*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini
Banyak migran Indonesia di Arab Saudi. Berdasarkan Sensus 2022 terdapat sebanyak 175.00 orang Indonesia di Arab Saudi. Akan tetapi jumlah ini relative kecil jika dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan Filipina sekalipun. Jumlahnya bahkan jauh lebih sedikit jika dibandingkan hanya dengan kuato haji Indonesia tahun 2025 yang mencapai sebanyak 221.000 orang. Bagaimana di masa lalu?
Empat Tokoh Besar di Arab Saudi Keturunan Indonesia. Kamis, 27 Februari 2020. Sejak abad ke-19 warga Indonesia telah di Tanah Haram Makkah dan Madinah, untuk haji, juga menuntut ilmu, kemudian mereka ada menetap. Mantan Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi, Gatot Abdullah Mansyur meyakini 50% penduduk Makkah merupakan keturunan Indonesia. Umumnya tinggal di daerah Hijaz (Makkah, Jeddah dan Madinah), kini mulai tersebar ke Riyadh dan Sharqiya. Warga Saudi keturunan Nusantara di antaranya; Syaikh Abdul Hamid Al Khatib, putra Syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi, Duta Besar untuk Pakistan di era Raja Abdul Aziz, memimpin delegasi pada upacara serah terima kekuasaan Belanda ke Indonesia. Syaikh Anis Thahir, Guru Besar ilmu hadits di Universitas Islam Madinah, sekaligus pengajar di Masjid Nabawi. Muhammad Shalih Bantan, Menteri Haji dan Umrah sejak tahun 2016 sampai sekarang, ahli IT yang dipercaya Raja Salman untuk menerapkan e-Hajj. Syaikh Muhammad Yasin Al Fadani, memiliki kunyah, Abu Al-Faid, dengan nama lengkap Muhammad Yassin Bin Muhammad Issa Al-Fadani, lahir di Makkah, salah satu ulama terkemuka di Arab Saudi (https://saudinesia.id).
Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Arab dan perjalanan haji ke Mekkah? Seperti disebut di atas, orang Indonesia banyak di Arab Saudi hingga masa ini, bahkan sejak di masa lampau. Sementara itu, sejak awal agama Islam sudah ada orang Arab di Indonesia. Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Arab dan perjalanan haji ke Mekkah? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.
Orang Indonesia di Arab dan Perjalanan Haji ke Mekkah; Agama Islam dan Sejak Kapan Orang Arab di Indonesia?
Sejak kapan orang Indonesia (baca: sejak era nusantara) ada di Tanah Arab tidak diketahui secara pasti. Hanya berbagai mozaik pendapat yang mengindikasikan orang Indonesia sudah mencapai Tanah Arab di masa lampau, bahkan jauh sebelum adanya agama Islam. Namun sebaliknya kehadiran orang Arab di nusantara (baca: Indonesia) sudah terinformasikan sejak awal agama Islam.
Pada masa kenabian (sejak 618 M), pedagang-pedagang Arab sudah diketahui keberadaannya di Baros pantai barat Sumatra dan di Canton pantai timur Tiongkok (tahun Hijrah dari Mekkah ke Medinah dimulai tahun 622 M). Dalam catatan Tiongkok disebutkan bahwa antara 618 dan 626 empat murid Muhammad membawa Islamisme ke Tiongkok, satu mengajar di Canton, satu di Yang-chow, dan dua lainnya di Ch'üan-chow. P'an-yü-hsien-chih. Pada bab 53 halaman 1 dinyatakan: ‘Ketika perdagangan laut dibuka pada dinasti T'ang, Muhammad, raja Muslim di Medina mengunjungi koloni Muslim di Canton, yang mereka sebut Khanfu. Juga disebutkan mengirim paman dari pihak ibu, pendeta Su-ha-pai-sai ke Tiongkok untuk berdagang. Dia membangun menara Kuangfe dan masjid Huai-shêng. Dia meninggal segera setelah menara dan masjid selesai dibangun. Dabry de Thiersant, paman dari pihak ibu Muhammad, Wahb-Abu-Kabcha, datang ke Tiongkok pada tahun 628 atau 629. Pada tahun-tahun ini pula diketahui peziarah Tiongkok mulai berkunjung ke India (masih melalui darat; sementara pedagang Arab ke pantai timur Tiongkok melalui laut). Baros di pantai barat Sumatra diduga kuat menjadi titik penghubung antara Tanah Arab dan Tanah Tiongkok melalui navigasi pelayaran perdagangan. Disebutkan terutama Pulau Sumatera, empat puluh tahun setelah wafatnya Nabi, yakni tahun 672 M (baca: 46 H), sudah disebutkan adanya pemukiman umat Islam di Sumatera (lihat Onder de Bataks op West-Sumatra, 1904). Pada masa ini diketahui terdapat nisan makam tua di kompleks pemakaman Mahligai, Barus yang salah satunya bertuliskan Syekh Rukunuddin yang wafat pada 672 M. Hubungan antara Arab dab Indonesia paling tidak sudah disebut dalam kitab suci Islam, Alqur’an.
Dalam konteks kajian sudah sejak masa lampau orang Indonesia ke Arab dan orang Arab ke Indonesia, catatan-catatan orang Eropa menjadi lebih terang untuk menjelaskan hubungan antara Indonesia dan Arab dan sebaliknya. Dalam laporan Mendes Pinto (1537) disebutkan orang-orang Moor beragama Islam cukup banyak di Aroe Batak Kingdom (pantai timur Sumatra). Kerajaan ini menurut Pinto tengah berselisih dengan Atjeh, dimana kekuatanj Atjeh diperkuat militer (Islam) Turki. Catatan: Ottomans (Turki) sejak 1517 mengakuisisi Mekkah dan Medinah (Hejaz). Dengan menguasai Laut Merah, armada Ottomans yang selama ini terbatas di Laut Tengah, mulai dialihkan ke Laut Merah dan Teluk Parsi yangt kemudian mencapai Sumatra di Atjeh.
Sebagaimana diketahui pelaut-pelaut Eropa yang mencapai Hindia Timur (baca: nusantara) adalah Portugis, dimana skuadron Malaka menaklukkan Malaka pada tahun 1511 dan kemudian tiga kapal Portugis meneruskan pelayaran melalui pantai utara Jawa dan nusantara terus ke Maluku. Pelaut-pelaut Portugis juga menemukan orang-orang Moor di Maluku. Catatan: Orang Moor adalah pelaut ulung yang membangun peradaban Islam di Eropa Selatan di Spanyol masa kini seperti Cordoba, Malaga dan Andalusia. Perang Salib (sejak abad ke-11) telah membuat orang Moor di Eropa selatan menyebar ke berbagai pernjuru, terutama di Afrika Utara dan kota-kota pantai Afrika barat, selatan dan timur hingga ke pantai barat India. Pada tahun `1345 salah satu utusan Moor (semacam duta besar) Ibnoe Batutah mencapai pantai timur Sumatra di (kerajaan) Samudra dan kemudian meneruskan pelayaran ke Canton. Kehadiran Ibnoe Batutah diduga suatu indikasi sudah banyak koloni-koloni orang Moor bahkan hingga di Sumatra. Dalam laporan Ma Huan yang menyertai ekspedisi Tiongkok pertama (1405) yang dipimpin Cheng Ho dari Canton menyebut kota-kota pelabuhan yang dikunjungi antara lain Alu (Aroe?), Manlaka (Malaka?) dan Sumantala (Sungai Karang atau Samudra?). Peta Portugis 1689
Sejak kehadiran pelaut-pelaut Belanda di Indonesia (sejak 1596) semakin baik catatan-catatan yang dibuat tentang nusantara dan Arab. Salah satu yang pertama disebutkan orang-orang Makassar, sekitar tahun 1588, dengan bantuan orang-orang Melayu, mengirim utusan ke Mekkah untuk menjemput dari sana seorang Haji yang dapat mengajari mereka agama yang akhirnya dianut oleh seluruh kerajaan Makassar di bawah Raja kedua Sultan Allahudeen tahun 1603. Tiga tahun kemudian memaksa orang-orang Bone untuk menganut agama yang sama (lihat Verhandelingen van het Bataviaasch genootschap, der konsten en weetenschappen, 1786).
Ekspedisi-ekspedisi Belanda yang semakin intens ke Hindia Timur membuat pedagang-pedagang Belanda semakin banyak. Pada tahun 1605 ekspedisi Belanda menaklukkan Portugis dan menduduki benteng di Amboina dan kemudian dijadikan sebagai pos perdagangan utama Belanda di Hindia Timur. Boleh jadi dengan pengetahuan di Hindia Timur (Ternate/Maluku), salah satu ekspedisi Belanda menuju Tanah Arab. Ekspedisi ini dipimpin P. van den Broek pada tahun 1616. Disebutkan ekspedisi di bawah pimpinan P. van den Broek (1616-1618) tiba di Arabia, Hindoestan dan Suratte. Kelak Pieter van den Broecke, eerste Directeur van Suratte, Persien en Arabien. Sejak itu berbagai tempat di jalur pelayaran menjadi wilayah-wilayah pengaruh kekuasaan VOC termasuk Coromandel, Malabar, China hingga Jepang. Wilayah-wilayah kekuasaan baru itu banyak diperoleh dari ‘pengusiran’ pelaut-pelaut Portugis. Dalam wilayah-wilayah yang telah dirintis Portugis sejak satu abad lalu, kini berada di tangan pelaut-pelaut Belanda, yakni wilayah navigasi pelayaran perdagangan antara Arabia dan Hindia Timur. Peta Portugis 1750
Dalam peta Portuguis 1689 nama Jeddah, Mekkah dan Madinah belum diidentifikasi. Yang sudah diidentifikasi yang utama adalah Suez (di utara). Bagian wilayan barat jazirah Arab diidentifikasi sebagai wilayah Yaman, dan wilayah timur sebagai Arabia. Namun dalam perkembangannya, dalam peta-peta baru nama wilayah barat jazirah Arab sudah didientifikasi sebagai wilayah (kerajaan Arabia).
De zendingseeuw voor Nederlandsch Oost-Indie, 1901: ‘Pada tanggal 7 Maret 1651, muncul larangan bagi umat Islam di Batavia untuk mengadakan "pertemuan umum atau rahasia untuk menjalankan ibadah Islam" dan meminta masjid beserta ornamen, gambar, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan agama ke luar gerbang selatan kota di dekat kuburan mereka. Dokumen ini dikeluarkan atas permintaan Dewan Gereja, yang berpendapat bahwa ibadah umum umat Islam harus dianggap sebagai, suatu tindakan, yang dilakukan di bawah pemerintahan, di mana doktrin yang murni dan satu-satunya Juruselamat yang sejati adalah Yesus Kristus yang diajarkan dan dilayani, tidak boleh ditoleransi. Hukuman berantai bagi Islam akan diancam atas pelanggaran tersebut. Juga disebutkan pada bulan April 1716, izin diberikan kepada 10 haji dari berbagai bangsa untuk mendarat di Batavia. Izin semacam itu mungkin belum pernah diberikan sebelumnya. Pemerintah VOC memberikannya hanya untuk menghindari timbulnya ketidaksenangan. Namun pada bulan Agustus tahun yang sama, pemerintah menunjukkan tidak menyukai ziarah ke Mekkah, dan mengeluarkan larangan terhadap pengangkutan para peziarah ke Mekkah dengan menggunakan kapal-kapal VOC. Larangan ini dikeluarkan karena ziarah ke Mekkah seperti itu di sini (di Batavia) hanya merugikan para pengikut mereka di antara para penganut Muhammad. Juga disebutkan pada tahun 1744 diberikan izin untuk membangun masjid bagi orang-orang Moor dari Coromandel di luar gerbang Utrecht di Batavia yang mana 4 tahun ketika masjid itu selesai dibangun, seorang guru agama Moor diangkat sebagai pengawas utamanya.
Lantas apakah saat awal VOC sudah ada pribumi yang melakukan perjalanan haji ke Mekkah? Tidak terinformasikan. Yang terjadi adalah orang-orang Arab, Persia dan Yaman masih terus mengalir datang ke Indonesia untuk melakukan aktivitas perdagangan (sambil menyebarkan siar agama Islam). Mereka ini adalah pelaut-pelaut yang meneruskan tradisi nenek moyang mereka sejak jaman kuno (Mesir, Persia dan Arab) dalam perdagangan rempah-rempah yang kemudian menyusul orang-orang Moor dan orang-orang Eropa.
Berita-berita perjalanan haji umumnya datang dari Turki dan Mesir. Selain dua kawasan ini penduduknya dominan agama Islam, juga karena letaknya yang cukup dekat dengan kota suci Makkah dan Madinah. Pada saat itu, tentu saja kafilah dari Mesir masih melalui darat (belum ada terusan Suez). Saat itu memang, Makkah dan Madinah berada di bawah Kesultanan Utsmaniyah (Turki) yang beribukota di Istambul. Jamaah-jamah asal Turki antara lain dilaporkan oleh Oprechte Haerlemsche courant, 02-11-1683. Belanda (VOC) di tahun-tahun itu masih konsentrasi di Batavia dan melakukan kerjasama-kerjasama dagang dengan pemimpin lokal di berbagai tempat. Sementara di luar kota Batavia sudah mulai dikembangkan pertanian (terutama padi dan tebu). Titik terjauh baru sampai ke Antjol (timur)m Anke (barat) dan di selatan sampai batas Ryswyck dan Noordwyck. Lukisan: Masjidil Haram dan Ka'bah (1750)
Nama tempat Makkah dan Madinah sudah mulai teridentifikasi pada Peta 1750. Makkah dan Madinah tentu saja sudah dikenal sebagai kota suci agama Islam. Ka'bah yang berada di dalam Masjid Haram di Makkah sebagai situs penting sudah teridentifikasi pada tahun 1750 dalam bentuk sebuah lukisan. Dalam lukisan ini Masjid Haram dan Ka'bah masih tempak sederhana namun masih dikenali dengan jelas pada masa sekarang. Selain Ka'bah terdapat hijir Ismail, makam Ibrahim dan bentuk kubah masjid yang mengelilingi kabah (tempat dimana jamah haji melakukan tawaf).
Pada masa ini, ibadah haji hanya fokus di Makkah dan sekitarnya utamanya di Masjidil Haram. Namun para jamaah haji adakalanya melanjutkan perjalanan haji dengan ziarah untuk mengunjungi makam nabi di Madinah. Makam nabi Muhammad terdapat di dalam Masjid Nabawi di Madinah. Keberadaan makam nabi ini baru teridentifikasi melalui foto yang diambil pada tahun 1885. Makam nabi, Muhammad SAW masih tampak dalam wujud aslinya dan masih dapat dilihat langsung. Pada masa ini makam ini sudah dijaga dengan membuat ruangan sendiri di dalam masjid. Foto: Makam Nabi, Muhammad SAW (1885)
Dalam perkembangannya koloni-koloni di Afrika Selatan, Arab dan India jatuh ke tangan pelaut-pelaut Inggris. Sejak inilah orang-orang pribumi di Hindia Timur yang melakukan perjalanan haji (tampaknya hanya) terdeteksi di pantai barat Sumatra. Mereka itu adalah penguasa-penguasa pusat perdagangan di pantai barat Sumatra di Taroemon. Kesempatan itu diperoleh karena saat itu antara Ingrris dan Belanda tengah bersaing menanamkan pengaruhnya di pantai barat Sumatra. Beberapa wilayah menjadi wilayah pengaruh Belanda dan beberapa wilayah yang lain oleh Inggris. Saat itu Kerajaan Atjeh masih independen dan masih memiliki kekuatan untuk mengimbangi kekuatan Eropa (Inggris dan Belanda).
Radja Taroemon yang pribumi
ketika Inggris melakukan kerjasama mendapat kesempatan untuk berangkat haji
dengan kapal-kapal Inggris. VOC yang melakukan kerjasama dengan raja-raja
pribumi tidak terlalu peduli dengan haji. Hal ini karena saat itu Arabia sudah
berada di bawah pengaruh Inggris. Sedangkan radja-radja Atjeh yang umumnya
orang-orang Moor (Timur Tengah) perjalanan haji bukanlah hal yang luar biasa,
karena dengan kekuatan armada lautnya bisa tahun kapan saja untuk membawa
mereka untuk pergi naik haji.
Sementara itu, di jazirah Arab terbentuk kerajaan Saudi pada tahun 1727 di sekitar wilayah Riyadh. Kekuatan Saudi akhirnya menguasai sebagian besar wilayah Arab termasuk Madinah pada tahun 1804 dan kemudian Mekkah pada tahun 1806). Namun segera dihadang Ottoman melalui pangerannya di Mesir, Mohammed Ali Pasha dan berhasil membebaskan Mekkah dan Medinah pada tahun 1818.
Inggris dan Prancis pada
tahun 1916 bekerjasama dengan pemerintah lokal Mekkah, untuk melepaskan pengaruh
Ottomans. Dalam konteks inilah muncul gagasan Arab bersatu yang meliputi wilayah
Arab dari Suriah hingga Yaman. Pada tahun 1918 Ottomans terusir dari wilayah
Arab. Namun dukungan Inggris secara khusus kepada Saudi menyebabkan
terbentuknya unifikasi Riyadh dan Hejaz tahun 1934 dengan nama Kingdom of Saudi
Arabia dengan rajanya Abdulaziz Al Saud.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Agama Islam dan Sejak Kapan Orang Arab di Indonesia? Sejak Kapan Orang Indonesia di Arab?
Kapal-kapal dagang Persia dan Arab lambat laun digantikan oleh kapal-kapal dagang Inggris sebagai pengangkut jamaah haji dari Nusantara (Indonesia). Kapal-kapal dagang Belanda menjadi hanya terbatas pada pelayaran jarak jauh (Batavia-Amsterdaam via Afrika Selatan). Pengaruh Belanda yang telah memudar di India (khususnya Coromandel dan Malabar) dan semakin meluasnya pengaruh Inggris di Timur Tengah menjadi faktor penting mengapa kapal-kapal dagang Inggris sebagai moda transportasi haji Nusantara. Pelabuhan Colombo di bawah Inggris menjadi pelabuhan transit.
Setelah berakhirnya VOC (1799) dan digantikan Pemerintah Hindia Belanda, belum sepenuhnya Belanda tertarik dengan bisnis pelayaran haji. Kapal-kapal Inggris masih leluasa (terutama di Penang dan Singapoera). Pemerintah Hindia Belanda yang beribukota di Batavia, lambat laun mulai melirik haji, namun tidak dalam urusan memfasilitasi tetapi lebih melihat jamaah haji yang terus meningkat dari waktu ke waktu hanya karena melihat potensi pajaknya. Kegiatan perjalanan haji (moda pelayaran) dibiarkan melalui mekanisme pasar, namun potensi pajaknya Pemerintah Hindia Belanda mulai mengendus ‘fulus’.
Salah satu
pemukiman baru yang berada di luar tembok kota Batavia dan lokasinya berada
dekat ke laut, kelak dikenal sebagai Kampong Loear Batang. Perkampungan ini
muncul sebagai akibat alamiah terbentuknya Kota Batavia sebagai kota
Eropa/Belanda dimana VOC memerintah. Kapal-kapal asing non Eropa/Belanda
seperti kapal-kapal Arab, Persia, Tiongkok dan sebagainya dan kapal-kapal
pribumi yang datang dari berbagai daerah, setelah usai melakukan transaksi
dagang, memanfaatkan perkampungan yang disebut Luar Batang itu sebagai tempat
tinggal sementara.
Kampung Luar Batang menjadi begitu penting. Tidak untuk orang Eropa/Belanda, tetapi untuk orang-orang pribumi yang datang dari berbagai wilayah di pantai barat Sumatra, pantai timur Sumatra, pantai utara Jawa, pantai selatan Kalimantan dan pantai barat/selatan Sulawesi dan Sumbawa. Di perkampongan inilah berita-berita pelayaran internasional dibicarakan, khususnya ke Jazirah Arab. Kapal-kapal dagang dari jazirah Arab menjadi penghubung Nusantara dengan jazirah Arab (peabuhan Jeddah) yang juga menjadi penghubung para jamaah haji ke tanah suci di Makkah. Kampong Loear Batang di pantai dekat Soenda Kalapa menjadi embarkasi haji. Kampong Loear Batang ini berada di luar tembok Batavia. Lukisan: Masjid Loear Batang, Batavia, 1851
Kapal-kapal dagang dari (jazirah) Arab ini dari Batavia ke Jeddah menjadi jarak pelabuhan terjauh dalam pelayaran internasional antara nusantara dan jazirah Arab. Kapal-kapal dagang Arab ini ketika berangkat ke Persia dan Arab (Jeddah) juga melakukan transaksi di pelabuhan-pelabuhan seperti Singapoera, Malaka dan Kota Radja (kini Banda Atjeh) dari sisi timur Sumatra, sedangkan dari sisi barat Sumatra juga melakukan yang sama di pelabuhan Telok Betong, Bencoelen, Padang, Pariaman, Baros, Singkel dan Meaulaboh (dan Kota Radja). Pelabuhan-pelabuhan ini juga menjadi semacam pelabuhan ‘embarkasi’ jamaah haji.
Pemanfaatan kapal-kapal
Inggris terus berlangsung hingga terjadinya pendudukan Inggris atas Jawa
(1811-1816). Kapal-kapal dagang Inggris bahkan terus beroperasi hingga tahun
1824 (traktat London). Sejak Bengkulu dan Malaka tukar guling antara Belanda
dan Inggris, kapal-kapal dagang Inggris menjadi salah satu pilihan utama jamaah
haji untuk ke Makkah. Pelabuhan Singapoera, Malaka dan Penang menjadi simpul
pelayaran haji yang utama (embarkasi haji). Kapal-kapal kecil dari berbagai
penjuru nusantara mengantarkan jamaah haji ke pusat embarkasi Inggris ini.
Kapal-kapal kecil milik orang-orang Eropa/Belanda dan pribumi, selain datang
dari Batavia, juga dari pelabuhan-pelabuhan kecil di Sumatra, pelabuhan di
pantai utara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku.
Inggris dan Prancis yang telah menanamkan pengaruhnya di seputar Laut Merah mulai muncul gagasan baru untuk membuka wilayah Sinai (Suez) untuk menghubungkan Laut Mediterani dengan Laut Merah dengan membangun kanal. Boleh jadi itu diduga menjadi penyebab terbunuhnya konsul Inggris dan konsul Prancis di Jeddah (lihat Algemeen Handelsblad, 12-07-1858). Disebutkan melalui telegraf. London, Sabtu, 10 Juli. Menurut berita resmi, Orang Islam dari Jeddah (di Teluk Arabia) membunuh konsul Perancis dan wakil konsul Inggris, serta 20 orang Kristen, pada tanggal 15 Juni dan sebanyak 26 orang lainnya berhasil melarikan diri.
Le courrier de la Meuse, 16-07-1858:
‘Jeddah. Peristiwa mengerikan yang baru saja terjadi di kota Arabia ini
mengharuskan kami untuk menerbitkan informasi berikut mengenai situasi dan
pentingnya kota tersebut: Jeddah, atau Djeddah, adalah kota kecil di Hedjaz,
yang dibentengi dengan cukup baik, dan salah satu dari lima divisi besar di
jazirah Arabia. Jeddah, pelabuhan yang aman dan sibuk, terletak 97 kilometer di
sebelah barat Mekkah, di Laut Merah. Tempat ini, yang penduduk aslinya
diperkirakan berjumlah 5.000 jiwa, secara harfiah adalah pelabuhan Mekkah. Ini
menjelaskan bagaimana gubernur provinsi, yang berada di kota terakhir, mampu
pergi begitu cepat, memimpin satu detasemen pasukan yang kuat, ke tempat
kejadian penyerangan. Terletak 800 Km dari Suez, Jeddah adalah gudang kota ini
dan memiliki hubungan dengan pantai timur Afrika hingga Zanzibar, dengan Asia,
India, dan Indo-Cina. Produk Teluk Persia disimpan di Jeddah; Melalui jalur ini
pula hampir seluruh perdagangan Kairo dengan negara-negara Arab atau
pelabuhan-pelabuhan di Samudra Hindia dilakukan. Menjelang hari raya tahunan
haji, atau ibadah haji umat Islam, sejumlah besar jemaah haji datang melalui
Jeddah dari seluruh penjuru dunia Muslim, dan jumlah penduduk kota tersebut
untuk sementara meningkat hingga berkisar antara 20.000 hingga 50.000 jiwa.
Haji, meskipun merupakan kewajiban keagamaan, tetapi menjadi sebuah pekan raya,
yang terbesar di seluruh Asia, karena para pedagang dari Maroko dan Cina datang
ke sana. Lingkungan sekitar Jeddah yang tandus, perlengkapan dan bahkan air
minum didatangkan dari pedalaman atau pesisir Afrika. Tidak jauh dari Jeddah
kita melihat sebuah rumah batu kecil, yang disebut Makam Hawa, salah satu
tempat ziarah haji’.
Pada tahun 1869 kanal penghubung antara Laut Merah dan Laut Mediterania selesai dibangun. Kanal ini kemudian disebut Kanal Suez (sesuai nama kota di Laut Merah), suatu kanal yang memungkinkan pelayaran antara Eropa dan Asia menjadi jauh lebih singkat jika dibandingkan melalui Afrika Selatan. Kapal-kapal Belanda dari Belanda ke Indonesia atau sebaliknya juga dengan sendirinya melalui kanal Suez ini.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 12-04-1871: ‘Hasil yang diakui secara umum yang diperoleh dari pembukaan Terusan Suez memiliki efek positif pada peningkatan komunikasi kapal uap dengan negara-negara ini, dan beberapa kapal uap, tidak hanya yang dimiliki oleh jalur yang sudah ada, tetapi banyak lainnya, mulai beroperasi antara Eropa dan Cina. Semua ini membawa kargo ke Singapura dan sebagian besarnya mengisi tempat kosong di sini dalam perjalanan pulang. Hal ini berdampak buruk pada muatan kapal layar, dan diduga tidak lama lagi hal ini akan menjadi sesuatu yang lampau. Messageries Maritimes telah menghentikan layanan dua mingguannya sebagai akibat dari perang, tetapi Perusahaan F & O. tetap melanjutkan komunikasi rutinnya; sementara O.S.S. Coy. (Holt) mengusulkan untuk membuka layanan dua minggu sekali antara Eropa dan Cina. Perusahaan ini konon ingin membangun jalur penghubung antara Jawa dan Belanda dan sebaliknya, tetapi diharapkan perusahaan kapal uap "Nederland" akan melaksanakan rencana yang diusulkan dalam hal ini dan akan mendapatkan dukungan yang layak bagi perusahaan penting nasional seperti ini. Dengan kepastian komunikasi, kecepatan perjalanan, dan kuantitas produk yang ditawarkan untuk pengiriman setiap tahun di Jawa dan Sumatera, pembangunan jalur tersebut akan terbukti sangat bermanfaat bagi masyarakat umum dan pemegang saham pada khususnya’.
Dengan dibukanya Kanal Suez dan semakin intensnya lalu lintas pelayaran kapal-kapal Belanda antara Eropa dan Indonesia, serta banyak perjalanan haji dari Indonesia ke Mekkah, Pemerintah (Kerajaan) Belanda kemudiann akan membuka konsulat di Jeddah (lihat Makassaarsch handels-blad. 31-01-1873). Disebutkan ada baiknya dibuka konsulat di Jeddah, ada sebaiknya yang bisa berbahasa Melayu.
Wakil konsul di Jeddah pernah terinformasikan pada tahun 1869 (lihat Algemeen
Handelsblad, 25-08-1869). Lalu kemudian keberadaan konsulat di Jeddah terinformasikan
kembali pada tahun 1876 (lihat Nederlandsche staatscourant, 29-04-1876). Konsulat
Belanda terdekat berada di Aden yang keberadaannya sudah terinformasikan pada
tahun 1877 (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 31-03-1877). Konsulat Belanda di
Aden keberadaannya sudah terinformasikan pada tahun 1877 (lihat Bataviaasch
handelsblad, 04-05-1877). Tiga konsulat di sepanjang Laut Merah ini diduga kuat
bagian dari konsulat jenderal Belanda di Mesir yang berkedudukan di Alexandia.
Dalam konteks inilah kemudian Snouck Hurgronje di Leiden menyelesaikan desertasinya tahun 1880 dengan judul Het Mekkaansche feest. Pada tahun 1882 di Jeddah wakil konsulat adalah A van der Chijs (lihat Bataviaasch handelsblad, 07-06-1882). A van der Chijs adalah mantan inspektur Pendidikan Pribumi di Hindia. Dengan pengetahuan yang luas tentang Islam dan Mekkah serta kemampuan bahasa Arabnya membawa dirinya berkunjung ke Mekkah pada tahun 1884. Selama di Jeddah dan Mekkah, Snouck Hurgronje juga menyempatkan diri untuk menggali pengetahuan tentang kehadiran orang-orang Indonesia di Tanah Arab terutama di Mekkah.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-07-1859: ‘GUBERNUR JENDERAL HINDIA BELANDA. ATAS NAMA RAJA! Setelah mendengar Dewan Hindia Belanda: Semua yang melihat atau mendengar ini membaca, Salam! menyatakan: Bahwa Beliau menimbang: bahwa telah menjadi jelas bagi pemerintah bahwa selama tahun-tahun belakangan ini banyak penduduk Jawa dan pulau-pulau lain milik Hindia Belanda telah meninggalkan tempat kediamannya dengan tujuan atau dengan dalih pergi ke tempat-tempat suci Mekkah dan Madinah, sesuai dengan profesinya, tanpa memiliki sarana yang cukup untuk melakukan perjalanan berangkat dan pulang, atau telah mengambil tindakan untuk mengurus keluarga yang tertinggal selama ketidakhadiran mereka; bahwa akibatnya banyak orang bijak yang binasa karena kesengsaraan dan keinginan di jalan, sedangkan sanak saudaranya terus menerus menderita, dan yang lain-lain kembali dengan memakai nama Hadji dan memakai pakaiannya, tanpa pernah mengunjungi tempat-tempat suci; bahwa suatu penyelidikan yang khusus diselenggarakan untuk tujuan ini telah menunjukkan bahwa dari 12.985 orang yang diberi izin masuk ke Mekkah dalam enam tahun terakhir, hanya 5.594 orang yang telah kembali, dan banyak di antaranya diduga tidak pernah sampai di Mekkah; bahwa situasi ini, yang telah menimbulkan kekesalan bagi banyak bupati, kepala suku dan umat Islam terhormat lainnya, sangat membutuhkan penyediaan; Dan bersedia mengambil langkah-langkah penyediaan dalam hal ini; Mengingat Pasal 20, 29, 31 dan 33 Peraturan tentang Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda; Telah menyetujui dan memahami: Pasal-1. Setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang termasuk penduduk pribumi di bawah kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda, yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah, wajib membawa paspor dari Pemerintah Daerah tempat tinggalnya. Pasal-2. Izin masuk tersebut harus diminta melalui perantara bupati yang bersangkutan, atau jika bupati tidak ada, diminta melalui kepala daerah yang menggantikan bupati tersebut. Tidak ada izin masuk yang akan diberikan kecuali pemohon telah menunjukkan dan menyatakan bahwa pemohon memiliki sarana untuk memperoleh izin masuk untuk perjalanan berangkat dan pulang dan telah membuat ketentuan yang memadai untuk pemeliharaan kerabat yang tersisa selama ketidakhadiran mereka. Pasal-3. Apabila pemegang pas datang ke Mekkah di tempat di mana konsul atau agen konsuler Belanda bertugas, maka ia wajib menyerahkan pas tersebut kepada konsul atau agen konsuler Belanda tersebut untuk mendapatkan visa. Pasal-4. Orang yang kembali dari perjalanannya diharuskan, sekembalinya ke Belanda, untuk segera melapor kepada pihak berwenang di tempat kedatangan pertama mereka dan menyerahkan di sana paspor yang dikeluarkan untuk mereka, yang selanjutnya akan berlaku untuk perjalanan selanjutnya ke tujuan mereka. Begitu mereka tiba di sana, mereka harus segera melapor ke pemerintah daerah, di mana catatan kepulangan mereka akan disimpan, termasuk paspor yang ditinggalkan dalam kepemilikan mereka. Pasal-5. Orang yang baru pulang haji ke Mekkah wajib melaporkan diri kepada bupati atau kepala daerah penggantinya yang di daerah tempat tinggalnya, dan bupati di hadapan pendeta dan jika dianggap perlu juga oleh haji yang terhormat, meyakinkan dirinya dengan menanyakan apakah orang yang pulang itu benar-benar telah berziarah ke tanah suci dan jika ternyata benar demikian, wajib memberikan surat keterangan yang menyatakan hal itu yang ditandatangani oleh yang hadir pada pemeriksaan dan yang bersangkutan, dan tentang hal itu bupati memberitahukan kepada pimpinan pemerintahan daerah. Barang siapa dalam pemeriksaan ini terbukti tidak pernah berkunjung ke Mekkah, maka tidak akan mendapat surat keterangan dan tidak diperkenankan memakai pakaian yang diperuntukkan bagi jamaah haji, dengan ancaman denda sebesar Rp 25.000.000 sampai dengan Rp 100.000.000 untuk setiap pelanggaran. Hukuman yang sama berlaku bagi mereka yang tidak memperoleh paspor ketika berangkat ke Mekkah, dan juga bagi mereka yang tidak mematuhi ketentuan Pasal 3 dan 4. 6. Buku catatan tersendiri mengenai izin haji ke Mekkah dibuat oleh para kepala pemerintahan daerah sesuai contoh yang terlampir dalam peraturan ini, di mana di dalamnya juga disimpan catatan mengenai jamaah haji yang telah kembali. Dan agar jangan ada seorang pun berpura-pura tidak mengetahui hal ini, maka akan ditempatkan dalam lembaran negara Hindia Belanda dan, jika perlu, diumumkan dalam bahasa ibu dan bahasa Mandarin. Perintah dan perintah selanjutnya bahwa semua dewan dan pejabat tinggi dan rendah, pejabat dan hakim, sejauh yang bersangkutan, harus menaati ini dengan ketat, tanpa menutup mata atau menghormati orang. Dibuat di Batavia, pada tanggal 10 Juli 1859. Sekretaris Jenderal A Loudon. Catatan: Para haji ke Mekkah menggunakan kapal-kapal jarak jauh Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 18-07-1884).
Kehadiran Pemerintah Hindia Belanda sendiri baru mulai pada tahun 1852. Kehadiran tersebut baru sekadar memberikan izin masuk Mekkah. Soal keberangkatan ke Mekkah menjadi urusan masing-masing (dengan menggunakan kapal asing). Konsulat Belanda sendiri di Jeddah yang terinformasikan sudah ada tahun 1876 paling tidak telah memberi sedikit keamanan bagi calon haji. Namun masalahnya, pejabat konsulat di Jeddah yang diduga kuat beragama Kristen tidak dimungkinkan mengunjungi Mekkah di pedalaman. Sementara itu tidak semua kapal dari Hindia ke Belanda singgah di Jeddah tetapi langsung ke Suez.
Selama Snouck Hurgronje di Mekkah menemukan banyak orang Indonesia atau yang berasal dari Indonesia, termasuk orang Indonesia keturunan Afrika Selatan. Salah satu yang penting dari generasi lama yang masih hidup adalah Guru Besar Juneid, berasal dari Batavia, sudah berusia matang, dan telah melakukan studi yang cukup mendalam sejak ia melakukan perjalanan lima puluh tahun yang lalu ke Mekkah dan tidak pernah kembali ke tanah air. Ini berarti dengan menghitung mundur, Juneid sudah berada di Mekkah pada tahun 1835. Diantara guru-gurunya adalah Mufti Jamal yang tidak terlalu dikenal para generasi baru kecuali namanya saja. Ini artinya sudah ada orang Indonesia yang mendalami agama di Mekkah jauh sebelum kedatangan Juneid. Nama-nama yang satu angkatan dengan Juneid antara lain adalah Khatib Sambas (dari Kalimantan) sebagai Sjech tarekat; Abdulghani Bima (dari Sumbawa) hampir dinyatakan sebagai orang suci; Isma'il Menangkabo yang sangat fanatik (dari Sumatera); dan banyak lainnya yang telah datang tetapi kurang menonjol di panggung. Mereka ini yang bisa berbahasa Arab memberi dakwah (pengajaran) di rumahnya ataupun di Masjidil Haram (dan juga bahasa Melayu jika muridnya belum bisa bahasa Arab). Para pendahulu kemudian diteruskan generasi berikutnya. Oleh para muridnya guru besar (professor) Juneid dipanggil dengan Tuwan Guru (Guru Utama). Guru besar Juneid sendiri memiliki dua anak dari seorang istri Mesir, yaitu Buxid dan Asad yang mana keduanya mengikuti pendidikan Arab yang cukup Arab juga mempelajari unsur-unsur ilmu, selain dari ayah mereka, dari orang-orang sezamannya di antara para pendakwah Jawah. Seorang putri Juneid menikah dengan pria Batavia Mujtaba yang telah menghabiskan hampir separuh dari empat puluh tahun hidupnya di Mekkah. Mujtaba juga telah memulai studi awalnya sebelum dakwah pertamanya dan menggunakan bahasa Melayu yang lebih halus dengan lebih terampil daripada ayah mertuanya. Setelah memperdalam studinya dengan bantuan Juneid dan para profesor Arab (terutama Nahrawi, Madah, dan Hasaballah), ia mulai mengajar sendiri di Mekkah.
Di Mekkah, menurut Snouck Hurgronje di Arab digunakan nama tunggal Djawah untuk menyebut semua ras (orang-orang) yang berasal dari nusantara termasuk Patani (Siam) dan keturunan Indonesia dari Afrika Selatan. Moslims and no-Moslims in Mekka are called Jawah. Sebutan Djawah (jamak. Djawat) juga disebut Djawi (jamak: Djawah atau Djawiyym).
Pemukim di Mekkah, menurut Snouck Hurgronje adalah campuran orang-orang Jawah,
India, Egyptian, Turks, Takruris, Yèmènites and Bedums. Mereka ini berdagang
air Zamzam (Zemzemwater), henna, kayu dari mana dibuat tooth-pick (used by
Moslims as tooth bruses). Untuk orang Djawah (nusantara) dalam membedakan asal ditambahkan
seperti Ashi (Atjeh) untuk Djawah Ashi dan seterusnya; Fadan (Padang); Lamfun
(Lampung); Dili (Deli); Lankat (Langkat); Falimban (Palembang); Funtiana
(Pontianak); Sambas (Sambas); Martafura (Martapura); Mandura (Madura), Bóyan (Bawéan);
Sumbawa (Sumbawa), Mekasar (Makasar); Bugis (Bugis). Dalam penamaan diri juga
ada yang menggunakan nama asal seperti Abd al-Qadir Kerintji (dari Kërintji); Hasan
Lamfun (Lampung), Ahmed Banten, dan lainnya
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar