*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Rosihan
Anwar adalah Pahlawan Indonesia yang berkarir di bidang pers. Rosihan Anwar seusia dengan Mochtar Lubis dann Sakti
Alamsjah Siregar (sama-sama lahir tahun 1922). Mochtar Lubis pendiri surat
kabar Indonesia Raya, Sakti Alamsjah pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung
dan Rosihan Anwar pendiri surat kabar Pedoman. Sakti Alamsjah meninggal tahun
1983, Mochtar Lubis meninggal tahun 2004 dan Rosihan Anwar meninggal tahun
2011. Habis sudah perintis organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Rosihan Anwar (10 Mei 1922 – 14 April 2011) adalah tokoh
pers, sejarawan, sastrawan, dan budayawan Indonesia. Rosihan merupakan salah
seorang yang produktif menulis. Ia pernah dicalonkan sebagai Anggota
Konstituante mewakili Partai Sosialis Indonesia. Rosihan merupakan anak keempat
dari sepuluh bersaudara, pasangan Anwar Maharaja Sutan dan Siti Safiah. Ayahnya
adalah seorang demang di Padang. Dia menyelesaikan sekolah rakyat (HIS) dan SMP
(MULO) di Padang. Kemudian ia melanjutkan pendidikannya ke AMS -A di Yogyakarta
(sekarang SMA Negeri 1 Yogyakarta). Dari sana Rosihan mengikuti berbagai
pelatihan di dalam maupun luar negeri, termasuk di Universitas Yale dan School
of Journalism di Universitas Columbia, New York City, Amerika Serikat. Rosihan
memulai karier jurnalistiknya sebagai reporter Asia Raya pada masa pendudukan
Jepang tahun 1943 hingga menjadi pemimpin redaksi Siasat (1947-1957) dan
Pedoman (1948-1961). Pada masa perjuangan, ia pernah disekap oleh penjajah
Belanda di Bukit Duri, Batavia. Kemudian pada tahun 1961, koran Pedoman
miliknya dibredel penguasa. Pada masa Orde Baru, ia menjabat sebagai Ketua Umum
Persatuan Wartawan Indonesia (1968-1974). Tahun 1973, Rosihan mendapatkan
anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Namun kurang
dari setahun setelah Presiden Soeharto mengalungkan bintang itu di lehernya,
koran Pedoman miliknya ditutup. Pada 1950, bersama Usmar Ismail ia mendirikan
Perusahaan Film Nasional (Perfini). Pada tahun 2007, Rosihan Anwar dan Herawati
Diah, yang ikut mendirikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Surakarta pada
1946, mendapat penghargaan 'Life Time Achievement' atau 'Prestasi Sepanjang
Hayat' dari PWI Pusat. Rosihan Anwar meninggal dunia pada hari Kamis, 14 April
2011 dalam usia 89 tahun. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata
Jakarta Selatan.(Wikipedia).
Lantas
bagaimana sejarah Pahlawan Indonesia Rosihan Anwar? Seperti disebut di atas, Rosihan
Anwar meninggal tahun 2011 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Tentulah
wartawan pejuang dan pejuang wartawan Rosihan Anwar selayaknya dimakamkam di
taman makam para pahlawan (seperti halnya Sakti Alamsjah di TMP Cikutra, Bandoeng).
Lalu bagaimana sejarah Rosihan Anwar? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya
ada permulaan. Untuk
menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri
sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika
sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh
penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal
itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber
primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber
buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku
juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam
penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut
di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber
yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini
hanya untuk lebih menekankan saja*.
Pahlawan Indonesia Rosihan
Anwar; Surat Kabar Asia Raya dan Pedoman
Pada
tahun 1946 berencana akan ke negeri Belanda untuk menginformasikan sendiri
tentang situasi di dalam negeri (lihat Het Parool, 12-04-1946). Disebutkan wartawan
Indonesia Rosihan Anwar, salah satu editor surat kabar Merdeka bermaksud
berangkat ke Belanda minggu depan untuk menginformasikan sendiri tentang
situasi di dalam negara. Meskipun Anwar telah direkomendasikan oleh Menteri
Penerangan Republik Indonesia untuk perjalanan ini dia tidak akan pergi dalam
kapasitas resmi (hanya sebagai jurnalis).
Sejak Januari 1946 ibu kota (pemerintah)
Republik Indonesia telah dipndahkan dari Djakarta ke Djogjakarta sehubungan
dengan semakin tingginya tekanan Sekutu/Inggris dan kehadiran Belanda/NICA yang
berpusat di Batavia/Djakarta. Surat kabar Merdeka terbit pertama kali di
Djakarta tanggal 1 Oktober 1945 yang dipimpin oleh BM Diah Harahap. Menteri
Penerangan saat itu adalah Mr Amir Sjarifoeddin Harahap yang mana sebagai
kepala departemen dokumentasi dikementerian penerangan adalah Parada Harahap.
Rosihan
Anwar tidak hanya menulis di surat kabar Merdeka, juga surat kabar yang terbit
di Djakarta yakni surat kabar Rakjat. Tulisan-tulisan Rosihan Anwar di dua
surat kabar iti sangat membakar semangat penduduk dan berperang melawan
Belanda/NICA, sebagaimana Soetomo (Bung Tomo) di Soerabaja (lihat Nieuwe
courant, 25-05-1946).
Surat kabar berbahasa Melayu sudah sejak lama
ada bahkan sejak 1850an yang dikelola oleh orang-orang Eropa/Belanda (terutama
yang berasal dari Jerman) yang dimulai di tiga kota Soerabaja, Batavia dan
Padang. Surat kabar berbahasa Melayu uang pertama dimiliki pribumi adalah surat
kabar Pertja Barat di Padang yang sejak 1900 dipimpin dan kepala editor oleh
Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (yang memulai posisi editor sejak 1897
semasih dimiliki patugan pengusaha Jerman dan Cina). Surat kabar berbahasa
Melayu lainnya yang mana editor diisi pribumi adalah Pertja Timoer di Medan
(milik surat kabar Sumatra pos) tahun 1902 oleh Hasan Nasution gelar Mangaradja
Salamboewe. Editor pribumi ketiga adalah Tirto Adiserjo di Batavia Pembrita
Betawi sejak 1903 (milik Karel Wijbrand, mantan editor Sumatra post). Sejak itu
mulai bermunculan surat kabar kepemilikan pribumi dengan editor pribumi seperti
Medan Priaji di Batavia yang dipimpin Tirto Adisoerjo sejak 1908 (yang menjadi
organ Boedi Oetomo) dan surat kabar Pewarta Deli di Medan tahun 1909 (organ
Sarikat Tapanoeli). Lalu muncul surat kabar Neratja di Batavia tahun 1917
(salah satu editornya Hadji Agoes Salim). Lalu pada tahun 1923 muncul surat
kabar Bintang Hindia di Batavia (pimpinan Parada Harahap). Pada tahun ini
muncul surat kabar Kaoem Kita di Bandoeng (editor WR Soepratman yang kemudian
digantikan Abdoel Moeis). Lalu surat kabar baru muncul di Batavia tahun 1924
Hindia Baroe di bawah pimpinan Agoes Salaim kemudian digantikan Mohamad
Tabrani. Pada tahun 1926 Parada Harahap menerbitkan surat kabar baru Bintang
Timoer. Lalu di Bandoeng muncul Fikiran Rakjat yang dipimpin Ir Soekarno dan
pada tahun 1930 di Soerabaja Soerara Oemoem yang dipimpin Dr Soetomo. Kemudian
pada tahun 1933 seorang jurnalis Cina yang nasional Saeroen dengan menerbitkan
surat kabar Pemandangan. Demikian seterusnya.
Dalam
perkembangannya, Rosihan Anwar menjadi pemimpin redaksi suraat kabar Siasat (di
Batavia/Djakarta). Pada tahun 1948 Rosihan Anwar mendirikan surat kabar baru
Pedoman (lihat De nieuwsgier, 11-11-1948). Disebutkan (dalam iklan) surat kabar
Pedoman dengan motto Suara Rakjat Merdeka diterbitkan oleh Badan Penerbit PEDOMAN
yang akan terbit pada tanggal 1 Desember 1948. Juga disebutkan surat kabar
Pedoman ini dipimpin oleh Rosihan Anwar dengan staf wartawan-wartawan Siasat.
Surat kabar Pedoman dengan alamat administrasi di jalan Senen 107 yang mana
surat kabar Pedoman dicetak oleh percetakan Pemandangan.
Percetakan Pemandangan bermula dari surat
kabar Pemandangan yang didirikan oleh Saeroen tahun 1933. Sebelumnya Saeroen
adalah pemimpin redaksi Sin Po yang menjadi ketua sarikat jurnalistik pertama PERDI
(Persatoean Djoernalis Indonesia) yang dibentuk tahun 1931. Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indië, 18-07-1931 memberitakan Congres Inlandsche
Journalisten. Disebutkan Kongres wartawan pribumi pertama diadakan di Semarang
pada 8 Agustus. Kongres ini diketuai oleh jurnalis Semarang, sekretaris
jurnalis Sumatra, Paroehoem. Program: editor Bahagia Semarang, Pak Yunus, akan
mengadakan kuliah tentang: ‘Jurnalisme dan pengembangan bisnis surat kabar’;
Haji [Agoes] Salim akan berbicara pada ‘Jurnalisme dan kode etik’; RM Soedarjo
tentang ‘Orang-orang dan Jurnalisme; Maradja Loebis tentang ‘Jurnalisme dan
kehidupan sosial’; Saeroen dari Sin Po tentang ‘Jurnalisme dan gerakan rakyat’
dan Parada Harahap tentang ‘Jurnalisme dan ekonomi’, sementara editor Soeara
Oemoem akan berbicara pada ‘Jurnalisme dan malaise. Dari kongres ini dibentuk
pengurus yang mana Saeroen sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris
dan bendahara. Komisaris adalah Bakrie
[Soeraatmadja], Joenoes dan Koesoemodirdjo’. Pada tahun 1939 adalah kongres
PERDI yang kelima (lihat De Indische courant, 31-03-1939). Disebutklan ‘Pers pribumi,
yang tergabung dalam PERDI akan mengadakan kongres kelima di Solo dari hari
Sabtu tanggal 8 hingga Senin tanggal 10 April yang diadakan di gedung societeit
Hadiprojo. Direncanakan pada hari Sabtu malam tanggal 8 April dilakukan acara
penerimaan dan reuni, dimana kuliah umum (pidato) akan diberikan. Dalam kuliah
umum ini Parada Harahap dengan topik kantor berita nasional...dalam kongres ini
Kantor berita Antara (yang baru didirikan) juga akan dibahas..’. Sebagaimana
diketahui kantor berita Antara didirikan Adam Malik dkk tahun 1937 di Batavia.
Padaa saat ini surat kabar Parada Harahap adalah Tjaja Timoer (pengganti
Bintang Timoer). Catatan: Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor
berita Alpena dimana sebagai pemimpin redaksi adalah WR Soepratman. Surat kabar
Pemandangan cukup lama bertahan dan bahkan hingga era pendudukan militer Jepang
yang bersaing dengan surat kabar (pemerintah militer Jepang) Asia Raja yang
dipimpin oleh BM Diah. Pada era pendudukan militer Jepang ini yang menjadi
kepala departmen informasi adalah Parada Harahap yang memimpin jurnalis pribumi
yang dihubungkan dengan kantor berita Jepang Domei. Sejumlah pribumi yang
dilibatkan antara lain Adam Malik dan Mochtar Lubis (kantor berita), Sakti
Alamsjah dan Tuty Herawaty (radio), BM Diah dan Rosihan Anwar (surat kabar).
Untuk penerbitan kebudayaan dan sastra dipimpin oleh Armijn Pane. Pemimpin
pribumi saat itu yang disebut Putera diketua oleh Ir Soekarno dan wakil ketua
Drs Mohamad Hatta.
Surat
kabar Pedoman terbilang sukses di awal penerbitannya. Bagainana nama Pedoman
dipilih tidak diketahui secara jelas. Pedoman artinya Kompas. Lalu apakah surat
kabar Kompas yang diterbitkan 1965 merujuk pada nama surat kabar Pedoman.
Entahlah! Yang jelas sebelum terbit Kompas, dua surat kabar bertiras tinggi di
Djakarta adalah Pedoman dan Indonesia Raja (dan harus pula keduanya sama-sama
dibreidel tahun 1974 dalam hubungannya kasus Malari). Surat kabar Indonesia
Raja didirikan dan terbit pertama pada tanggal 29 Desember 1949. Mochtar Lubis
menjadi pemimpin redaksi sekitar bulan Agustus 1950.
Sebelumnya Mochtar Lubis berada di kantor
berita Antara (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 05-01-1950). Disebutkan Adam Malik dan Mochtar Lubis,
masing-masing direktur dan kepala departemen internasional Antara segera
meninggalkan (tanah air) ke beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand
dan Burma untuk mempelajari situasi di sana dan untuk bertukar berita dengan
beberapa kantor berita di negara-negara tersebut. Kantor berita Antara pernah
ditutup dan diizinkan kembali (lihat Het nieuwsblad voor Sumatra, 19-08-1949).
Disebutkan untuk menandai pembukaan kembali kantor berita republic, Antara di
Batavia, hari Rabu, Adam Malik, direktur dan Mochtar Lubis, pemimpin redaksi
mengundang kolega dan melakukan receptive di pavillioen Hotel des Indes.
Sebelumnya pernah ditutup (lihat Het dagblad: uitgave van de Nederlandsche
Dagbladpers te Batavia, 04-03-1948). Disebutkan Berita Indonesia melaporkan
bahwa kantor berita Republik, Antara akan segera dibuka kembali yang berkantor
di Batavia. Mochtar Lubis akan termasuk dalam pimpinan, dan oleh karena itu,
kantor berita akan melayani koran republik, Merdeka’. Penutupan dilakukan pada
tahun 1947 (lihat De tijd: dagblad voor Nederland, 21-07-1947). Disebutkan sepuluh
jam setelah penangkapan sejumlah anggota kantor berita Antara Indonesia
dilakukan konferensi pers. Mochtar Lubis, Direktur Antara, mengatakan: Belanda
telah memperlakukan kami dengan baik, pemancar kami diambil. Ketika kami
ditangkap, kami tegang. Keluhan utama bahwa mereka telah menyita mobil saya.
Kemudian kantor berita Antara ditutup’. Kantor berita Antara ditutup pada era
pendudukan militer Jepang dan segera dibuka kembali setelah Indonesia Merdeka
dan dilaanjutkan kembali oleh pendiri lama Adam Malik dan Sipahoetar. Saat
pembukaan kembali inilah Mochtar Lubis masuk.
Satu
yang penting dalam hubungannya Rosihan Anwar dan Pedoman adalah berhasil
mewawancarai Jenderal Soedirman yang baru pulang bergerilya (lihat Het
nieuwsblad voor Sumatra, 14-07-1949). Disebutkan wawancara itu dilakukan di
pinggir kota Djogjakarta.
Sebagaimana diketahui pada saat agresi militer
Belanda/NICA ke Djogjakarta pada tanggal 19 Desember 1948, Jenderal Soedirman
meminta Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohamad Hatta untuk keluar dai
Djogjakarta mengungsi. Namun keduanya tampaknya menolak permintaan itu dan
lebih memilih menyerah (yang lalu ditangkap dan diasingkan ke Parapat dan
Bangka). Djenderal Soedirman lalu memerintahkan pasukan Major Jenderal Abdoel
Haris Nasution untuk berjuang di wilayah Jawa Barat (sementara pasukan Jenderal
Soedirman berjuang di selatan Djogjakarta. Kepulangan pasukan Siliwangi inilah
yang disebut long march perjuangan. Setelah gencatatn senjata (hasil
perundingan Roem-Royen) pada bulan April maka ibu kora RI di Djogjakarta
dipulihkan dan Presiden dan Perdana Menteri dikembalikan ke Djogjakarta sambil
mempersiapkan perundingan KMB di Den Haag. Untuk menyiapkan peralihan ini
Soeltan Djogja mencari Jenderal Soedirman atau Major Jenderal TB Simatoepang.
Jenderal Soedirman tidak berhasil ditemukan karena diduga berada di wilayah
gerilya di Kediri, tetapi berhasil menemukan di wilayah gerilya Banaran.
Kehadiran TB Simatoepang menjadi penting karena pasukan Belanda harus evakuasi
dari Djogja. Jika tidak ada komandan militer tertinggi di Djogjakarta akan
terjadi bentrok antara KNIL dengan pasukan/republik atau bisa jadi Djogjakarta
chaos. Setelah evakuasi berhasil, lalu Perdana Menteri Mohamad Hatta tiba dan
Presiden Soekarno menyusul kemudian. Saat situasi dipulihkan dio Djogjakarta
ini Jenderal Soedirman mengetahui situasi yang baru dan kembali ke Djogjakarta
tetapi tidak bersedia bertemu dengan Presiden dan Perdana Menteri (dan lebih
nmemilih berada di perbatasan kota). Yang menyambut kedatangan Jenderal
Soedirman di pinggir Djogjakarta adalah Majoor Jenderal TB Simatoepang. Saat
inilah Rosihan Anwar dan sejumlah jurnalis republik mewawancarai Jenderal
Soedirman (lihat foto: Rosihan Anwar depan kiri).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Persatuan Wartawan Indonesia:
Rosihan Anwar
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar