*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini
Sejarah Kota Gede di Kota Yogyakarta sudah banyak ditulis. Namun tetap masih ada hal yang tercecer dan bahkan ada hal yang terabaikan. Perihal yang tercecer dan terabaikan itu yang akan diuraikan dalam artikel ini. Satu hal yang tidak pernah ditulis adalah Malioboro sendiri. Pada era VOC, Malioboro dicatat sebagai area kraton, area yang menjadi ibukota Kerajaan Mataram. Dari Malioboro inilah Kota Gede berkembang.
Sejarah Kota Gede di Kota Yogyakarta sudah banyak ditulis. Namun tetap masih ada hal yang tercecer dan bahkan ada hal yang terabaikan. Perihal yang tercecer dan terabaikan itu yang akan diuraikan dalam artikel ini. Satu hal yang tidak pernah ditulis adalah Malioboro sendiri. Pada era VOC, Malioboro dicatat sebagai area kraton, area yang menjadi ibukota Kerajaan Mataram. Dari Malioboro inilah Kota Gede berkembang.
Pasar Gede, 1876 |
Bagaimana jalan
ceritanya? Itulah yang menjadi soal. Suatu soal yang dapat dijawab yang dapat diselesaikan
berdasarkan data-data. Data-data inilah yang di dalam artikel ini dianggap
tercecer sehingga terabaikan dalam analisis asal usul kota. Mari kita mulai
dari nama Malioboro.
Satu hal yang saya kagumi tentang
Kerajaan Mataram adalah visi dan keberanian Soeltan Agoeng menyerang VOC/Belanda
di Batavia tahun 1628. Memang tidak berhasil, tetapi Soeltan Agoeng tidak
kalah. Secara defacto, VOC/Belanda tidak pernah menaklukkan (kerajaan) Mataram.
Hanya saja Kerajaan Mataram pecah kongsi menjadi dua kerajaan: Kesunanan
Soeracarta dan Kesultanan Jogjakarta. Pangeran Diponegoro dari Kesultanan
Jogjakarta berani melawan Pemerintah Hindia Belanda. Memang tidak berdaya dan kalah,
tetapi harga diri tetap terjaga. Soeltan Agoeng dan Pangeran Diponegoro hidup
dalam dua era yang berbeda: era Mataram dan era Jogjakarta.
Situasi di area kraton Mataram (lukisan 1676) |
Kraton Mataram (lukisan 1676) |
Hasil-hasil dari
ekspedisi ke Mataram tahun 1681 dinarasikan dan dipetakan sebagai dokumen
pemerintah (VOC/Belanda). Dua peta pertama yang diterbitkan pada tahun 1695
mengindikasikan rute yang digunakan oleh Command. Couper dari benteng Missier
di Tegal dan rute yang digunakan oleh Majoor Govert Knol dari Semarang ke
wilayah timur di Soerabaja.
Peta ekspedisi Jacob Couper (1695) |
Nama Marbongh, area Kraton Mataram (Peta 1700) |
Malioboro, Cikal Bakal Kota Gede
Pada peta ekspedisi
VOC/Belanda hanya diidentifikasi Mataram dan Marbongh. Pada peta-peta
selanjutnya (kraton) Mataram masih eksis. Area kraton Mataram tampak lebih luas
jika dibandingkan dengan area kraton Cartasoera. Pada Peta 1724 area kraton
Mataram digambarkan berbentuk melingkar. Gambaran melingkar ini sesuai dengan
yang digambarkan pada peta hasil ekspedisi pertama (Peta 1700).
Malioboro, Kota Mataram (1724) |
Pada tahun 1745
VOC/Belanda dan kraton Cartasoera secara bersama-sama memindahkan ibukota dari
Cartasoera ke lokasi yang baru di arah timur. Lokasi baru ini kemudian disebut
Soeracarta (Solo). Pada Peta 1724 terlihat sudah ada benteng VOC/Belanda di
Cartasoera. Antara Semarang dan Cartasoera terdapat jalur lalulintas yang
dibeberapa tempat terdapat benteng-benteng kecil seperti di Oengaran, Toentang
dan Salatiga.
Peta jalur Semarang-Cartasoera (1724) |
Dalam perkembangannya
Sultan Jogjakarta memindakan kraton dari Mataram ke tempat yang baru yang
kemudian namanya disebut Jogjakarta. Kraton Jogjakarta ini dirancang sedemikian
rupa sehingga tampak lebih modern jika dibandingkan dengan lanskap kraton di
Mataram.
Area kraton Jogjakarta (1771) |
Pohon beringin kembar di aloon-aloon Jogajakarta (1910) |
Jogjakarta dan Jalan Malioboro
Setelah VOC/Belanda
dibubarkan dan diambil alih oleh Kerajaan Belanda dengan membentuk Pemerintahan
Hindia Belanda (1800), pulau Jawa dibagi ke dalam beberapa provinsi. Dua
diantaranya Provinsi Soeracarta dan Provinsi Jogjakarta. Program pemerintah
yang dilakukan pertama adalah membangun jalan trans-Java antara Anjer dan
Panaroekan pada era Gubernur Jenderal Daendels. Jalan trans-Java ini termasuk
ruas jalan Semarang ke Soeracarta dan Djogjakarta. Namun tidak lama kemudian
terjadi pengabilalihan kekuasaan oleh Inggris tahun 1811.
Dalam pemerintahan baru Inggris yang
berpusat di Buitenzorg (pulau) Jawa dibagi ke dalam 16 residentie, yaitu:
Bagelen, Bantam (Banten), Banyumas, Basoeki (Besuki), Buitenzorg (Bogor),
Tjirebon (Cirebon), Batavia (Jakarta), Karawang, Kediri, Kedoe (Karanganyar),
Madioen (Madiun), Madoera (Madura), Pasoeroewan (Pasuruan), Djapara (Jepara),
Preanger (Priangan), Pekalongan, Rembang, Samarang (Semarang), Soerabaja,
Soerakarta dan Jogjakarta. Dalam era pendudukan Inggris sempat terjadi
perlawanan Djogjakarta pada tahun 1812 namun berhasil diredakan oleh militer
Inggris.
Pendudukan Inggris tidak
berumur panjang dan kembali diambilalih oleh Pemerintah Hindia Belanda pada
tahun 1816. Hubungan yang intim antara kraton Soeracarta dengan orang
Eropa/Belanda sejak era VOC/Belanda memudahkan pemulihan hubungan antara
Pemerintahan Hindia Belanda dengan kraton Soeracarta. Lalu kemudian Gubernur
Jenderal datang ke Soeracarta dan diterima dengan baik oleh Soesoehoenan (lihat
Middelburgsche courant, 10-02-1820). Sejak kedatangan Gubernur Jenderal di
pedalaman Jawa, secara bertahap dan secara perlahan-lahan Pemerintah Hindia
Belanda mulai melakukan pemerintahan secara efektif. Tetapi tidak di
Jogjakarta.
Peta Pasar Gede dan Kraton Tua (1830) |
Pemerintahan di
Residentie Djogjakarta dimulai kembali setelah usai perang 1830. Namun
pemerintahan masih bersifat militer. Kolonel Cohius membangun markas besar di
dekat kraton Jogjakarta. Markas tersebut tidak di dalam benteng Vredeburg,
melainkan di suatu tempat di sebelah barat benteng. Area antara benteng
(Vredeburg) dengan markas militer (garnisun) mulai didirikan sejumlah bangunan
sipil. Sementara di dalam benteng difungsikan untuk pertahanan. Barak-barak
militer dibangun di belakang benteng.
Peta Jogjakarta dan Pasar Gede (1890) |
Dalam perkembangannya di
seputar benteng Vredeburg dan kantor Residen menjadi ramai dan membentuk kota.
Pasar yang berada di utara benteng yang telah eksis sejak era VOC/Belanda
semakin ramai sehubungan dengan kedatangan orang-orang Tionghoa dan Arab (dari
Semarang). Area di utara pasar (kini Pasar Beringhardjo) tumbuh menjadi
perkampungan Tionghoa. Sementara perkampungan orang Arab dan Melayu berkembang
di dekat kraton yang dikenal sebagai Kaoeman. Dengan semakin kondusifnya
keamanan, para investor Eropa/Belanda mulai berdatangan dimana kraton
menyewakan lahan-lahan dalam bentuk konsesi untuk pengembangan perkebunan
(plantation).
Jalan Malioboro (1920) |
Kota Gede Sebagai Heritage
Sesungguhnya warisan
sejarah yang paling penting di Kota Jogjakarta bukanlah kraton Jogjakarta. Juga
bukan benteng Vredeburg dan juga bukan kantor Residen. Akan tetapi, warisan
terpenting adalah Kota Gede.
Pada masa ini situs yang paling
terkenal di Kota Jogjakarta adalah Jalan Malioboro, suatu jalan yang namanya
disebut Malioboro sejak 1910. Malioboro sendiri adalah area (pusat) kraton
Mataram tempo dulu yang menjadi pusat (ibukota) Kerajaan Mataram. Tanpa kita
sadari, Jalan Malioboro sekarang ini adalah wujud baru pusat Kerajaan Mataram
tempo dulu.
Kota Gede haruslah
dipandang sebagai warisan sejarah terpenting. Namun karena letak Kota Gede yang
terkesan berada di pinggir kota, sering terlupakan sebagai warisan sejarah
terpenting di Jogjakarta. Para wisatawan hanya mengenal Jalan Malioboro sebagai
warisan sejarah penting. Itu tidak salah, karena kita sendiri salah
memposisikan Kota Gede di dalam Kota Jogjakarta. Keutamaan Kota Gede karena di
masa lampau Kota Gede disebut sebagai Malioboro, ibukota Kerajaan Mataram.
Lantas kapan nama Kota
Gede muncul? Nama Kota Gede tidak dikenal di masa lampau. Yang dikenal adalah
Pasar Gede. Nama Kota Gede diduga kuat baru muncul pada awal tahun 1950an.
Inilah kronologis nama Kota Gede.
Terbentuknya Kerajaan
Mataram (Ki Gede Pamanahan).
Penembahan Senapati
memperkuat Kerajaan Mataram dan terbentuknya Kraton Mataram sebagai ibukota
(malyabhara atau Malioboro).
Ibukota Kerajaan Mataram
dipindahkan ke Pleret (Kraton Mataram atau Malioboro tetap eksis).
Ibukota Kerajaan Mataram
dipindahkan ke Cartasoera (Kraton Mataram atau Malioboro tetap eksis). Jalan
raya terbentuk antara Mataram dan Cartasoera. VOC/Belanda berkolaborasi dengan
Kerajaan Mataram di Cartasoera dan kemudian membangun jalur penghubung antara
Semarang dengan Cartasoera. Kraton Cartasoera dipindahkan tahun 1745 dan
namanya menjadi Soeracarta (Solo).
Kerajaan Mataram pada
tahun 1755 dibagi dua berdasar Perjanjian Giyanti): Kesunanan Cartasoera dan Kesultanan
Jogjacarta.
Ibukota Kesultanan
Jogjacarta berada di Kraton Mataram atau Malioboro.
Ibukota Kesultanan
Jogjacarta dipindah dengan dibangun baru Kraton Jogjacarta
(hingga sekarang).
Pemerintah Hindia
Belanda pada era Gubernur Jenderal Daendels (1809-1811) membangun jalan
trans-Java antara Anjer da Panaroekan. Jalan trans-Java diperluas dari Semarang
hingga ke Soeracarta dan kemudian diperluas dari Soeracarta melingkar gunung
Merapi melalui wilayah Jocjacarta dan Magelang lalu kemudian tersambung di
Ambarawa menuju Semarang.
Pasar Gede semakin
penting.
Pada era pendudukan
Inggris (1812-1816) dibangun loji di Jogjakarta. Kantor Residen berada di
Boeloe (di belokan jalan Trans Java Soeracarta-Magelang).
Setelah pendudukan
Inggris, Pemerintah Hindia Belanda mengubah loji menjadi benteng (Vredeburg).
Pasar baru muncul di sisi
utara benteng (kelak disebut Pasar Beringhardjo). Pasar Gede secara perlahan
meredup dan Pasar Beringhardjo semakin populer (sehubungan dengan masuknya
pedagang-pedagang Tionghoa dan Arab dari Semarang).
Perang Diponegoro
(1825-1830).
Pasca perang, Kantor
Residen dibangun di seberang jalan benteng Vredeburg.
Selain sudah ada pasar,
muncul penginapan pertama di Jogjakarta yang diberi nama Loge Malioboro tahun
1865.
Pada tahun 1872 dibuka
jalur kereta api ke Jogjakarta dan stasion Toegoe dibangun. Jalur kereta
kemudian diperluas hingga ke Tjilatjap.
Pada tahun 1910 jalan
utama antara kraton Jogjakarta dengan stasion Toegoe disebut jalan Malioboro
(mengambil nama dari loge/losmen pertama di Jogajkarta Losmen Malioboro)
Pasar Beringhardjo
menjadi pasar terbesar di Jogjakara. Pasar Gede masih eksis. Nama jalan
Malioboro semakin populer, nama Pasar Gede semakin meredup.
Pada tahun 1950an nama
Kota Gede muncul sebagai nama lain Pasar Gede.
Kini, Kota Gede atau
Pasar Gede atau Malioboro menjadi heritage Jogjakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar