*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa dalam blog ini Klik Disini
Setiap
wilayah adat di Indonesia memiliki tradisi yang diwariskan dan terus
dilestarikan. Bahasa adalah unsur kebudayaan yang diwariskan dari generasi ke
generasi. Namun dalam perjalanannya bahasa dapat berubah karena ada pengaruh
kebudayaan lain. Adanya aksara adalah bentuk lebih lanjut dari tradisi
berbahasa. Pada lingkungan komunal terdapat musik tradisi dan tarian tradisi.
Lebih luas dari itu, pada basis komunal terbentuk sistem pemerintahan tradisi Bahasa.
Pada masa ini penelitian bahasa adalah bagian dari penyelidikan sejarah bahasa.
Bahasa Lampung (cawa Lampung) terdiri dua atau tiga ragam bahasa Lampung, yaitu: Lampung Api (juga disebut Pesisir (dialek A), Lampung Nyo (Abung, dialek O), dan Komering (ragam Lampung Api atau bahasa sendiri terpisah dari bahasa Lampung). Kontak bahasa selama berabad-abad telah mengaburkan batas antara bahasa. Klasifikasi Isidore Dyen 1965, menempatkan bahasa Lampung ke "Malayic Hesion" bersama bahasa-bahasa Malayan (Melayu, Minangkabau, dan Kerinci), Aceh dan Madura. Berndt Nothofer (1985) memisahkan bahasa Lampung dari kelompok "Malayic", memasukkannya ke dalam "Javo-Sumatra Hesion" bersama bahasa-bahasa Melayik, Sunda, Madura, dan, dengan tingkat kekerabatan yang lebih jauh, bahasa Jawa. Malcolm Ross (1995) menempatkan Lampung ke dalam kelompoknya independen yang tidak terkait bahasa manapun dalam Melayu-Polinesia. Penggolongan ini diikuti oleh Karl Adelaar (2005), yang tidak memasukkan bahasa Lampung ke dalam kelompok Melayu-Sumbawa yang ia usulkan—kelompok ini meliputi bahasa Sunda, Madura, dan cabang Malayo-Chamik-BSS (mencakup Melayik, Chamik, dan Bali-Sasak-Sumbawa). Anderbeck dan Hanawalt menggunakan nama "Api" untuk Pesisir dan "Nyo" untuk Abung; kedua kata ini bermakna "apa" dalam masing-masing dialek.[8] Terdapat beberapa perbedaan leksikal antara dialek-dialek ini, tetapi keduanya identik dalam hal morfologi dan sintaksis. Walker (1976) membagi Abung lebih lanjut ke dalam dua subdialek: Abung dan Menggala, serta memecah kelompok Pesisir ke dalam empat subdialek: Komering, Krui, Pubian, and Selatan. (Wikipedia)
Lantas bagaimana sejarah bahasa Lampung di selatan Sumatra, bahasa Sunda di barat Jawa? Seperti disebut di atas, bahasa terawal di Lampung adalah bahasa Lampung. Wilayah bahasa paling selatan di Sumatra yang bersebelahan dengan wilayah bahasa Sunda di Jawa bagian barat. Bagaimana hubungan bahasa Lampung dan bahasa Komering di Sumatra. Lalu bagaimana sejarah bahasa Lampung di selatan Sumatra, bahasa Sunda di barat Jawa? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Bahasa Lampung di Selatan Sumatra, Bahasa Sunda di Barat Jawa; Bahasa Lampung dan Bahasa Komering di Sumatra
Nama Lampong sebagai kelompok populasi yang berdiri sendiri (dibedakan dengan Melayu) sudah muncul sejak lama. Sebagai kelompok populasi sendiri sudah barang tentu memiliki bahasa sendiri. Identifikasi Lampong yang pertama oleh William Marsden (1781). Saat itu Inggris di pantai barat di Bengkoeloe; sedangkan VOC/Belanda di pantai timur di Toelangbawang. Diantara dua ibu kota koloni inilah wilayah Lampong berada.
Sedangkan W Marsden (1781) mengidentifikasi kelompok populasi di Sumatra dalam buku Marsden berjudul The
History of Sumatra, kelompok populasi dibagi sebagai berikut: (1) Redjang; (2)
Lampong; (3) Melayu yang meliputi Minangkabau, Indrapoera, Palembang (sebagian
besar dihuni orang Jawa), bekas wilayah Sultan Banten (Selebar); (4) Batak,
antara Minangkabau dan Atjeh di pantai barat; (5) Atjeh, campuran Melayu, Batak
dan Moor (Islam Eropa).
Namun bagaimana deskripsi bahasa Lampong tidak disebutkan Marsden. Bahasa sendiri adalah unsur budaya terpenting, tidak hanya diwariskan (secara alamiah), bahasa juga dalam penyelidikan sejarah dapat dijadikan sebagai data (membandingkan kosa kata masa kini dengan masa lampau). Yang pertama mengidentifikas bahasa Lampong adalah H Zollinger (1846) yang menyatakan bahwa bahasa Lampung adalah perpaduan bahasa Melayu, Jawa dan Sunda serta Bugis.
Lebih lanjut Zollinger menyatakan: ‘bahasanya Lampung tidak asli, tidak
ada dialek eksklusif dari salah satu tetangganya bahasa, tapi bahasa Lampung
adalah campuran independen dari hampir semua bahasa yang digunakan. Kebanyakan
kata berhubungan dengan bahasa Melayu, sementara ada juga banyak kosa kata dari bahasa Sunda, Jawa, Bugis dan
Redjang. Oleh karena itu, ketika semua bagian asing dipisahkan pasti angka yang
sangat kecil bahasa asli atau kata-kata asing tetap ada, jadi sangat sedikit bahkan itu hanya bagian dari sebuah bahasa atau
dialek. Berkenaan dengan sintaksis, bahasa Lampung tampaknya sepenuhnya mengikuti bahasa Melayu. Terdapat penyimpangan
dari sudut pandang fonetik. Bahasa Lampung sangat kaya diftong dan bisa
ditemukan ei, ai, oi, oei, terutama di akhir kata-kata, sebagai ganti api —
apoi. Bahasa Lampung memiliki a dan o murni serta campuran oh, itu berdiri
diantara keduanya dan dalam bahasa Jawa sering terjadi’.
Boleh jadi pendapat Zollinger ada benarnya, karena Zollinger dalam surveinya di Lampung hanya terbatas di kota-kota utama dan berada diantara orang-orang yang mudah ditemukan. Zollinger tidak berkesempatan ke kampong-kampong yang jauh apalagi di pedalaman, yang mungkin bahasa asli Lampung masih tersimpan dan lestasri dengan baik. Dalam daftar/kamus bahasa Lampung pada masa ini, kosa kata yang dapat dibedakan dengan pengaruh asing, kecuali bahasa Melayu, terbilang dominan. Dengan kata lain pengaruh bahasa Jawa, Sunda dan Bugis sebenarnya secara keseluruhan tidak sebanyak yang dibayangkan oleh Zollinger. Tentu saja dalam bahasa Lampung dapat ditemukan bahasa yang mirip dengan bahasa Batak.
Ada sejumlah bahasa elementer, kosa kata yang bersifat alamiah yang mirip
bahasa Batak yang akan diuraikan lebih lanjut nanti. Ibu dalam bahasa Lampung
adalah ‘ina’ yang juga sama dengan bahasa Batak. Beberapa kosa kata spesifik
yang mirip bahasa Batak dengan bahasa Lampung adalah ‘agas’=nyamuk,
‘abik’=kain, ‘balak’=besar/luas, ‘bettong’=kenyang, ‘bulung’=daun,
‘hanipi’=mimpi, ‘hagong’=arang, ‘ipon=-gigi, ‘ipos’=kecoak, ‘lading’=belati,
‘piga’=berapa. Beberapa kosa-kata tersebut berbeda dengan bahasa lain, tidak
terdapat dalam bahasa Melayu, bahasa Jawa, bahasa Sunda dan bahasa Bugis. Dalam
penelitian Zollinger membedakan dialek Tarabangi berbeda dengan yang ada di
Telok Betong (selatan) dan di Menggala (timur).
Padanan bahasa adalah aksara. Aksara di Nusantara pada dasarnya hanya terbagi dua golongan besar yakni aksara Batak dan aksara Jawa. Aksara tradisi di Lampung lebih mirip aksara Batak daripada aksara Jawa. Sebaran aksara mirip aksara Batak di nusantara tidak hanya di Sumatra, juga di Borneo utara, Filipina dan Sulawesi. Sementara aksara mirip aksara Jawa, selain di pulau Jawa juga ditemukan di Bali dan Lombok.
Dalam penelitian H Zollinger (1846) menemukan penggunan aksara Lampung
diantara muda-mudi Lampung dalam pergaulan. Tulisan tersebut banyak terjadi
dalam interaksi mereka dengan saling mengirim pantun yang ditulis dalam lontar.
Sementara itu, dalam buku William Marsden dengan judul History of Sumatra yang
terbit pertama 1781 menyatakan lebih dari separuh orang Batak bisa menulis dan
membaca (tentu saja dengan aksara Batak), suatu angka yang tinggi, melibihi
semua bangsa-bangsa di Eropa. Marsden menyebut orang Batak menulis di kulit
kayu yang tipis dengan menggunakan tinta yang terbuat dari arang damar yang
dicampur dengan air aren dengan menggunakan pena dari lidi enau. Hal ini
berbeda dengan di Jawa, penggunaan aksara umumnya di lingkungan atas (kraton).
Hal serupa ini juga ditemukan Zollinger di wilayah Lombok yang biasa menulis
adalah orang di lingkungan kerajaan. Dalam hal ini, penggunaan aksara Batak dan
juga aksara di Lampung lebih umum berlaku.
Tradisi yang dicatat Zollinger yang menjadi unsur budaya orang Lampung dan menarik perhatiannya adalah arsitektur bangunan rumah di Lampung. Rumah-rumah di Kawasan pantai dengan pedalaman berbeda. Di wilayah pedalaman, orang Lampung sangat peduli tentang bangunan rumah yang terbuat dari bahan kayu pilihan. Dalam beberapa hal ukiran dalam bangunan rumah bahkan lebih maju dan artistik dibanding di Jawa. Atap rumah orang Lampong terbuat dari lembar kayu tipis yang disebut sirap. Pada bagian ujung atap dibuat semacam tanduk (v) yang mirip dengan banguna rumah di Angkola Mandaling, Tapanuli. Bangunan rumah dibuat di atas tanah dengan tiang yang kuat, yang di bagian bawah (kolong rumah) digunakan untuk perawatan unggas dan ternah termasuk kerbau. Pada bagian belakang rumah di sebelah samping ditemukan pavilium yang biasa digunakan para wanita untuk menenun dan menyulam serta bersenda gurau.
Satu yang menjadi perhatian khusus Zollinger adalah bangunan mini,
biasanya di tengah kampong yang disebut sesat. Bangunan ini hanya terdiri dari
atap dan lantai dimana digunakan sebagai tempat berkumpul dan juga bagi orang
asing dijadikan sebagai tempat menginap. Dalam perjalanan Zollinger ke berbagai
kampong selalu tidur di sesat tersebut. Di Tanah Batak, bangunan dan fungsi
serupa di Lampung itu juga berlaku yang biasa disebut jambur. Satu yang unik dengan
lantai jambur atau bale-bale di Tanah Batak umumnya digoret dengan pisau dengan
kotak delapan kali delapan yang menjadi alas dalam permainan catur (lihat Het
nieuws van den dag: kleine courant, 16-07-1910). Buah caturnya sendiri dibuat
dari potongan kayu atau bamboo.
Dalam hubungan perkawinan, H Zollinger menunjukkan arti djoejoer dalam tradisi penduduk Lampong. Praktek ini juga kurang lebih sama dengan di Tanah Batak, djoedjoer menjadi semacam mas kawin yang di satu sisi sungguh berat bagi pria, lebih-lebih gadis yang akan dinikahi dari lapisan sosial yang lebih tinggi.
Praktek djoejoer ini Zollinger mengangap di sisi lain sebagai factor yang
menyebabkan pertambahan penduduk orang Lampung lambat relative terhadap orang
Melayu, Jawa dan Bugis di Lampung. Meski demikian, djoedjoer yang lebih tinggi
justru menjadi kebanggaan diantara para muda mudi. Zollinger juga menemukan
alternatif jika tidak terpenuhi jujur dengan kawin lari.
Bagaimana elemen budaya di Lampong, termasuk bahasa? Berdasarkan gambaran yang dideskripsikan oleh Zollinger lebih banyak miripnya dengan elemen budaya di wilayah Batak daripada tetangganya di wilayah Melayu dan Sunda. Dalam hal ini dapat ditambahkan elemen budaya di Lampong dan Batak kurang lebih sama dengan wilayah Redjang. Dalam soal bahasa Zollinger mengandaikan jika semua unsur asing (Melayu, Sunda, Jawa dan lainnya) dipisahkan maka yang tersisa hanya tingga sedikit. Lantas apakah yang sisa sedikit ini mengindikasikan elemen asli, dan jika ditambahkan dengan elemen budaya lainnya, maka lebih mirip dengan elemen budaya Redang dan Batak.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Bahasa Lampung dan Bahasa Komering di Sumatra: ‘Bahasa Sumatra’ di Sumatra dan ‘Bahasa Jawa’ di Jawa
Secara akademis, penyelidikan bahas asli di Nusantara yang pertama kali dilakukan adalah penyelidikan bahasa Batak yang dilakukan oleh Dr NH van der Tuuk. Penyelidikan bahasa ini tidak hanya kosa kata, juga bentuk grammarnya. Sebelum ke Bali, Dr NH van der Tuuk. Lebih dahulu melakukan penyelidikan bahasa di Lampong. Mengapa? Apakah informasi yang dilaporkan oleh H Zollinger (1846) menjadi alasan van der Tuuk ke Lampong?
NH van der Tuuk sarjana bahasa bergelar doctor kelahiran Hindia Belanda. Sebagai ahli bahasa tentulah hasilnya baik, lebuh-lebih van der Tuuk mempelajarinya langsung dari penduduk asli. Dr van der Tuuk memulai penyelidikan bahasa dengan kunjungannya ke Tanah Batak tahun 1850 telah berhasil menulis tata bahasa dan kamus bahasa Batak. Tata bahasa Batak karya van der Tuuk ini adalah tata bahasa terbaik pertama yang ditulis (di Hindia Belanda), bahkan melampau tata bahasa Melayu yang sudah ada. Di tangan ahlinya, hasil karya terbaik muncul. NH van der Tuuk adalah ahli bahasa pertama yang dikirim ke Hindia untuk penyelidikan bahasa asli. Meski pembiayaan disokong oleh Zending Belanda tetapi didukung oleh Pemerintah Hindia Belanda. Setelah NH van der Tuuk di Tanah Batak, lalu dikirim Dr. Engelmann ke Jawa dan ke Soenda. Dr. Engelmann tidak sempat menyelesaiakan dua bahasa tersebut karena meninggal dunia. Untuk menyelesaikannnya diminta Dr. D. Koorders. Namun Koorders juga dikabarkan meninggal dunia. Untuk itu Pemerintah Hindia Belanda kemudian meminta NH van der Tuuk untuk menyelesaikan pekerjaan yang belum selesai dari Dr. Engelmann dan Dr. D. Koorders tersebut. Sebelumnya, sukses van der Tuuk dengan bahasa Batak, lalu pemerintah menugaskan van der Tuuk untuk melakukan kajian awal tentang bahasa Minangkabau baru kemuedian ke Lampong (karena tertunda ke Bali). Sementara itu untuk bahasa Bugis dilakukan oleh Dr Matthes di Makassar. Catatan: tiba di Hindia 1864 dan meninggal Desember 1868.
Dr NH van der Tuuk, setelah memberi kontribusi pada bahasa Minangkabau, bahasa Jawa dan bahasa Sunda, Pemerintah Hindia Belanda memberi tugas kepada Dr NH van der Tuuk untuk penyelidikan bahasa Lampong. Hal ini karena van der Tuuk tertunda ke Bali karena adanya eskalasi politik di Bali.
Sebelum ke Lampong, Dr NH van der Tuuk telah menyelesaikan penyelidikan bahasa Melayu di Batavia yang dilakukan oleh Dr JH Homan. Dr NH van der Tuuk kemudian menerbitkan karya tersebut dengan percetakan G Kolff en Co di Batavia dengan judul Dr. JH Homan, Bijdrage tot de Kennis van ‘tBataviasch Maleisch (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 22-02-1868). Dr NH van der Tuuk telah menyelesaikan Les Manuscrifs Lampongs en Possession M Le Baron Sloet van de Beele, Ancien Gouverneur Général des Indes Neerlandaises yang dicetatk L Hoolberg en Zoon di Leiden (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 29-06-1868).
Prestasi van der Tuuk menarik perhatian (pemerintah?) untuk meminta keahlian van Tuuk untuk menyusun kamus Lampoeng. Tugas untuk Lampong berakhir 1 Juli 1869. Untuk merampungkan bahan yang dibawa dari Lampong, van der Tuuk memilih tinggal di Buitenzorg sambil memulihkan kesehatannya setelah melakukan pekerjaan lapangan di Lampoeng. Pada bulan Desember, van der Tuuk dari Buitenzorg diinformasikan di Batavia di Hotel Indes (lihat Bataviaasch handelsblad,11-12-1869).
Seperti disebut di atas, tujuan utama NH van der Tuuk adalah ke Bali,
namun tertunda karena adanya eskalasi politik di Bali. Penugasan ke Lampong
dari pemerintah dimanfaatkan oleh van der Tuuk. Pertama tentunya kesempatan
untuk tetap bekerja. Kedua, sebagai ahli bahasa menjadi suatu tantangan sendiri
sebagai bagian bahasa-bahasa di Sumatra. NH van der Tuuk juga menyadari bahwa
dengan memahami bahasa Lampong, seperti dikatakannya juga akan berguna untuk
studi bahasa di Bali nantinya (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 07-10-1869).
Setelah menyelesaikan bahasa Lampong di Buitenzorg, NH van der Tuuk, berangkat ke Bali dan sudah berada di Boeleleng dalam rangka mempelajari bahasa Bali (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 22-08-1870). Dalam berita ini juga disebutkan bahwa van der Tuuk dalam urusan bahasa Lampong di wilayah selatan Sumatra van der Tuuk bekerja selama lebih dari setahun atas perintah pemerintah. Dalam proyek di Bali ini, NH van der Tuuk dikontrak selama dua tahun (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-12-1870).
Bagaimana NH van der Tuuk di
Lampong dan Bali, ini seakan mengulangi perjalanan Heinrich Zollinger. Pada tahun 1846 Zollinger ke Lampong dan kemudian
diteruskan ke Bali dan Lombok. Laporan Heinrich Zollinger diterbitkan pada
tahun 1847 dengan judul Verhaal eener reis over de eilanden Bali en Lombok
gedurende de maanden mei tot september 1846 (diterbitkan di Utrecht). Dari
isinya, Heinrich Zollinger telah mengunjungi Singaradja pada tahun 1846. Lalu
secara khusus tentang Lombok tulisan Zollinger telah dimuat pada jurnal
Tijdschrift voor Neerland's Indie edisi September 1847 dengan judul Het Eiland
Lombok. Sudah barang tentu sebelum van der Tuuk ke Lampoeng dan Bali sudah
lebih dahulu membaca semua karya Heinrich Zollinger. Namun untuk soal bahasa
Lampong dan bahasa Bali bukan ahlinya, sebab Zollinger adalah sarjana geologi
dan peminat botani yang ditugaskan pemerintah sebagai pionier untuk ekspedisi
ilmiah (laporan secara umum dari berbagai aspek termasuk bahasa).
Untuk urusan bahasa di Hindia, kecuali bahasa Bugis, NH van der Tuuk menggarap semuanya (paling tidak hingga tahun 1870). Yang pertama dan sangat mendalam tentanng bahasa Batak, kemudian tinjauan terhadap bahasa Minangkabau serta penyelidikan bahasa di Lampong. NH Van der Tuuk juga mendapat limpahan pekerjaan dari Dr Engelmaan tentang bahasa Jawa dan bahasa Sunda, serta bahasa Melayu Bataviasche (kini bahasa Betawi).
Seperti disebut di atas, NH van der Tuuk menganggap penyelidikan bahasa di Lampong akan
membantu ke Bali. Bagaimana itu dapat membantu tidak terinformasikan. Tinjauannya
terhadap bahasa Melayu Bataviasche juga dapat membantu memahami bahasa Belia. NH van der Tuuk menayatakan ada kaitan bahasa Melayu Bataviasche dengan bahasa Bali.
Menurutnya bahasa Melayu Bataviasche berakar dari bahasa Bali, dimana sejak era
VOC orang Bali yang dominan di Batavia, orang Bali yang didatangkan ke Batavia
untuk membantu VOC. Catatan: Pada permulaan kehadiran Belanda di Hindia,
ekspedisi yang dipimpin Cornelis de Houtman, hanya Radja Bali yang menerima
mereka tahun 1597. Sejak itulah hubungan Bali dan VOC terus berlanjutnya.
Perselisihan baru muncul pada era Oentoeng Soerapati. Pada era Pemerintah
Hindia Belanda perselisihan kembali muncul pada tahun 1844 yang kemudian
dilakukan ekspedisi ke Bali yang memberi kesempatan kepada Zollinger melakukan
ekspedisi ilmiah ke Bali dan Lombok. Perselisihan terakhir terjadi pada tahun
1860an dimana NH van
der Tuuk sempat tertunda yang harus memutar
haluannya ke Lampong terlebih dahulu.
Satu hal yang penting dan dapat dikatakan terpenting ke Bali dalam penyelidikan bahasa bagi NH van der Tuuk, karena diduga sisa bahasa Jawa Kuno (Kawi) masih ditemukan di Bali. NH van der Tuuk akan membuka kotak pandora teks bahasa Kawi di Jawa melalui penyelidikan bahasa di Bali. Prof Kern yang selama ini mencoba menerjemahkan teks bahasa Kawi di Jawa dengan pengalamannya bahasa-bahasa di India dianggap kesulitan. Prof Kern sebaliknya sangat berharap pada sukses van der Tuuk di Bali. Prof Kern bukanlah ahli bahas sekelas van der Tuuk, tetapi lebih tepat Prof Kern sebagai ahli kepurbakalaan.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 06-12-1870:
‘“Meski tenaganya belum pulih sepenuhnya, ia berangkat ke Soerabaya, dari sana
melanjutkan perjalanan ke Bali. Menurut pemberitaan terakhirnya, dia masih bingung
harus menetap di mana di Bali. Boelèleng atau Bliling mempunyai beberapa
rekomendasi, karena beberapa misionaris dan pejabat tinggal di sana; tetapi
menurutnya iklimnya tidak sehat, dan bahasa yang digunakan di sana tidak
sepenuhnya murni. Beberapa merekomendasikan Gitgit kepadanya. Dia pikir dia
akan menemukan bahasa yang paling murni di Badong, tapi di sana dia akan
tinggal sepenuhnya terpencil, dan tidak ada sarana komunikasi lain dengan dunia
di sekitarnya selain kapal Tiongkok. Ia bermaksud, sebelum menentukan pilihan
dan mengangkut barang-barangnya, untuk melakukan penyelidikan untuk sementara
waktu. Laporan tersebut juga memuat hasil investigasi tersebut dalam sebuah
catatan, yang menunjukkan bahwa van de Tuuk akhirnya menetap di Boelèleng.
Laporan tersebut masih memuat informasi tentang kajian linguistik Van der Tuuk
rincian yang cukup, diambil dari surat pribadi tersebut: “Belajar, saya
berjalan cukup baik, meski kesulitan selalu menginap di penginapan dan
bepergian, karena saya mengumpulkan materi kemana-mana. Merupakan salah satu
cita-cita saya untuk memajukan perbandingan linguistik bahasa-bahasa bersaudara
sedemikian rupa sehingga mulai sekarang seseorang dapat mempelajari salah satu
bahasa tersebut dengan lebih mudah. Saya telah melihat bahwa tidak diperlukan
banyak waktu untuk menguasai suatu bahasa jika seseorang sudah menguasai salah
satu bahasa saudaranya. Saya sudah memahami sebagian besar bahasa Bali yang
tinggi, karena hanya berbeda dengan bahasa Jawa dalam bentuk yang lebih
lengkap. Bahasa rendahnya sangat berbeda, menyimpang dari bahasa Jawa, Sunda,
dan bahasa terkait lainnya. Kontribusinya tentang bahasa Melayu Bataviasch sangat
membantu saya di sini, karena Melayu Batavia pada dasarnya adalah bahasa Bali
Rendah. Anda tahu bahwa budak, tentara, dan pembantu rumah tangga atau simpanan
asli (gundik) orang VOC bergantung pada harapan orang Bali bahwa menjadi
penduduk pertama Batavia yang baru didirikan, yang terletak di tanah Jacatra.
Tradisi Jawa sepenuhnya sesuai dengan ini”.
•
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar