjadi Middelbare Landbouwschool yang diresmikan tahun 1914. JA Kaligis yang terdaftar sebagai peserta kursus tahun 1907 terbilang sebagai lulusan pertama Veeartsen School tahun 1910. Hal ini juga terjadi pada Abdoel Azi Nasution gelar Soetan Kenaikan yang terdapat sebagai siswa Landbouwschool tahun 1911 terbilang sebagai lulusan pertama Middelbare Landbouwschool tahun 1914. Salah satu adik kelas Soetan Kenaikan adalah Djohan Nasution yang masuk tahun 1919. Setelah lulus Dohan Nasution diangkat sebagai de adjunct landbouwconsulent dan ditempatkan di ressort Oostkust van Sumatra. Setelah beberapa kali pindah Djohan Nasution dipindahkan ke Padang Sidempoean tahun 1930. Djohan Nasution adalah ayah Prof. Dr. Ir. Lutfi Ibrahim Nasution (Ketua Jurusan Ilmu-Ilmu Tanah dan Direktur Lembaga Penelitian IPN dan juga pernah menjabat sebagai Kepala BPN RI pada periode 2001–2005).
Dengan demikian, dokter hewan pertama Indonesia bukan Radja Proehoeman maupun JA Kaligis. Radja Proehoeman hanyalah diploma sekolah kedokteran hewan (setara SMP); JA Kaligis hanyalah diploma sekolah kedokteran hewan (setara SMA). Namun yang jelas, dokter hewan pertama Indoesia yang benar-benar sarjana adalah Dr. Sorip Tagor (setara Universitas) dari Rijksveeartsenij Hoogeschool te Utrecht. Demikian juga insinyur pertanian pertama bukan Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan yang hanya diploma sekolah pertanian (setara SMA). Namun yang jelas insinyur pertanian pertama Indonesia yang benar-benar sarjana adalah Ir. Zainoedin Rasad (setara Universitas). Zainoedin Rasad diterima di Landbouwhoogeschool te Wageningen 1912. Setelah tujuh tahun, seperti halnya Dr. Sorip Tagor, akhirnya Zainoedin Rasad berhasil menjadi insinyur pertanian di Wageningen (lihat Algemeen Handelsblad, 29-09-1919). Di Indonesia, pada tahun 1947 Veeartsen Hoogeschool dan Landbouw Hoogeschool yang menjadi dua fakultas di Universiteit van Indonesie kemudian menjadi Insitut Pertanian Bogor pada tahun 1963.
Dr. Sorip Tagor dalam
perebutan kursi anggota Volksraad tahun 1926 menjadi salah satu kandidat, Hanya satu kursi dari dapil Noord Sumatra (Residentie Tapanoeli dan Residentie Atjeh). Terdapat empat kandidat dari
Tapanoeli yakni Dr. Alimoesa Harahap (domisili Pematang Siantar), Dr. Sorip
Tagor (Bandoeng), Soetan Kenaikan (Fort de Kock) dan Mr. Radja Enda
Boemi, Ph.D (Buitenzorg).
Hasilnya, terpilih Mr. Alimoesa Harahap, dokter
hewan di Pematang Siantar dari dapil Noord Sumatra. Total anggota Volksraads dari pribumi
sebanyak 17 orang, Sebelas orang dari Djawa dan enam orang dari luar Djawa yang
terdiri dari: dua dari Celebes, satu orang Sumatra’s Westkust dan masing-masing
satu orang dari Bali, Noord Sumatra serta Oostkust Sumatra. Untuk wakil dari
Oostkust Sumatra terpilih Mr. Alinoedin Siregar gelar Mangaradja Soeangkoepon
(De Indische courant, 28-01-1927). Anggota Volksraad menerima gaji 1500 per
bulan diluar perumahan dan transportasi (De Sumatra post, 18-03-1927). Anggota
Volksraad adalah pribumi penerima gaji terbesar saat itu. Dr. Sorip Tagor terus berkarir sebagai dokter hewan di berbagai tempat. Setelah di Batavia, Dr. Sorip Tagor ditempatkan di
Pekalongan dan pada tahun 1925 tugas ini juga diperbantukan ke Tegal. Pada
tahun 1927 Dr. Sorip Tagor ditempatkan sebagai Kepala Dinas Sipil
Veeartsenjjkundigen di Weltevreden (kini Gambir. Pada tahun 1928 Dr. Sorip
Tagor dipindahkan ke Sibolga (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 07-01-1928).
Setelah beberapa tahun di Tapanoeli, Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke
Muaraboengo, Djambi dan pada tahun 1937 Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Djawa
dan menjadi kepala dinas di Provinsi Djawa Barat yang berkedudukan di Bandoeng
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-05-1937). Pada tahun
1928 Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Sibolga (lihat Bataviaasch nieuwsblad,
07-01-1928). Setelah beberapa tahun di Tapanoeli, Dr. Sorip Tagor dipindahkan
ke Muaraboengo, Djambi dan pada tahun 1937 Dr. Sorip Tagor dipindahkan ke Djawa
dan menjadi kepala dinas di Provinsi Djawa Barat yang berkedudukan di Bandoeng
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20-05-1937). Selanjutnya pada tahun 1941, dokter kelas satu (pangkat
tertinggi pegawai pemerintah) Dr. Sorip Tagor dipindahkan dari Bandoeng ke
Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1941). Ketika terjadi pendudukan
Jepang, Dr. Sorip Tagor tercatat satu dari empat dokter hewan yang berada di
Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 19-02-1942). Dr. Sorip Tagor membuka praktek di Sawah Besar
Batavia/Djakarta (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-10-1948).
Pada saat pengakuan kedaulatan Indonesia, Dr. Sorip Tagor diangkat pemerintah
RI sebagai kepala di Dinas Kesehatan Hewan di Djakarta (De nieuwsgier,
26-11-1951).
Abdul Azis Nasution gelar
Sutan Kenaikan adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare
Landbouwschool) lulus pada tahun 1914. Sekolah pertanian ini sebelumnya bernama
Landbouwschool (didirikan tahun 1903) yang mana pernah diikuti oleh JA Kaligis
sebelum pindah ke Veeartsen School). Pada tahun 1913 Landbouwschool diubah
statusnya menjadi Middelbare Landbouwschool (sebagaimana nanti tahun 1930 status
Veeartsen School diubah menjadi Nederlandsch Indie Veeartsen School). Jika JA
Kaligis adalah alumni pertama Veeartsenschool, maka Sutan Kenaikan adalah alumni
pertama Middelbare Landbouwschool. Sutan Kenaikan adalah pendiri sekolah
pertanian swasta pertama (1928). Sementara itu Mangaradja Soeangkoepon adalah
pribumi pertama sekolah hukum ke negeri Belanda (1910). Sedangkan Radja Enda
Boemi adalah pribumi ketiga bergelar Doktor (Ph.D) di bidang hukum. Radja Enda
Boemi meraih gelar Ph.D di Universiteit Leiden tahun 1925 dengan desertasi
berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het
Karoland’. Sejak tahun 1926 Mr. Radja Enda Boemi adalah Kepala Pengadilan
(Landraad) di Buitenzorg.
Hingga tahun 1933 jumlah orang Indonesia yang meraih
gelar doktor (Ph.D) baru sebanyak 26 orang dan hanya satu orang perempuan yakni
Ida Loemongga. Orang Indonesia pertama yang meraih gelar
doktor (Ph.D) adalah Husein Djajadiningrat pada tahun 1913. Daftar orang
Indonesia peraih gelar doktor (Ph.D) selanjutnya adalah sebagai berikut: (2) Dr.
Sarwono (medis, 1919); (3) Mr. Gondokoesoemo (hukum 1922)l (4) RM Koesoema
Atmadja (hukum 1922); (5) Dr. Sardjito (medis, 1923); (5) Dr. Mohamad Sjaaf (medis,
1923); (7) R Soegondo (hukum 1923); (8) JA Latumeten (medis, 1924); (9) Alinoedin Siregar gelar Radja Enda
Boemi (hukum, 1925); (10) R. Soesilo (medis, 1925); (11) HJD Apituley (medis,
1925); (12) Soebroto (hukum, 1925); (13) Samsi Sastrawidagda (ekonomi, 1925);
(14) Poerbataraka (sastra, 1926); (15) Achmad
Mochtar (medis, 1927); (16) Soepomo (hukum, 1927); (17) AB Andu (medis,
1928); (18) T Mansoer (medis, 1928); (19) RM Saleh Mangoendihardjo (medis,
1928); (20) MH Soeleiman (medis, 1929); (21) M. Antariksa (medis, 1930); (22) sSjoeib Proehoeman (medis, 1930); (23) Aminoedin Pohan (medis, 1931); (24)
Seno Sastroamidjojo (medis, 1930); (25) Ida
Loemongga Nasution (medis, 1931); (26) Todoeng
Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (sastra dan filsafat, 1933). Catatan:
cetak tebal adalah doktor-doktor asal Afdeeling Padang Sidempoean, Residentie
Tapanoeli.
HJ Smit Tokoh Reformasi
Sekolah Kedokteran Hewan. Tokoh terpenting di belakang Veeartsen Schoool te Buitenzorg adalah HJ
Smit. HJ Smit adalah seorang Indo kelahiran Batavia. Lulus kandidat dokter
hewan di Veertsen School di Untrech pada tahun 1904 (Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 01-08-1904). HJ Smit melanjutkan studi ke tingkat doktoral
dan meraih gelar doktor (Ph.D) tahun 1908. Berdasarkan resolusi Menteri Koloni
JAR Avis dan JH Smit diangkat sebagai dokter hewan untuk GG van Nederlandsch
Indie (Arnhemsche courant, 15-08-1908). Dr. HJ Smit kemudian ditetapkan sebagai
kepala laboratorium kesehatan hewan Departmen van Landbouw di Buitenzorg
(Haagsche courant, 17-12-1908).
Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 22-06-1886 |
Dalam perkembangannya pada tahun 1916 Dr. HJ Smit
dosen Veeartsen School terpilih sebagai anggota dewan kota (gemeenteraad) Buitenzorg (Bataviaasch
nieuwsblad, 18-08-1916). Pada tahun ini, Sorip Tagor di Utrecht lulus kandidat
dokter hewan (lihat Algemeen Handelsblad, 19-06-1916). Setelah delapan tahun
berdinas, Dr. HJ diberi cuti 10 bulan untuk ke Belanda (De Telegraaf, 07-04-1917).
Kesempatan ini tentu Dr. HJ Smit akan mengunjungi juniornya yang boleh jadi
sudah menjadi sahabatnya, Sorip Tagor di
Utrecht.
Sorip
Tagor di Belanda telah berubah menjadi tokoh sentral di Perhimpoenan Hindia. Sorip
Tagor tidak hanya mempelopori Sumatranen Bond (1917) tetapi juga tokoh kritis
di dalam Perhimpoenan Hindia. Boleh jadi dalam pertemuan antara Dr. HJ Smit dan
mahasiswa Sorip Tagor berdiskusi intens tentang upaya peningkatan pembangunan
di Hindia khususnya peningkatan mutu pendidikan terutama pendidikan tinggi. Dr.
HJ Smit yang seorang Indo juga aadalah anggota dewan kota di Buitenzorg. HJ
Smit dan Sorip Tagor telah terjun ke dunia politik.
Sepulang dari Belanda, HJ Smit di majalah kedokteran
hewan Nederlandsch Indische Bladen voor Diergeneeskundige en Dierenthelt Deel XXX
sebanyak empat halaman tentang reformasi pendidikan di sekolahnya sangat
mendesak (Bataviaasch nieuwsblad, 13-11-1918). Disebutkan pejuang yang tidak
kenal lelah untuk perbaikan dokter hewan di Hindia, Dr. H.J. Smit, seorang guru
di NIVS telah menulis bagaimana cara mereformasi Veeeartsen School di
Buitenzorg. Penulis menunjukkan bahwa reformasi pendidikan di sekolahnya sangat
dibutuhkan. Dosen harus diperbanyak dan diperluas. Dengan 35 matakuliah hanya terdiri dari tiga dosen tetap dan tiga
dosen tidak tetap termasuk untuk menangani laboratoeium kesehatan hewan di
Buitenzorg. Jika begini kondisinya, pengetahuan mahasiswa tidak akan pernah
berkembang, sementara untuk sekolah semacam ini di Belanda dibimbing oleh 11
dosen tetap dan 16 orang asisten. Ini tidak sejalan dengan perbaikan yang sudah
dimulai pemerintah untuk meningkatkan mutu sekolah MULO. Ini harus dimulai sekarang,
yang mana kondisi yang sekarang terlalu rendah secara rata-rata. Harapan
penulis juga berlaku di Middelbare Lambouwschoool. Juga penulis mengusulkan
untuk memperpanjang masa studi menjadi enam tahun, Pada waktunya nanti
persyarata masuk ijazah AMS. Hanya dengan demikian dapat pelatihan teori dan
praktik selama 5 tahun bersama-sama memberikan hasil yang baik. Penulis juga
perlu meninjau kembali sistem penggajian. Siapa yang ada di Voiksraad, siapa
yang ingin mencatat subjek penting ini?. Demikian HJ Smit dalam tulisannya yang
mengkritisi pemerintah dan menantang Volksraad.
Dr. HJ Smit diangkat sebagai Direktur Veeartsen School
(Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-08-1919). Disebutkan diangkat
sebagai hubungan antara Direktur Nederlandsch Indische Veeartsen School. Dr. HJ
Smit, sekarang seorang guru, juga seorang direktur sekolah. Dalam majalah kedokteran
hewan Nederlandsch Indische Bladen voor Diergeneeskundige en Dierenthelt Deel XXXII
(1920) Dr, HJ Smit tercatat sebagai ketua redaksi. Majalah ini adalah satu-satu
majalah para dokter hewab di Hindia Belanda (Nederlandsch Indie). Dalam daftar
keanggotaan jumlah dokter hewan di Hindia Belanda sebanyak 73 orang yang mana
terdapat 18 yang bergelar doktor (Ph.D) termasuk Dr. HJ Smit, Ph.D. Dalam
daftar ini juga terlihat hanya empat orang yang berposisi sebagai dosen di NI Verartsen
School te Buitenzorg. Dr, HJ Smit masih tercatat sebagai direktur Veeartsen
School hingga tahun 1924 (lihat De Indische courant, 11-01-1924). Pada tanggal
30 Juni 1928 sekolah kedokteran yang baru Nederlandsch Indische Veeartsen
School (NIVS) dibuka secara resmi di Buitenzorg (De Indische courant, 02-07-1928).
Disebutkan sebagai pembicara pertama Dr, HJ Smit, yang bertindak sebagai direktur
sekolah yang baru dan memberikan sejarah singkat pendidikan kedokteran hewan di
Hindia Belanda (yang diringkas sebagai berikut): ‘mulai dari dua dokter hewan
pertama (lulusan Belanda) di Hindia tahun 1851 dan menjadi 10 orang di tahun
1853 (menjadi 73 pada tahun 1920,pen); pribumi pertama kali dilatih mulai
tanggal 6 Agustus 1860 sebagai pilot dan hanya lima pribumi yang sesuai (semua
dari keluarga biasa, tidak dari aristokrasi dan juga tidak ada anak-anak kepala).
Sekolah sangat sederhana dimana manajemen dan pendidikan dipercayakan kepada
dokter hewan pemerintah di Soerabaja, Van der Weyde; dalam sembilan tahun
sekolah itu hanya menghasilkan dokter hewan pribumi sebanyak delapan orang dan
kemudian ditutup tahun 1875. Pada tahun 1880 dirancang kembali program untuk melatih
dokter hewan pribumi dari sebanyak sembilan orang pribumi yang ujiannya
dilakukan di Poerwakarta hanya menghasilkan delapan dokter hewan pribumi; selanjutnya
baru kemudian ditetapkan pendirian
sekolah berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 24 Januari 1907 atas usul Direktur
Pertanian, Prof. Melchior Treub. Rancangannya dilakukan dokter hewan [JKF de] Does
di Laboratorium Buitenzorg yang dikaitkan dengan permulaan sekolah dengan
kursus empat tahun; sekolah dimulai dengan dua murid, keduanya dari Sekolah
Pertanian, dimana mereka memiliki ijazah akhir, dan atas dasar itu mereka
diterima segera di tahun ketiga Veeartsenijschool; dua sekolah ini dibawah
mantan kepala museum zoologi, Dr. Koningsberger; enam bulan kemudian (1908) datang
Dr, de Blieck (sebagai kepala laboratorium kesehatan hewan); pada tahun 1909
ditugaskan merangkap lab dan sekolah dan pada tahun 1911 diangkat sebagai
direktur sekolah (dengan tetap bekerja di lab); sekolah ini selalu dihubungkan
dengan de Blieck dan Treub sebagai pendiri; nama sekolah sebagai Inlandsch
Veerartsenschool baru diberikan 1910; dan seterusnya...’.
Pada
tahun 1929 karena sudah berdinas selama tujuh tahun Dr. HJ Smit diberi cuti ke
Eropa selama sembilan bulan (Haagsche courant, 18-02-1929). Untuk posisi
direktur sekolah adalah Dr. C. Bubberman,
dosen di sekolah itu (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 29-03-1930). Setelah pulang
dari Eropa, Dr. HJ Smit diangkat (kembali) sebagai direktur Ned. Ind, Veeartsen
School te Buitenzorg (Het Vaderland : staat- en letterkundig nieuwsblad, 16-06-1930).
Dr, HJ Smit diberhentikan secara hormat (pensiun) sebagai direktur Nederlandsch
Indische Vetartsen School terhitung 18 Desember dengan ucapan terima kasih atas
jasa yang diberikan kepada negara (De Sumatra post, 01-12-1932). Tampaknya
setelah pensiun, HJ Smit masih terdeteksi di Buitenzorg (Bataviaasch nieuwsblad,
13-05-1935) maupun di Batavia (Bataviaasch nieuwsblad, 23-11-1935). Setelah beberapa
tahun kemudian diberitakan Dr. HJ Smit diangkat sebagai directeur van het Bureau
voor 's Rijks Geschiedkundige Publicatiën, te 's-Gravenhage (Nederlandsche
staatscourant, 09-03-1949).
Pada
era Sorip Tagor, Perhimpunan Hindia (Indische Vereeniging) memulai ‘memanaskan
mesin’ rezim politik. Selama ini Perhimpunan Hindia masih sebatas
memperjuangkan isu-isu pembangunan khususnya pendidikan, pertanian dan ekonomi.
Organisasi ini semakin loyo sejak Soetan Casajangan pulang ke tanah air tahun 1913.
Pendirian Sumatranen Bond di Belanda oleh Sorip Tagor 1917 menjadi jalan keluar
dalam menghadapi persoalan kebangsaan di Perhimpoenan Indonesia.
Lalu pada tahun 1919 Dahlan Abdoellah, sekretaris
Sumatranen Bond menjadi ketua Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) yang
menjadi awal perubahan haluan di Perhimpoenan Hindia dari incremental ke arah
yang lebih radikal. Sorip Tagor di dalam majalah Hindia Poetra, organ
Perhimpoenan Hindia pada edisi Januari 1919 menulis artikel yang pada intinya
mengatakan bahwa 'studi dan kegiatan politik sejalan dalam organisasi'. Sorip
Tagor kata-kata pedas mengatakan 'jika
Perhimpoenan Hindia menghindari politik, organisasi tidak akan mencapai apapun
dalam bentuk manfaat bagi penduduk Indonesia, baik hari ini maupun masa
datang'. Sorip Tagor juga dalam tulisan mempersalahkan sejumlah mahasiswa asal
Jawa dari keluarga ningrat yang tak punya perhatian terhadap situasi umum di
Hindia dan keadaan kehidupan wong cilik (lihat Harry A. Poeze et al: ‘Di negeri penjajah: orang Indonesia
di negeri Belanda, 1600-1950).
ALUMNI KWEEKSCHOOL PADANG SIDEMPOEAN. Dalam Kongres Gabungan (Indonesisch Verbond) yang diadakan di Belanda,
Sorip Tagor dan kawan-kawan berpartisipasi (Algemeen Handelsblad, 02-02-1919).
Kongres Indonesia ini adalah gabungan organisasi-organisasi mahasiswa orang
Belanda (terutama Indo), Tionghoa dan pribumi (Perhimpoenan Indonesia), Ketua
komite kongres ini adalah HJ van Mook (kelak sebagai Letnan General NICA). Yang
cukup mengemuka dalam kongres ini adalah bahwa Batavia harus membuka jalan bagi
Leiden, Wageningen dan Utrecht dan lainnya di Indonesian. Hanya pendidikan
tinggi yang dapat mengisi kekosongan yang ada di Hindia. Dan para guru pertama-tama
harus datang dari Belanda, untuk secara bertahap dilengkapi oleh guru-guru
pribumi. Sekolah kedokteran hewan dan perguruan tinggi pertanian yang pada saat
ini sebagai pelatihan harus diubah menjadi hoogesehool. Tan Ping Se mengatakan
bahwa universitas bukan hadiah, tetapi kemerdekaan Indonesia. Kami ingin
melepaskan diri, tidak hanya di pendidikan tetapi juga di area ekonomi (tepuk
tangan). Namun demikian diantara yang hadir dalam forum ada juga yang
menentangnya (tidak ingin Hindia mandiri, tetapi selalu tergantung Negeri
Belanda).
Jika melihat tulisan Dr. HJ Smit (1918) tentang reformasi pendidikan di
Veeartsen School, tampaknya sejalan dengan hal yang mengemuka di dalam Kongres
(gabungan mahasiswa) Indonesia tahun 1919. Sorip Tagor dan kawan-kawan dari
Perhimpoenan Indonesia di kongres tersebut tampak bertarung habis-habisan untuk
kepentingan Indonesia. HJ Smit dan Sorip Tagor jelas barada dalam satu barisan
kaum reformis pendidikan di Hindia.
Mangapa
Sorip Tagor berapi-api soal nasionalisme? Jawabnya adalah karena Sorip Tagor
dan Soetan Casajangan sama-sama memiliki satu pemikiran. Boleh jadi, Sorip
Tagor telah banyak mendapat masukan dari Soetan Casajangan. Sejak awal, Soetan
Casajangan adalah actor pertama pergerakan di Belanda yang kerap memberikan
kritik dan solusi kehidupan di Hindia di berbagai forum yang dihadiri oleh
kalangan cendekiawan di Belanda.
Soetan Casajangan, sebelum pulang ke tanah air,
pada tahun 1913 menerbitkan buku yang dicetak di Barns oleh Percetakan
Hollandia-Drukkerij. Inilah cara Soetan Casajangan agar orang di Eropa dapat
melihat apa yang terjadi di Hindia. Buku itu berjudul: 'Indische Toestanden
Gezien Door Een Inlander' (negara bagian di Hindia Belanda dilihat oleh
penduduk pribumi). Buku ini adalah sebuah monograf (kajian ilmiah) yang
mendeskripsikan dan membahas tentang perihal ekonomi, sosial, sejarah budaya
Asia Tenggara (nusantara) dan khususnya pembangunan pertanian di Indonesia.
Buku ini berangkat dari pemikiran bahwa sudah sejak lama penduduk pribumi
merasakan adanya dorongan untuk penyatuan yang lebih besar yang kemudian dengan
munculnya berbagai sarikat, antara lain Indisch Vereeniging (digagas oleh
Soetan Casajangan) dan Boedi Oetomo (digagas oleh Soetomo). Buku ini sangat
mengejutkan berbagai pihak di kalangan orang Belanda baik di Negeri Belanda
maupun di Hindia Belanda. Buku ini adalah buku pertama orang pribumi yang
diterbitkan pertama kali dan diedarkan di Eropa.
Saat
buku ini diberitakan di surat kabar, Dr. Soetomo baru pulang dari tugas di Deli
(1911-1914) berpidato di rapat umum yang dilaksanakan di Boedi Oetomo cabang
Batavia. Dr. Soetomo mengatakan kontrak kuli (asal Jawa) di Deli tidak adil dan
sangat menderita. Dr. Sotomo lebih lanjut mengatakan 'kita tidak bisa (lagi)
berjuang sendiri (melihat situasi di Deli). Kita harus berjuang bersama. Orang
luar Jawa banyak yang terpelajar terutama dari Tapanoeli'. Sejak inilah Dr.
Soetomo (meski sebagai pendiri tetapi terkooptasi oleh senior) melihat Boedi
Oetomo telah salah jalan (hanya terbatas dan bersifat kedaerahan di Jawa,
Madura, Bali dan Lombok sesuai statuta Boedi Oetomo).
Pada tahun 1919 Dr. Soetomo melanjutkan studi kedokteran ke Belanda dan
langsung bergabung dengan Perhimpoenan Hindia. Boleh jadi Dr. Soetomo telah
memahami arah haluan politik Perhimpoenan Hindia sudah lebih radikal (sejak
kepengurusan Dahlan Abdoellah dan teguran Sorip Tagor). Haluan inilah yang
ditemukan Dr. Soetomo ketika menyadari Boedi Oetomo tidak bisa berjuang
sendiri. Dr. Soetomo di Belanda semakin intens di Perhimpoenan Hindia dan
kemudian menjadi ketua pengurus. Untuk sekadar tambahan: Bahkan hingga pada kongres
Boedi Oetomo ke-16 tahun 1925 di Solo masih muncul suara-suara di forum Boedi
Oetomo (kedaerahan) yang menyatakan bahwa “Boedi Oetomo menuntut kemerdekaan di
Jawa tetapi memberi tolerasi kolonialisasi di luar Jawa’. Suara-suara ini
sempat dibalas oleh sebagian orang-orang Boedi Oetomo yang reformis di dalam
kongres dengan nada yang menentang suara false tersebut. Para reformis Boedi
Oetomo saat kongres tersebut antara lain: Dr. Sardjito, Ph.D (ketua Boedi
Oetomo cabang Batavia). Dr. Sardjito, Ph.D sendiri baru pulang studi dari
Belanda (anggota Perhimpoenan Hindia di era kepengurusan Dr. Soetomo). Dr. Sardjito, Ph.D kelak menjadi Rektor
Universitas Gadjah Mada (yang pertama).
Perhimpoenan Hindia (Indische Vereeniging) telah memainkan peran penting
di awal pergerakan politik di lingkungan mahasiswa. Sorip Tagor dan Dahlan
Abdoellah sebagai pendobrak dalam hal ini. Pada era kepengurusan Dr. Soetomo (1922)
Perhimpoenan Hindia diubah namanya menjadi Indonesiasch Vereeniging dan di era
kepengurusan Mohamad Hatta dipertegas dengan nama baru yakni Perhimpoenan
Indonesia (PI).
Indische Vereeniging digagas oleh Radjioen
Harahap gelar Soetan Casajangan yang dirsemikan pada bulan Oktober 1908 di
Leiden. Soetan Casajangan menjadi presiden pertama. Soetan Casajangan sendiri
tiba di Belanda pad tahun 1905 dan saat itu jumlah mahasiswa Indonesia baru
lima orang. Ketika jumlahnya sekitar 20 orang pada tahun 1908 Soetan Casajangan
menggagas didirikannya Indisch Vereeniging yang bersifat nasional untuk
merespon balik pendirian Boedi Oetomo pada bulan Mei 1908 (yang bersifat kedaerahan).
Soetan Casajangan kembali ke tanah air pada tahun 1913. Soetan Casajangan
ditempatkan sebagai guru Eropa di Buitenzorg. Saat inilah, sebelum Sorip Tagor
berangkat studi ke Belanda kedua tokoh mahasiswa ini intens berdiskusi. Soetan
Casajangan dan Sorip Tagor sama-sama kelahiran Padang Sidempoean.
Di
dalam Perhimpoenan Indonesia, Soetan Casajangan adalah pelopor (1908-1911). Sorip Tagor dan
Dahlan Abdoellah (1919) sebagai pendobrak; lalu Soetomo (1921) dan Mohamad Hatta (1926-1930) sebagai
penegak; kemudian Parlindoengan Lubis sebagai penerus (1936-1940). Soetan Casajangan, mantan guru di Padang Sidempoean, alumni Kweekschool
Padang Sidempoean tahun 1887 berjuang untuk meningkatkan pendidikan pribumi.
Ketika tengah kuliah di negeri Belanda (1905-1911), sepak terjang Soetan Casajangan sudah
diketahui umum sebagai tokoh sentral di Indisch Vereeniging, karena itu Soetan
Casajangan diundang oleh Vereeniging Moederland en Kolonien (Organisasi para
ahli/pakar bangsa Belanda di negeri Belanda dan di Hindia Belanda) untuk
berpidato dihadapan para anggotanya. Dalam forum yang diadakan pada tahun 1911,
Soetan Casajangan, berdiri dengan sangat percaya diri dengan makalah 18 halaman
yang berjudul: 'Verbeterd Inlandsch Onderwijs' (peningkatan pendidikan
pribumi): Berikut beberapa petikan penting isi pidatonya:
‘Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and
Gentlemen).
‘..Saya selalu berpikir tentang pendidikan bangsa
saya...cinta saya kepada ibu pertiwa (tanah air) tidak pernah luntur...dalam
memenuhi permintaan ini saya sangat senang untuk langsung mengemukakan yang
seharusnya..saya ingin bertanya kepada tuan-tuan (yang hadir dalam forum ini).
Mengapa produk pendidikan yang indah ini tidak juga berlaku untuk saya dan juga
untuk rekan-rekan saya yang berada di negeri kami yang indah. Bukan hanya
ribuan, tetapi jutaan dari mereka yang merindukan pendidikan yang lebih
tinggi...hak yang sama bagi semua...sesungguhnya dalam berpidato ini ada
konflik antara 'coklat' dan 'putih' dalam perasaan saya (melihat ketidakadilan
dalam pendidikan pribumi)’.
Boleh jadi statement Soetan Casajangan yang
mempertentangkan ‘coklat’ dan ‘putih’ di antara intelektual Indonesia di
Belanda adalah yang pertama. Perasaan itu sudah dikemukakannya secara gamblang
di depan publik yang mengindikasikan tidak ada lagi ketakutan dan memulai
perjuangan (tentu saja pada ssat itu masih pada level ketidakadilan). Statement
ini juga terdapat dalam buku karya Soetan Casajangan yang diterbitkan. Statement
ini merupakan kesimpulan buku tersebut. Revolusi ala Soetan Casajangan antara
coklat dan putih di dalam pendidikan (1911) telah dipertegas Sorip Tagor dengan
penyatataan ‘studi dan politik sama pentingnya’ (1919) dan dipertajam Dahlan
Abdoellah dalam Kongres Indonesia tahun 1919 dengan menyatakan ‘Wij
Indonesier’.
Mungkin
anda bertanya-tanya, mengapa tidak terdapat alumni pada tahun-tahun awal
keberadaan Veeartsen School te Buitenzorg yang berasal dari Buitenzorg.
Masalahnya bukan di situ. Di wilayah West Java, tentu saja di Priangan dan
Buitenzorg sudah terdapat dokter-dokter hewan orang Belanda. Akan tetapi di
wilayah endemik penyakit hewan yang mana populasi ternak cukup banyak yang
terdapat di wilayah yang jauh jangkauan dokter hewan Belanda menjadi terbatas.
Untuk itu didatangkan siswa-siswa untuk dilatih di laboratorium-laboratorium
kesehatan hewan apakah di Soerabaja atau di Buitenzorg. Namun siapa yang
menjadi kandidat untuk dilatih menjadi dokter hewan pribumi? Mereka itu adalah
guru-guru atau siswa-siswa yang baru lulus dari sekolah guru (kweekschool).
Dokter hewan Radja Proehoeman (ayah dari Dr. Sjoeib Proehoeman, Ph.D)
adalah yang merekomendasikan Sorip Tagor untuk melanjutkan studi ke Veeartsen
School yang akan dibuka di Buitenzorg tahun 1907. Radja Proehoeman sebelum
mengikuti pelatihan dokter hewan adalah alumni sekolah guru (kweekschool) di Padang
Sidempoean (lulus 1882). Alumni lainnnya dari sekolah ini adalah Dja Endar
Moeda, lulus tahun 1884. Adik kelas mereka di Kweekschool Padang Sidempoean
salah satu diantaranya Soetan Casajangan (lulus tahun 1887). Guru terkenal di
Kweekschool Padang Sidempoean adalah Charles Adrian van Ophuijsen (kelak lebih
dikenal sebagai penyusun tatabahasa Melayu dengan ejaan Ophuijsen).
Sekolah
guru (kweekschool) Padang Sidempoean dibuka pada tahun 1879. Sekolah guru ini
adalah sekolah guru yang diproyeksikan sebagai pengganti sekolah guru
(kweekschool) Tanobato. Pada tahun 1873 Kweekschool Tanobato ditutup, karena
kepala sekolahnya, Willem Iskander pada tahu 1874 berangkat studi kembali untuk
mendapatkan akte kepala sekolah di Belanda. Willem Iskander juga membawa tiga
guru muda ke Belanda untuk mendapatkan akte guru. Ketiga guru muda tersebut
adalah Raden Soerono dari Soeracarta, Raden Adi Sasmita dari Madjalengka
(Priangan); dan Banas Lubis dari Tapanoeli. Setelah usai studi kandidat guru
Eropa tersebut atas beasiswa wajib kembali ke kampung halaman masing-masing
untuk meningkatkan mutu sekolah guru di Magelang (Soerono) dan sekolah guru di
Bandoeng (Adi Sasmita). Willem Iskander akan diproyeksikan sebagai kepala
sekolah (direktur) dan Banas Lubis sebagai guru di Kweekschool Padang
Sidempoean yang akan dibuka tahun 1879. Sebelumnya, Sati Nasution alias Willem
Iskander pada tahun 1857 berangkat studi ke Belanda untuk mendapat akte guru.
Setelah selesai studi pada tahun 1861 kembali ke kampung halaman di Mandailing
dan pada tahun 1862 membuka sekolah guru (kweekschool) Tanobato. Sekolah guru
ini tahun 1865 diakusisi pemerintah dijadikan sebagai sekolah guru negeri
ketika di Hindia Belanda (yang pertama di Soeracarta, 1851; dan yang kedua di
Fort de Kock, 1856; serta yang keempat di Bandoeng, 1866). Catatan: Kweekschool
Tanobato (Willem Iskander) dan Kweekschool Padang Sidempoean (Charles Adrian
van Ophuijsen, seorang Indo) adalah dua sekolah guru terbaik di Hindia Belanda
pada era yang berbeda.
Radja Proehoeman, dokter hewan generasi pertama
dalam hal ini menjadi tokoh penting di belakang Dr. Sorip Tagor. Sementara Saleh
Harahap gelar Dja Endar Moeda adalah tokoh penting sebagai pelopor dan pendiri
organisasi kebangsaan yang pertama yang diberi nama Medan Perdamaian.
Organisasi ini didirikan oleh Dja Endar Moeda di Padang pada tahun 1900.
Setelah Medan Perdamaian eksis selama tujuh tahu baru kemudian didirikan
organisasi kebangsaan kedua yakni Boedi Oetomo (1908). Dalam penetapan statuta
Boedi Oetomo dalam kongresnya yang pertama mengacu pada eksistensi Medan
Perdamaian. Di dalam kongres Boedi Oetomo yang pertama di Djogjakarta,
keberadaan Medan Perdamaian turut dibicarakan. Namun hasil kongres dengan
penetapan justru bersifat kedaerahan dan terbatas di Jawa dan sekitar. Padahal
Medan Perdamaian bersifat nasional. Pada tahun 1902 Dja Endar Moeda, direktur
Medan Perdamaian mengirim bantuan sebesar f14.000 untuk peningkatan pendidikan
di Semarang. Sifat kedaerahan Boedi Oetomo (yang disahkan pada tanggal 4
Oktober 1908) inilah yang membuat Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di
Belanda meradang dan lalu menginisiasi dan membentuk organisasi mahasiswa yang
bersifat nasional Indisch Vereeniging 25 Oktober 1908, Soetan Casajangan adalah
adik kelas Dja Endar Moeda dan Radja Proehoeman di Kweekschool Padang
Sidempoean. Soerip Tagor kemudian juga meradang di Belanda ketika anggota
Indisch Vereeniging mulai condong ke Boedi Oetomo.
Soetan
Casajangan lulus Kweekschool Padang Sidempoean tahun 1887. Setelah mengabdi
menjadi guru sekolah di Padang Sidempoean selama 17 tahun, Soetan Casajangan
berangkat studi ke Belanda tahun 1905 untuk mendapatkan akte kepala sekolah
(seperti yang dilakukan Willem Iskander dulu). Jadi boleh dikata Soetan
Casajangan di Belanda sudah sangat dewasa dan memiliki pikiran yang matang.
Pada saat kedatangannya pribumi yang kuliah di Belanda baru lima orang
(termasuk Soetan Casajangan). Pada tahun 1908 ketika jumlah mahasiswa sekitar
20an orang dan bersamaan dengan perubahan orientasi Boedi oetomo, Soetan
Casajangan mempelopori didirikannya Indisch Vereeniging. Soetan Casajangan
pendiri Indisch Vereeniging adalah adik kelas Dja Endar Moeda pendiri Medan
Perdamaian, organisasi kebangsaan pertama.
Demikianlah kontribusi para guru dari Kweekschool
Padang Sidempoean. Dja Endar Moeda, pendiri organisasi kebangsaan pertama yang
mengantarkan Soetan Casajangan untuk mendirikan Indisch Vereeniging (organisasi
mahasiswa pertama). Lalu, Radja Proehoeman (dokter hewan generasi pertama)
mengantarkan Sorip Tagor yang menjadi dokter hewan Indonesia pertama. Dja Endar
Moeda adalah kakek dari Dr. Ida Lomongga, Ph.D (perempuan Indonesia yang meraih
gelar Ph.D); Radja Proehoeman adalah ayah dari Dr, Sjoeib Proehoeman, Ph.D
(dokter bergelar Ph.D). Soetan Casajangan adalah anak dari Maharadja Soetan
(murid langsung Willem Iskander, alumni pertama Kweekschool Tanobato).
Tentu saja jangan dilupakan peran guru-guru yang lain. Dr. Alinoedin
Siregar gelar Radja Enda Boemi, Ph.D ahli hukum pertama orang Batak adalah anak
dari seorang guru alumni Kweekschool Padang Sidempoenan (1892); Dr. Achmad
Mochtar, Ph.D (Direktur Eijkman Institut yang dibunuh Jepang) adalah anak
seorang guru dari Mandailing; Dr. Aminoedin Pohan, anak seorang guru alumnik
Kweekschool Padang Sidempoean; dan Mr. Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng
Moelia, Ph.D (Menteri Pendidikan RI yang kedua) adalah anak seorang guru di Padang Sidempoean. Namun
sayang sekolah guru Padang Sidempoean harus ditutup tahun 1892 karena defisit
pemerintah. Bagi siswa-siswa di Afdeeling Padang Sidempoean diarahkan ke
sekolah guru di Fort de Kock. Alumni sekolah guru Fort de Kock yang berasal
dari Padang Sidempoean adalah Abdoel Azis Nasution gelar Soetan Kenaikan
(alumni pertama Middelbare Lambouweschool Buietenzorg tahun 1914). Alumni
lainnya Kweekschool Fort de Kock adalah Dahlan Abdoellah sebagaimana diketahui
Sorip Tagor dan Dahlan Abdoellah adalah tokoh penting di Indische Vereeniging
dan Sumatra Sepakat (Sumantranen Bond) di Belanda.
Kita sebagai penerus yang sekarang, di era
informasi ini, kita tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan mereka semua para
pionir yang telah berkiprah lebih awal pada satu abad yang lalu. Kita hanyalah
sekadar follower.
Ketika
harus mengantarkan anak saya mendaftar di Institut Pertanian Bogor beberapa
tahun lalu tampak gedung rektorat diberi nama Andi Hakim Nasution, Saya, yang
juga pernah kuliah dan alumni ‘kampus hijau’ ini pada era tahun 1980an, hanya
bisa menunduk memberi rasa hormat kepada para pionir. Tidak hanya kepada Andi
Hakim Nasution tetapi juga kepada koleganya yang lain. Tanpa bermaksud
mengabaikan peran tokoh yang lainnya, secara khusus saya harus memberi rasa
hormat kepada ayahnya Dr. Anwar Nasution alumni Veeartsen School (1930), kepada
Soetan Kenaikan, alumni pertama Middelbare Lambouw School (1914); kepada Dr.
Sorip, alumni Veeartsen School (1912) yang menjadi dokter hewan Indonesia
pertama (1920), juga kepada dokter hewan generasi pertama Radja Proehoeman.
Veeartsen School dan Lambouw School te Buitenzorg adalah cikal bakal Institut
Pertanian Bogor. Tentu saja kepada Dja Endar Moeda dan Soetan Casajangan yang
telah mempelopori dengan sadar dalam proses awal pembentukan negara ini:
Indonesia Raya.
Last
but not least: Saya juga salut kepada Sati Nasution, pribumi pertama yang studi
ke Eropa/Belanda pada tahun 1857. Ibarat kata tuntutlah ilmu itu walau jauh ke
Eropa. Saat itu pelayaran ke Eropa masih via Afrika Selatan (terusan Suez baru
dibuka tahun 1869). Sati Nasution adalah adik kelas dari Si Asta di sekolah
rakyat di Panjaboengan. Pada tahun 1854 Si Asta dari Mandailing dan Si Angan
dari Angkola (Afdeeeling Mandailing en Angkola) diterima di sekolah kedokteran
di Batavia. Mereka berdua adalah siswa pertama yang diterima di sekolah
kedokteran tersebut yang berasal dari luar Jawa (jumlah siswa setiap tahun
sekitar 10 orang). Sekolah kedokteran ini kemudian disebut Docter Djawa School
(cikal bakal STOVIA). Posisi GPS sekolah ini kini berada di RSPAD Jakarta. Setelah
lulus tahun 1856 Dr Asta ditempatkan di Mandailing (di Panjaboengan) dan Dr
Angan di Angkola (di Padang Sidempoean). Pada tahun 1857 Si Sati tidak
melanjutkan studi ke Batavia, tetapi berangkat studi ke Belanda untuk sekolah
guru. Si Sati dengan nama kerennya Willem Iskander (dari nama Radja Belanda
Willem III dan penyair terkenal Rusia di London Iskander Hertzein) lulus dan
mendapat akte guru tahun 1860. Pada tahun 1861 Sati Nasution alias Willem
Iskaner kembali ke tanah air dan membuka sekolah guru di Tanobato (Mandailing)
pada tahun 1862. Salah satu siswa pertama Willem Iskander adalah ayah dari Radjioen
Harahap (Soetan Casajangan, pendiri Indisch Vereeniging di Leiden, Belanda).
Siswa pertama lainnya dari sekolah guru (kweekschool) Tanobato ini adalah kakek
dari Dr Ida Loemongga Nasution, Ph.D (perempuan pribumi pertama bergelar Ph.D).
Siapa Willem Iskander Si Sati yang Willem
Iskander? Sati Nasution alias Willem Iskander adalah kakek
buyut dari Prof. Ir. Andi Hakim Nasution, Ph.D (rektor IPB Bogor).
*Dikompilasi oleh Akhir Matua Harahap berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe. Sumber utama yang digunakan lebih pada ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam setiap penulisan artikel tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber ang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar