*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Nama Cikeas (Tjikeas) pada msa kini menjadi sangat populer, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mantan Presiden RI dan keluarga beberapa tahun lalu telah membangun sebuah puri (rumah) tidak jauh di sisi timur sungai Cikeas.di bilangan kawasan Perumahan Cibubur. Kehadiran Puri Cikeas, membuat nama Cikeas meroket. Posisi GPS tempo doeloe adalah kampong Tjikeas Nagrak yang telah bertransformasi dari sebuah kampong kecil menjadi nama sebuah kawasan pemukiman yang elite, asri dan hijau. Keluarga SBY bermukim disitu.
Nama Cikeas (Tjikeas) pada msa kini menjadi sangat populer, karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mantan Presiden RI dan keluarga beberapa tahun lalu telah membangun sebuah puri (rumah) tidak jauh di sisi timur sungai Cikeas.di bilangan kawasan Perumahan Cibubur. Kehadiran Puri Cikeas, membuat nama Cikeas meroket. Posisi GPS tempo doeloe adalah kampong Tjikeas Nagrak yang telah bertransformasi dari sebuah kampong kecil menjadi nama sebuah kawasan pemukiman yang elite, asri dan hijau. Keluarga SBY bermukim disitu.
Tjikeas Doeloe (Peta 1901) dan Cikeas Now (googlemap) |
Lantas bagaimana dengan
sejarah Cikeas sendiri? Nama Cikeas bukanlah
baru. Nama (sungai) Tjikeas sudah dikenal sejak tempo doeloe, sebagai bagian
dari pembangunan sistem irigasi (kanal) di era Gubernur Jenderal van Imhoff
(1743-1750). Di sisi timur sungai Tjikeas terdapat kampong Tjikeas Nagrak (lihat Peta 1901). Lalu
seperti apa sejarah lengkap sungai Tjikeas dan kampong Tjikeas Nagrak? Itulah
pertanyaan yang ingin dijawab. Untuk itu, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman,
foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding),
karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan
lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru
yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain
disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Sungai Tjikeas
dan Gubernur Jenderal van Imhoff
Gubernur
Jenderal GW Baron van Imhoff (1743-1750) memiliki minat yang kuat untuk
mengembangkan pertanian di sisi timur sungai Tjiliwong di sepanjang jalur jalan
poros dari Batavia di hilir hingga hulu sungai Tjiliwong. Hal ini boleh jadi
karena sebelumnya, pada tahun 1745 van Imhoff telah membangun sebuah villa di
hulu sungai Tjiliwong. Villa ini kelak bertransformasi menjadi Istana Bogor
yang sekarang.
Eksplorasi
sisi timur sungai Tjiliwong dimulai pada tahun 1687 dengan mengirim sebuah tim
ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh Sersan Scipio. Tim
ekspedisi ini kemudian menemukan reruntuhan eks kerajaan di titik singgung
terdekat antara sungai Tjiliwong dengan sungai Tjisadane. Tim ini kemudian
menetapkan dan membangun sebuah benteng (fort) di titik tertentu yang disebut
Fort Padjadjaran (mengambil nama eks kerajaan).
Jembatan konstruksi lengkung di Batoe Toelis, 1890 |
Setelah
selesai pembangunan villa tersebut, Gubernur Jenderal Baron van Imhoff mulai
merancang pembangunan pertanian di sepanjang jalan dari stad (kota) Batavia ke
Buitenzorg. Untuk mendukung program tersebut mulai dibangun kanal (irigasi)
dengan menyodet sungai Tjiliwong di Katoelampa. Kanal ini dari Katoelampa
melalui (kampong) Tjiloear dan dialirkan mengikuti (sisi) jalan poros menuju
Batavia. Kanal ini disebut Tjibaroe (lihat Peta 1900).
Bendungan Katorlampa (Peta 1900) |
Pembanguuan pertanian ini tentu saja tidak
hanya dimaksudkan untuk meningkatkan produksi (terutama pertanian) tetapi juga untuk menciptakan
suasana lebih ramai dengan masuknya lebih banyak para investor Eropa/Belanda
membangun plantation. Insentif yang diberikan bagi investor adalah pemberian
berupa hak penguasaan penuh yang kemudian dikenal sebagai tanah-tanah partikelir
(landerein).Dengan demikian koneksi Batavia-Buitenzorg menjadi lebih meningkat.
Fort Padjadjaran, 1772 |
Selain kanal di
sisi timur sungai Tjiliwong, di sekitar Buitenzorg juga dibangun kanal kecil.
Kanal ini dibuat untuk meneruskan air sungai di kampong Bondongan yang jatuh ke
sungai Tjisadane dengan cara dibelokkan dengan membuat kanal di Paledang untuk menuju Kedong
Badak. Dalam pembangunan kanal ini juga dibangun jembatan di atas kanal yang
kini disebut Jembatan Merah.
Sejak
awal pembangunan kanal (era van Imhoff) praktis tidak ada intervensi yang
dilakukan pemerintah VOC untuk perbaikan atau peningkatan fugsi kanal. Sistem
pengairan hanya dilakukan sendiri-sendiri oleh para pemilik tanah partikelir di
sepanjang jalan poros antara Batavia (Bidara Tjina) dan Buitenzorg (Tjiloear). Peningkatan
fungsi kanal baru terjadi pada era Pemerintahan Hindia Belanda di masa Gubernur
Jenderal Daendels (1809-1811).
Kanal, jalan poros dan sungai Tjikeas di Tjiloear (Peta 1901) |
.
Gubernur
Jenderal Daendels menginstruksikan untuk peningkatan kanal dan pembangunan
kanal-kanal baru. Dalam instruksi ini tidak hanya upaya untuk meningkatkan
fungsi kanal di sisi timur sungai Tjiliwong (peninggalan Gubernur Jenderal van
Imhoff) juga membangun kanal-kanal baru di sisi barat sungai Tjiliwong.
Pembangunan kanal di
sisi barat sungai Tjiliwong tidak sempat terlaksana karena terjadinya
pendudukan Inggris pada tahun 1816. Realisasinya baru dimulai pada tahun 1821.
Pembangunan kanal yang dimaksud dalam hal ini adalah memperbesar kanal Paledang
dengan cara mengangkat air dari sungai Tjisadane dan mengalirkannya ke kanal.
Untuk melaksanakan ini dilakukan pembendungan sungai Tjisadane di wilayah
Empang. Bendungan ini kemudian disebut bendungan Empang. Dengan masuknya air
dari (bendungan) sungai Tjisadane ke kanal maka kanal diperlebar. Aliran kanal
semakin jauh tidak lagi hanya terbatas di Kedong Badak tetapi sudah dapat
menjangkau Tjilieboet dan Bodjong Gede. Kanal inilah yang kemudian disebut
Westerslokkan (Kanal Barat), sedangkan kanal di sisi timur sungai Tjiliwong
yang dirintis sejak era van Imhoff disebut sebagai Oosterslokkan (Kanal Timur).
Dalam
rehabilitasi kanal di sisi timur sungai Tjiliwong, kanal diperlebar menjadi
empat meter sehubungan dengan pembangunan baru bendungan Katoelampa. Debit air
dari Katoelampo akan menjadi besar maka kanal yang menjadi lebih lebar menjadi
empat meter akan memiliki jangkauan yang lebih jauh ke hilir hingga Batavia.
Namun dalam perkembangannya kebutuhan air di hilir lambat laun tidak mencukupi
sehubungan dengan semakin meluasnya intensifikasi pertanian dan pencetakan
sawah baru yang dihubugkan dengan program radikal yang dijalankan Gubernur
Jenderal van den Bosch yang disebut cultuurstelsel..
Peta 1845 |
Pada era Gubernur
Jenderal JC Baud (1833-1836), upaya peningkatan kanal ini dilakukan lagi. Namun
pelebaran kanal tidak mungkin dilakukan lagi karena sulit mengandalkan debit
air yang lebih banyak dari bendungan Katoelampa. Untuk menambah debit air di
hilir, kanal (slokkan; selokan) yang bermula di Katoelampa ini didukung tiga
sungai kecil yakni sungai Tjikeas, sungai Soenter dan sungai Tjipinang. Di
masing-masing hulu sungai ini dibendung (terbentuk bendungan) dan kemudian luapan
air bendungan dialirkan ke kanal yang berada di jalan pos. Sungai Tjikeas
bermuara di Tjiloear, tepatnya di sisi selatan kanal yang berasal dari
Katoelampa.
Tjikeas Nagrak (Peta 1901) |
Bagaimana asal usul
terbentuknya nama kampong Tjikeas Nagrak, Tjikeas Oedik, Tjikeas Tengah dan Tjikeas Ilir tidak diketahui secara jelas. Ketiga nama
kampong ini paling tidak sudah dipetakan pada tahun 1901 (Peta 1901). Secara spasial,
diduga nama kampong Tjikeas Nagrak lebih dulu ada dari kampong Tjikeas Oedik,
Tjikeas Tengah dan Tjikeas Ilir. Hal ini karena kampong Tjikeas Oedik, Tjikeas
Tengah dan Tjikeas Ilir mengindikasikan posisi spasial yang memusat di kampong
Tjikeas Nagrak.
Tjitrap dan Goenoeng Poetri (Peta 1901) |
View Land Tjitrap (lukisan, 1872) |
Secara
historis, meski nama Tjikeas sudah dikenal sebagai nama sungai sejak era
Gubernur Jenderal van Imhoff dalam program pembangunan kanal irigasi, akan tetapi nama Tjikeas sebagai nama tempat sangat jarang terberitakan di surat kabar. Boleh jadi wilayah di sisi
timur sungai Tjikeas, wilayah dimana terdapat kampong Tjikeas, termasuk wilayah
yang jauh dari sisi jalan poros (raya) trans-Java.
Java-bode, 12-10-1871 |
Kampong
Tjikeas yang berada di wilayah yang terbilang jauh dari hiruk pikuk lalu lintas
antara Batavia dan Buitenzorg menjadi rawan. Sulitnya akses dari land Tapos dan
land Tjilengsi karena barier sungai dan buruknya jalan dari tempat utama di
Goenoeng Poetri menyebabkan kampong
Tjikeas sering menjadi sasaran operasi perampokan.
Situ dan puncak gunung di Goenoeng Poetri (Peta 1901) |
Kampong Goenoeng Poetri, 1915 |
Landhuis terdekat dari
kampong Tjikeas adalah landhuis Land Tapos dan Land Tjilengsi. Landhuis Tapos
berada di sisi barat sungai Tjikeas (diakses dari Tjimanggies). Sedangkan
landhuis Tjilengsie berada di sisi timur sungai Tjitrap (juga disebut sungai
Tjilengsi). Secara geografis, landhuis Tjilengsi lebih mudah diakses dari
Bekasi (District Bekasi). Berdasarkan Peta 1845 akses menuju Tjilengsi dan
Tjibaroesa hanya melalui utara dari Bekasi (Meester Cornelis), tetapi dalam
perkembangannya justru sebaliknya dari selatan di Tjibinong (Buitenzorg). Boleh
jadi perubahan itu karena terjadinya perang tahun 1869 di Bekasi.
Landguis Tapos, 1930 |
Kampong Tjikeas berada
di antara sungai Tjikeas dan sungai Tjitrap/Tjilengsi. Kampong- lainnya di
antara dua sungai yang berdekatan dengan kampong Tjikeas adalah kampong Tjiangsana.
Kampong-kampong ini dulunya masuk Onderdistrict Tjitrap, tetapi dalam
perkembangannya menjadi bagian dari Onderdistrict Goenoeng Poetri (pemekaran).
Kampong-kampong yang masuk Onderdistrict Goenoeng Poetri berada di sisi barat
sungai Tjilengsi.
Landhuis Tjitrap (1930) |
Kantor Demang Tjibaroesa berbendera (Peta 1905) |
Tjibinong-Tjibaroesa (Peta 1905) |
Kapak batu ditemukan di Tjibaroesa, 1890 |
Posisi geografis Cibarusa (googlemamp) |
Algemeen
Handelsblad, 05-06-1913: ‘Kasus penculikan. Dilaporkan di bawah hukum kemarin, lima
orang pribumi dijatuhi hukuman mati, menyangkut pembunuhan seorang lelaki
Tionghoa yang sedang melintasi sungai Tjikeas, sementara beberapa anak yang
tengah mandi di sungai itu berteriak ‘chulik’ ketika mereka melihat mayat orang
Chinese tersebut mengapung'.
Satu hal yang menjadi pertanyaan adalah
mengapa tidak pernah ada akses jalan dari jalan poros Batavia-Buitenzorg dari
Tjimanggis garis lurus ke timur melalui Tapos hingga Tjilengsi. Jika terwujud
jalan ini maka kampong Tjikeas-Nagrak akan dibebaskan dari isolasi. Tentu saja
ada jalan setapak, tetapi tidak cukup membuka ruang lebih terbuka sehingga
wilayah kampong Tjikeas-Nagrak lebih aman. Apakah karena pemilik land Tapos yang
orang Eropa/Belanda kurang akur dengan penyewa land Tjilengsi yang orang Cina?
Tentu saja bukan itu satu-satunya faktor. Namun alasan yang kuat adalah karena
untuk mewujudkan jalan pintas (jarak pendek) itu membutuhkan biaya tinggi sebab harus
membangun tiga jembatan di atas sungai Soenter, sungai Tjikeas, dan sungai
Tjilengsi. Biaya itu mungkin berat bagi landheer Tapos dan penyewa land
Tjilengsi. Wilayah kampong Tjikeas-Nagrak di antara sungai Tjikeas dan sungai
Tjilengsi tetap terisolasi dan rawan.
Sebagai wilayah yang
sulit dan rawan keamanan, pada tahun 1916 militer melakukan latihan perang di wilayah tengah antara Batavia0Buitenzorg
termasuk areaTjikeas-Nagrak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 06-10-1916). Tidak
diketahui secara jelas mengapa di wilayah ini ditetapkan sebagai arena latihan
perang. Dalam latihan perang ini melibatkan dua batalion (Brigade-2 dan
Brigade-4). Area lain yang digunakan adalah wilayah Tjilengsi, wilayah Tjikeas
dan Tjirioeng (Tjibinong). Boleh jadi dipilihnya wilayah ini karena belum lama
ini terjadi pembunuhan seorang Cina di sungai Tjikeas (lihat kembali Algemeen
Handelsblad, 05-06-1913). Trauma akibat gerakan perlawanan (perang) yang
dilancarkan oleh Rama van Ratoe Djaja (Tjitajam) pada tahun 1869 boleh jadi
menjadi alasan lainnya untuk menunjukkan psywar bagi para revolusioner di
kawasan antara Ratoe Djaja/Tjitajam dan Telok Poetjong/Bekasi. Secara teknis, saat
itu wilayah ini memang cocok untuk arena latihan perang.
Wilayah yang juga
terbilang terisolasi juga ditemukan di sisi barat sungai Tjiliwong yakni Sawangan yang berada diantara sungai
Kroekoet dan sungai Pesanggrahan. Setelah melakukan beberapa konferensi,
akhirnya pada tahun 1936 antara Administrateur (Onderneming) Sawangan dan
Gemeente Besturr Depok mulai menemukan titik temu. Dalam konferensi yang
diadakan pada tahun 1936 turut dihadiri oleh Asisten Wedana Depok. Dalam
keputusan akhir, kedua belah pihak terlibat dan diharapkan dengan adanya jalan
akses ini. Dalam pembicaraan ini juga termasuk satu paket dengan pembukaan
jalan baru ke Mampang Oedik. Wilayah Sawangan dalam waktu singkat telah dibebaskan
dari isolasi (lihat De Indische courant, 13-07-1936).
Pembukaan isolasi dan peningkatkan
akses serupa ini, dua dasarwarsa sebelumnya sudah pernah dilakukan yakni untuk
membuka akses antara Land Tjimanggis dengan Gemeente Depok. Sebagaimana
diketahui, jalan akses Depok-Tjimanggis telah terbuka yang ditandai dengan
pembangunan jembatan di atas sungai Tjiliwong tahun 1917. Jembatan ini kelak
disebut Jembatan Panus (satu-satunya jembatan di atas sungai Tjiliwong antara
Jembatan Meester Cornelis dengan Jembatan Buitenzorg (di Waroeng Djamboe).
Selanjutnyaa pada tahun 1922 dilakukan perbaikan jalan akses antara Depok dan
(simpangan) Tjimanggis untuk membuat jarak lebih pendek yang selesai pada tahun
1922.
Dengan demikian akses
antara ibukota district Paroeng dan district Tjimanggis melalui Depok dan
Sawangan sudah terwujud pada tahun 1936. Dalam hal ini, pembukaan akses antara
Tjimanggis dengan Depok dibiayai oleh pemerintah (Batavia) sedangkan jalan
akses antara Sawangan Depok dibiayai sebagian besar oleh onderneming Sawangan
dan sisanya dari Gemeente Depok.
Garis imajiner jalan akses Paroeng-Tjibaroesa (Peta 1932) |
Lantas mengapa pemerintah tidak berkeinginan
membangun jalan akses dari Tjimanggis ke Tjilengsi (melalui Tapos dan kampong
Tjikeas-Nagrak)? Apakah karena harus membangun tiga buah jembatan yang jauh
lebih besar biayanya jika dibandingkan satu jembatan antara Tjimanggis dengan
Depok di atas sungai Tjiliwong?
District Paroeng, Afdeeling Buitenzorg
terdiri dari sejumlah desa yang terbagi ke dalam dua onderdistrict (Paroeng dan
Depok). Demang Paroeng berkedudukan di Paroeng, dimana di Depok ditempatkan
seorang Asisten Wedana. District Tjibaroesa, Afdeeling Buitenzorgjuga terdir
dari sejumlah desa yang terbagi ke dalam dua onderdistrict (Tjibaroesa dan
Tjilengsi). Demang Tjibaroesa berkedudukan di Tjibaroesa, dimana di Tjilengsi
ditempatkan seorang Asisten Wedana.
Landhuis Tapos (Peta 1901) dan Landhuis Tjilengsi (Peta 1901) |
Het nieuws van den dag
voor Nederlandsch-Indie, 02-12-1932: ‘Pada malam 25 November di warung Lioe A
Touw, seorang Cina di Tjikeas (Tjiteureup) sekitar jam 7 (malam), sementara
warong belum ditutup, beberapa orang secara berurutan datang dan bertemu
pemilik warung untuk membeli bensin dan korek api. Setelah dibayar dan barang
diterima orang-orang tersebut menggunakan bensin untuk menyirami pakaian yang
dikenakan oleh pemilik warong. Di bawah ancaman bahwa pakaian yang dibasahi
dengan bensin akan dibakar, pemilik warong dan istrinya terpaksa memberikan uang
mereka. Ancaman ini diperburuk oleh salah seorang menodong revolver kepada
wanita itu. Orang-orang yang terancam memilih diam karena takut sehingga para
perampok itu menghilang dengan uang jarahan dan barang-barang lain dengan nilai
gabungan sebesar f125. Pasangan itu juga sempat dipukuli dan dianiaya oleh perampok.
Pada malam itu juga anggota detasemen polisi yang ditempatkan di Tjilengsi
mendengar kabar itu dan lalu bersama mantri polisi meluncur segera ke TKP. Setelah
itu dilakukan penyelidikan dan pada tanggal 27 polisi tersebut dengan
bekerjasama dengan polisi Tjililitan Besar berhasil menangkap dua orang anggota
perampok tersebut. Keduanya
berasal dari Bodjong Rawa-Lele di Bekasi. Dalam penangkapan itu disita lima
benda tajam dan satu buah revolver, yang kemudian ternyata sama dengan yang
digunakan oleh perampok. Awalnya kedua perampok membantah tetapi kemudian
membuat pengakuan penuh setelah dikonfrontasi dengan pemilik warong dan
istrinya yang mengenali keduanya yang ditangkap.
Bataviaasch nieuwsblad, 16-03-1938 |
Pabrik teh di Pasir Nangka, District Tjibinong, 1936 |
Bataviaasch nieuwsblad, 18-11-1940: ‘Doodslag. Perkelahian maut. Di kampong Tjiangsana, desaTjikeas Ngarak (Tjitrap) dua orang penduduk desa bertengkar tentang masalah tanah, yang berubah menjadi perkelahian, dimana salah satu dari mereka terbunuh. Penyerang yang mengalami cedera dilarikan ke rumah sakit Roodc Kruis (Palang Merah) di Buitenzorg’.
Diantara ketakutan
penduduk di wilayah Tjikeas, ternyata ada seseorang yang merasa aman di situ.
Itulah Tengel. Namun pada akhirnya polisi mengetahuinya dan berhasil menangkapnya.
Desa Tjikeas telah membantu polisi untuk
melumpuhkan pimpinan perampok yang sulit dicari. Tengel hanya bisa ditangkap
saat terhibur, Tjikeas adalah panggungnya.
Wilayah Tjikeas yang
sepi dan sulit dijangkau, pada era perang kemerdekaan Indonesia, menjadi pusat
gerilya yang strategis. Dekat menuju sasaran gerilya di jalan poros
Djakarta-Bogor, tetapi di lain sisi terpencil di balik sungai Soenter di
seberang sungai Tjikeas. Di dalam wilayah lemah dari sistem keamanan terdapat
kekuatan gerilya yang hebat. Itulah wilayah Tjikeas. Namun setelah terjadi
gencatan senjata antara TNI dan pasukan Belanda/NICA, wilayah Tjikeas kembali
ditinggal. Akan tetapi sebaliknya dimanfaatkan oleh para geng revolusi. Itulah
nasib wilayah Tjikeas. Hanya dimanfaatkan dan tidak pernah mendapat manfaat.
Java-bode : nieuws,
handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-12-1949: ‘Seorang Jepang memimpin geng. Mengikuti penyerangan
yang telah dilakukan di daerah Tjiloear (sebelah utara Buitenzorg) dalam
beberapa minggu terakhir, polisi di Buitenzorg telah memulai aksi terhadap geng
yang ada di wilayah ini. Kamis pagi aksi melawan geng di desa Babakan Tjikeas
dimulai, dimana menurut laporan geng tinggal. Namun, polisi tidak melakukan tindakan
apapun, karena menunggu kedatangan pasukan bersenjata, dan mengambil langkah tepat
waktu. Sebagian besar barang yang dirampok selama beberapa minggu terakhir
disimpan di wilayah itu, termasuk sejumlah tekstil, berhasil dilacak. Ternyata
geng itu terdiri dari 25 pria bersenjata yang dipimpin oleh dua orang Jepang’.
Seperti roda pedati,
adakalanya di bawah dan ada saatnya di atas. Wilayah Tjikeas yang tempo doeloe
sangat terpencil dan sepi (remote area) serta rawan sosial, tidak lagi demikian
di era modern yang sekarang. Wilayah Tjikeas telah mendapat berkah dari
perkembangan wilayah di dekatnya Cibubur sebagai kawasan perumahan. Kini,
wilayah Tjikeas juga telah menjadi kawasan perumahan yang aman, asri dan mudah
diakses. Aksesnya tidak lagi dari Goenoeng Poetri, Bogor tetapi dari Cibubur,
Jakarta. Itulah nasib baik wilayah Tjikeas di hari tua, lebih-lebih di wilayah
nan asri itu juga mantan Presiden SBY tinggal. Kawasan perumahan Cibubur dan
mantan Presiden SBY secara langsung telah mengangkat harkat penduduk kampong
Tjikeas-Nagrak yang tempo doeloe tidak terpikirkan.
Cikeas-Cibubur
di Alam Demokrasi: Puri Cikeas di Desa Nagrak
Pada masa ini, secara
dejure, desa Nagrak termasuk dalam wilayah Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten
Bogor, tetapi secara sosio-politik lebih dekat dengan Jakarta. Ini semua karena
faktor nama kawasan perumahan Cibubur. Nama Cibubur melejit memayungi nama-nama
desa di kawasan segi tiga emas: Jakarta, Bogor dan Bekasi.
Pada masa ini
Cibubur bukanlah wilayah Kota Depok (pemekaran dari Kabupaten Bogor), melainkan
sebuah desa/kelurahan di Kecamatan Ciracas, Jakarta Timur. Tetapi faktanya pada
masa ini ada suatu kawasan yang diidentifikasi sebagai Cibubur Depok. Sekalipun
ini agak membingungkan, namun masih bisa ditelusuri mengapa muncul istilah
Cibubur Depok pada masa ini. Penelusuran ini dimaksukan untuk memberi
penjelasan kepada berbagai kalangan yang kerap salah dalam mengidentifikasi
apakah Cibubur masa kini adalah sebuah nama desa/kelurahan atau sebuah nama
kawasan. Nama Cibubur yang awalnya nama desa telah bertransformasi menjadi nama
generik (nama bisnis).
Sebelum
ada Desa Cibubur (Jakarta), ada sebuah desa lama yang disebut sebagai Desa
Cisalak yang menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Cimanggis Kabupaten Bogor
(kini menjadi bagian wilayah Kota Depok). Di sudut Desa Cisalak ini ada sebuah
setu (danau kecil) yang disebut Setu Jemblang (kini disebut Setu Baru). Pada
tahun 1969 di selatan setu ini (kini Kelurahan Harjamukti) dipilih sebagai
tempat Pertemuan Pramuka Penegak Pandega Puteri Putera (PERPPANITERA). Lokasi
ini dipilih karena hawanya sejuk, lingkungan yang hijau, setu yang jernih dan
adanya hutan di utara setu membuat area ini sesuai untuk sebuah ‘perkampungan’
pramuka bagi penegak/pandega (setingkat SMA/perguruan tinggi). Disamping itu,
lokasinya yang tidak jauh dari Jakarta, membuat area ini menjadi pilihan yang
tepat untuk sebuah bumi perkemahan bagi PERPPANITERA (yang kini disebut
Raimuna) secara nasional. Kawasan kegiatan kepramukaan (yang kemudian disebut
BUPERTA) yang luasnya 210 Ha sebelumnya merupakan areal perkebunan karet.
Pada waktu diselenggarakannya
Raimuna pertama (1969), desa terdekat dari Cisalak adalah Desa Cibubur. Sebuah
kampung di utara Setu Baru disebut kampung Pondok Rangon yang mana kampung ini
masuk bagian wilayah Desa Cibubur. Pada tahun 1973 Kwartir Nasional (Kwarnas)
menyelenggarakan pertemuan besar pramuka untuk penggalang (setingkat SMP) yang
pertama secara nasional (disebut Jambore). Lokasi untuk jambore yang
direkomendasikan adalah Desa Cibubur (di utara Setu Baru) karena lokasi itu
masih cukup luas dan datar. Sementara di selatan Setu Baru (Desa Cisalak) yang
menjadi area Raimuna sebelumnya tidak dipilih karena selain lahannya sempit
juga di area itu sudah mulai banyak penduduk apalagi area itu menjadi jalan
utama dari Cisalak ke Cileungsi. Dengan adanya penyelenggaraan jambore ini nama
Cibubur mulai dikenal secara luas. Ketika Raimuna 1969 diselenggarakan jalan
menuju lokasi (Setu Baru) dilakukan melalui Jalan Radar Auri. Akan tetapi,
ketika Jambore 1973 jalan yang dilalui tidak melalui Jalan Radar Auri (yang
masuk Kabupaten Bogor) melainkan dibuat jalan baru melalui Desa Cibubur (DKI
Jakarta) yang kini dikenal sebagai Jalan Jambore (terusan Jalan Raya
Cibubur/Jalan Lapangan Tembak). Nama Cibubur terus meroket seiring dengan
kebijakan Kwarnas yang menetapkan area Cibubur menjadi lokasi pertemuan pramuka
jangka panjang baik untuk pramuka penggalang maupun pramuka penegak/pandega.
Sejak tahun 1981 bumi perkemahan Cibubur sering dipilih menjadi tempat Jambore
Nasional maupun Raimuna Nasional tetapi
tidak lagi setelah tahun 2008.
Selama
adanya kegiatan kepramukaan di bumi perkemahan itu, nama Cibubur terus melejit
sementara nama Cisalak, Cimanggis lambat laun mulai meredup. Dalam
perkembangannya Buperta ini semakin mudah diakses seiring dengan pembangunan
jalan tol Jagorawi (Jakarta-Bogor) yang dimulai tahun 1973 (selesai tahun
1978). Tragisnya, jalan tol ini membelah Desa Cibubur. Area Buperta yang berada
di Kampung Pondok Rangon terpisah dari desa induknya, dan selanjutnya Kampung
Pondok Rangon dinaikkan statusnya dari kampung menjadi desa—Desa Pondok Rangon
(masuk Kecamatan Cipayung). Akan tetapi nama Cibubur tetap melekat pada area
Buperta sekalipun nama kelurahannya telah berubah menjadi Desa Pondok Rangon.
Interchange Cibubur (googlemap) |
Adanya
jalan tol dan jembatan layang ini, area yang sebelumnya hanya dikenal sebagai
bumi perkemahan lambat laun mulai dilirik pengembang. Uniknya para pengembang
menjadikan nama Cibubur sebagai ikon—mengacu pada nama yang populer menunjukkan
area bumi perkemahan, padahal lokasinya bukan berada di Desa Cibubur. Ini
dengan sendirinya nama Cibubur menjadi nama generik (bukan lagi sekadar
menunjukkan nama desa). Dengan begitu, era nama Kawasan Cibubur dimulai. Pada
tahun 1997 sejumlah pengembang mulai membangun perumahan baru di kawasan ini.
Diawali oleh Konsorsium Duta Pertiwi yang membangun Kota Wisata yang terkenal
dengan konsep lima benuanya. Nama Cibubur muncul ke permukaan, sedangkan
nama-nama Cisalak/Harjamukti (Kecamatan Cimanggis) dan Pondok Rangon (Kecamatan
Cipayung) tetap tenggelam di Situ Baru—danau kecil yang menjadi tempat kegiatan
pramuka yang memisahkan Desa Pondok Rangon dengan Desa Harjamukti.
Kelurahan Harjamukti, Cimanggis, Kota Depok |
Kawasan Cibubur (Peta 1985) |
Nama Cibubur Depok (Kecamatan
Cimanggis) sendiri merujuk pada Kawasan Cibubur yang berada di sisi-sisi jalan
poros Trans Yogie di wilayah Kota Depok di sebelah barat Kali Sunter. Sedangkan
sebelah timur Kali Sunter adalah bagian wilayah Kabupaten Bekasi (Kecamatan Jati
Sampurna), setelah itu jalan poros ini masuk Kabupaten Bogor (Kecamatan Gunung
Putri). Ini berarti Perumahan Raffles Hils yang berada di Kelurahan Harjamukti
termasuk wilayah Kota Depok yang menjadi kawasan Cibubur Depok. Kawasan Cibubur
Depok ini dengan demikian hanya wilayah yang berada di sebelah selatan Situ
Baru (sisi jalan tol sebelah timur), di sebelah barat Kali Sunter dan di
sebelah selatan Jalan Jambore (berbatasan dengan Kelurahan Cibubur). Sedangkan
rumah SBY Puri Cikeas berada di Kelurahan Nagrak, Kecamatan Gunung Putri,
Kabupaten Bogor.
Kawasan Sehi Tiga Emas Baru (Depok, Bekasi, Bogor) |
Pada tahun 1996 Soesilo Bambang Yudhoyono
membangun rumah di desa Nagrak, Kawasan Perumahan Cibubur. Rumah tersebut
kemudian dikenal dengan nama puri (rumah) Cikeas. Konon, di Rumah Cikeas inilah
pada tahun 2001 sebuah partai baru didirikan yakni Partai Demokrat, suatu
partai yang membawa Soesilo Bambang Yudhoyono dengan sebutan SBY menuju Istana
Merdeka sebagai Presiden RI (2004-2014).
Pada periode yang sama dua abad yang lalu Gubernur
Jenderal Daendels mengidentifikasi nama sungai Tjikeas untuk diinregrasikan
dengan program pengembangan kanal irigasi sisi timur sungai Tjiliwong
(Ooosterslokkan). Sumber air dari hulu sungai Tjikeas ini akan mendukung kanal
yang dikembangkan agar alirannnya cukup memadai hingga Batavia (kini Jakarta).
Nama desa Nagrak
sesungguhnya juga adalah desa Cikeas. Seperti disebutkan di atas nama desa
Tjikeas Nagrak dibentuk pada tahun 1930 ketika diadakan sensus penduduk. Oleh
karena kampong Tjikeas Nagrak lebih padat penduduk, ibukota desa, tempat dimana
kantor desa dibangun berada di kampong Tjikeas Nagrak. Namun kelak pada era kedaulatan
RI populasi desa Tjikeas-Nagrak yang semakin banyak dimungkinkan dilakukan
pemekaran, yakni dengan membentuk desa Tjikeas Oedik dan desa Tjiangsana. Nama
Tjikeas Oedik mengikuti nama kampong asli tempo doeloe. Desa Tjiangsana adalah
gabungan dari kampong Tjiangsana dan kampong Tjikeas Ilir. Nama kampong Tjikeas
Tengah lambat laun menghilang. Lima kampong yang membentuk tiga desa pada msa
lampau masuk onderdistrict Tjitrap tetapi kini bergeser yang mana desa Ngarag
desa Cikeas Oedik dan desa Ciansana masuk dimasukkan ke kecamatan Gunung Putri.
Sungai Cikeas dan Puri Cikeas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar