Sabtu, 22 Februari 2025

Sejarah Diaspora (7): Orang Indonesia di Belanda, Sejak Kapan? Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Belanda, 1600-1950


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Diaspora dalam blog ini Klik Disini

Sejarah orang Indonesia di Belanda, sama pentingnya dengan sejarah orang Belanda di Indonesia. Mengapa? Yang jelas ada seorang penulis Belanda membuat judul tulisan sebagai ‘In het land van de overheerser: Indonesiens in Nederland 1600-1950’ yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh orang Indonesia dengan judul ‘Di negeri penjajah: Orang Indonesia di negeri Belanda 1600-1950’. Mengapa bisa demikian? 


Ada 1,8 Juta Diaspora Indonesia di Belanda. 10 Juni 2015. Yeffrie Yundiarto Prahadi, SWA. Indonesia punya hubungan lumayan erat dengan Belanda, meski sempat dijajah 350 tahun. Setidaknya, ada cukup banyak diaspora yang bermukim di Negeri Kincir Angin itu. Hingga tahun 2013, ada sekitar 1,8 juta orang Warga Negara Indonesia maupun keturunannya di Belanda. Presiden Indonesian Diaspora Network (IDN)-Belanda Ebed Litaay mengatakan, komposisi diaspora Indonesia di Belanda terdiri dari lima bagian: Generasi pertama ada sekitar 125 ribu, bagian dari sekitar 300 ribu orang Indonesia yang bermigrasi ke Belanda selama kurun 1946-1968. Kedua, anak atau cucu dari generasi pertama di atas. Generasi kedua berjumlah sekitar 275 ribu sedangkan generasi ketiga ada 1,3 juta orang. Ketiga, Warga Negara Indonesia sekitar 17 ribu orang yang datang ke Belanda dengan beragam alasan, seperti belajar, menikah atau bekerja. Keempat, Moluccans yang jumlahnya saat ini sekitar 65 ribu orang, yang berasal dari 12.500 orang Maluku yang hijrah ke Belanda pada tahun 1951. Kelima, adalah orang Jawa di Suriname yang datang ke Belanda, yang jumlahnya kini 83.000 (https://swa.co.id). 

Lantas bagaimana sejarah orang Indonesia di Belanda, sejak kapan? Seperti disebut di atas, banyak orang (asal) Indonesia di negeri Belanda. Tentu saja banyak orang (asal) Belanda di Indonesia. Lalu bagaimana dengan judul buku ‘Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950’? Yang jelas orang Belanda juga banyak di Jerman, di Prancis, di Inggris dan di Amerika. Lalu bagaimana sejarah orang Indonesia di Belanda, sejak kapan? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Orang Indonesia di Belanda Sejak Kapan? Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950

Orang Indonesia di Belanda sudah lama bermula, bahkan itu baru pada permulaan VOC, saat kehadiran orang-orang Belanda di Indonesia. Harry A Poeze dkk di dalam buku mereka yang berjudul In het land van de overheerser: Indonesiens in Nederland 1600-1950 telah dirangkum dengan baik. Satu fase terpenting dalam kehadiran orang Indonesia di Belanda adalah pada akhir tahun 1850an. Ada tiga pemuda berbeda tujuan yang tengah berada di Belanda, yakni Si Sati siswa sekolah guru, Kadjo di sekolah seni menggambar, dan Dja Ogot di sekolah zending. Bagaimana ceritanya? Mari kita perkaya.


Ekspedisi pertama Belanda ke Hindia Timur dipimpin Cornelis de Houtman, berangkan dari Texel April 1595 dan baru mencapai pulau Enggano di pantai barat Sumatra pada bulan Juni 1596. Oleh karena masih bingung, Cornelis de Houtman menyewa pelaut pribumi di pantai barat Sumatra untuk menggantikannya sebagai nakhoda. Sebelumnya, saat ekspedisi ini berada di Madagaskar mereka menemukan jejak orang-orang Indonesia terawal. Cornelis de Houtman dkk kurang diterima di Banten karena bisikan orang-orang Portugis bahwa mereka adalah bajak laut dari Eropa. Lalu mereka juga terusir dari Soenda Kalapa, demikian juga di Sedajoe dan di Arosbaja (Madura). Tujuan mereka ke Maluku ditunda dan berbelok di pantai timur Lombok dan kemudian berlabuh dan diterima di pantai timur Bali. Sebulan kemudian, sisa skuadron Cornelis de Houtman, dengan hanya dua kapal kemudian kembali ke Belanda. Yang menjadi pertanyaan apakah nakhoda pribumi ini turut serta ke Belanda? Satu yang jelas ada dua pedagang Belanda yang ditinggal di Bali. Pada tahun 1598 satu skuadron berangkat dari Belanda dipimpin Olivert Noort, mereka juga terusir dari Broenai dan tempat-tempat lain. Mereka kembali ke Belanda yang didalam terdapat dua pedagang yang ditinggal di Bali. Pada tahun 1599 Cornelis de Houtman kembali memimpin ekspedisi, tetapi kemudian Cornelis de Houtman terbunuh di Atjeh pada tahun 1600. Sejumlah pelaut ditangkap termasuk adiknya Frederik de Houtman (yang juga turut dalam ekspedisi pertama) dan dipenjara di Atjeh. Itulah gambaran awal orang-orang Belanda. Di Belanda sebagai kerajaan lemah yang selama ini tergantung pada Portugal, dan juga dianggap bajak laut. Kehadiran pelaut-pelaut Belanda di Hindia juga sangat rapuh, berantakan dan sangat lemah sehingga hanya di Bali mereka diterima. Namun diantara kesusahan dan kesulitan di dasar paling bawah, Belanda dan pelaut-pelaut Belanda yang dianggap paling melarat di Eropa, cepat belajar untuk dapat memperbaiki nasib. Ekspedisi-ekspedisi dari Belanda semakin intens dikirim ke Hindia Timur. Dalam hal inilah kemudian Pangeran Mauritius menulis surat ke Atjeh untuk membebaskan tahanan dengan pembayaran hadiah dan juga mengundang utusan Atjeh ke Belanda. Frederik de Houtman kemudian dibebaskan, lalu selanjutnya utusan Atjeh ke Belanda. Kamus bahasa Melayu yang disusun di penjara oleh Frederik de Houtman dipublikasikan di Amstedam pada tahun 1603. Portugis yang sangat baik diterima di Sumatra dan Jawa, satu skuadron Belanda yang dipimpin van Hagen pada tahun 1605 menyerang dan menduduki benteng Portugis di Amboina. Frederik de Houtman yang turut dalam skuadron ini diangkat sebagai gubernur Belanda di Amboina. Lalu koloni Portugis di Solor dan Koepang diserang skuadron Portugis pada tahun 1613. Dengan demikian Belanda telah meratakan jalan ke Maluku dengan jalur yang di lalui dari selatan pulau Jawa ke Bali dan terus ke Amboina melalui Solor/Koepang. Pelaut-pelaut Belanda yang semakin menguat di Maluku dengan pos perdagangan utama di Amboina mulai mengincar Jawa di Soenda Kalapa. Pada tahun 1618 Jan Pieter Zooncoen membuat benteng di timur laut muara sungai Tangerang (benteng Asmterdam). Dari benteng, pulau inilah skuadron Belanda menganeksasi Soenda Kalapa dengan mengalahkan pangeran Jacatra. Pada tahun 1619 Zooncoen merelokasi pos perdagangan utama dari Amboina ke muara sungai Tjiliwong dengan mendirikan benteng Casteel Batavia. Saat Gubernur Jenderal JP Coen di ibu kota baru, pada tahun 1620 di Amboina Gubernur Ambon Frederik de Houtman menugaskan wakilnya H van Spault untuk menentukan anak-anak Ambon dikirim ke Belanda yang dibantu oleh pendeta Dankaerts (lihat Memoryen ofte Cort verhael der gedenck-weerdichste so kercklicke als werltlicke gheschiedenissen van Nederland, Vranckrijck, Hoogduytschland, Groot Britannyen ..., van den jaere 1603 tot in het jaer 1624 (1625). Lima anak yang terpilih adalah Manuel Coninck van Kielang ende Laurenso de Sylva, Coninck van Soyen; de jongens (hier ten getale van vijf) worden genoemd: Don Andreas de Castano, Soone van den Koninck van Soyen; Don Marcus, Soone van den Koninck van Kielang; Laurens Wellouw, Laurens de Fretis, Johan Tack. Itulah antara lain orang-orang Indonesia pertama ke Belanda.

Si Satie (Nasoetion) alias Willem Iskander dengan ditemani Asisten Residen Angkola Mandailing yang cuti ke Belanda, AP Godon berangkat bulan Maret 1857 (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad edisi 26-03-1857). Si Satie tiba di Belanda bulan September 1857 (lihat Nieuwe Rotterdamsche courant: staats-, handels-, nieuws- en advertentieblad, 04-09-1857).


Willem Iskander lulus sekolah keguruan di Haarlem dengan akta guru bantu (hulpacte),
paling tidak sudah lulus tahun 1860. Ini terlihat nama Willem Iskander termasuk salah satu lulusan sekolah guru di Kerajaan Belanda. Di dalam daftar itu disebutkan sebagai berikut: ‘Iskander, Willem, geb. in 1841, geëxam. in Noordholland, kweekeling te Amsterdam’ (lihat majalah Nieuwe bijdragen ter bevordering van het onderwijs en de opvoeding, voornamelijk met betrekking tot de lagere scholen in het Koningrijk der Nederlanden, voor den jare ...., Volume 30, D. du Mortier en zoon, 1860).

Dja Ogot berangkat dari Batavia ke Belanda tahun 1860 yang ditemani dua janda misionaris Jerman dan seorang pembantu perempuan Dayak. Kapal Wilhelmina Clara yang mereka tumpangi tiba di Belanda yang diberitakan surat kabar tanggal 29 Juni 1860. Yang mengirim Dja Agot adalah misionaris G van Asset di Sipirok untuk diasuh guru A Meijer di Amsterdam.


Lantas apakah Dja Ogot dan Willem Iskander pernah bertemu di Belanda? Yang jelas tentang bagaimana asal usul Dja Agot dikirim ke Belanda terinformasikan dari surat G van Asset yang dimuat dalam Orgaan der Nederlandsche Zendingsvereeniging, 1860-1861, no. 2, 1860. Surat itu ditulis di Sipirok, 12 Juni 1860. Sementara itu, Willem Iskander kembali ke tanah air pada tahun 1861. Di kampong halaman, Willem Iskander pada tahun 1862 mendirikan sekolah guru di Tanobato, Mandailing. Sementara bagaimana Dja Ogot di Belanda tidak terinformasikan di Belanda. Hanya kematian Dja Ogot yang dapat dibaca dalam berita surat kabar pada bulan Maret 1862 (lihat Rotterdamsche courant, 04-03-1862). 

Setelah kematian Dja Agot, lalu kemudian di Belanda beredar buku kecil yang berkenaan dengan kisah Dja Agot dengan judul Leven en sterven van een Batta-knaap van Sumatra (Kehidupan dan kematian seorang anak Batak dari Sumatera). Brosur ini berisi 16 halaman, meski tanpa tahun diduga diterbitkan di kalangan sendiri pada tahun 1862 (seri Zendings Traktaat Nr.1; derde druk). Penulis buku ini disebut zendeling (misionaris) Zimmer, penerbit WH Zurich. Dalam perkembangannya (masih pada tahun 1862, bulan Desember), buku itu diterbitkan A van den Briel di Rotterdam dengan judul: Dja Ogot: Leven en sterven van een Batta-knaap van Sumatra doot A Meijer seharga 10 sen.


Suatu hari, Dja Ogot di pinggir danau Toba, tiba-tiba dua orang dalam perahu merapat. Dengan ramah mereka menanyakan apa yang sedang dilakukan Dja Ogot. Saat itu usia Dja Ogot delapan tahun seorang anak laki-laki tidak curiga menjawab bahwa dia sedang menunggu ayahnya. “Ayahmu!” dua orang perahu itu; “dia sedang memberi makan kawanan ternaknya jauh di sana. Naiklah ke perahu kami, dan kami akan membawamu kepadanya”, Dja Ogot menuruti bantuan tersebut; tapi, sayang sekali! alih-alih dibawa ke ayahnya, ia malah dibawa semakin jauh darinya, dan tidak pernah lagi melihat orang-orang dan kampongnnya. Dja Ogot sedang diculik. Awalnya dijual di Silindoeng. Setelah beberapa kali pindah pemilik, akhirnya G van Asselt yang sedang berada di Loemoet membelinya senilah f96 (sekitar 1.5 gajinya per bulan). G van Asselt membebaskannya dan menjadikannya sebagai pembantunya kemana saja. Singkatnya setelah Dja Ogot dibaptis menjadi Kristen, G van Asselt berusaha untuk mendapatkan dana dan lalu mengirimnya sekolah ke Belanda (kepada guru A Meijer). Foto: Dja Agot dengan pakaian tradisi (1860) 

Saat Si Sati Nasoetion alias Willem Iskander dan Dja Ogot di Belanda, ada satu lagi orang Indonesia di Belanda. Namanya Kadjo, seorang anak perwira rendah kavelari Soesoehoenan di Soerakara (lihat Kadjo Wirjo Kromo, te Brussel di dalam Handelingen en geschriften van het Indisch Genootschap te 's-Gravenhage, onder de zinspreuk: Onderzoek leidt tot waarheid. 1859). Bersama keluar C. Coenaes berangkat ke Belgia pada bulan Juni 1856. Kadjo yang berusia 21 tahun mengikuti pendidikan perbengkelan yang satu tahun kemudian lanjut ke pendidikan ketrampilan membuat arloji dan mengikuti sekolah seni menggambar. Bagaimana kisah Kadjo ini selanjutnya tidak terinformasikan. Yang jelas pada tahun 1859 masih di Brussel.


Pada era Pemerintah Hindia Belanda ini, orang Indonesia pertama ke Belanda adalah Raden Saleh. Berangkat ke Belanda pada tahun 1829 sebagai pegawai Finencien Inspectuur de Lange. Saat de Lange kembali ke Batavia, Raden Saleh tetap di Belanda. Lalu Raden Saleh mendapat dukungan dari Pemerintah Hindia Belanda untuk meningkatkan kemampuannya dalam melukis di Eropa. Singkatnya setelah menjadi pelukis terkenal di Eropa, Raden Saleh kembali ke Jawa pada tahun 1851. 

Dja Ogot tidak bisa kembali ke tanah air dan Kadjo Wirjo Kromo tidak pernah terinformasikan lagi, sementara Willem Iskander sudah Kembali ke tanah air dan mendirikan sekolah guru pada tahun 1862. Pada tahun 1864, sekolah guru yang didirikan Willem Iskander di Tanobato. Angkola Mandailing diakui pemerintah sebagai sekolah guru terbaik dari tiga sekolah guru di Hindia Belanda. Dua sekolah guru lainnya berada di Soerakarta dibuka tahun 1852 (dipimpin Dr Palemer van den Broek) dan di Fort de Kock. 


Pada tahun 1864 Residen Soeracarta FN Nieuwenhuijzen diberitakan mendapat cuti dua tahun ke Eropa (lihat De Oostpost: letterkundig, wetenschappelijk en commercieel nieuws- en advertentieblad, 01-06-1864). Pada tanggal 18 Juni di Solo diadakan perpisahan dengan Residen. Dilakukan pesta beberapa kali. Sangat meriah dan banyak yang menangisi (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 25-06-1864). Ini menunjukkan FN Nieuwenhuijzen sangat diterima di Solo. Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen pada usia 39 tahun menjadi Residen Soeracarta sejak tahun 1858. Dalam kepulangan FN Nieuwenhuijzen turut serta turut seorang pemuda s ke Belanda. Pemuda yang dibawa FN Nieuwenhuijzen tersebut lahir di Jogjakarta tahun 1850 yang terbilang sebagai cucu dari Soeltan Djocjocarta. Pemuda berusia 14 tahun itu benama Ismangoen Danoe Winoto. Seperti halnya Kadjo Wirjo Kromo, Namun setelah lama di Belanda, nama Ismangoen Danoe Winoto juga tidak pernah terinformasikan. 

Nama Ismangoen Danoe Winoto kembali terdeteksi di Delft pada tahun 1871 (lihat Delftsche courant, 12-07-1871). Itu berarti setelah tujuh tahun Ismangoen Danoe Winoto di Belanda. Dalam berita ini disebutkan dalam ujian ambtenaren Oost Indie (pegawai pemerintah Hindia Belanda) untuk bagian A dari 54 orang yang mendaftar dan hanya 48 yang mengikuti ujian dimana 29 diantaranya dinyatakan lulus termasuk Ismangoen Danoe Winoto yang dicatat sebagai Raden Mas Ismangoen. Berita ini juga dilansir surat kabar lain di Hindia yang mana disebutkan Radhen Maas Ismangoen adalah cucu kaisar (Soeltan) Djokdjokarta (Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-08-1871). Salah satu penguji dalam ujian ini adalah Nieuwenhuijzen (Nederlandsche staatscourant, 12-01-1872). Ismangoen Danoe Winoto tampaknya tidak menemui kesulitan dalam studi. Hal serupa ini juga dulu pernah dialami oleh Willem Iskander.


Sementara Ismangoen Danoe Winoto terus bergiat studi di Belanda, di Hindia banyak hal yang telah terjadi. Sejauh ini (1873) Ismangoen Danoe Winoto sudah hampir sembilan tahun berada di Belanda tanpa pernah pulang kampung halaman. Tentu saja Ismangoen Danoe Winoto sudah cukup dewasa karena umurnya kira-kira 23 tahun. Di Hindia Belanda, nama Willem Iskander begitu sangat terkenal. Sekolah guru yang didirikannya di Tanobato (Tapanoeli) banyak mendapat pujian, karena dianggap sekolah guru yang terbaik. Adanya desakan dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas pendidikan pribumi, akhirnya Pemerintah memutuskan mengirim tiga guru muda untuk studi ke Belanda sebagaimana pernah dilakukan oleh Willem Iskander (1857-1861). Lalu dipilih tiga guru muda berbakat yakni Banas Lubis dari Tapanoeli, Raden Soerono dari Soeracarta dan Raden Adi Sasmita dari Preanger.  Untuk membimbing tiga guru muda ini Pemerintah menunjuk Willem Iskander dengan memberikan beasiswa untuk melanjutkan studi di Belanda untuk mendapatkan akta kepala sekolah. Selama Willem Iskander ke Belanda sekolah guru di Tanobato ditutup dan sebagai penggantinya akan dibuka sekolah guru (kweekschool) yang lebih besar di Padang Sidempoean pada tahun 1879. Saat kebarangkatan yang kedua ini ke Belanda, Willem Iskander sudah berumur 33 tahun (saat berangkat yang pertama tahun 1857 masih berumur 17 tahun). Diharapkan, setelah selesai studi di Belanda, Willem Iskander diproyeksikan sebagai direktur Kweekschool Padang Sidempuan (ibukota Afdeeling Mandailing dan Angkola). Lalu pada bulan April 1874 Willem Iskander bersama tiga guru muda tersebut berangkat dari Batavia menuju Belanda. Sudah barang tentu ketiga guru pribumi ini akan bertemu Ismangoen Danoe Winoto di Belanda. Tiga guru muda ini studi ke Belanda untuk mendapatkan akta guru (setara SMP/SGB), sementara Willem Iskander yang akan mengambil akta kepala sekolah (setara SMA/SGA). 

Ismangoen Danoe Winoto sendiri di Belanda sudah berada di pendidikan setara Akademi/perguruan tinggi (pasca SMA/HBS). Pendidikan yang diikuti oleh Ismangoen Danoe Winoto ini mirip seperti Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN). Akhirnya tahun 1875 Ismangoen Danoe Winoto lulus studi (lihat De standaard, 15-07-1875). Lulusan akademi ini berhak diangkat sebagai pejabat pemerintah (Ambtenar) di Hindia Belanda. Ismangoen Danoe Winoto dan kawan-kawan diangkat Menteri Koloni sebagai pegawai pemerintah di Hindia Belanda berdasarkan beslit tanggal 28 Agustus (lihat Algemeen Handelsblad, 02-09-1875).


Willem Iskander dan tiga guru muda di Belanda mengalami permasalahan sendiri-sendiri. Tidak lama setelah di Belanda, Barnas Lubis sakit dan lalu meninggal. Berita meninggalnya Barnas Loebis baru terinformasikan di Sumatra pada bulan Oktober yang dimuat di surat kabar yang terbit di Padang (lihat Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 13-10-1875). Sementara itu, Raden Soerono jatuh sakit. Untuk mempercepatkan kesembuhannya, Soerono dikirim kembali ke tanah air, tetapi meninggal di dalam pelayaran di sekitar Port Said (lihat Bataviaasch handelsblad, 08-11-1875). Disebutkan di Samarang, 3 November. Perlu diingat bahwa pada awal tahun sebelumnya, tiga orang pribumi yang dipimpin oleh Willem Iskandar yang terkenal, berangkat ke Belanda atas biaya pemerintah guna melanjutkan pendidikan di sana untuk ditempatkan di salah satu sekolah guru (kweekschool) yang ada di Belanda. Program ini sekarang dapat dianggap hampir tidak berhasil; karena salah satu dari mereka meninggal setelah tinggal beberapa bulan di Belanda, dan yang lainnya harus menerima perjalanan pulang ke Jawa tidak lama kemudian karena sakit yang berkepanjangan. Yang terakhir ini, Raden Mas Soerono dari Soerakarta, sebagaimana kita pahami sekarang, adalah seorang yang tertanggal 17 September lalu di kapal uap Conrad, meninggal dekat Suez, tempat jenazahnya dimakamkan. 

Meski dalam tetap berduka di Belanda, Willem Iskander dapat menyelesaikan pendidikannya. Sementara itu Raden Adi Sasmita belum bisa menyelesaikannya. Tampaknya antara Ismangoen Danoe Winoto dan Willem Iskander merencanakan pernikahan masing-masing sebelum pulang ke tanah air. Tentu saja Willem Iskander akan pulang bersama dengan Raden Adhi Sasmita jika studinya sudah selesai. Bagaimanapun Raden Sasmita masih berada di bawah tanggungjawabnya.

 

Kabar Willem Iskander telah menikah di Belanda diketahui dari iklan yang terdapat pada surat kabar Algemeen Handelsblad yang terbit di Amsterdam. Disebutkan Willem Iskander telah menikah dengan gadis Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 29-01-1876). Berita bahagia ini ditulis oleh Willem Iskander dan pasangannya MJC Winter sehari setelah pernikahan yang dikirimkan ke surat kabar Algemeen Handelsblad dan baru dimuat esok harinya. Pengumuman pernikahan ini sangat penting karena Willem Iskander adalah public figure saat itu. Sebagaimana diketahui Willem Iskander adalah orang pribumi pertama di Hindia yang disamakan dengan orang Eropa/Belanda. Lagi pula Willem Iskander sudah diketahui umum ke Belanda membaawa tiga guru muda, yang mana mereka berempat studi atas beasiswa Pemerintah Hindia Belanda. Oleh karenanya surat kabar yang dipilih untuk pengumuman ini surat kabar bertiras tinggi Algemeen Handelsblad yang terbit di Amsterdam (yang oplagnya juha menjangakau Hindia Belanda). 

Seperti halnya Willem Iskander, Ismangoen Danoe Winoto melangsungkan perkawinan dengan gadis Eropa di Belanda (lihat Opregte Haarlemsche Courant, 29-01-1876). Disebutkan menikah RM Ismangoen Danoe Winoto dengan CH van Steeden di Borculo, 28 Januari 1876.  Ini berarti hanya beda satu hari setelah Willem Iskander menikah di Amsterdam pada tanggal 27 Januari 1876. Pernikahan Willem Iskander dan Ismangoen masing-masing dilangsungkan secara catatan sipil.


Ismangoen Danoe Winoto setelah 10 tahun meninggalkan kampung halaman kembali ke kampung halaman di Hindia Belanda. Ismangoen Danoe Winoto berlayar dengan kapal Amalia pada bulan Maret (lihat Het nieuws van den dag : kleine courant, 20-03-1876). Surat kabar yang terbit di Semarang De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-05-1876 mengutip berita dari surat kabar di Singapoera The Strait Times bahwa yang mendapat pesan telegram dari Prancis bahwa kapal Amalia yang mana diantara penumpang terdapat Ismangoen Danoe Winoto berlayar dari Prancis (Marseille) menuju Batavia via Terusan Suez dan Singapoera. Disebutkan di dalam manifes kapal ini Ismangoen Danoe Winoto tidak sendiri tetapi dengan istri.  

Ismangoen Danoe Winoto sudah pulang kampung ke Jawa. Willem Iskander meski sudah lulus dan juga sudah menikah seperti Ismangoen Danoe Winoto, tetapi tampaknya Willem Iskander belum bisa pulang karena anak didiknya Raden Sasmita belum lulus studi. Namun tiba-tiba kabar buruk yang terinformasikan. Willem Iskander dikabarkan meninggal dunia di Amsterdam tanggal 8 Mei 1876. Ini terinformasikan dalam berita keluarga dimana MJC Winter, janda Willem Iskander membuat berita duka yang dimuat dalam surat kabar Algemeen Handelsblad, 21-05-1876.


Bagaimana Willem Iskander tiba-tiba meninggal? Dalam catatan kematian di rumah sakit kota Amsterdam, dinyatakan meninggal tanggal 8 Mei 1876. Dalam catatan tersebut Willlem Iskander disebut meninggal karena pembunuhan. Lalu, siapa yang membunuhnya? Alih-alih Willem Iskander berharap Raden Sasmita cepat lulus biar pulang bersama-sama, namun sebaliknya yang terjadi Willem Iskander tidak bisa kembali ke tanah air karena telah meninggal. Raden Sasmita kini hanya sorangan diri di Belanda. Bagaimana dengan studinya? 


Tunggu deskripsi lengkapnya

Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950: Orang Di Negeri Penjajah, Orang Belanda di Jerman, Prancis dan Inggris, 1950-Sekarang

Pada tahun 1881, seorang pemuda Indonesia asal Hindia Bernama Oei Jan Lee disebutkan berada di Belanda (lihat Algemeen Handelsblad, 13-12-1881). Disebutkan kehadiran Oei Jan Lee adalah orang Cina yang pertama di Belanda yang dikomentrasi dengan sedikit reaktif yang memberi peringatakan bagi siswa-siswa Belanda. Disebutkan jika Oei Jan Lee berhasil menjadi pengacara maka orang-orang Cina akan memilihnya sebagai pengacara dan itu menjadi alarm bagi pengacara Belanda; dan juga jika Oei Jan Lee ini semakin banyak maka itu akan mengurangi peluang mahasiswa dan lulusan hukum Belanda berkarir di Hindia. Dampaknya memang tidak terasa sekarang, tetapi akan terlihat nanti.


Oei Jan Lee mengikuti ujian masuk di Gymnasium Willem III School, Afdeeling HBS di Batavia tahun 1878 (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 04-10-1878). Pada tahun 1879 Oei Jan Lee dan Tan Tjoen Liang lulus ujian transisi naik dari kelas dua ke kelas tiga (lihat Bataviaasch handelsblad, 09-08-1879). Pada tahun 1880 Oei Jan Lee lulus ujian naik dari kelas tiga ke kelas empat (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 11-08-1880). Dalam daftar kelulusan HBS di G Willem III hanya terdapat nama Tan Tjoen Liang, naik dari kelas empat ke kelas lima (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 07-11-1881). Nama Tan Tjoen Liang hanya satu-satunya non Eropa/Belanda untuk semua kelas. Lalu bagaimana dengan Oei Jan Lee? Oei Jan Lee sudah di Belanda meneruskan sekolah HBS-nya untuk memperbesar peluang masuk ke perguruan tinggi di Belanda. 

Sementara Oei Jan Lee diketahui tengah mengikuti atau meneruskan sekolah HBS di Belanda, juga diketahui teman Oei Jan Lee di HBS Batavia, Tan Tjioen Liang sudah berada di Belanda (lihat Delftsche courant, 11-12-1883). Disebutkan di Politeknik di Delft terdaftar Tjoen Liang Tan, seorang Cina, putra kapten Cina di Buitenzorg. Tan Tjoen Liang menyelesaikan HBS lima tahun di Batavia pada tahun ini. Fakta bahwa Oei Jan Lee belum diterima di sekolah hukum di Belanda karena masih menyelesaikan pendidikan HBSnya. Namun dengan cita-citanya untuk menjadi pengacara sudah mulai terkesan heboh beberapa tahun lalu.


Setelah tiga tahun mengajar di Allang, JH Wattimena dikabarkan akan pergi ke Belanda untuk studi lebih lanjut (lihat Nederlandsche staatscourant, 12-07-1881). Dalam berita ini, JH Wattimena tidak sendiri juga ME Anakota. Disebutkan ME Anakota guru kelas 1 di Hative dan JH Wattimena, guru kelas 1 di Allang (Residentie Amboina). Mereka berdua studi ke Belanda atas biaya pemerintah (semacam beasiswa). Anakotta dan JH Wattimena berangkan ke Belanda dengan menumpang kapal Conrad dari Batavia menuju Amsterdam pada tanggal 13 Agustus 1881 (lihat Het nieuws van den dag: kleine courant, 16-09-1881). Di Belanda mereka berdua di sekolah guru di Amsterdam yang dipimpin oleh D. Hekker. Anakotta dan JH Wattimena memenuhi syarat kelas 3 untuk lanjut ke kelas empat atau kelas lima di sekolah guru Belanda (guru lisensi/akta Belanda). JH Wattimena selama mengikuti pendidikan tidak menemukan kesulitan. Pada tahun 1884, JH Wattimena dikabarkan lulus sekolah guru di Amsterdam dan mendapat akta guru Lager Onderwijs (LO) (lihat Algemeen Handelsblad, 07-04-1884). Sementara itu, ME Anakotta tidak berumur panjang, ME Anakotta meninggal selama pendidikan karena penyakit paru-paru di Amsterdam. Ini menambah daftar guru-guru yang meninggal di Belanda. Dua dari tiga guru muda yang dulu dikirim tahun 1874 meninggal satu per satu selama pendidikan. Sementara mentor mereka Willem Iskander juga dikabarkan meninggal di Amsterdam. Bagaimana dengan Raden Sasmita? Raden Sasmita sudah kembali ke tanah air. Setelah semua urusan beres di Belanda, JH Wattimena kembali ke tanah air. Dalam manifes kapal yang diberitakan Algemeen Handelsblad, 06-09-1884 terdapat nama JH Wattimena. Kapal Prins van Oranje yang ditumpangi JH Wattimena berangkat dari Amsterdam menuju Batavia pada tanggal 6 September 1884. 

Oei Jan Lee di perguruan tinggi di Belanda studi hukum (lulus dan mendapat sarjana 1888); Tan Tjioen Liang studi teknik mesin di Delft. Tan Tjioen Liang, sempat pulang ke tanah air karena kesulitan keuangan, baru menyelesaikan studinya di Delft tahun 1894.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar