*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 adalah pemilu yang sangat unik. Untuk kali pertama Pemilu di Indonesia melangsungkan lima kegiatan pemilihan sekaligus, yakni: Presiden/Wakil Presiden; Anggota DPR Tingkat Pusat, Anggota DPD, Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) ini akan serentak digelar tanggal 17 April 2019. Salah satu Calon Legislatif DPRD Provinsi Jawa Barat di daerah pemilihan (Dapil) Kota Bekasi dan Kota Depok adalah Zulkarnain Alfisyahrin.
Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019 adalah pemilu yang sangat unik. Untuk kali pertama Pemilu di Indonesia melangsungkan lima kegiatan pemilihan sekaligus, yakni: Presiden/Wakil Presiden; Anggota DPR Tingkat Pusat, Anggota DPD, Anggota DPRD Provinsi dan Anggota DPRD Kabupaten/Kota. Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) ini akan serentak digelar tanggal 17 April 2019. Salah satu Calon Legislatif DPRD Provinsi Jawa Barat di daerah pemilihan (Dapil) Kota Bekasi dan Kota Depok adalah Zulkarnain Alfisyahrin.
Zulkarnain Alfisyahrin, DAN IV Karate |
Saya sempat
tertegun pencalonan Zulkarnain Alfisyahrin.Dia adalah kawan lama. Ingatan saya
kembali ke masa lampau sejak di kampung. Dia adalah kawan saya sejak masih SMA
di sebuah kota kecil di pedalaman Sumatra: Kota Padang Sidempuan. Saya baru
ingat kembali, dialah yang mengajari saya belajar sampai bisa mengendarai
sepeda motor HONDA CB 100. Artikel ini didedikasikan kepadanya tentang riwayat
masa lampau hingga dia menjadi warga Kota Bekasi dan saya menjadi warga Kota
Depok. Berikut inilah kisahnya.
Akhir, Zulfan, Suprianto, Alfis (1982) |
Pertemuan Bandung:
‘Geger Kalong?...’Osh!’
Setelah lulus SMA,
kami bertiga putus kontak (belum ada handphone). Cukup lama tidak ada
komunikasi hingga akhirnya, suatu ketika satu teman lama ketemu di Bogor memberitahu
pernah bertemu dengan Alfis (Zulkarnain Alfisyahrin) dan Zulfan (Zulfan Effendi).
Dari kawan lama inilah saya mendapatkan alamat mereka berdua di Bandung. Saya
coba menyurati mereka berdua. Suatu waktu saya berpikir untuk mengungjungi
mereka ke Bandung. Tentu saja saya beritahu melalui surat.
Saya naik bis dari Bogor via Puncak. Dari alamat Alfis saya
lihat di peta, saya harus turun di perempatan Kopo. Di persimpangan dimana saya
turun saya coba mencari ojek. Ketika saya masih mencoba kembali melihat catatan
alamat Alfis, tiba-tiba seorang pengendara berada di depan saya. ‘Ojek, Kang!’.
Saya jawab ‘iya, mau cari ojek’. ‘Mau diantar kemana’, tanya tukang ojek. Saya
berikan saja catatan alamat itu kepadanya. ‘Siap, Bang!, naik saja, ‘saya
antar, saya kenal Kang Alfis’ sambil memberikan kembali catatan alamat tersebut.
Yang membuat saya heran mengapa mereka sangat mengenal namanya Alfis. Ini,
terdengar beberapa kali, ketika kami sepanjang perjalanan ke tempat yujuan disapa
‘bade kamana’. Teman baru saya tukang ojek selalu menjawab: ‘mengantar teman
Kang Alfis’. Saya menganggap teman baru karena meski penampilannya terkesan ‘anak
funk’ tetapi nada dan tatabahasanya santun menyejukkan hati saya. Saya melihat
semacam ada anomali sepanjang jalan.
Setelah tiba di depan
rumah Alfis, saya tambah kaget lagi: Alfis sudah berdiri di depan sebuah rumah
yang saya duga tempat kosnya. Setelah tukang ojek menyerahkan penumpangnya
kepada Alfis. Saya tidak terlalu paham apa yang dibicarakan karena mereka berbahasa
Sunda yang halus pisan (saya agak kurang negerti). Sang tukang ojek, yang ada
tato di lengan kiri pamit tanpa menghiraukannya ketika saya menyodorkan uang
untuk ongkos. Lalu saya bersalaman erat dengan Alfis. Teman lama bertemu
kembali, setelah tiga tahun berpisah di kampung di Padang Sidempuaan.
Hal pertama yang saya
tanyakan, bukan tentang kuliahnya dan juga bukan kampung halaman kami. Tetapi
saya bertanya tentang pengalaman yang baru saja berlangsung. Situasi telah
menggiring saya bertanya tepat dimana kita berada. ‘Alfis, mengapa mereka begitu kenal dengan
Anda?’ (dalam bahasa Sidempuan). Maksud saya mereka dalam hal ini adalah para
pemuda di lingkungan ini yang baru saja lihat dan dengar. Alfis tidak langsung
memjawab pertanyaan. Alfis malah menjelaskan bahwa dia telah mengetahui saya sedang
menuju rumahnya di atas ojek, karena itu dia keluar dan berdiri di depan rumah.
Sambil masuk ke dalam, Alfis menunjukkan peralatan komunikasi yang disebut
‘intercom’. Melalui alat komunikasi itulah teman-teman tukang ojek memberitahu
kedatangan saya. Saya juga cepat mulai paham, mengapa tukang ojek tidak
menerima uang ongkos ojek saya dan malah balik dia berterimakasih kepada saya:
‘Osh!’. Suatu kearifan lokal Bandung yang sulit saya lupakan. Intercom menjadi
prasarana yang mereka bangun bersama di lingkungan untuk berkomunikasi dan
tentu saja untuk kebutuhan sistem keamanan lingkungan (siskamling). Untuk
pertahanannya, Alfis telah melatihnya dengan
baik dan penuh dedikasi.
Pertanyaan tentang
kuliah dan kampung halaman menjadi terlupakan karena saya masih bertanya. ‘Mereka
itu siapa Alfis?’. Alfis menjelaskannya begini: Mereka itu dulunya sebagian ‘anak-anak
sedikit nakal’. Beberapa tahun ini saya kumpulkan mereka dan melatih
mereka bela diri karate. Dengan begitu,
mereka saya ubah dari karakter kasar menjadi berkarakter lembut tetapi memiliki
pertahanan yang kuat. Saya cepat paham jalan pikiran Alfis. Karate memang
bertujuan membentuk karakter yang berkepribadian.
Pada waktu SMP saya adalah seorang karateka, tetapi baru
memiliki kyu 7 naik ke sabuk hijau sudah berhenti. Akan tetapi, tidak demikian
dengan Alfis, yang terus melanjutkan hingga di SMA dan Perguruan Tingi. Bahkan
Alfis, hingga sekarang di usia kepala lima masih konsisten berlatih, bahkan
baru-baru ini Alfis mendapat sertifikat DAN III Internasional. Oleh karenanya,
ketika kami bertemu di Bandung, 1986, Alfis saya tahu tetap konsisten berlatih.
Yang membuat saya tercengang, saat itu, Alfis tidak hanya melatih dirinya,
tetapi telah melatih banyak orang tanpa memungut biaya iuran di sekitar Kopo. Alfis,
yang masih duduk di bangku kuliah telah menjadi teladan di sebuah pemukiman di
Kota Bandung, teladan bagi siapa saja, anak-anak, remaja dan orang dewasa,
termasuk dalam hal ini ‘anak-anak sedikit nakal’ yang dalam bahasa sekarang
kerap diplesetkan sebagai ‘preman’. Alfis telah melakukan terobosan, suatu
kegiatan sosial yang jarang dipikirkan seorang mahasiswa. Alfis telah menjadi ‘Urang
Bandung’. Alfis telah menunjukkannya secara tidak langsung kepada saya di
Bandung. Apa yang ditunjukkan Alfis di Bandung, saya juga cepat paham. Saya
tahu persis, Alfis adalah seorang multi talenta. Ketika kami Raimuna di Cibubur
tahun 1982, Alfis adalah andalan kami. Dia bisa bermain gitar, dia jago menari
(tortor) saat kami lomba, dan juga fasih berbahasa Inggris. Satu hal lagi,
ketika kami lelah mengikuti kegiatan di Cibubur, Alfis di tenda sering memutar
kaset lagu Doel Soembang yang baru muncul tahun itu. Sangat menghibur bagi kami
musik Doel Soembang saat itu. Alfislah yang memperkenalkan musik Doel Soembang
kepada saya. Mudah-mudahan, semoga Alfis bisa membaca tulisan ini: ‘Alfis,
masih suka lagu dan musik Doel Soembang?.
Karakter kuat berkepribadian lembut sudah tentu telah
terbentuk sejak sekolah menengah (SMP dan SMA). Elemen pembentukan karakter dan
kepribadian saat kami masih bersekolah di Padang Sidempoean sangat terbatas. Tiga
elemen penting dalam pembentukan karakter dan kepribadian tersebut saat itu
adalah ikut kepramukaan dan masuk perguruan bela diri (karate atau silat).
Tentu saja elemen terpenting adalah tetap rajin belajar dimana saja (di
sekolah, di rumah, di kemah atau di perjalanan), Tiga elemen ini menjadi
password untuk lanjut ke prhuruan tinggi dengan landasan disiplin yang kuat (kepramukaan)
dan jiwa yang kompetitif (latihan bela diri). Tiga elemen inilah yang telah
membentuk karakter dan kepribadian awal Alfis, termasuk saya.
Seperti halnya,
anak-anak pramuka saat itu, jika lulus SMA ingin menjadi taruna Akabri. Itulah
yang sering kami perbincangkan saat itu. Alfis ingin masuk akademi Angkatan
Darat. Saya sendiri ingin masuk akademi kepolisian. Saat memasuki kelas 3 SMA
kami hanya sesekali bertemu. Sebab saat itu, semua siswa kelas tiga di seluruh
kota dibebaskan dari kegiatan ekstrakurikuler dan hanya fokus dan orientasinya belajar
untuk EBTA dan masuk PTN. Seperti tampak dalam foto di atas, kami berbeda sekolah:
saya SMA 1, Alfis SMA 2, Zulfan SMA 3 dan Suprianto SMA 4.
Pertemuan di Jakarta:
Sama-Sama Melamar Menjadi Jurnalis
Saat-saat baru lulus kuliah dan menjadi sarjana, tahun
1989 Alfis datang ke Bogor untuk menjumpai saya. Semacam kunjungan balasan
setelah saya ke Bandung beberapa tahun sebelumnya. Kami lebih banyak
membicarakan prospek. Setelah menjadi sarjana lantas menjadi apa? Sebab
perguruan tinggi umum berbeda dengan perguruan tinggi kedinasan. Lulusan
perguruan tinggi umum harus memilih profesi yang diinginkan.
Di tempat kos, Alfis
sempat bertanya. Sebuah guntingan lowongan kerja menjadi jurnalis di Harian
Kompas yang saya tempel di dinding meja belajar. ‘Mau melamar menjadi jurnalis,
Khir?. Saya jawab, iya. Alfis malah terkejut: ‘Koq, jauh amat bergeser dari
insinyur pertanian menjadi wartawan’. Saya jawab: ‘ dengan landasan yang kuat
di bidang keilmuan insinyur pertanian pada ilmu-ilmu sosial ekonomi, bakat saya
kayaknya di bidang tulis menulis, kalau saya tidak menjadi dosen, atau peneli
ya, ingin menjadi wartawan. Ketiga bidang ini sangat terkait dengan dunia tulis
menulis’. Alfis menyela: “oh, begitu’. Saya lalu menunjuk kembali iklan
lowongan yang di dinding: ‘karena itu iklan itu saya simpan, saya lagi
mempertimbangkan apakah ikut tes menjadi jurnalis’.
Pada saat surat lamaran saya lulus seleksi administasi
saya mendapat undangan untuk tes tulis yang akan diadakan di gedung Gramedia di
Palmerah. Yang ikut tes kata panitia sebanyak 1.400 orang, Yang akan diterima
menjadi wartwan hanya tujuh orang. Jelas itu tidak mudah. Saya ikut tes bersama
Zulkarnain Alfisyahrin. Lho, koq, bisa?
Setelah Alfis ke Bogor,
kami tidak pernah kontak. Saat saya tiba di Palmerah, saya sempatkan sarapan di
sebuah warung, Saat saya makan, tiba-tiba muncul Alfis: ‘Eh, ngapan di sini Alfis?’.
‘Saya ingin ikut tes. Saya berpikir, setelah pulang dari tempatmu di Bogor,
saya juga merasa bakat saya menjadi jurnalis. Untuk melamar ke Deplu disimpan dulu’.
‘Oalah. Mari kita makan’ sambil saya menggeser posisi tempat duduk. Tes
diadakan pukul 9, masih cukup banyak waktu. Karena kami jarang bertemu, obrolan
di warung itu menjadi bersemangat.
Selepas tes kami tidak
ketemua lagi. Saya tidak lulus di tes masuk harian Kompas. Saya lalu melamar
sebagai peneliti di kampus dalam sebuah projek penelitian. Projek ini kerjasama
dengan lembaga riset di Inggris berdurasi satu tahun. Selama proyek ini aya
tetap tinggal di Bogor tempat kos dimana pernah Alfis datang, Suatu ketika saya
menerima surat dari Alfis, dia sudah bekerja sebagai wartawan olah raga di
Media Indonesia. Saya tidak tahu apakah dia lulus di Kompas dulu. Yang jelas
saya tidak lulus karena ada surat pemberitahuannya. Yang jelas nama Alfis sudah
ada di jajaran wartawan bagian olahraga harian Media Indonesia dengan pemimpin
redakasi Surya Paloh beralamat di Jalan Gondangdia.
Saya teringat beberapa
tahun sebelumnya saya suka tulisan kolom Surya Paloh di harian Prioritas
(sebelum merger dengan Media Indonesia) dengan kolom berjudul Selamat Pagi
Indonesia. Saya hanya kadang-kadang membeli Prioritas dan tidak mampu
berlangganan (jarang mahasiswa mampu berlangganan), tetapi saya selalu
berlangganan untuk membaca kolom Selamat Pagi Indonesia. Tukang loper di pintu
gerbang kampus selalu baik kepada saya. Karena selalu saya baca koran Prioritas
sebentar tetapi memberinya 25 rupiah (sekali makan di warung saat itu kira-kira
300 rupiah). Yang saya baca hanya headline (kiri atas) dan kolom Selamat Pagi
Indonesia. Kolom ini letaknya bukan di kanan bawah seperti lazimnya, akan
tetapi berada di kanan atas. Kalau pembaca jeli, posisi kolom itu harus
diartikan sebagai kolom yang setara dengan headline. Kolom ini cukup kritis,
karena itulah saya selalu baca. Tapi tidak lama, surat kabar berwarna ini
dibreidel. Saya kehilangan. Pemberitahuan Alfis telah menjadi wartawan di bawah
koordinasi Surya Paloh membuat memorinya saya kembali muncul: Media Indoneia
adalah Sura Paloh dan Surya Paloh adalah Media Indonesia; idem dito dulu
Prioritas plus kolom Selamat Pagi Indonesia sama dengan Surya Paloh.
Setelah kontrak saya berdurasi setahun di Bogor hampir selesai
saya menemukan iklan lowongan di kampus sebagai peneliti di sebuah lembaga
riset di Jalan Salemba Raya No.4. Saya mengirim lamaran dan kemudian mendapat
undangan untuk test tertulis. Ada sebanyak 65 orang yang ikut test dan saya
masuk 12 besar untuk disaring melalui wawancara hingga mengerucut lima orang.
Alhamdulilah. Saya lulus dan diterima bekerja sebagai peneliti. Ternyata kantor
saya dengan kantor Alfis cukup berdekatan. Saya di Jalan Salemba, Alfis di
Jalan Gondangdia. Begitu dekatnya, bahkan saya bisa jalan kaki lewat belakang
melalui Pasar/Stasion Cikini.Saya kos di Kelurahan Paseban, Alfis di Kelurahan
Kali Pasir yang hanya dipisahkan oleh sungai Ciliwung (kira-kira sejauh antara
kelurahan saya dengan kelurahan Alfis di Padang Sidempuan yang hanya dipisahkan
oleh sungai Batang Ayumi). Kami kemudian menjadi warga DKI Jakarta dengan KTP Monas.
Teman kami yang dulu sama-sama pramuka, Zulfan Efendi setelah lulus bekerja di perusahan
perminyakan dan telah berdomisili di Kualalumpur. Babak baru dalam dunia
profesi kami masing-masing dimulai.
Tunggu deskripsi
lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar