*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Lawas dalam blog ini Klik Disini
Banyak
ahli dan peneliti telah terlibat sejak awal tentang sejarah masa lampau serta
bangunan dan benda kepurbakalan berkontribusi dalam letersediaan data dan
hasil-hasil interpretasi masing-masing mereka. Para ahli tersebut tidak hanya
orang Belanda, juga ada orang Prancis, Inggris dan orang Jerman serta tentu
saja orang Cina dan orang pribumi. Dua nama para era Pemerintah Hindia Belanda
terkait wilayah Padang Lawas adalah FW Jung Huhn dan FM Schnitger.
FW Jung Huh adalah yang pertama melaporkan keberadaan candi-candi kuno di wilayah Padang Lawas (1843). Jung Huhn, seorang geolog yang saat itu sebagai pejabat di Afdeeling Portibi baru sekadar melakukan pemetaan lokasi dimana candi berada; wujud bangunan candi atau reruntuhan yang terhampar di atas permukaan tanah, di bawah pepohonan atau di tengah padang ilalang maupun diantara semak-semak dan hutan sekunder. FM Schnitger, ahli (arkeolog) orang pertama yang melakukan penggalian situs, merekonstruksi dan melakukan interpretasi di Padang Lawas tahun 1935. Saat kehadiran Schnitger masih banyak elemen-elemen candi (seperti makara, stupa) yang dapat dilihatnya langsung, ditemukannya sendiri saat penggalian, yang berada di tangan penduduk dan yang direlokasi ke kantor Controleur di Goenoeng Toea. Schnitger berpendapat masyarakat pendukung candi tempo doeloe adalah orang-orang kerajaan yang dimakamkan di dalam stupa setelah kematian, sedangkan makara wujud hewan (banteng, singa, gajah) sebagai wujud jiwa yang ditinggalkan. LC Westenenk, yang menjadi peminat kepurbakalaan pada tahun 1920 dari Palembang mulai mengidentifikasi candi-candi di Padang Lawas. Westenenk adalah pejabat yang menemukan situs (prasasti) Sigoentang (Kedukan Bukit) di Palembang (https://akhirmh.blogspot.com/2021/05/sejarah-peradaban-kuno-5)
Lantas bagaimana sejarah para ahli dalam upaya melacak kerajaan tua Nusantara? Seperti disebut di atas salah satu wilayah tua di nusantara adalah Padang Lawas dimana kini dapat diperhatikan keberadaan banyak candi. FM Schnitger orang pertama melakukan eskavasi candi di Padang Lawas. Lalu bagaimana sejarah para ahli dalam upaya melacak kerajaan tua Nusantara? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.Link https://www.youtube.com/@akhirmatuaharahap4982
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja.
Para Ahli dan Upaya Melacak Kerajaan Tua Nusantara; FM Schnitger Eskavasi Candi di Padang Lawas
Sebelum penyelidikan lebih lanjut tentang bangunan dan benda-benda kepurbakalaan kegiatan yang ada masih terbatas pada upaya pengumpulan (koleksi) yang dilakukan oleh para individu. Lalu sejumlah peminat ilmu pengetahuan di Batavia mulai merasakan perlunya keberadaan museum.
Sejatinya penemuan bangunan dan barang kepurbakalaan belum terlaporlan
pada awal era VOC. Mengapa? Sejak era Portugis hingga era VOC pelaut/pedagang
Eropa terbilang hanya berada di kota-kota pantai. Pada akhir era VOC, lembaga
pengetahuan (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) didirikan di
Batavia oleh Radermacher pada tahun 1778, mulai muncul rintisan
penyelidikan-penyelidikan. Namun masih sebatas pengetahuan pada penulisan bahasa,
geografis dan sejarah kerajaan-kerajan. Dalam konteks inilah kemudian ada upaya
membangun perpusatakaan dan museum. Bataviaasch Genootschap terus eksis hingga era
Pemerintah Hindia Belanda. Pada era Inggris, Raffles mendapat laporan tentang
keberadaan candi Borobudur dan candi-candi lainnya (1811-1816). Demikianlah
seterusnya hingga tahun 1841 Dr FW Junghuhn menemukan dan melaporkan keberadaan
situs kuno berupa candi di wilayah Padang Lawas, Para pemerhati kepurbakalaan
dan peneliti sejarah termasuk arkeolog hanya tetap fokus tentang situs-situs
kuno di Jawa (penemuan Boroboedoer dan Prambanan).
Pelan tapi pasti Bataviaasch Genootschap terus berkembang. Secara organisasi lembaga semakin solid dan jumlah anggota dari waktu ke waktu semakin banyak, baik di Batavia maupun di berbagai daerah. Upaya pengumpulan barang kepurbakalaan terus marak sebagai komoditi yang diperdagangan. Dalam hal benda kepurbakalan masih dianggap sebagai barang antic yang dapat diperjualbelikan dan disimpan sebagai koleksi. Para kolektor semakin banyak. Namun sejauh ini belum ada yang berpikir bagaimana sejarah benda-benda kepurbakalaa itu ada.
Tidak hanya orang Eropa yang melakukan upaya koleksi benda kepurbakalaan
juga ada orang pribumi seperti pelukis Raden Saleh (1860an). Pada saat ini koleksi
museum Bataviaasch Genootschap sudah semakin maju dalam koleksi. Seorang pejabat
yang pernah berkunjung ke Padang Lawas juga melaporkan keberadaan candi (lihat Opregte
Haarlemsche Courant, 11-03-1880). Disebutkan kuil bata tua di Pertibi dan
dimana saksi mata meyakinkan saya, menunjukkan dengan reruntuhan, datang
sebelumnya wilayah ini dulunya adalah dari Hindu yang cukup berkembang.
Fokus penyelidikan situs kepurbakalaan di Jawa oleh orang-orang Belanda di Jawa yang tergabung dalam Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia (lembaga ilmu pengetahuan) tampaknya sulit menggerakkan pandangan ke Sumatra. Bahkan surat seorang peneliti Inggris, S. Beal pada tahun 1887 yang ditujukan kepada lembaga di Batavia tidak digubris.
S Beal adalah seorang sinolog yang telah lama
melakukan riset di Tiongkok dalam suratnya menyatakan telah menemukan arah suatu
kekaisaran besar yang letaknya menuju sungai Moesi dimana kota Palembang
berada. Lebih lanjut Beal menyatakan bahwa ia sampai pada kesimpulan bahwa
sebuah kota Hindu yang besar pastilah berada di lokasi Palembang yang sekarang.
Dalam surat itu juga Beal bertanya apakah Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen tertarik untuk memulai penyelidikan di ibukota Palembang untuk
menyelidiki kemungkinan sisa-sisa pusat yang kekaisaran yang kuat tersebut. Wakil Presiden van den Raad van Indie yang juga anggota
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen, WP Groenevelt menjawab
surat dan dalam surat tersebut WP Groenevelt menyangkal dan menganggap
hipotesis Beal tidak masuk akal dan karena itu lembaga ilmu pengetahuan
tertinggi di Batavia tersebut tidak memiliki alasan untuk mengabulkan
permintaannya.
Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen di Batavia telah membuat keputusan yang sangat keliru. Sebab pada tahun 1920 Mr LC Westenenk, Residen Palembang mengumumkan penemuannnya di Bukit Sigoentang menemukan puing-puing patung Budha yang bertarih 684 M (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920).
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-11-1920: ‘Residen
Westenenk mengumumkan kemarin menemukan dimana Palembang memiliki inscriptie
(tulisan kuno) Hindoe sebanyak tujuh belas catatan dan tidak rusak. Tulisan
kuno ini menunjukkan kemiripan yang sangat besar dengan tulisan di Kota Kapoar
di Banka dan karena itu mungkin sudah berusia lebih dari sepuluh abad. Ini
adalah prasasti Hindoe Melayu pertama yang ditemukan di Sumatera Selatan’. Catatan: Mr Louis Constant Westenenk
adalah seorang sarjana Indologi, lulusan Delf. Sebagai sarjana Indologi yang
menjadi pejabat Hindia Belanda, tentu saja dia telah memhami metologi riset dan
sangat tertarik tentang sejarah awal Hindia Belanda lebih-lebih dirinya adalah
putra daerah (Hindia Belanda) kelahiran Semarang. Setelah penemuan awalnya
tahunn 1920 tentang bukti Sriwijaya di Palembang, Mr LC Westenenk pada tahun
1922 telah menerbitkan laporan tentang aksara Rencong (Kerinci). Mr LC Westenenk memiliki keberanian dan banyak
kepandaian. Mr LC Westenenk menguasai sejumlah bahasa nusantara diantara bahasa
Kerinci dan bahasa Minangkabau. Mr LC Westenenk diduga memhami bahasa Armenia
(masih masuk wilayah Turki) karena pernah menjadi perwakilan Belanda di Armenia
sebelum menjadi Residen di Palembang.
Batavia geger. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen kecolongan. Berbagai media (bahkan juga media di Belanda) menyindir kita kehilangan waktu 30 tahun studi untuk memperluas pengetahuan kita tentang Sriwidjaja. Disebut kehilangan waktu 30 tahun karena S Beal pada tahun 1887 telah mendorong peneliti-peneliti untuk melakukan penyelidikan di Palembang. Sindiran ini seakan mencemooh bahwa kembali Inggris selalu lebih maju selangkah di depan dari Belanda.
Mr LC Westenenk (Residen Palembang 14 Mei 1920 - 25 Mei 1921), bukanlah
seorang peneliti apalagi bukan seorang arkeolog. Mr LC Westenenk hanyalah
pejabat pemerintah yang memiliki perhatian terhadap perihal kepurbakalan. Media
menyindir mungkin untuk mengolok-olok dimana berada para peneliti dan para
arkelolog Belanda selama ini. Peneliti terkenal Inggris S Beal telah diabaikan
oleh peneliti Belanda dan temuan Mr LC Westenenk seorang awam justru membuat
gempar dunia ilmu pengetahuan Belanda. Dalam hal ini head to head peneliti
Belanda kalah cepat dibandingkan Inggris. Surat S
Beal itu sesungguhnya telah menjadi isu di Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen, namun entah bagaimana surat S Beal ini kembali masuk laci.
Pembicaraan surat S Beal baru intens setelah Mr LC Westenenk melaporkan
penemuannya (1920).
Uniknya, setelah penemuan Mr LC Westenenk, peneliti-peneliti Belanda tidak hanya memulai langkah untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut temuan awal Mr LC Westenenk tetapi juga laporan Jung Huhn tahun 1843 tentang keberadaan candi di Padang Lawas dibuka kembali dan dibicarakan serius.
Samuel Beal bukanlah orang sembarangan. Samuel Beal adalah seorang
sarjana Inggris yang kompeten. Samuel Beal lahir di Devonport, Devon, Britania
pada tanggal 27 November 1825. Samuel Beal memperoleh gelar sarjana dari
Trinity College, Cambridge pada tahun 1847. Sebelum menjadi kapten kapal laut
Inggris, Samuel Beal adalah pejabat perguruan tinggi. Setelah bertugas di China
dan pensiun dari angkatan laut Inggris tahun 1877, Samuel Beal kemudian
diangkat sebagai Professor of Chinese di University College, London. Samuel
Beal pernah menjadi rektor di Falstone, Northumberland 1877–80 dan rektor di
Wark, Northumberland sejak 1880. Saat menjadi rektor inilah Samuel Beal
mengirim surat tentang kerajaan besar (Sriwijaya) ke lembaga ilmu pengetahuan
di Batavia tahun 1887. Dua tahun sebelum menulis surat ke Batavia ini tahun
1885i, Samuel Beal telah mendapat penghargaan DCL (Durham) sebagai pengakuan
terhadap hasil penelitiannya tentang Chinese Buddhism. Samueal Beal seorang
yang memiliki reputasi dan telah menghasilkan banyak karya terutama terkait
dengan Chinese Buddhists di India dari abad kelima hingga abad ketujuh. Bukunya
tentang Buddhism telah menjadi buku referensi para ahli. Samuel Beal meninggal
pada tanggal 20 August 1889 di Greens Norton, Northamptonshire, Britania.
Langkah inilah yang kemudian memunculkan gagasan pendirian Pusat Kepurbakalan di Palembang (bukan di Jawa). Pusat kepurbakalaan ini akan menjadi pusat kajian dalam penyelidikan lebih lanjut situs-situs tua di Palembang, Bangka, Padang Lawas dan berbagai tempat dimana akan ditemukan situs baru di Sumatra. Orang yang ditempatkan di pusat kepurbakalaan yang baru ini adalah seorang arkeolog bernama FM Schnitger.
Menurut NJ Krom dalam bukunya Hindoe-Javaansche Geschiedenis (1926) hanya
tiga kompleks candi di Sumatra yakni Palembang, Muara Takus (Riau) dan Panai
(Padang Lawas). Tiga daerah ini jauh mendahului dari semua tempat di Sumatra,
seperti Lamuri di Aceh, Malaka dan Pagaruyung. Dari spesimen makara yang
terdapat di candi Padang Lawas menurut Krom, tidak hanya lebih tua (dari candi
Melayu di Muara Takus) tetapi juga menunjukkan Panai (Padang Lawas) lebih
makmur pada abad kesebelas. Keberadaan Panai tercatat dalam prasasti Tanjore,
1030. Urutan keberadaan tempat-tempat penting di Sumatra (lihat Krom, 1926)
adalah sebagai berikut: Sriwijaya di Palembang, kemudian Panai di muara sungai
Baroemoen dan selanjutnya Jambi (dan dihulunya muncul kemudian Muara Takus).
Pada tahun 1935, Schnitger beberapa minggu melakukan penelitian di Palembang (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 16-02-1935). Disebutkan Schnitger menemukan artefak dan candi-candi yang berasal dari abad ke-13 dan 14. Tidak lama kemudian FM Schnitger, Kepala Pusat Kepurbakalan Sumatra di Palembang, mendapat laporan adanya candi yang lebih tua di Simangambat, Siaboe (dekat Padang Lawas). Schnitger kaget luar biasa dan bergegas dari Palembang datang ke Siaboe untuk mengkonfirmasi keberadaan candi Simangambat. Tanpa pikir panjang, FM Schnitger dan tim langsung melakukan ekskavasi terhadap candi Simangambat dan laporannya dipublikasikan pada bulan Juni 1935 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 05-06-1935 dan Bataviaasch nieuwsblad 05-06-1935).
Berita tersebuit pada kala itu sangat luar biasa, semua koran besar di
Hindia melaporkan atau melansirnya. Pada intinya, koran-koran tersebut
mengabarkan sebagai berikut: ‘Minggu lalu FM Schnitger dalam laporannya
diketahui bahwa candi Simangambat adalah candi Siwa yang dibangun pada abad
kedelapan. Di dekat Simangambat (sebelah selatan) juga ditemukan candi di Bonan
Dolok. Candi Simangambat adalah candi tertua yang dikenal di Sumatra. Candi ini
mengandung relief teratai dan yang paling mengejutkan ditemukan arca dewa
Ganesha. Bangunan candi ini merupakan lebih awal dari Borobudur dan diharapkan akan dilakukan perlindungan.
Hal yang luar biasa dalam penemuan ini, bahwa ada relief candi yang melukiskan
suatu daerah di Jawa. Sekarang, Mr. Schnitger sedang mempersiapkan suatu
ekspedisi lanjutan untuk eksplorasi ke percandian di Baroemoen, dimana mereka
berharap untuk membuat penemuan menarik di daerah arkeologi itu. Mr Schnitger
dan tim pergi ke daerah itu dan diperkirakan berlangsung selama dua minggu’.
Laporan FM Schnitger tersebut kemudian diterbitkan dalam bentuk brosur 38
halaman 'Oudheidkundige Vondsten in Palembang' oleh penerbit EJ Brill, Leiden.
1936. Isi laporan tersebut hasilnya sangat menggemparkan: 'Candi (Hindu)
Simangambat adalah candi tertua di Sumatra dan candi yang mendahului
pembangunan candi (Budha) Borobudur di Jawa Tengah'. Isi laporan Schnitger, 1935:
Simangambat abad ke-8
Keberadaan candi di Simangambat boleh jadi merupakan garis continuum kehadiran peradaban Hindoe di Sumatra: Baros, Siaboe dan Padang Lawas. Sebagaimana diketahui, kota tertua di nusantara yang pernah tercatat adalah Baros (konon sudah dikunjungi oleh orang-orang Mesir kuno, jaman prasejarah). Wilayah Simangambat adalah wilayah dimana penduduk lokal di sekitar sungai Batang Angkola di Siaboe mengusahakan tambang emas (pertambangan emas masih ditemukan hingga ini hari).
Pelabuhan Panai berkembang setelah era pelabuhan kuno, Baros memudar.
Dengan kata lain pusat-pusat perdagangan dari pantai barat Sumatra (di Baroes)
telah bergeser ke pantai timur Sumatra dimana Palembang dan Panai menjadi
pelabuhan penting. Meski demikian, keberadaan penduduk Batak dalam mengusahaan
produk-produk alamiah (kemenyan, benzoin dan kamper) tetap sentral. Pelabuhan
Panai (di hulu sungai Baroemoen atau sungai Batang Pane) didukung oleh
bandar-bandar kecil di hulu sungai Baroemoen, tempat dimana pedagang-pedagang asing melakukan transaksi dagang
dengan penduduk dari semua punjuru Tanah Batak. Produk perdagangan kuno
kemenyan, benzoin dan kamper sebagaimana diketahui hanya dihasilkan oleh
penduduk Batak. Besar kemungkinan produk ini mengalir ke Palembang melalui
pelabuhan Panai. Sehubungan dengan penemuan
situs kepurbakalaan di Padang Lawas, Palembang dan Simangaabat memunculkan
pertanyaan baru. Situs mana yang lebih eksis dan dimana peradaban awal
berkembang lebih awal di Sumatra: Apakah di Tapanuli atau Palembang?
Surat Samuel Beal pada tahun 1887 yang ditujukan kepada lembaga di Batavia haruslah dianggap sebagai awal penyelidkan sejarah kepurbakalaan di Sumatra. Lalu sejak penemuan LC Westenenk prasasti Kedoekan Boekit, mulai semua informasi dikumpulkan dan dianalis satu sama lain dalam sejarah kepurbakalaan di Sumatra.
Prasasti-prasasti sejenis sudah terlebih dahulu ditemukan. Prasasti Kota
Kapur berupa tiang batu bersurat ditemukan di pesisir barat pulau Bangka, di
dusun Kota Kapur yang dilaporkan oleh JK van der Meulen Desember 1892. Orang pertama yang menganalisis
prasasti ini adalah H Kern menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang
raja. George Coedes kemudian mengungkapkan Śrīwijaya nama kerajaan di Sumatra.
Prasasti Karang Berahi ditemukan tahun 1904 oleh LM Berkhout di Batang
Merangin. Batu andesit ukuran 90x90x10 cm. Prasasti Telaga Batu 1 ditemukan di
sekitar kolam Telaga Biru. 3 Ilir, Palembang, tahun 1935. Di sekitar lokasi
penemuan prasasti ini juga ditemukan prasasti Telaga Batu 2, yang berisi
tentang keberadaan suatu vihara. Pada tahun-tahun sebelumnya ditemukan lebih
dari 30 buah prasasti Siddhayatra. Batu andesit ukuran tinggi 118x148cm. Di
bagian atas terdapat hiasan tujuh ekor kepala ular kobra, dan di bagian bawah
tengah terdapat semacam cerat (pancuran).
Prasasti Kedoekan Boekit yang pertama membaca teksnya adalah Prof Dr. Ph S van Ronkel (lihat Acra Orientale II, 1925) dan G Coedes (lihat BEFEO, 1930). Seperti disebut sebelumnya keduanya membaca dan hasil bacaan mereka tampak ada perbedaan. Ph S van Ronkel adalah seorang Belanda sedangkan G Coedes adalah seorang Prancis yang sudah lama bekerja di Bangkok.
Dr George Cœdès (lahir 10 Agustus 1886) adalah arkeolog dan sejarawan
Prancis yang mengkhususkan diri di wilayah Asia Tenggara. George Cœdès, conservator
van de Nationale Bibliotheek te Bangkok menulis tentang Sriwijaya dengan judul Le
royaume de Criwijaya di dalam Bulletin de I’Ecole frangaise d’Extrême-Orient, XVIII
(1918). Sumber data yang digunakan Coedes adalah prasasti Kota Kapoer (686) dan
prasasti Tanjore (1030). Sumber lain yang digunakan Coedes adalah Groeneveldt’s
(Notes, l e ed. 1876) yang mana Annalen der 2 e Soeng-dynastie disebut San-bo-tsai
(of San-fo-ts’i) pada tahun 905 dan 1178 dan Annalen der Ming-dynastie dimana
disebut Sëmbodja of Sambodja (abad ke-15) dan nama Pau-lin-pang tahun 1374.
Coedes juga mengutip nama Shih-li-fuh-shi of Fo-shi yang terdapat pada epigraphie
Tjampa tahun nama yang disebut Fo-shi tahun 670 dalam Annalen der T’ang-dynastie
dari Beal (1883) dan Groeneveldt (Supplementary
Jottings, T’oung Pao, VII, 1896). Prasasti Kota Kapoer ditranskripsi oleh
Dr Brandes yang kemudian dibaca oleh Prof Kern tahun 1913.
Tunggu deskripsi lengkapnya
FT FM Schnitger Eskavasi Candi di Padang Lawas: Sudah Waktu Ahli dan Peneliti Orang Asli Padang Lawas Melakukan Studi Lebih Lanjut
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar