*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jambi dalam blog ini Klik Disini
Seperti (kerajaan-kerajaan) di wilayah
lainnya, di wilayah yurisdiksi Kerajaan Jambi selain ada masa gemilang dan
damai ada juga masa yang suram, tidak menentu, kekacauan yang pada akhirnya
Pemerintah Hindia Belanda melakukan intervensi. Pemerintah Hindia Belanda lebih
cenderung inervensi daripada aneksasi. Intervensi Pemerintah Hindia Belanda di
Jambi bermula dari masa suram yang terjadi di wilayah kerajaan. Dalam hal ini
kita meninjau masa dimaka kerajaan Jambi dipimpin oleh Sultan Mahmud Muhiddin
(1812-1833) dan Sultan Muhammad Fakhruddin (1833-1841).
Dalam perkembangan lebih lanjut Kerajaan Jambi, pada tahun 1615 kerajaan disebut resmi menjadi kesultanan setelah Pangeran Kedah naik takhta dan menggunakan gelar Sultan Abdul Kahar. Kesultanan Jambi resmi dibubarkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1906 dengan sultan terakhirnya Sultan Thaha Syaifuddin. Dalam daftar Raja/Sultan Jambi dicatat sebagai berikut (Wikipedia): Sultan Abdul Kahar (1615-1643); Pangeran Depati Anom/Sultan Abdul Djafri/Sultan Agung (1643-1665) Raden Penulis/Sultan Abdul Mahji/Sultan Ingologo (1665-1690) Raden Tjakra Negara/Pangeran Depati/Sultan Kiyai Gede (1690-1696) Sultan Mochamad Syah (1696-1740) Sultan Sri Ingologo (1740-1770) Sultan Zainuddin/Sultan Anom Sri Ingologo (1770-1790) Mas’ud Badaruddin/Sultan Ratu Sri Ingologo (1790-1812) Sultan Mahmud Muhiddin/Sultan Agung Sri Ingologo (1812-1833) Sultan Muhammad Fakhruddin bin Mahmud (1833-1841) Sultan Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud (1841-1855) Sultan Thaha Syaifuddin bin Muhammad Fakhruddin (1855-1858) Sultan Ahmad Nazaruddin bin Mahmud (1858-1881) Sultan Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman (1881-1885) Sultan Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad (1885-1899) Sultan Thaha Syaifuddin bin Muhammad Fakhruddin (1900-1904).
Lantas bagaimana sejarah kisah Sultan Jambi yang menjadi pelajaran? Seperti yang disebut di atas, Kerajaan Jambi sudah lama eksis dan perannya juga tetap penting pada era VOC/Belanda. Seiring waktu, zaman telah berubah, perubahan itu semakin drastic pada er Pemerintah Hindia Belanda. Pada era Pemerintah Hindia Belanda inilah diktehui catat tentang kisah Sultan Sultan Mahmud Muhiddin. Lalu bagaimana sejarah kisah Sultan Jambi yang menjadi pelajaran? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan
bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan
menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama
yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan
majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Kisah Sultan Jambi yang Menjadi Pelajaran; Sebab Munculnya Pemberontakan dan Intervensi Pemerintah Hindia Belanda di Jambi
Seperti dikutip di atas, Sultan Jambi, Mahmud Muhiddin setelah dua decade bertahta harus turun tahun 1833, yang kemudian digantikan oleh putranya- Muhammad Fakhruddin. Namun Muhammad Fakhruddin. Hanya bertahan selama delapan tahun. Sebagai penggantinya adalah Abdul Rahman Nazaruddin pada tahun 1841. Siapa Abdul Rahman Nazaruddin adalah satu hal, hal yang ingin dibicarakan adalah siapa Mahmud Muhiddin. Tijdschrift voor Neerland's Indie, 1844 volume 4 menyarikan riwayat Mahmud Muhiddin dimana persoalan keluarnya yang kemudian menyebabkan Sultan jatuh dan terjadinya intervensi? Pemerintah Hindia Belanda tahun 1833.
Pada saat Abdul Rahman Nazaruddin bertahta baru tiga tahun (sejak 1841), kisah rahasia rumah tangga Mahmud Muhiddin yang jatuh tahun 1833 ditulis, yang kemudikan dipublikasikan tahun 1844. Itu berarti kejadiannnya baru berselang 10 tahnn sebelumnya, dan Mahmud Muhiddin tentu masih hidup (di tempat kesepaiannya dari keramaian istana). Mengapa harus ditulis? Nah, itu dia. Lalu siapa yang menjadi narasumber penulis? Hanya satu kemungkinan: Abdul Rahman Nazaruddin?
Di Hindia Belanda saat itu hanya ada surt kabar yang
terbit di Batavia yakni Javasche courant yang diterbitkasn oleh Landsdrukkerj
di Batavia, surat kabar yang terbit pertama kali tahun 1828. Sementara itu Tijdschrift voor Neerland's
Indie adalah jurnali ilmiah yang
diterbitkan oleh lembaga pengetahuan di Batavia (Bataviaasch Genootschap van
Kunsten en Wetenschappen) sejak 1838. Dalam artikel yang terdiri dari enam halaman
tersebut, penulis memulainya sebagai berikut (nama disalin sesuai yang ditulis,
pen):
Dalam sejarah negeri dan masyarakat, kaum wanita yang mulia dan cantik, melalui kebajikan yang luhur dan sederhana, sering menjadi penyebab dan motif perbuatan besar dan peristiwa bahagia; perang dan penderitaan. Jatuhnya para pangeran Djambi, yang akan kami laporkan disini, juga disebabkan oleh kekejaman, kesombongan dan kecemburuan seorang wanita.
Ketika Machmoed Mohoedin berkuasa lebih dari tiga puluh tahun yang lalu, dia mewarisi mahkota Jjamhi dari saudaranya Mutoed Badarudin. Djambie damai, kekuasaan kepangeranan didirikan atas dasar yang baik dan kokoh, Sultan dipatuhi, sumber-sumber perdagangan dan industri cukup berkembang, pendapatan Sultan ditentukan dan dijamin, dan kekuasaannya atas dasar itu seperti biasa dengan pemerintahan-pemerintahan yang lain di berbagai tempat. Machmoed Mohoedin naik tahta dengan prospek yang paling menguntungkan, tetapi dia, meskipun baik hati, tetapi lemah, tanpa keberanian dan penuh nafsu. Selirnya yang sah adalah Ratoe Maas Jessa. Putri (Princess) ini tidak tahu kebajikan feminin atau kualitas mulia. Dia kejam, bangga, cemburu dan mendominasi dan tahu bagaimana membengkokkan Sultan sepenuhnya sesuai keinginannya.
Sang Putri segera sampai pada titik bahwa administrasi kraton bahkan
kerajaan tunduk pada kesewenang-wenangannya. Machmoed Mohoedin, seolah-olah
hanya menyimpan nama Pangeran; tidak ada perintah atau peraturan yang diberikan
oleh pangeran lagi. Namun, menurut kebiasaan agama, pangeran dapat memiliki
banyak selir. Ratoe Maas mengizinkan ini, tetapi mereka semua tunduk pada
otoritas permaisuri Sultan. Sekitar tiga puluh gadis, semua putri kepala suku
atau penduduk asli terkemuka telah dipilih untuk tujuan ini oleh Machmoed Mohoedin.
Karena kebiasaan masyarakat, agama dan supremasi pangeran (pribumi) mengizinkan
kebiasaan ini. Tidak ada keberatan yang diajukan terhadap hal ini, baik oleh
orang tua atau kerabat maupun oleh gadis-gadis itu sendiri; tetapi Ratoe Maas
menganggap selir Sultan sebagai bawahannya, sebagai pelayan yang juga
sepenuhnya mematuhi kehendaknya.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Pemberontakan dan Intervensi Pemerintah Hindia Belanda di Jambi: Raja ke Raja
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar