*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini
Habib
Abdoe'r Rahman Alzahir adalah seorang pemimpin politik, agama, dan diplomatik
keturunan Hadhrami yang lahir pada tahun 1833 di India dan meninggal pada tahun
1896. Ia berperan penting sebagai pejuang melawan
penjajahan Belanda di Kesultanan Aceh pada abad ke-19, menjabat sebagai
menteri luar negeri dan kemudian menjadi perwakilan Aceh di Kesultanan
Utsmaniyah (Ottoman) untuk mencari dukungan.
Peran dan Karier Politik: Perlawanan terhadap Belanda: Habib Abdoe'r Rahman Alzahir memimpin perlawanan terhadap pasukan kolonial Belanda selama Perang Aceh, yang berlangsung dari tahun 1873 hingga 1904. Menteri Keuangan dan Perwakilan Aceh: Ia menjabat sebagai menteri luar negeri dan kemudian juga berperan sebagai pemimpin politik di Kesultanan Aceh Darussalam. Diplomasi dengan Utsmaniyah: Ia melakukan perjalanan ke Istanbul untuk mendapatkan dukungan dari Kesultanan Utsmaniyah untuk Aceh melawan Belanda. Latar Belakang dan Keturunan: Kelahiran dan Keluarga: Ia lahir di Desa Bedqara, India, pada tahun 1833. Asal-usul Hadhrami: Ia merupakan keturunan Hadhrami dari Sadah Alawiyyin di Yaman, dan garis keturunannya bersambung kepada Sayyid Abdurrahman bin Masyhur bin Abu Bakar Az-Zahir (AI Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah Habib Abdoe’r Rahman Alzahir di Atjeh? Seperti disebut di atas, ia berperan penting sebagai pejuang melawan penjajahan Belanda di Kesultanan Aceh pada abad ke-19. Bagaimana hubungan Kerajaan Turki dan Kerajaan Atjeh? Lalu bagaimana sejarah Habib Abdoe’r Rahman Alzahir di Atjeh? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Habib Abdoe’r Rahman Alzahir di Atjeh; Seputar Hubungan Kerajaan Turki dan Kerajaan Atjeh
Nama Habib Abdoe’r Rahman Alzahir memiliki catatan sejarah yang banyak. Oleh karena itu sulit dipilih darimana memulainya. Namun untuk kepraktisan dapat dimulai pada titik waktu yang paling kritis untuk penyelidikan sejarahnya ke masa sebelumnya dan ke masa selanjutnya. Titik kritis waktu sejarah Habib Abdoe’r Rahman Alzahir terjadi pada tahun 1878.
Pada bulan Mei 1878 militer Pemerintah Hindia
Belanda melakukan serangan terhadap benteng Segli (Pedir) di pesisir utara Aceh.
Lalu terjadi komplikasi di pesisir timur Aceh; dikirim ekspedisi untuk
menertibkan wilayah Gedoeng. Sebaliknya terjadi invasi musuh yang dipimpin oleh
Habib Abdul Rachman al-Zair pada 25 Moekim. Setelah kembalinya pasukan
ekspedisi yang dikirim ke pesisir timur (Juni), musuh kembali diusir dalam
beberapa hari. Pengeboman Pasangan di pesisir utara Aceh oleh
Angkatan Laut (14 Juli), yang mengakibatkan Rajah wilayah tersebut dinyatakan
digulingkan oleh para pemimpinnya, dan pangeran yang terpilih sebagai
penggantinya tunduk pada kekuasaan Belanda (10 Agustus). Dimulainya kampanye
melawan 22 dan 26 Moekim (23 Juli). Anagaloeng (27 Juli) dan Montassik (28
Juli) direbut. Operasi dihentikan karena hujan lebat dan banjir. Penyerahan
Habib Abdul Rachman al Zair (13 Oktober), diikuti oleh penyerahan Toekoe Moeda
Baid, hulubalang dari Moekim ke-7 (Moekim ke-22). Itulah yang dicatat kemudian
di dalam kroniek Pemerintah Hindia Belanda (lihat Regerings-almanak voor
Nederlandsch-Indie). Pemerintah Hindia Belanda kemudia memproyeksikan/memplot Habib
Abdul Rachman al Zair menjadi pemimpin di Modjopahit, bagian dari wilayah
Langsa.
Sementara Habib Abdul Rachman al Zair diproyeksikan menjadi pemimpin di
Modjopahit, Langsa, pada tahun 1878 ini, Habib Abdul Rachman al Zair menaiki
kapal uap HMS “Curaçao” ditembakkan salut meriam yang diwajibkan untuk
menghormatinya. Kapal “Curaçao” akan membawanya Arabia. Tembakan salut itu
diberika karena pemerintah merasa terpaksa untuk mengabulkan tuntutan Habib
dalam hal tersebut. Saat Habib Abdul Rachman al Zair naik kapal mengenakan
jubah atas (samaar) hitamnya yang lebar, berhiaskan sorban putih sebagai tanda
kewibawaan imam besarnya, dan dengan pedang di sisinya, pria berbahu lebar dan
pendek dengan kulit gelap, mata berapi-api, dan janggut abu-abu. Di dalam
kapal, Habib Abdul Rachman al Zair menuju rumah-rumah geladak yang disediakan
untuk istri dan pengikutnya. Itulah yang ditulis oleh Johan dalam artikel
berjudul Habib Abdul Rachman al Zair: Op de Reis an Atjeh naar Djiddah yang
dimuat dalam jurnal Nederland, 1886 [volgno 3].
Penulis Johan, nama sebenarnya adalah HKJ van den
Bussche yang memulai karir di angkatan laut (Marine Departement). Pada tahun
1973 HKJ van den Bussche sebagai juru tulis di kapal uap “Citadel van Antwerp”
(lihat Algemeen Handelsblad, 20-05-1873). Dalam ekspedisi militer ke Atjeh, HKJ
van den Bussche ditempatkan sebagai juru tulis di kapal uap HMS “Java”. Selepas
ekspedisi ke Atjeh, pada bulan Oktober HKJ van den Bussche termasuk salah satu
dengan status non-aktif (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 10-07-1874). Pada tahun 1878 HKJ van den Bussche
dengan pangkat kapten di Batalion-15. Singkatnya, HKJ van den Bussche dengan
pangkat Majoor di Atjeh akan diberhentikan tahun 1887 karena sakit (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-04-1887). Ini
mengindikasikan HKJ van den Bussche dengan nama alias cukup kompeten menulis
artikel berjudul Habib Abdul Rachman al Zair: Op de Reis an Atjeh naar Djiddah.
Orang pertama yang menulis biografi Habib Abdul Rachman al Zair adalah Alexander yang dimuat dalam majalah Indische Gids edisi bulan November 1880. Sudah barang tentu, seperti disebut di atas Habib Abdul Rachman al Zair sudah berada di Arab. Artikel yang dimuat di majalah Indische Gids menjadi heboh yang kemudian juga dilansir surat kabar Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage dengan dua bagian pada edisi 09-11-1880 dan edisi 12-11-1880. Penulis biografi ini juga memasukkan catatan langsung oleh Habib Abdoe’r Rahman Alzahir saat ia berada di atas kapal HMS Curacao. Disebutkan Maharaja Johor, tempat Habib mengatur administrasi internal dan membangun pekerjaan umum, cukup puas dan dengan surat sertifikatnya Habib Abdul Rachman al Zair berangkat ke Kerajaan Aceh pada tahun 1864. Setelah menunjukkan sertifikat dari Maharaja Johor, ia diterima dengan baik oleh Sultan dan diangkat menjadi kepala masjid agung.
Pasca Perang Padri diangkatnya Gubernur pantai
barat Sumatra Michiels. Pada tahun 1857 Kolonel Jan van Swieten menggantikan
Michiels. Pada tahun 1857 Jan van Swieten memimpin ekspedisi militer ke Atjeh
(ekspedisi pertama ke Atjeh). Hasil ekspedisi ini dibuat Tractaat pada bulan
Maret 1857 dengan Sultan van Atjeh. Saat ini wilayah Residentie Tapanoeli, province
Sumatra’s Westkust meliputi wilayah Singkil. Pada tahun 1857 ini misionaris G van
Asselt memulai kerja di perbatasan Sipirok dan Silindoeng. Pada tahun 1862
misionaris Belanda dan Jerman membagi wilayah misi dimana Silindoeng dan Toba
menjadi wilayah misi Jerman (yang kemudian diperankan oleh Nommensen). Pada
tahun 1862 ini Pemerintah Hindia Belanda di pantai timur Sumatra memperluas pemerintahah
Residentie Riouw hingga ke perbatasan Atjeh. Pemerintah Hindia Belanda memulai
pemerintahan di Deli pada tahun 1863 dengan menempatkan seorang controleur di
Laboehan (Baron de Raet van Cat). Pada tahun ini juga Nienhuys dan koleganya,
seorang Arab pada Sabtu malam bulan Maret 1863 berangkat dari Batavia menuju
Singapore kemudian ke Riouw untuk berkunjung kepada Resident di Tandjong Pinang
(P Bintan) dan selanjutnya ke Laboehan di Deli. Di Kampong Deli terdiri dari
200 ratus rumah sederhana terbuat dari bamboo dan atap nibung. Istana Sultan
Deli, hanya sebuah bangunan rumah biasa yang terbuat dari kayu berbentuk
panggung berukuran panjang sembilan puluh kaki dan lebar tiga puluh kaki. Pada
tahun 1864 Nommensen pindah ke Silindoeng dan membuka stasion di Hoeta Dame. Controleur
Deli yang baru di Laboehan C de Haan memulai tugas pada tahun 1865 dengan melakukan
ekspedisi ke Bataklanden yang dilakukan tahun 1866 (tiga tahun setelah
kehadiran controleur).
Habib Abdul Rachman al Zair di Atjeh bermula tahun 1864 dan berakhir pada tahun 1878. Pada tanggal 4 November 1878, kapal “Curacao” meninggalkan pelabuhan Olehleh. Lantas mengapa Habib Abdul Rachman al Zair memilih dikeluarkan dari Atjeh ke Arab? Dan mengapa Pemerintah Hindia Belanda mengizinkannnya?
Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 12-11-1880:
‘Penyerahan diri Abdul Rachman al Zair, yang, setelah syarat-syarat yang ia
tetapkan diterima, berlangsung di Kota Radja pada tanggal 13 Oktober 1878.
Syarat-syarat yang diajukan Habib tidak menguntungkannya; Ia berjanji
"untuk menganggap dan bertindak sebagai orang yang terikat pada otoritas
Belanda, dan tidak akan pernah lagi melakukan apa pun yang akan merugikan
Belanda dan wilayah jajahannya di luar negeri, atau rakyat Belanda."
Pemerintah penculiknya berjanji untuk membayarnya tunjangan bulanan sebesar
1.000 dolar (2.500 gulden) seumur hidup dan mengangkutnya, istri-istrinya, dan
rombongan lainnya ke Arabia dengan kapal perang. Pada
tanggal 4 November, Curacao meninggalkan pelabuhan Oleh-leh. Pada tanggal 5
Desember, Habib berangkat dari Colombo, di mana, atas permintaannya, Curacao
tinggal sedikit lebih lama, karena sebuah festival Muslim besar sedang diadakan
di sana, yang ingin dihadiri Habib. Pada tanggal 28 Januari 1879, Habib tiba di
Mekkah, dimana beliau disambut dan diterima oleh Syekh dan para pejabat tinggi
lainnya’.
Habib Abdul Rachman al Zair setelah diterima di Kerajaan Atjeh, dan menjadi pemimpin agama di masjid Atjeh, dan sudah menikah mulai mengusulkan untuk pembangunan masjid. Sultan memberikan kontibusi sebesar 3.000 dollars. Untuk memenuhi semua kebutuhan, Habib Abdul Rachman al Zair mencoba keliling di pantai barat Sumatra dan berhasil mengumpulkan dana sebesar 3.300 dollars. Namun selama ketidakhadiran Habib Abdul Rachman al Zair di Atjeh muncul intrik-intrik yang mendiskreditkannya di hadapan Sultan. Mereka mengklaim bahwa tujuan sebenarnya dari perjalanan Habib Abdul Rachman al Zair ke Pantai Barat adalah untuk membeli senjata dan amunisi, yang kemudian akan digunakannya untuk tujuan jahat. Akhirnya Habib Abdul Rachman al Zair menyadari setelah kehadirannya kembali di Atjeh dari keliling pantai barat Sumatra segera mengundurkan diri, dan berangkat ke Mekah melalui Poeloe Pinang.
Pada tahun 1872 merealisasikan pendirikan konsulat
Belanda di Djeddah. Konsuler (yang pertama) yang diangkat adalah Mr RWJC De Menthon Bake (lihat Het vaderland,
15-02-1872). Dalam perkembangannya Mr RWJC De Menthon Bake tiba-tiba
diberhentikan sepihak melalui surat Menteri Luar Negeri di 's-Gravenhove tanggal
30 Juli (lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad, 05-08-1873). Bagaimana
bisa? Ini bermula surat Mr RWJC De Menthon Bake yang ditujukan kepada Menteri
Luar Negeri tertanggal 9 Juli. Isi surat itu memberi tahu bagaimana badan
perwakilan (Belanda) telah mengabaikan kepentingan Belanda di Jeddah, termasuk
yang berkaitan dengan Atjeh. Mr RWJC De Menthon Bake di dalam usulannya untuk
memperkuat perdagangan di Laut Merah dengan kapal-kapal perang, alih-alih untuk
mengirim kapal perang ke Atjeh. Hal itulah yang diduga mengapa RWJC De Menthon
Bake ‘dipecat’.
Kehadiran Habib Abdul Rachman al Zair di Arab tentu saja sudah diketahui oleh Mr RWJC De Menthon Bake. Habib Abdul Rachman al Zair menerima surat rekomendasi dari (orang Turki) Syekh Agung Abdullah Pasjah, dari Syekh Jeddah, Muhammad Pasjah, dan dari mantan mentornya, Habib Tadlak. Dengan surat-surat ini, Habib Abdul Rachman al Zair segera kembali dan langsung kembali ke Aceh. Saat berlabuh di Pelabuhan Atjeh, Habib Abdul Rachman al Zair memberi tahu Sultan tentang kepulangannya melalui sebuah surat, menjelaskan bahwa ia datang hanya untuk menjemput istrinya, Potjoet, dan kembali ke Mekah bersamanya.
Dua utusan Sultan naik ke kapal; Habib menyampaikan
hal yang sama kepada mereka. Ia juga memberi mereka surat rekomendasi,
menginstruksikan mereka untuk menyerahkannya kepada Sultan untuk diperiksa.
Segera setelah mengetahui isi surat-surat ini, ia mengundang mantan penguasanya
ke Keraton, yang dipatuhi Habib. Sultan sendiri menunggunya di pantai dan
menemaninya ke Keraton, karena khawatir ia akan dibunuh oleh musuh-musuhnya
dalam perjalanan. Habib kemudian diangkat menjadi kepala agama dan masjid agung,
serta kepala Tjat Putoe. Tak lama kemudian, Sultan mengangkatnya sebagai wazir.
Dengan demikian, Habib berhasil membawa lebih banyak ketertiban dan stabilitas
dalam pemerintahan Aceh, meningkatkan pendapatan Sultan, dan memastikan hasil
(pajak) dikumpulkan tepat waktu. Para penguasa menjadi semakin bermusuhan
terhadapnya, tetapi kebencian mereka relatif tidak berbahaya bagi Habib, karena
Sultan menolak untuk berbicara kepada mereka sendiri dan merujuk semua orang
kepada wazirnya.
Kehadiran Habib Abdul Rachman al Zair kembali di Atjeh telah memberi semangat bagi Sultan Atjeh karena adanya dukungan Turki. Sebagaimana diketahui, Kerajaan Turki cukup bersahabat dengan pemerintah Prancis dimana di Jeddah juga terdapat konsulat Prancis. Sedangkan Pemerintah Hindia Belanda terus mempersiapkan rencana ekspedisi ke Atjeh (sebagai tidak lanjut utang Atjeh atas kematian orang Belanda pada ekspedisi pada tahun 1857. Komunikasi yang deadlock dengan Belanda, Sultan Atjeh mengirim memorandum kepada Pemerintah Belanda melalui Pemerintah Prancis.
Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad
voor Nederlandsch-Indie, 09-12-1873: ‘Mengenai
berita bahwa pemerintah Prancis diduga telah mengirimkan memorandum dari Sultan
Aceh kepada pemerintah Belanda, Dagblad ingin menunjukkan bahwa, karena utusan
dari Aceh ke Konstantinopel, Said Abdul Rachman
Zaher, tidak menerima uang muka dari konsul Belanda di Jeddah Maret lalu, ia
menghubungi penjabat wakil konsul Prancis, Dr. Buez, disana, sehingga
kemungkinan besar melalui mediasinya pemerintah Prancis memperoleh memorandum
tersebut’.
Akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer ke Atjeh. Pada bulan April 1874 Kraton dan masjid Atjeh hancur total. Wilayah Atjeh Besar diokupasi Belanda. Perang di Atjeh terus berlanjut. Para pemimpin Atjeh terus menunjukan perlawanan terhadap Belanda di Atjeh. Habib Abdul Rachman al Zair terus memainkan perannya namun adakalanya di luar Atjeh di Penang (memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik).
Hingga pertengah tahun 1877 Habib Abdul Rachman al
Zair tetap melancarkan perang ke pihak Belanda. Sebagaimana diketahui, Habib
Abdul Rachman al Zair hanyalah satu diantara sejumlah pemimpin perlawanan. Satu
pemimpin lainnya yang juga menonjol adalah Panglima Polim. Tentu saja sudah ada
beberapa pemimpin perlawanan yang telah menyeberang ke pihak Belanda.
Sejauh mana Habib Abdul Rachman al Zair masih mampu mempertahankan posisinya dalam memimpin perlawanan kepada Belanda? Satu yang jelas bantuan dari Turki tetap tidak kunjung datang. Wilayah taklukan Belanda dari waktu ke waktu semakin luas dimana pejabat pemerintah ditempatkan. Satu yang jelas, orang Atjeh mulai muncul ketidakpercayaan kepada Habib Abdul Rachman al Zair.
Habib Abdul Rachman al Zair adalah orang asing di
Atjeh. Habib Abdul Rachman al Zair yang telah memperistri orang Atjeh (putri
dari salah satu pemimpin Atjeh) tetap tidak cukup meyakinkan sebagian orang
Atjeh. Tidak datangnya bantu Turki ke Atjeh memang menyimpan suatu dilemma.
Mengapa? Kerajaan Turki yang menguasai (menjajah) wilayah Arab juga memiliki
persoalan sendiri terutama dengan Inggris di bagian selatan Arab (Yaman). Sementara
orang Arab di pedalaman terus menggangu kehadiran Turki. Dalam posisi ini,
Inggris yang berseberangan dengan Turki dapat dikatakan memiliki hasrat yang
sama dengan orang Arab. Habib Abdul Rachman al Zair dalam dilemma.
Pada bulan April terjadi gencatan senjata. Setelah terjadi pertukaran informasi antara pihak Pemerintah Hindia Belanda dengan para pemimpin perlawanan seperti Habib Abdul Rachman al Zair dan Panglima Polim pada akhirnya gencatan senjata berakhir (lihat Arnhemsche courant, 24-04-1878). Hal itu karena sejumlah hal persyaratan yang diinginkan Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat dipenuhi.
Pada bulan Juli, terinformasikan Teokoe Nanta
cenderung menyera. Sementara Habib Abdul Rachman al Zair semakin kesulitan
merealisasikan rencana perlawanannya.
Pada tanggal 26 Agustus diinformasikan bahwa Habib Abdul Rachman telah mengajukan proposal dalam sebuah surat sutra kuning yang dapat mengarah pada negosiasi perdamaian (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-09-1878).
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-09-1878: ‘Telegram dari Batavia. (Sebagian sudah didistribusikan pagi ini.) Habib Abdul Rachman telah menawarkan diri untuk masuk militer dengan syarat ia menerima tunjangan tahunan dan izin untuk pergi ke Batavia bersama 400 pengikut. Gubernur Aceh telah menjawab bahwa permintaannya akan dikabulkan jika ia datang untuk menjalani pelatihan dalam waktu enam hari’.
Menurut laporan terbaru, negosiasi dengan Habib Abdul Rachman untuk penyerahan masih tertunda (lihat Bataviaasch handelsblad, 02-10-1878). Beredar rumor di Atjeh bahwa Habib akan berangkat ke Mekah pada tanggal 18 bulan ini bersama 400 pengikutnya dengan kapal uap pemerintah. Perdamaian diperkirakan akan tercapai dalam waktu tiga bulan. Secara resmi, laporan telah diterima yang tampaknya mengonfirmasi rumor ini (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 09-10-1878).
Bataviaasch handelsblad, 11-10-1878: ‘Kemarin pagi,
tanggal tiga belas Oktober, yang disebutkan sebagai tanggal ia datang kepada
kita dimana-mana, belum bersedia untuk membuat kesepakatan formal apa pun
dengan Habib, dan bahkan dilaporkan bahwa sebagai akibatnya ia baru-baru ini
membuat isyarat diperlakukan sebagai pengkhianat oleh mantan teman-temannya.
Mereka yang menyatakan hal ini juga berpendapat bahwa Habib telah dikhianati
oleh kaumnya sendiri dan saat ini tinggal di VII Moekim, sebuah unit dari
Resimen ke-22. Namun, tidak sedikit yang berpendapat bahwa Habib saat ini sama
sekali tidak berniat mengkhianati perjuangan Aceh, dan bahwa negosiasinya
hanyalah cara untuk memberikan perdamaian kepada Resimen ke-21 Moekim selama
masa Prapaskah. Menurut versi ini, tidak ada ketegangan antara Hahib dan pihak
yang berperang, dan ia bercokol kuat di Pantah Karaig. Namun, karena gencatan
senjata akan segera berakhir, dan 13 Oktober adalah batas waktu terakhir, akan
segera terungkap versi mana yang benar. Di Aceh, karena alasan-alasan yang
telah disebutkan, pembelotan Habib pada akhirnya tidak diharapkan membuahkan
hasil. Alasannya adalah sebagai berikut: Jika mantan rekan seperjuangannya
tidak mempercayainya, sehingga ia datang kepada kita sebagai pengungsi, jelas
fakta ini tidak akan menyurutkan musuh, yang sudah siap menghadapi hal ini,
dari rasa serakahnya; di sisi lain, jika ia berhubungan baik dengan mereka dan
mengkhianati mereka secara tak terduga, keinginan untuk membalas pengkhianatan
itu kepada mereka yang menerimanya hanya akan memperlebar jurang antara Aceh
dan Belanda. Akibatnya, negosiasi yang dimulai dengan Habib sama sekali tidak
populer di kalangan tentara kita, dan ini menyanjung harapan bahwa negosiasi
tersebut tidak lebih dari sekadar tipu muslihat Habib, karena pada akhirnya,
semua kekuatan yang mungkin harus dikerahkan untuk melawan musuh. Mengingat
sentimen umum di Aceh, perang pasti akan menjadi perang defensif, baik yang
terjadi pada Habib maupun penolakan musuh untuk meletakkan senjata setelah
pembelotannya, karena perdamaian akan terbukti mustahil dicapai selama pihak
Aceh yang berperang belum dikalahkan. Bagaimanapun, Anda sudah yakin bahwa
tanggal 13 Oktober, bahkan jika membawa kita pada Habib, tidak akan membawa
perdamaian; tidak, sebaliknya, pengkhianatan Habib hanya akan semakin membuat
musuh membenci kita. Dalam keadaan seperti ini, tanggal 13 Oktober, yang menandai
berakhirnya gencatan senjata, merupakan tenggat waktu yang fatal bagi kebijakan
perang kita. Jika masih ada pendapat bahwa kita, bahkan setelah pembelotan
Habib, tidak seharusnya membatasi diri untuk mengambil posisi bertahan di balik
Sungai Ajeh, dan sebaliknya, tidak seharusnya membiarkan musuh mengejarnya,
bahkan di pegunungan, dan, dengan terus mundurnya Habib, bahkan hingga Pedir,
tanggal 13 Oktober yang sama itu menempatkan tuntutan militer dan keuangan yang
terlalu tinggi, seperti yang telah kita coba tunjukkan sebelumnya, bagi pasukan
Belanda. Namun, justru mengingat sifat desersi Habib yang tidak produktif saat
ini, ia kurang lebih seperti tawanan di antara orang-orangnya sendiri, dan
mereka juga, dan lebih cenderung melarikan diri, daripada yang akan muncul dari
penyerahan diri secara ilegal, orang mungkin bertanya: apa yang membuat
negosiasi awal dengannya berbeda arah? Pada tahun 1874, ketika Pinang
bernegosiasi dengannya, penyuapannya setidaknya memiliki nilai ini, yaitu
merampas dari Aceh seorang pemimpin yang energik dan cakap sejak awal. Namun,
setelah Aceh dilatih olehnya selama empat tahun di sekolah perang dan taktik,
dan seorang pemimpin lainnya, saudara Panglima Polim yang disebutkan di atas,
telah terbentuk, orang mungkin bertanya apakah sosok Habib Abdul Rachman tidak
kehilangan nilainya bagi kita. Sekalipun suap menjadi dalih kita dalam perang
yang membawa bencana ini, tampaknya tak diragukan lagi bahwa suap seharusnya
digunakan untuk membujuk Habib agar tetap bersama rekan-rekan seperjuangannya,
mengerahkan pasukan mereka ke medan perang, dan mengkhianati posisi-posisi yang
jika dikuasai, melalui pasukan kita, akan membuat perlawanan lebih lanjut
terhadap pihak yang bertikai menjadi mustahil. Sungguh luar biasa bagaimana,
hingga negosiasi dengan Habib, perbedaan pendapat antara penguasa di Aceh dan
pihak luar memiliki efek yang melumpuhkan. Bahkan pada tanggal 4 April 1874,
dan juga di bawah komando Jenderal Van Switeu, negosiasi telah dilakukan dengan
Habib di Pinang. Ketika Letnan Gubernur Pinang menawarkan perantaraan yang
bersahabat, ia membawa agen Belanda dan Habib ke mejanya. Namun, apa yang
menyebabkan negosiasi gagal saat itu? Perlawanan pemerintahan militer di Aceh.
Kita sama sekali tidak menyalahkan pemerintahan militer atas hal ini.
Sebaliknya, kesatriaan perlawanan militer sejati itu bagi kita tampaknya
berbenturan dengan tuntutan kejujuran yang diamanatkan oleh politik, terutama
negara-negara kecil. Namun, mengapa rencana militer untuk menyerang 22 Moekim
dan menghukum mereka dengan segenap kekuatan di pihak non-militer dikorbankan
demi gencatan senjata dan negosiasi, karena alasan-alasan yang telah
disebutkan, yang jauh kurang penting secara praktis dibandingkan dengan yang
terjadi pada tahun 1874 dan setelahnya?’.
Adanya kemauan Habib Abdul Rachman untuk menyerahkan diri ke pihak Belanda, tidak hanya memperlebar garis kesetiaan perjuangan para pemimpin lainnya, juga memunculkan keraguan terhadap motif Habib Abdul Rachman dalam perjuangan di Atjeh. Sebagaimana diketahui, Habib Abdul Rachman belum lama di Atjeh, baru terhitung Habib Abdul Rachman memasuki wilayah Atjeh pada tahun 1864. Tapi tentu saja, tidak hanya semata Habib Abdul Rachman sebagai orang asing; sebab pemimpin perjuangan orang asli juga telah banyak yang melakukan penyerahan diri sebelumnya.
De locomotief: Samarangsch handels- en
advertentie-blad, 12-10-1878: ‘Negosiasi telah dimulai dengan Habib Abdul Rachman,
yang akan memastikan perdamaian segera." Ini adalah berita terpenting yang
diterima pelaut Belanda. Secara resmi, sejauh yang kami ketahui, berita-berita
ini belum dikonfirmasi, tetapi ada banyak alasan untuk mempercayai
kebenarannya, bahkan untuk memprediksi bahwa penundaan dalam kasus ini setara
dengan pembatalan. Kami yakin ada lebih sedikit alasan untuk mempercayai laporan
tentang perdamaian yang akan datang dengan Atjeh, atau lebih tepatnya dengan
Atjeher. Jika orang-orang ini membentuk satu bangsa, satu negara, dengan
pemerintahan pusat yang kuat, maka, baik dengan kekuatan senjata maupun dengan
imbalan ringgit, perang ini dapat diakhiri untuk selamanya. Namun, Aceh terdiri
dari begitu banyak (lebih dari empat puluh) negara yang saling bermusuhan,
semuanya bersatu dalam kebencian mereka terhadap Belanda, negara ini memiliki
begitu banyak benteng alami, dan medannya begitu misterius bagi pasukan
penjajah, sehingga sulit dipercaya bahwa perdamaian telah tercipta di seluruh
Laut Utara Sumatra hanya dengan tunduknya satu atau dua kepala suku.
"Orang Aceh yang baik hati" sangat sedikit dan jarang jumlahnya
sehingga jika seorang kepala suku menunjukkan kecenderungan untuk tunduk,
mereka akan ditembak mati atas perintah kepala suku lainnya. Fakta ini cukup
menunjukkan bahwa pendistribusian senjata dan amunisi kepada suku-suku yang
disebut sahabat tidak dapat dilakukan dengan cukup hati-hati. Meskipun Syeriff
Mekah, pemerintah Turki, dan pihak-pihak lain telah menasihati Habib Abdul
Rachman, Panglima Polim, dan Pangeran Pedir untuk tunduk, nasihat tersebut
belum diindahkan. Bahkan sulit bagi para pemimpin bangsa yang keras kepala seperti
orang Aceh untuk mengikutinya. Dan andaikan beberapa pemimpin terkemuka
menyerah dengan itikad baik, dan pemerintah mengirimkan rakyatnya bersama
pasukan kita untuk menaklukkan suku-suku yang masih bermusuhan, bukankah
dikhawatirkan mereka akan terpaksa melawan negara dan keyakinan mereka? Orang
Aceh akan membelot begitu ada kesempatan. Namun, pendudukan seluruh Aceh tetap
diperlukan. Apakah tentara Belanda mampu melakukan ini? Ataukah berdamai dengan
beberapa pemimpin merupakan tujuan akhir, dan haruskah kita mempercayakan
pembentukan dan pemeliharaan perdamaian dalam negeri kepada para pemimpin
tersebut? Dengan asumsi mereka mampu melakukannya, yang tidak kami yakini, apa
yang diperoleh Belanda dari perang yang berkepanjangan ini? Tidak, seluruh Aceh
harus diduduki dan ditaklukkan, dan untuk itu, dibutuhkan pasukan yang lebih
besar’.
Habib Abdul Rachman di Atjeh hanyalah satu diantara banyak pemimpin perlawanan. Lantas apa keutamaan Habib Abdul Rachman jikapun harus menyerahkan diri? Namun yang tetap menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin Pemerintah Hindia Belanda dapat menyetujui permintaan Habib Abdul Rachman untuk dikeluarkan dari Atjeh dan memilih ke Mekkah? Apakah ini menunjukkan kekalahan Belanda dalam bernegosiasi dengan Habib Abdul Rachman? Atau apakah ini juga menjadi keunggulan Pemerintah Hindia Belanda untuk menyetujui Habib Abdul Rachman ke Mekah?
Syeriff Mekah, pemerintah Turki, dan pihak-pihak
lain telah menasihati Habib Abdul Rachman, Panglima Polim, dan Pangeran Pedir
untuk tunduk, nasihat tersebut belum diindahkan menunjukkan dukungan dari luar
yang dianggap potensial telah melemah. Artinya, pemerintah Turki melihat
situasi dan kondisi di Atjeh tidak mungkin lagi melawan Pemerintah Hindia
Belanda secara fisik (meskipun dengan bantuan peralatan militer). Dalam konteks
inilah diduga yang menjadi sebab pilihan Habib Abdul Rachman ke Mekah. Namun
apapun motif pemerintah Turki dalam menyikapi perjuangan penduduk di Atjeh, sebaliknya
Pemerintah Hindia Belanda akan mengikat Habib Abdul Rachman dalam klausal
perjanjian yang ketat.
Dalam fase dimana Habib Abdul Rachman akan menyerah di Atjeh, salah satu kekuatan di Atjeh adalah Batalion-15. Seperti disebut di atas, pada tahun 1878 HKJ van den Bussche dengan pangkat kapten berada di Batalion-15. Dalam konteks inilah HKJ van den Bussche dengan nama samara Johan menulis artikel berjudul Habib Abdul Rachman al Zair: Op de Reis an Atjeh naar Djiddah yang dimuat dalam jurnal Nederland, 1886 [volgno 3]. HKJ van den Bussche memulai karir sebagai juru tulis di Angkatan laut dan karenanya memiliki kapasitas untuk menulis artikel tersebut untuk memberi pencerahan pada narasi sejarah Habib Abdul Rachman.
Bataviaasch handelsblad, 16-10-1878: ‘Gubernur
Aceh mengirim telegram: Kota Radja, 13 Oktober. Penaklukan Habib Abdul Rachman
Alzahier telah selesai. Pukul 07.00 pagi, beliau menghadap perwakilan saya di
Anaq Galoeng, yang kemudian membawanya menghadap saya dengan pengawalan militer
di Kota Radja pukul 14.00. Permohonan dan pemberian pengampunan, yang terakhir
atas nama Yang Mulia, berlangsung di hadapan para pejabat Militer, Maritim, dan
Sipil yang hadir di sini, demikian pula dengan upacara pelantikan yang khidmat’.
Habib Abdul Rachman tamat di Atjeh pada tanggal 13 Oktober 1878. HKJ van den Bussche diduga kuat, dan tentu saja turut hadir pada saat penandatanganan perjanjian penyerahan diri Habib Abdul Rachman. Lantas bagaimana perjalanan hidup selanjutnya Habib Abdul Rachman di Arab? Dalam kontek ini pula Alexander menulis biografi Habib Abdul Rachman yang dimuat dalam majalah Indische Gids edisi bulan November 1880.
Dalam tulisan Alexander mencatat pada
tanggal 4 November, kapal “Curacao” meninggalkan pelabuhan Olehleh. Pada
tanggal 5 Desember, Habib berangkat dari Colombo, di mana, atas permintaannya,
Curacao tinggal sedikit lebih lama, karena sebuah festival Muslim besar sedang
diadakan di sana, yang ingin dihadiri Habib. Pada tanggal 28 Januari 1879,
Habib tiba di Mekkah, dimana beliau disambut dan diterima oleh Syeriff dan para
pejabat tinggi lainnya’.
Pilihan Habib Abdul Rachman ke Mekah kemudian menimbulkan berbagai analisis dan pertanyaan diantara orang Belanda. Apakah Habib seorang pria seperti Abd-el-Kader; seseorang yang dapat dipercayai kata-katanya? Dan bukankah Mekah merupakan tempat berkembang biaknya fanatisme? Bukankah perjalanan ke Mekah justru merupakan cara untuk mengembalikan aroma kesucian dan otoritas yang baru saja hilang dari Habib di antara rakyatnya? Bahkan dengan asumsi bahwa ia jujur dan bertindak dengan itikad baik dalam ketundukannya, apakah mengirimnya ke Mekah dengan cara seperti itu merupakan godaan besar untuk dibawa...? (lihat misalnya Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-10-1878).
Dalam tulisan Alexander mencatat pada
tanggal 4 November, kapal “Curacao” meninggalkan pelabuhan Olehleh. Namun pada
tanggal ini tidak ada pemberitaan bahwa Habib Abdul Rachman berangkat dengan
kapal “Curacao”. Berita yang ada: “Kota Radja, 6 November. Keberangkatan Habib
ke Curaçao dijadwalkan pada tanggal dua puluh dua bulan ini” (lihat Java-bode:
nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-11-1878). Kapal Curaçao telah kembali dari Pinang di
Olehleh selama dua hari, dan sejauh yang diketahui siapa pun di kapal, kapal
itu masih menuju tujuan yang sama; kapal telah diperlengkapi di Pinang untuk
menerima tamu terhormat. Tidak seorang pun di sini tahu apa saja di kapal uap ke
Mekah (lihat Bataviaasch handelsblad, 16-11-1878). 10 November 1878. Mayor
Jenderal Pel memang tiba di pelabuhan Aceh, tetapi bukan untuk tujuan yang
semula direncanakannya, yaitu membawa para sahabat Habib kita (400 pengikut sebelumnya)
ke Mekah. Ia membawa surat-surat ke Padang. Lagipula, kedatangannya yang akan
datang kini tidak lagi perlu, seperti sebelumnya, dikaitkan dengan alasan ini;
lagipula, jumlah orang Aceh yang akan menemani Don Malabaar konon telah
digabung menjadi sembilan belas orang, termasuk istri dan pelayan mereka.
Sementara itu, keberangkatan HMS “Curacao” dijadwalkan pada 17 hingga 21
November (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-11-1878).
Habib berangkat ke Curaçao pada tanggal 24 bulan ini (lihat Bataviaasch
handelsblad, 05-12-1878).
Publik tampaknya telah dikelabui tentang keberangkatan Habib Abdul Rachman ke Mekah. Besar dugaan Habib Abdul Rachman berangkat dari Olehleh pada tanggal 4 November dengan kapal “Curacao” ke Penang. Lalu kapal “Curacao” ini kembali ke Olehleh untuk menjemput sembilan belas orang, termasuk istri dan pelayan mereka. Tanggal 4 ini merujuk pada biografi Habib Abdul Rachman yang ditulis Alexander berdasarkan catatan Habib Abdul Rachman sendiri.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Seputar Hubungan Kerajaan Turki dan Kerajaan Atjeh: Dari Masa ke Masa
Bagaimana Habib Abdul Rachman di Mekah tidak terinformasikan. Pada tahun 1883 JA Kruyt diangkat (Kembali) menjadi Konsul Jenderal Belanda di Jeddah berdasarkan Keputusan Kerajaan No. 20 tanggal 18 April, telah diakui dalam kapasitas tersebut oleh pemerintah Turki. Ini mengindikasikasi status konsulat Belanda di Jeddah telah ditingkatkan menjadi Konsul Jenderal dengan tetap JA Kruyt berkedudukan di Jeddah (lihat Nederlandsche staatscourant, 06-07-1883). Sementara itu, untuk level yang sama konsulat jenderal Turki di Batavia diakui (lihat De nieuwe vorstenlanden, 06-08-1883). Dalam fase timbal balik antara pemerintah Turki dan pemerintah (Hindia) Belanda inilah kemudian terinformasikan Dr Christiaan Snouck Hurgronje yang ahli dalam studi Islam akan berkunjung ke Arabia.
Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 16-06-1884: ‘Dr.
Chr. Snouck Hurgronje, dosen di Institut Kota untuk Pelatihan Pegawai Negeri
Sipil Hindia Timur di Leiden, telah berkonsultasi dengan Bapak JA Kruyt, Konsul
Jenderal Belanda di Jeddah, menyusun rencana perjalanan ilmiah ke kota
pelabuhan tersebut untuk mengumpulkan data guna menambah pengetahuan kita tentang
Islam secara umum, khususnya tentang Islam di wilayah jajahan kita di Hindia
Timur dan pengaruh ibadah haji di Mekkah terhadapnya. Penelitian ini akan
sangat bermanfaat bagi mata kuliah yang beliau ajarkan. Mengingat, untuk
melaksanakan rencana ini, beliau harus melakukan perjalanan ke Arab untuk
jangka waktu yang cukup lama sebelum berakhirnya liburan musim panas mendatang,
beliau telah meminta izin dari Dewan Kota untuk mengisi posisinya di Institut
Kota selama waktu yang dibutuhkan untuk penelitian ilmiah tersebut melalui
seseorang yang ditunjuk olehnya dan diberi wewenang untuk melakukannya menurut
pendapat Wali Kota dan Anggota Dewan. Setelah berkonsultasi dengan Dewan
Pembina Lembaga Kota, Wali Kota dan Anggota Dewan tidak berkeberatan untuk
memberikan cuti abadi tersebut, dengan alasan telah terbukti bahwa pendidikan
dapat disediakan secara memadai’.
Pada akhir tahun 1884 ini terinformasikan bahwa JA Kruyt akan mengakhiri tugasnya di Jeddah (lihat Nederlandsche staatscourant, 18-12-1884). Dr C Snouck Hurgronje sendiri berada di wilayah Arab antara bulan Agustus 1884 hingga bulan September 1885. Sudah barang tentu Dr C Snouck Hurgronje banyak bertemu dengan para jemaah Indonesia di Djeddah maupun di Mekkah. Bagaimana dengan Habib Abdul Rachman di Mekah?
Opregte Haarlemsche Courant, 27-11-1885: ‘Dalam Allgemeine Zeitung (sebelumnya diterbitkan di Ausburg, sekarang di München), Dr. C. Snouck Hurgronje dari Leiden menceritakan pengalamannya di Arabia, tempat ia tinggal dari Agustus 1884 hingga September 1885. Ia secara khusus menceritakan bagaimana kunjungannya di Mekkah berakhir secara tiba-tiba dan sangat tidak diinginkan, tepat ketika perayaan haji besar sedang dirayakan di sana, yang telah ia hadiri dengan penuh semangat, karena ketidaktahuan dan kecurigaan wakil konsul Prancis di Jeddah, Dr de Lostalot, ketika ia tiba di Jeddah, berita diterima bahwa cendekiawan Prancis Huber, yang sedang dalam perjalanan ilmiah ke Prancis bersama Profesor Euting, seorang pejabat Strasbourg, telah dibunuh di pedalaman. Pemerintah Prancis telah menginstruksikan Wakil Konsul de Lostalot untuk memastikan para pembunuh Dr Huber dihukum dan juga agar warisan ilmiah cendekiawan tersebut dikirim ke Prancis. Pemerintah Prancis sangat memperhatikan hal terakhir ini, karena batu bertuliskan "prasasti Teirna", yang kemudian menjadi terkenal di dunia ilmiah, konon terletak di dalam warisan tersebut. Wakil Konsul de Lostalot kemudian mencurigai Dr SH ingin mendapatkan batu itu sendiri, meskipun Dr SH telah menyatakan kepadanya secara lisan dan tertulis bahwa ia tidak ada hubungannya dengan masalah tersebut dan bahwa ia menginginkan batu itu bukan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Terlepas dari pernyataan ini, sebuah laporan dari Dr. de Lostalot muncul di surat kabar Paris "Temps" tertanggal 5 Juli 1885, yang menyatakan bahwa Dr. S.H. telah bersekongkol dengan Profesor Euting untuk mengambil batu yang dimaksud dari Prancis. Laporan dari de Temps ini dicetak ulang di surat kabar berbahasa Arab dan Turki saat Dr. S.H. berada di Mekah. Akibatnya, ia menerima perintah dari otoritas kota suci untuk segera meninggalkan Mekah. Dr. S.H. mungkin senang lolos dengan nyawanya, karena kita tahu nasib apa yang menanti orang Frank yang mengejar tujuan selain mempelajari hukum suci di Mekah. Ketika Dr. S.H., setelah kembali ke Jeddah, berbicara kepada wakil konsul Prancis de Lostalot tentang apa yang telah terjadi, yang terakhir meminta maaf dengan alasan yang menyedihkan. Dr. S.H. berharap untuk menerbitkan kisah rinci tentang perjalanannya nanti, tetapi ia ingin membuat episode ini diketahui dunia sekarang, berbeda dengan rekayasa surat kabar Paris’.
Dr C Snouck Hurgronje pernah selama 4 bulan di Mekkah termasuk pada saat hari raya Haji. Lantas bagaimana Dr. C Snouck Hurgronje bisa memasuki kota Mekkah? Yang membuka jalan bagi Dr. C Snouck Hurgronje memasuki Mekkah (dari Djeddah) atas inisiasi para guru agama asal Indonesia. Sebagaimana diketahui, sudah sejak lama banyak orang Indonesia yang mengajar di Mekkah. Lantas apakah Dr. C Snouck Hurgronje bertemu juga dengan Habib Abdul Rachman? Yang jelas sebagai orang Belanda Dr. C Snouck Hurgronje juga bisa berbahasa Arab; demikian juga dengan Habib Abdul Rachman sebagai orang Arab juga bisa berbahasa Belanda (plus bahasa Inggris). Habib Abdul Rachman tampaknya sudah masa lalu. Namun nama Habib Abdul Rachman kembali menjadi penting karena Johan alias HKJ van den Bussche menulis artikel berjudul Habib Abdul Rachman al Zair: Op de Reis an Atjeh naar Djiddah yang dimuat dalam jurnal Nederland, 1886 [volgno 3].
HKJ van den Bussche memulai karir sebagai juru tulis di Angkatan laut dan karenanya memiliki kapasitas untuk menulis artikel tersebut untuk memberi pencerahan pada narasi sejarah Habib Abdul Rachman. HKJ van den Bussche yang saat itu berpangkat Kapten dari Batalion-15 tampaknya hadir saat Habib Abdul Rachman menaiki kapal “Curacao”. HKJ van den Bussche di dalam bukunya ditulis: “Habib Abdul Rachman mengenakan jubah hitam lebar (samaar), dihiasi sorban putih sebagai tanda kewibawaan imamatnya yang agung, dengan pedang di sisinya, pria berbahu lebar dan pendek dengan kulit gelap, mata berapi-api, dan janggut abu-abu.
Kapten HKJ van den Bussche tampaknya juga berada di kapal perang “Curacao” yang membawa Habib Abdul Rachman ke Djeddah/Mekkah. Hal ini karena HKJ van den Bussche menulis cukup rinci saat memasuki kapal maupun selama pelayaran di kapal bahkan saat sekoci di perairan Djeddah yang membawa Habib Abdul Rachman dan para pengikutnya ke darat.
Bagaimanapun informasi dari HKJ van den Bussche dan
Alexander tentang Habib Abdul Rachman sangat penting. Alexander mendapatkan sebagian
data dari catatan Habib Abdul Rachman sendiri di Arab; HKJ van den Bussche juga
menjadi pelaku perang di Atjeh dan juga menjadi saksi mata dalam pelayaran
kapal “Curacao” yang membawa Habib Abdul Rachman ke Djeddah.
Sudah barang tentu informasi tentang Habib Abdul Rachman dapat dibaca
dari berbagai surat kabar dan majalah yang memberitakan nama Habib Abdul
Rachman di Atjeh selama perang. Secara khusus dalam buku HKJ van den Bussche
disebut Habib Abdul Rachman pernah mengenakan jubah bersulam emasnya, yang di
atasnya terpancar bintang Ordo Ottoman. Ini mengindikasikan bahwa Habib Abdul
Rachman benar-benar pernah ke kraton Turki. Beberapa detail yang disampaikan Alexander
bahwa pada tanggal 28 Januari 1879, Habib tiba di Mekkah dilengkapi dengan yang
disampaikan HKJ van den Bussche bahwa kapal “Curacao” melepas Habib Abdul
Rachman dan para pengikut di perairaan Djeddah dengan sekoci pada tanggal 29
Desember 1878. Ini mengindikasikan ada sekitar satu bulan di Djeddah sebelum
melanjutnya perjalanan ke Mekkah.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar