*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Palembang dalam blog ini Klik Disini
Pada tahun 1852 praktis
situasi dan kondisi keamanan di Palembang dan sekitar (Residentie Palembang)
kondusif untuk pengembangan sosial penduduk. Salah satu aspek pengembangan
sosial adalah (introduksi) pendidikan aksara Latin. Sementara itu, di berbagai
tempat pendidikan sudah terlaksana dengan baik, apakah di (pulau) Jawa atau di
Sumatra terutama di Padangsch dan Mandailing en Angkola (Tapanoeli). Meski
demikian, pada tahun 1849 sudah ada wacana agar di Palembang dilakukan
pengembangan sekolah (pendidikan). Usul ini diduga kuat datang dari Residen
Palembang CPC Steinmetz. Namun usul ini tidak
segera terealisasi. Tidak diketahui sebab apa.
Sekolah di Batoe Radja, Residentie Palembang (1909) |
Yang terealisasi adalah pengadaan
sekolah untuk orang Eropa. Lalu komisi pendidikan dikirim ke Palembang untuk
menyiapkan pendidikan. Dalam perkembangannya sekolah yang didirikan di
Palembang tidak berjalan baik. Hal ini diduga karena kekurangan anak usia
sekolah. Jumlah orang Eropa/Belanda belum banyak. Akhirnya sekolah yang baru
didirikan di Palembang harus berhenti (lihat Dagblad van Zuidholland en 's
Gravenhage, 21-11-1856). Juga disebutkan sekolah sejenis (untuk orang
Eropa/Belanda) yang berada di Banjoemas juga ditutup. Lantas bagaimana
selanjutnya pendidikan di Palembang? Mari kita telusuri.
Adanya guru dan adanya
jumlah siswa yang cukup menjadi syarat adanya sekolah. Namun bagi orang
Eropa/Belanda memberi pelajaran bagi anak tidak terlalu persoalan besar. Setiap
orang Eropa/Belanda yang ada di Hindia Belanda (baca: Indonesia) sudah pasti
bisa baca tulis aksara Latin. Jika mereka memiliki anak usia sekolah dan tidak
terdapat sekolah untuk orang Eropa/Belanda mereka bisa mengajari anak-anak
mereka di rumah atau mengundang guru privat. Namun hal itu tidak mungkin
dilakukan oleh orang pribumi. Bagi pribumi pendidikan aksara Latin adalah suatu
yang baru. Oleh karena itu harus ada guru. Yang terpenting ada kemauan anak didik
dan dukungan orang tua dan pemimpin lokal. Pendidikan adalah upaya untuk
meningkatkan taraf pengetahuan. Dinamika ini menjadi tantangan bagi pegiat
pendidikan dan pemerintah. Adanya guru dan adanya kemauan anak usia sekolah
bersekolah adalah faktor penting
Sekolah Pertama di Palembang,
Sekolah Guru Pertama di Soeracarta
Usul pendirikan sekolah
di Palembang muncul tahun 1849 (lihat Nederlandsche staatscourant, 22-12-1849).
Namun usul ini tidak segera terlaksana. Sementara di Riaouw (Tandjong Pinang, Bintan)
sudah dibuka sekolah dua tahun pada awal tahun ini oleh guru J. Ijzelman (lihat
Nieuwe Rotterdamsche courant : staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 21-05-1850).
Di Batavia sudah terdapat dua
sekolah pemerintah di Molenvliet dan di Weltevreden (lihat Nederlandsche
staatscourant, 22-12-1849). Sekolah di Molenvliet sekarang ada 83 murid dan sekolah
di Weltevreden terdapat 140 murid. Di Soerabaja akan ditambah satu lagi sekolah
kedua. Sekolah juga akan diterapkan di Semarang. Guru yang layak untuk di
Samarang disulkan J Wilkens. Selain sekolah pemerintah, sekolah-sekolah swasta
juga muncul di Batavia seperti di Parapattan yang sekarang siswanya 56 orang. Subkomite
memantau terus perkembangan sekolah-sekolah di Batavia.
Usul pendirian sekolah
di Palembang baru terlaksana pada tahun 1854 (lihat Rotterdamsche courant, 19-01-1855).
Disebutkan pada tanggal 14 sekolah baru diresmikan di Palembang dan guru W.
Beerekamp diangkat oleh Residen. Dalam pembukaan ini turut dihadiri oleh Dr SA
Buddingh.
W. Beerekamp adalah seorang guru
yang didatangkan dari Belanda sebagai bagian dari program pemerintah dalam
pengadaan guru untuk pengembangan pendidikan. Jumlah guru-guru yang didatangkan dari
Belanda dari waktu ke waktu semakin banyak. Pada tahun 1854 jumlahnya 57 orang
dan bertambah menjadi 64 orang pada tahun 1855. Selain tenaga kependidikan,
pemerintah juga mendatang sukarelawan (mahasiswa) dari Belanda (lihat Dagblad van
Zuidholland en 's Gravenhage, 21-11-1856).
Salah satu guru yang
didatangkan dari Belanda pada gelombang pertama adalah Dr. Palmer van den Broek
yang ditempatkan di Soeracarta. Namun dalam perkembangannya Dr. Palmer van den
Broek berinisiatif untuk memperbanyak guru pribumi, Dr. Palmer van den Broek
yang masih lajang tersebut berinisiatif mendirikan sekolah guru (kweekschool)
di Soeracarta yang sekaligus menjadi kepala sekolah. Jumlah siswa pada tanggal
31 Mei 1855 sebanyak 15 siswa. Empat lulusan sudah ditempatkan di Kedoe,
Pekalongan, Japara dan Bagelen. Dr. Palmer van den Broek menggunakan dua buku
yang ditulis oleh guru E Netscher berbahasa Melayu yang telah diterjemahkan
oleh CF Winter ke dalam bahasa Jawa di Soeracarta. Dr. Palmer van den Broek
menikah dengan SH Quentin di Soerakarta 9 November 1852 (Opregte Haarlemsche
Courant, 25-01-1853).
Akan tetapi sekolah yang
didirikan di Palembang ini tidak lama kemudian ditutup (lihat Dagblad van
Zuidholland en 's Gravenhage, 21-11-1856). Sekolah ini diduga baru berumur satu
tahun lalu kemudian berhenti. Tidak jelas mengapa berhenti. Yang jelas di
berbagai tempat penyelenggaraan pendidikan justru diterima secara positif baik untuk
kalangan Eropa/Belanda maupun untuk kalangan pribumi. Bahkan lulusan sekolah bagi
pribumi di Mandailing en Angkola (Residentie Tapanoeli) sudah ada dua orang
yang melanjutkan studi kedokteran ke Batavia tahun 1854,
Nieuwe Rotterdamsche
courant: staats-, handels-, nieuws-en advertentieblad, 18-01-1855:
‘Batavia, 25 November 1854. Satu permintaan
oleh kepala Mandheling (Batta-landen) dan didukung oleh Gubernur Sumatra’s
Westkust, beberapa bulan yang lalu, ditetapkan oleh pemerintah, bahwa dua anak
kepala suku asli terkemuka, yang telah menerima pendidikan dasar dibawa atas
pembiayaan pemerintah ke Batavia dan akan mengikuti pendidikan kedokteran,
bedah dan kebidanan. Para pemuda yang disebut Si Asta dan Si Angan di rumah
sakit militer di Batavia baru saja tiba dari pelabuhan Padang disini (Batavia),
dan akan disertakan di pelatihan perguruan tinggi (kweekschool) dokter asli’. Nederlandsche
staatscourant, 03-04-1857: ‘Pada tanggal
18 Desember 1856 dua siswa, yang berasal dari Sumatra, dan enam orang dari Jawa
di Batavia, setelah pelatihan mereka di sekolah kedokteran rumah sakit militer
di Weltevreden, mengikuti ujian dokter-Djawa dan berhasil’.
Dua siswa asal Mandailing en Angkola tersebut adalah dua siswa pertama yang diterima dari luar Jawa. Sekolah kedokteran ini dibuka tahun 1851. Setelah lulus dua siswa tersebut kembali ke kampung halaman masing-masing. Dr. Asta di onderafdeeling Mandailing dan Dr. Angan di onderafdeeling Angkola. Sekolah kedokteran ini kemudian dikenal sebagai Docter Djawa School (cikal bakal STOVIA dan Universitas Indonesia).
Pada saat sekolah dasar bagi
orang Eropa/Belanda di Palembang ditutup (1856), JAW van Ophuijsen, Residen Padangsche
Bovenlanden menginisiasi pendirian sekolah guru (kweekschool) bagi pribumi di
Fort de Kock tahun 1856. JAW van Ophuijsen menjadi pionir kedua bagi pribumi di
Fort de Kock, setelah yang pertama Residen CPC Steinmetz pada tahun 1846
memperkenalkan pendidikan bagi pribumi di Fort de Kock. Seperti disebutkan di
atas, CPC Steinmetz adalah orang yang mengusulkan didirikannya sekolah di
Palembang pada tahun 1849. Dalam hal ini, sudah terdapat dua sekolag guru di
Hindia Belanda yakni di Soeracarta dan di Fort de Kock.
Seorang lulusan sekolah di
Mandailing bernama Si Sati, tidak menginginkan sekolah kedoteran ke Batavia.
Pada tahun 1856 kembali dua siswa asal Afdeeling Mandailing dan Angkola
diterima di Docter Djawa School (Si Dorie dan Si Napang). Si Sati juga tidak
berkeinginan melanjutkan ke sekolah guru (kweekschool) yang baru dibuka di Fort
de Kock. Pada saat Asisten Residen Mandailing en Angkola cuti dua tahun ke
Belanda (setelah berdinas selama delapan tahun di Mandailing dan Angkola)
mengajak Si Sati melanjutkan sekolah guru ke Belanda. Dua anak muda itu
berangkat tahun 1857.
Ada persamaan antara AP
Godon dan Dr. Palmer van den Broek yakni sama-sama muda saat mulai menginisiasi pendidikan kepada
penduduk pribumi, Mereka sama-sama masih lajang. Idealis mereka muncul diantara
banyak orang Belanda yang rasis. Dr. Palmer van den Broek berinisiatif
mendirikan sekolah guru (kweekschool) di Soeracarta (1851); AP Godon
berinisiatif membimbing SI Sati di Mandailing en Angkola untuk studi guru
langsung ke Belanda.
Sekolah di Palembang Dihidupkan Kembali, Sekolah Guru Tanobato
di Mandailing en Angkola Menjadi Sekolah Guru Terbaik
Tidak diketahui apa
sebab sekolah di Palembang ditutup, dan juga tidak diketahui apa selanjutnya. Boleh
jadi berbagai upaya telah dilakukan, Namun sejauh ini tidak ada indikasi penyelenggaraan
pendidikan (sekolah) di Palembang. Pejabat untuk subkomite pendidikan diangkat
kembali untuk melakukan persiapan penyelenggaraan pendidikan aksara Latin.
Namun tidak lama kemudian pejabat tersebut ECF Happé meminta kepada Residen
untuk mengundurkan diri. Permintaan disetujui (Nieuw Amsterdamsch handels- en
effectenblad, 01-10-1860).
Pada tahun 1861 Si Sati alias Willem
Iskander lulus sekolah guru di Belanda dan kembali kampung halaman di
Mandailing. Si Sati mengambil nama dari Radja Belanda, Willem III dan sastrawan
terkenal Rusia yang bermukim di London Iskander Hartzen. Pada tahun 1862 Willem
Iskander mendirikan sekolah guru (kweekschool) di kampong Tanobato do
Onderfadeeling Mandailing. Sekolah guru yang langsung diasuh Willem Iskander
menerima 18 murid di tahun pertama yang berasal dari sekolah-sekolah di
Afdeeling Mandailing dan Angkola (jumlah sekolah di Afdeeling Mandailing tahun
1862 sebanyak enam buah).
Kembali pejabat
subkomiter pendidikan dikirim ke Palembang. Namun hasilnya belum terdeksi
apakah sudah ada penyelengggaraan sekolah aksara Latin di Palembang. Pejabat
subkomite pendidikan di Palembang F van Kolwich mengundurkan diri (lihat Sumatra-courant
: nieuws- en advertentieblad, 01-10-1864). Sementara itu, Inspektur Pendidikan
Pribumi. JA van Chijs berkunjung ke Tanobato untuk melihat langsung kemajuan
sekolah guru yang diasuh Willem Iskander. Kunjungan itu diduga dipicu sebuah
laporan Gubernur Sumatra’s Westkust yang dimuat pada surat kabar tahun
sebelumnya.
Nieuwe Rotterdamsche courant:
staats-, handels, nieuws- en advertentieblad, 20-03-1865: ‘Izinkan saya
mewakili orang yang pernah ke daerah ini. Di bawah kepemimpinan Godon daerah
ini telah banyak berubah, perbaikan perumahan, pembuatan jalan-jalan. Satu hal
yang penting tentang Godon telah membawa Willem Iskander studi ke Belanda dan
telah kembali kampungnya. Ketika saya tiba, disambut oleh Willem Iskander,
kepala sekolah dari Tanabatoe diikuti dengan enam belas murid-muridnya, Willem
Iskander duduk di atas kuda dengan pakaian Eropa murid-muridnya dengan kostum
daerah….Saya tahun lalu ke tempat dimana sekolah Willem Iskander didirikan di
Tanobato…siswa datang dari seluruh Bataklanden…mereka telah diajarkan
aritmatika, ilmu alam, prinsip-prinsip fisika, sejarah, geografi,
matematika…bahasa Melayu, bahasa Batak dan bahasa Belanda….saya sangat puas
dengan kinerja sekolah ini’.
Berita-berita pendidikan
di Palembang sunyi senyap. Tidak ada perubahan tidak ada berita. Ketika
pendidikan bangkit di sejumlah wilayah di Jawa dan Sumatra, pendidikan di
Palembang justru tenggelam hingga muncul berita JAW van Ophuijsen dipindahkan
ke Palembang sebagai Residen Palembang yang baru tahun 1867. Apakah kehadiran JAW
van Ophuijsen menjadi pertanda baik untuk kebangkitan pendidikan di Palembang? Seperti
telah disebutkan JAW van Ophuijsen pada tahun 1856 mendirikan sekolah guru
(kweekschool) di Fort de Kock, sekolah guru uang kini mutunya sudah dilampaui
oleh sekolah guru di Tanobato, Afdeeling Mandailing en Angkola.
Java-bode: nieuws, handels- en
advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 14-11-1868 yang mengutip dari surat
kabar Soerabayasch Handelsblad edisi 5 November sangat menyentuh: ‘Mari kita
mengajarkan orang Jawa, bahwa hidup adalah perjuangan. Mengentaskan kehidupan
yang kotor dari selokan (candu opium). Mari kita memperluas pendidikan sehingga
penduduk asli dari kebodohan’. Orang Jawa, harus belajar untuk berdiri di atas
kaki sendiri. Awalnya Chijs mendapat kesan (sebelum ke Tanobato) di Pantai
Barat Sumatra mungkin diperlukan seribu tahun sebelum realisasi gagasan
pendidikan (sebaliknya apa yang dilihatnya sudah terealisasi dengan baik).
Kenyataan yang terjadi di Mandailing dan Angkola bukan dongeng, ini benar-benar
terjadi, tandas Chijs’
Setelah lama tidak
terdeteksi kegiatan pendidikan di Palembang, pada tahun 1868 pemerintah mengirm
kembali subkomite ke Palembang CPK Winkel dan dan A van Davelaar (lihat Algemeen
Handelsblad, 09-03-1868). Tidak lama kemudian untuk sekolah dasar pemerintah
Openbare Lagere School di Palembang diangkat seorang guru bernama E Asbeek
Brusse (lihat Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 05-09-1868).
Diduga kuat sejak ini sekolah di Palembang terus bertahan. Pada tahun 1873
diberitakan seorang gurubantu (hulponderwijzer) ditambahkan ke Openbare Lagere
School di Palembang, J Ros (lihat Bataviaasch handelsblad, 02-04-1873).
Pengembangan pendidikan di suatu
kota atau suatu wilayah tidaklah selalu didahului untuk orang Eropa/Belanda
baru kemudian untuk pribumi, tetapi juga bisa sebaliknya. Hal ini tergantung
pada kebutuhan setempat. Untuk pendidikan bagi orang Eropa/Belanda jumlah
populasi atau jumlah anak usia sekolah ,emjadi faktor pembatas. Sedangkan bagi
pribumi penyelenggaraan pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
lain: situasi dan kondisi ekonomi setempat, kemampuan ekonomi daerah (semacam PAD)
menjadi faktor penting; keinginan para pemimpin lokal dan kemauan anak usia
sekolah untuk bersekolah; dan tersedianya guru. Penyelenggaraan pendidikan
dapat dilakukan oleh pemerintah lokal (Residen, Asisten Residen atau
Controleur) atau oleh pemerintah pusat.
Akhirnya penyelenggaraan
pendidikan aksara Latin di Pelembang untuk kalangan pribumi terlaksanan pada
tahun 1874 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 25-04-1874). Berdasarkan beslit/keputusan Gubernur Jenderal
tanggal 22 April 1874 menetapkan bahwa di ibukota Palembang akan dibentuk sekolah
pribumi pemerintah (gouvernement inlandsch school).
Pada bulan April 1874 guru Kweekschool
Tanobato Afdeeling Mandailing dan Angkola Willem Iskander berangkat studi
kembali ke Belanda untuk mendapatkan akte kepala sekolah. Hal ini terjadi sebagai
bagian dari program peningkatan mutu pendidikan pribumi, pemerintah mengirim
tiga guru muda studi ke Belanda yakni Banas Lubis dari Tapanoeli, Raden Adi
Sasmita dari Kweekschool Bandung, dan Raden Soetono dari Kweekschool Soeracarta
yang mana sebagai pembimbing adalah Willem Iskander. Untuk itu, Willem Iskander
diberikan beasiswa untuk melanjutkan studi akte kepala sekolah. Oleh karena itu
Kweekschool Tanobato ditutup tahun 1873, dan Willem Iskander akan direncanakan
menjadi direktur sekolah guru yang lebih besat di Padang Sidempoean yang akan
dibuka pada tahun 1879 (ibukota Afdeeling Mandailing edan Ankola sejak 1870
telah dipindahkan dari Panjaboengan di Mandailing ke Padang Sidempoean di
Angkola..
Dalam hal ini, meski
Palembang adalah kota yang terbilang salah satu kota tua di Hindia Belanda,
tetapi dalam penyelenggaraan pendidikan khususnya bagi pribumi terbilang
terlambat. Untuk ukuran sekolah guru bahkan di Soeracarta (Midden Java) sudah
didirikan pada tahun 1851, di Fort de Kock (Residentie Padangsche Bovenlanden) tahun
1856 dan di Afdeeling Mandailing dan Angkola (Residentie Tapanoeli) tahun 1862.
Tentu saja sekolah-sekolah dasar sudah ada jauh sebelum berdirinya sekolah guru
tersebut.
Pada tahun 1875 seorang pegawai
pemerintah yang baru lulus di Belanda ditempatkan di Panjaboengan, Namun baru
setahun bekerja di kota kecil itu, pegawai tersebut tertarik dengan sastra
Batak dan lalu mendalaminya. Beberapa tahun kemudian pegawai tersebut meminta
kepada pemerintah untuk dirinya diangkat sebagai guru. Lalu pada tahun 1879
calon guru tersebut diuji sebuah komisi di Padang dan berhasil menjadi guru
lalu ditempatkan di Kweekschool Probolinggo. Setelah dua tahun magang di
Probolinggo meminta dipindahkan ke sekolah guru di Padang Sidempoean (1881).
Guru baru tersebut adalah Charles Adrian van Ophuijsen. Selama delapan tahun
menjadi guru di Keekschool Padang Sidempoean, lima tahun terakhir sebagai
direktur sebelum diangkat menjadi Inspektur Pendidikan di Pantai Barat Sumatra.
Charles Adrian van Ophuijsen yang telah menulis buku Tata Bahasa Melayu pada
tahun 1905 diangkat sebagai guru besar (profesor) bahasa Melayu di Universiteit
Leiden. Asistennya dalam pengajaran bahasa Melayu di kampus legendaris itu
adalah Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, murid Charles Adrian van
Ophuijsen di Kweekschool Padang Sidempoean yang sejak tahun 1905 berada di Belanda untuk studi lebih lanjut untuk mendapat akta kepala sekolah..
Charles Adrian van
Ophuijsen adalah anak dari JAW van Ophuijsen. Seperti disebutkan di atas JAW
van Ophuijsen adalah pendiri sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock tahun
1856. JAW van Ophuijsen, Residen Palembang sejak 1867 mulai membangkitkan
kembali penyelenggaraan pendidikan di Pelembang. Permulaan pendidikan bagi
kalangan pribumi di Palembang tahun 1874 secara tidak langsung adalah
kontribusi dari JAW van Ophuijsen. Dalam hal ini Charles Adrian van Ophuijsen:
like father, like son. Untuk sekadar catatan: JAW van Ophuijsen memulai karir
sebagai pejabat di yakni sebagai Controleur dimulai di Onderafdeeling Natal,
Afdeeling Mandailing en Ankola pada tahun 1852, ketika dimana Asisten Residen
AP Godon memperkenalkan pendidikan aksara Latin di Afdeeling Mandailing en
Angkola. Beberapa tahun sebelumnya, Edward Douwe Dekker juga memulai karir
sebagai Controleur di Natal. Edward Douwe Dekker kelak dikenal sebagai
Multatuli,pengarang buku Max Havelaar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar