Sabtu, 30 Agustus 2025

Sejarah Indonesia Jilid 5-3: Habib Abdoe’r Rahman Alzahir di Atjeh; Seputar Hubungan Kesultanan Turki dan Kesultanan Atjeh


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini

Habib Abdoe'r Rahman Alzahir adalah seorang pemimpin politik, agama, dan diplomatik keturunan Hadhrami yang lahir pada tahun 1833 di India dan meninggal pada tahun 1896. Ia berperan penting sebagai pejuang melawan penjajahan Belanda di Kesultanan Aceh pada abad ke-19, menjabat sebagai menteri luar negeri dan kemudian menjadi perwakilan Aceh di Kesultanan Utsmaniyah (Ottoman) untuk mencari dukungan.

 

Peran dan Karier Politik: Perlawanan terhadap Belanda: Habib Abdoe'r Rahman Alzahir memimpin perlawanan terhadap pasukan kolonial Belanda selama Perang Aceh, yang berlangsung dari tahun 1873 hingga 1904. Menteri Keuangan dan Perwakilan Aceh: Ia menjabat sebagai menteri luar negeri dan kemudian juga berperan sebagai pemimpin politik di Kesultanan Aceh Darussalam. Diplomasi dengan Utsmaniyah: Ia melakukan perjalanan ke Istanbul untuk mendapatkan dukungan dari Kesultanan Utsmaniyah untuk Aceh melawan Belanda. Latar Belakang dan Keturunan: Kelahiran dan Keluarga: Ia lahir di Desa Bedqara, India, pada tahun 1833. Asal-usul Hadhrami: Ia merupakan keturunan Hadhrami dari Sadah Alawiyyin di Yaman, dan garis keturunannya bersambung kepada Sayyid Abdurrahman bin Masyhur bin Abu Bakar Az-Zahir (AI Wikipedia). 

Lantas bagaimana sejarah Habib Abdoe’r Rahman Alzahir di Atjeh? Seperti disebut di atas, ia berperan penting sebagai pejuang melawan penjajahan Belanda di Kesultanan Aceh pada abad ke-19. Bagaimana  hubungan Kerajaan Turki dan Kerajaan Atjeh? Lalu bagaimana sejarah Habib Abdoe’r Rahman Alzahir di Atjeh? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah penulis sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Habib Abdoe’r Rahman Alzahir di Atjeh; Seputar Hubungan Kerajaan Turki dan Kerajaan Atjeh

Nama Habib Abdoe’r Rahman Alzahir memiliki catatan sejarah yang banyak. Oleh karena itu sulit dipilih darimana memulainya. Namun untuk kepraktisan dapat dimulai pada titik waktu yang paling kritis untuk penyelidikan sejarahnya ke masa sebelumnya dan ke masa selanjutnya. Titik kritis waktu sejarah Habib Abdoe’r Rahman Alzahir terjadi pada tahun 1878.


Pada bulan Mei 1878 militer Pemerintah Hindia Belanda melakukan serangan terhadap benteng Segli (Pedir) di pesisir utara Aceh. Lalu terjadi komplikasi di pesisir timur Aceh; dikirim ekspedisi untuk menertibkan wilayah Gedoeng. Sebaliknya terjadi invasi musuh yang dipimpin oleh Habib Abdul Rachman al-Zair pada 25 Moekim. Setelah kembalinya pasukan ekspedisi yang dikirim ke pesisir timur (Juni), musuh kembali diusir dalam beberapa hari. Pengeboman Pasangan di pesisir utara Aceh oleh Angkatan Laut (14 Juli), yang mengakibatkan Rajah wilayah tersebut dinyatakan digulingkan oleh para pemimpinnya, dan pangeran yang terpilih sebagai penggantinya tunduk pada kekuasaan Belanda (10 Agustus). Dimulainya kampanye melawan 22 dan 26 Moekim (23 Juli). Anagaloeng (27 Juli) dan Montassik (28 Juli) direbut. Operasi dihentikan karena hujan lebat dan banjir. Penyerahan Habib Abdul Rachman al Zair (13 Oktober), diikuti oleh penyerahan Toekoe Moeda Baid, hulubalang dari Moekim ke-7 (Moekim ke-22). Itulah yang dicatat kemudian di dalam kroniek Pemerintah Hindia Belanda (lihat Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indie). Pemerintah Hindia Belanda kemudia memproyeksikan/memplot Habib Abdul Rachman al Zair menjadi pemimpin di Modjopahit, bagian dari wilayah Langsa.

Sementara Habib Abdul Rachman al Zair diproyeksikan menjadi pemimpin di Modjopahit, Langsa, pada tahun 1878 ini, Habib Abdul Rachman al Zair menaiki kapal uap HMS “Curaçao” ditembakkan salut meriam yang diwajibkan untuk menghormatinya. Kapal “Curaçao” akan membawanya Arabia. Tembakan salut itu diberika karena pemerintah merasa terpaksa untuk mengabulkan tuntutan Habib dalam hal tersebut. Saat Habib Abdul Rachman al Zair naik kapal mengenakan jubah atas (samaar) hitamnya yang lebar, berhiaskan sorban putih sebagai tanda kewibawaan imam besarnya, dan dengan pedang di sisinya, pria berbahu lebar dan pendek dengan kulit gelap, mata berapi-api, dan janggut abu-abu. Di dalam kapal, Habib Abdul Rachman al Zair menuju rumah-rumah geladak yang disediakan untuk istri dan pengikutnya. Itulah yang ditulis oleh Johan dalam artikel berjudul Habib Abdul Rachman al Zair: Op de Reis an Atjeh naar Djiddah yang dimuat dalam jurnal Nederland, 1886 [volgno 3].


Penulis Johan, nama sebenarnya adalah HKJ van den Bussche yang memulai karir di angkatan laut (Marine Departement). Pada tahun 1973 HKJ van den Bussche sebagai juru tulis di kapal uap “Citadel van Antwerp” (lihat Algemeen Handelsblad, 20-05-1873). Dalam ekspedisi militer ke Atjeh, HKJ van den Bussche ditempatkan sebagai juru tulis di kapal uap HMS “Java”. Selepas ekspedisi ke Atjeh, pada bulan Oktober HKJ van den Bussche termasuk salah satu dengan status non-aktif (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 10-07-1874). Pada tahun 1878 HKJ van den Bussche dengan pangkat kapten di Batalion-15. Singkatnya, HKJ van den Bussche dengan pangkat Majoor di Atjeh akan diberhentikan tahun 1887 karena sakit (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 16-04-1887). Ini mengindikasikan HKJ van den Bussche dengan nama alias cukup kompeten menulis artikel berjudul Habib Abdul Rachman al Zair: Op de Reis an Atjeh naar Djiddah.

Orang pertama yang menulis biografi Habib Abdul Rachman al Zair adalah Alexander yang dimuat dalam majalah Indische Gids edisi bulan November 1880. Sudah barang tentu, seperti disebut di atas Habib Abdul Rachman al Zair sudah berada di Arab. Artikel yang dimuat di majalah Indische Gids menjadi heboh yang kemudian juga dilansir surat kabar Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage dengan dua bagian pada edisi 09-11-1880 dan edisi 12-11-1880. Penulis biografi ini juga memasukkan catatan langsung oleh Habib Abdoe’r Rahman Alzahir saat ia berada di atas kapal HMS Curacao. Disebutkan Maharaja Johor, tempat Habib mengatur administrasi internal dan membangun pekerjaan umum, cukup puas dan dengan surat sertifikatnya Habib Abdul Rachman al Zair berangkat ke Kerajaan Aceh pada tahun 1864. Setelah menunjukkan sertifikat dari Maharaja Johor, ia diterima dengan baik oleh Sultan dan diangkat menjadi kepala masjid agung.


Pasca Perang Padri diangkatnya Gubernur pantai barat Sumatra Michiels. Pada tahun 1857 Kolonel Jan van Swieten menggantikan Michiels. Pada tahun 1857 Jan van Swieten memimpin ekspedisi militer ke Atjeh (ekspedisi pertama ke Atjeh). Hasil ekspedisi ini dibuat Tractaat pada bulan Maret 1857 dengan Sultan van Atjeh. Saat ini wilayah Residentie Tapanoeli, province Sumatra’s Westkust meliputi wilayah Singkil. Pada tahun 1857 ini misionaris G van Asselt memulai kerja di perbatasan Sipirok dan Silindoeng. Pada tahun 1862 misionaris Belanda dan Jerman membagi wilayah misi dimana Silindoeng dan Toba menjadi wilayah misi Jerman (yang kemudian diperankan oleh Nommensen). Pada tahun 1862 ini Pemerintah Hindia Belanda di pantai timur Sumatra memperluas pemerintahah Residentie Riouw hingga ke perbatasan Atjeh. Pemerintah Hindia Belanda memulai pemerintahan di Deli pada tahun 1863 dengan menempatkan seorang controleur di Laboehan (Baron de Raet van Cat). Pada tahun ini juga Nienhuys dan koleganya, seorang Arab pada Sabtu malam bulan Maret 1863 berangkat dari Batavia menuju Singapore kemudian ke Riouw untuk berkunjung kepada Resident di Tandjong Pinang (P Bintan) dan selanjutnya ke Laboehan di Deli. Di Kampong Deli terdiri dari 200 ratus rumah sederhana terbuat dari bamboo dan atap nibung. Istana Sultan Deli, hanya sebuah bangunan rumah biasa yang terbuat dari kayu berbentuk panggung berukuran panjang sembilan puluh kaki dan lebar tiga puluh kaki. Pada tahun 1864 Nommensen pindah ke Silindoeng dan membuka stasion di Hoeta Dame. Controleur Deli yang baru di Laboehan C de Haan memulai tugas pada tahun 1865 dengan melakukan ekspedisi ke Bataklanden yang dilakukan tahun 1866 (tiga tahun setelah kehadiran controleur).

Habib Abdul Rachman al Zair di Atjeh bermula tahun 1864 dan berakhir pada tahun 1878.  Pada tanggal 4 November 1878, kapal “Curacao” meninggalkan pelabuhan Olehleh. Lantas mengapa Habib Abdul Rachman al Zair memilih dikeluarkan dari Atjeh ke Arab? Dan mengapa Pemerintah Hindia Belanda mengizinkannnya?


Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 12-11-1880: ‘Penyerahan diri Abdul Rachman al Zair, yang, setelah syarat-syarat yang ia tetapkan diterima, berlangsung di Kota Radja pada tanggal 13 Oktober 1878. Syarat-syarat yang diajukan Habib tidak menguntungkannya; Ia berjanji "untuk menganggap dan bertindak sebagai orang yang terikat pada otoritas Belanda, dan tidak akan pernah lagi melakukan apa pun yang akan merugikan Belanda dan wilayah jajahannya di luar negeri, atau rakyat Belanda." Pemerintah penculiknya berjanji untuk membayarnya tunjangan bulanan sebesar 1.000 dolar (2.500 gulden) seumur hidup dan mengangkutnya, istri-istrinya, dan rombongan lainnya ke Arabia dengan kapal perang. Pada tanggal 4 November, Curacao meninggalkan pelabuhan Oleh-leh. Pada tanggal 5 Desember, Habib berangkat dari Colombo, di mana, atas permintaannya, Curacao tinggal sedikit lebih lama, karena sebuah festival Muslim besar sedang diadakan di sana, yang ingin dihadiri Habib. Pada tanggal 28 Januari 1879, Habib tiba di Mekkah, dimana beliau disambut dan diterima oleh Syekh dan para pejabat tinggi lainnya’.

Habib Abdul Rachman al Zair setelah diterima di Kerajaan Atjeh, dan menjadi pemimpin agama di masjid Atjeh, dan sudah menikah mulai mengusulkan untuk pembangunan masjid. Sultan memberikan kontibusi sebesar 3.000 dollars. Untuk memenuhi semua kebutuhan, Habib Abdul Rachman al Zair mencoba keliling di pantai barat Sumatra dan berhasil mengumpulkan dana sebesar 3.300 dollars. Namun selama ketidakhadiran Habib Abdul Rachman al Zair di Atjeh muncul intrik-intrik yang mendiskreditkannya di hadapan Sultan. Mereka mengklaim bahwa tujuan sebenarnya dari perjalanan Habib Abdul Rachman al Zair ke Pantai Barat adalah untuk membeli senjata dan amunisi, yang kemudian akan digunakannya untuk tujuan jahat. Akhirnya Habib Abdul Rachman al Zair menyadari setelah kehadirannya kembali di Atjeh dari keliling pantai barat Sumatra segera mengundurkan diri, dan berangkat ke Mekah melalui Poeloe Pinang.


Pada tahun 1872 merealisasikan pendirikan konsulat Belanda di Djeddah. Konsuler (yang pertama) yang diangkat adalah Mr RWJC De Menthon Bake (lihat Het vaderland, 15-02-1872). Dalam perkembangannya Mr RWJC De Menthon Bake tiba-tiba diberhentikan sepihak melalui surat Menteri Luar Negeri di 's-Gravenhove tanggal 30 Juli (lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad, 05-08-1873). Bagaimana bisa? Ini bermula surat Mr RWJC De Menthon Bake yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri tertanggal 9 Juli. Isi surat itu memberi tahu bagaimana badan perwakilan (Belanda) telah mengabaikan kepentingan Belanda di Jeddah, termasuk yang berkaitan dengan Atjeh. Mr RWJC De Menthon Bake di dalam usulannya untuk memperkuat perdagangan di Laut Merah dengan kapal-kapal perang, alih-alih untuk mengirim kapal perang ke Atjeh. Hal itulah yang diduga mengapa RWJC De Menthon Bake ‘dipecat’.

Kehadiran Habib Abdul Rachman al Zair di Arab tentu saja sudah diketahui oleh Mr RWJC De Menthon Bake. Habib Abdul Rachman al Zair menerima surat rekomendasi dari (orang Turki) Syekh Agung Abdullah Pasjah, dari Syekh Jeddah, Muhammad Pasjah, dan dari mantan mentornya, Habib Tadlak. Dengan surat-surat ini, Habib Abdul Rachman al Zair segera kembali dan langsung kembali ke Aceh. Saat berlabuh di Pelabuhan Atjeh, Habib Abdul Rachman al Zair memberi tahu Sultan tentang kepulangannya melalui sebuah surat, menjelaskan bahwa ia datang hanya untuk menjemput istrinya, Potjoet, dan kembali ke Mekah bersamanya.


Dua utusan Sultan naik ke kapal; Habib menyampaikan hal yang sama kepada mereka. Ia juga memberi mereka surat rekomendasi, menginstruksikan mereka untuk menyerahkannya kepada Sultan untuk diperiksa. Segera setelah mengetahui isi surat-surat ini, ia mengundang mantan penguasanya ke Keraton, yang dipatuhi Habib. Sultan sendiri menunggunya di pantai dan menemaninya ke Keraton, karena khawatir ia akan dibunuh oleh musuh-musuhnya dalam perjalanan. Habib kemudian diangkat menjadi kepala agama dan masjid agung, serta kepala Tjat Putoe. Tak lama kemudian, Sultan mengangkatnya sebagai wazir. Dengan demikian, Habib berhasil membawa lebih banyak ketertiban dan stabilitas dalam pemerintahan Aceh, meningkatkan pendapatan Sultan, dan memastikan hasil (pajak) dikumpulkan tepat waktu. Para penguasa menjadi semakin bermusuhan terhadapnya, tetapi kebencian mereka relatif tidak berbahaya bagi Habib, karena Sultan menolak untuk berbicara kepada mereka sendiri dan merujuk semua orang kepada wazirnya.

Kehadiran Habib Abdul Rachman al Zair kembali di Atjeh telah memberi semangat bagi Sultan Atjeh karena adanya dukungan Turki. Sebagaimana diketahui, Kerajaan Turki cukup bersahabat dengan pemerintah Prancis dimana di Jeddah juga terdapat konsulat Prancis. Sedangkan Pemerintah Hindia Belanda terus mempersiapkan rencana ekspedisi ke Atjeh (sebagai tidak lanjut utang Atjeh atas kematian orang Belanda pada ekspedisi pada tahun 1857. Komunikasi yang deadlock dengan Belanda, Sultan Atjeh mengirim memorandum kepada Pemerintah Belanda melalui Pemerintah Prancis.


Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 09-12-1873: ‘Mengenai berita bahwa pemerintah Prancis diduga telah mengirimkan memorandum dari Sultan Aceh kepada pemerintah Belanda, Dagblad ingin menunjukkan bahwa, karena utusan dari Aceh ke Konstantinopel, Said Abdul Rachman Zaher, tidak menerima uang muka dari konsul Belanda di Jeddah Maret lalu, ia menghubungi penjabat wakil konsul Prancis, Dr. Buez, disana, sehingga kemungkinan besar melalui mediasinya pemerintah Prancis memperoleh memorandum tersebut.         

Akhirnya Pemerintah Hindia Belanda mengirim ekspedisi militer ke Atjeh. Pada bulan April 1874 Kraton dan masjid Atjeh hancur total. Wilayah Atjeh Besar diokupasi Belanda. Perang di Atjeh terus berlanjut. Para pemimpin Atjeh terus menunjukan perlawanan terhadap Belanda di Atjeh. Habib Abdul Rachman al Zair terus memainkan perannya namun adakalanya di luar Atjeh di Penang (memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik).


Hingga pertengah tahun 1877 Habib Abdul Rachman al Zair tetap melancarkan perang ke pihak Belanda. Sebagaimana diketahui, Habib Abdul Rachman al Zair hanyalah satu diantara sejumlah pemimpin perlawanan. Satu pemimpin lainnya yang juga menonjol adalah Panglima Polim. Tentu saja sudah ada beberapa pemimpin perlawanan yang telah menyeberang ke pihak Belanda.

Sejauh mana Habib Abdul Rachman al Zair masih mampu mempertahankan posisinya dalam memimpin perlawanan kepada Belanda? Satu yang jelas bantuan dari Turki tetap tidak kunjung datang. Wilayah taklukan Belanda dari waktu ke waktu semakin luas dimana pejabat pemerintah ditempatkan. Satu yang jelas, orang Atjeh mulai muncul ketidakpercayaan kepada Habib Abdul Rachman al Zair.


Habib Abdul Rachman al Zair adalah orang asing di Atjeh. Habib Abdul Rachman al Zair yang telah memperistri orang Atjeh (putri dari salah satu pemimpin Atjeh) tetap tidak cukup meyakinkan sebagian orang Atjeh. Tidak datangnya bantu Turki ke Atjeh memang menyimpan suatu dilemma. Mengapa? Kerajaan Turki yang menguasai (menjajah) wilayah Arab juga memiliki persoalan sendiri terutama dengan Inggris di bagian selatan Arab (Yaman). Sementara orang Arab di pedalaman terus menggangu kehadiran Turki. Dalam posisi ini, Inggris yang berseberangan dengan Turki dapat dikatakan memiliki hasrat yang sama dengan orang Arab. Habib Abdul Rachman al Zair dalam dilemma.

Pada bulan April terjadi gencatan senjata. Setelah terjadi pertukaran informasi antara pihak Pemerintah Hindia Belanda dengan para pemimpin perlawanan seperti Habib Abdul Rachman al Zair dan Panglima Polim pada akhirnya gencatan senjata berakhir (lihat Arnhemsche courant, 24-04-1878). Hal itu karena sejumlah hal persyaratan yang diinginkan Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat dipenuhi.


Pada bulan Juli, terinformasikan Teokoe Nanta cenderung menyera. Sementara Habib Abdul Rachman al Zair semakin kesulitan merealisasikan rencana perlawanannya.

Pada tanggal 26 Agustus diinformasikan bahwa Habib Abdul Rachman telah mengajukan proposal dalam sebuah surat sutra kuning yang dapat mengarah pada negosiasi perdamaian (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-09-1878).


De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-09-1878: ‘Telegram dari Batavia. (Sebagian sudah didistribusikan pagi ini.) Habib Abdul Rachman telah menawarkan diri untuk masuk militer dengan syarat ia menerima tunjangan tahunan dan izin untuk pergi ke Batavia bersama 400 pengikut. Gubernur Aceh telah menjawab bahwa permintaannya akan dikabulkan jika ia datang untuk menjalani pelatihan dalam waktu enam hari’. 

Menurut laporan terbaru, negosiasi dengan Habib Abdul Rachman untuk penyerahan masih tertunda (lihat Bataviaasch handelsblad, 02-10-1878). Beredar rumor di Atjeh bahwa Habib akan berangkat ke Mekah pada tanggal 18 bulan ini bersama 400 pengikutnya dengan kapal uap pemerintah. Perdamaian diperkirakan akan tercapai dalam waktu tiga bulan. Secara resmi, laporan telah diterima yang tampaknya mengonfirmasi rumor ini (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 09-10-1878).


Bataviaasch handelsblad, 11-10-1878: ‘Kemarin pagi, tanggal tiga belas Oktober, yang disebutkan sebagai tanggal ia datang kepada kita dimana-mana, belum bersedia untuk membuat kesepakatan formal apa pun dengan Habib, dan bahkan dilaporkan bahwa sebagai akibatnya ia baru-baru ini membuat isyarat diperlakukan sebagai pengkhianat oleh mantan teman-temannya. Mereka yang menyatakan hal ini juga berpendapat bahwa Habib telah dikhianati oleh kaumnya sendiri dan saat ini tinggal di VII Moekim, sebuah unit dari Resimen ke-22. Namun, tidak sedikit yang berpendapat bahwa Habib saat ini sama sekali tidak berniat mengkhianati perjuangan Aceh, dan bahwa negosiasinya hanyalah cara untuk memberikan perdamaian kepada Resimen ke-21 Moekim selama masa Prapaskah. Menurut versi ini, tidak ada ketegangan antara Hahib dan pihak yang berperang, dan ia bercokol kuat di Pantah Karaig. Namun, karena gencatan senjata akan segera berakhir, dan 13 Oktober adalah batas waktu terakhir, akan segera terungkap versi mana yang benar. Di Aceh, karena alasan-alasan yang telah disebutkan, pembelotan Habib pada akhirnya tidak diharapkan membuahkan hasil. Alasannya adalah sebagai berikut: Jika mantan rekan seperjuangannya tidak mempercayainya, sehingga ia datang kepada kita sebagai pengungsi, jelas fakta ini tidak akan menyurutkan musuh, yang sudah siap menghadapi hal ini, dari rasa serakahnya; di sisi lain, jika ia berhubungan baik dengan mereka dan mengkhianati mereka secara tak terduga, keinginan untuk membalas pengkhianatan itu kepada mereka yang menerimanya hanya akan memperlebar jurang antara Aceh dan Belanda. Akibatnya, negosiasi yang dimulai dengan Habib sama sekali tidak populer di kalangan tentara kita, dan ini menyanjung harapan bahwa negosiasi tersebut tidak lebih dari sekadar tipu muslihat Habib, karena pada akhirnya, semua kekuatan yang mungkin harus dikerahkan untuk melawan musuh. Mengingat sentimen umum di Aceh, perang pasti akan menjadi perang defensif, baik yang terjadi pada Habib maupun penolakan musuh untuk meletakkan senjata setelah pembelotannya, karena perdamaian akan terbukti mustahil dicapai selama pihak Aceh yang berperang belum dikalahkan. Bagaimanapun, Anda sudah yakin bahwa tanggal 13 Oktober, bahkan jika membawa kita pada Habib, tidak akan membawa perdamaian; tidak, sebaliknya, pengkhianatan Habib hanya akan semakin membuat musuh membenci kita. Dalam keadaan seperti ini, tanggal 13 Oktober, yang menandai berakhirnya gencatan senjata, merupakan tenggat waktu yang fatal bagi kebijakan perang kita. Jika masih ada pendapat bahwa kita, bahkan setelah pembelotan Habib, tidak seharusnya membatasi diri untuk mengambil posisi bertahan di balik Sungai Ajeh, dan sebaliknya, tidak seharusnya membiarkan musuh mengejarnya, bahkan di pegunungan, dan, dengan terus mundurnya Habib, bahkan hingga Pedir, tanggal 13 Oktober yang sama itu menempatkan tuntutan militer dan keuangan yang terlalu tinggi, seperti yang telah kita coba tunjukkan sebelumnya, bagi pasukan Belanda. Namun, justru mengingat sifat desersi Habib yang tidak produktif saat ini, ia kurang lebih seperti tawanan di antara orang-orangnya sendiri, dan mereka juga, dan lebih cenderung melarikan diri, daripada yang akan muncul dari penyerahan diri secara ilegal, orang mungkin bertanya: apa yang membuat negosiasi awal dengannya berbeda arah? Pada tahun 1874, ketika Pinang bernegosiasi dengannya, penyuapannya setidaknya memiliki nilai ini, yaitu merampas dari Aceh seorang pemimpin yang energik dan cakap sejak awal. Namun, setelah Aceh dilatih olehnya selama empat tahun di sekolah perang dan taktik, dan seorang pemimpin lainnya, saudara Panglima Polim yang disebutkan di atas, telah terbentuk, orang mungkin bertanya apakah sosok Habib Abdul Rachman tidak kehilangan nilainya bagi kita. Sekalipun suap menjadi dalih kita dalam perang yang membawa bencana ini, tampaknya tak diragukan lagi bahwa suap seharusnya digunakan untuk membujuk Habib agar tetap bersama rekan-rekan seperjuangannya, mengerahkan pasukan mereka ke medan perang, dan mengkhianati posisi-posisi yang jika dikuasai, melalui pasukan kita, akan membuat perlawanan lebih lanjut terhadap pihak yang bertikai menjadi mustahil. Sungguh luar biasa bagaimana, hingga negosiasi dengan Habib, perbedaan pendapat antara penguasa di Aceh dan pihak luar memiliki efek yang melumpuhkan. Bahkan pada tanggal 4 April 1874, dan juga di bawah komando Jenderal Van Switeu, negosiasi telah dilakukan dengan Habib di Pinang. Ketika Letnan Gubernur Pinang menawarkan perantaraan yang bersahabat, ia membawa agen Belanda dan Habib ke mejanya. Namun, apa yang menyebabkan negosiasi gagal saat itu? Perlawanan pemerintahan militer di Aceh. Kita sama sekali tidak menyalahkan pemerintahan militer atas hal ini. Sebaliknya, kesatriaan perlawanan militer sejati itu bagi kita tampaknya berbenturan dengan tuntutan kejujuran yang diamanatkan oleh politik, terutama negara-negara kecil. Namun, mengapa rencana militer untuk menyerang 22 Moekim dan menghukum mereka dengan segenap kekuatan di pihak non-militer dikorbankan demi gencatan senjata dan negosiasi, karena alasan-alasan yang telah disebutkan, yang jauh kurang penting secara praktis dibandingkan dengan yang terjadi pada tahun 1874 dan setelahnya?’.

Adanya kemauan Habib Abdul Rachman untuk menyerahkan diri ke pihak Belanda, tidak hanya memperlebar garis kesetiaan perjuangan para pemimpin lainnya, juga memunculkan keraguan terhadap motif Habib Abdul Rachman dalam perjuangan di Atjeh. Sebagaimana diketahui, Habib Abdul Rachman belum lama di Atjeh, baru terhitung Habib Abdul Rachman memasuki wilayah Atjeh pada tahun 1864. Tapi tentu saja, tidak hanya semata Habib Abdul Rachman sebagai orang asing; sebab pemimpin perjuangan orang asli juga telah banyak yang melakukan penyerahan diri sebelumnya.


De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 12-10-1878: ‘Negosiasi telah dimulai dengan Habib Abdul Rachman, yang akan memastikan perdamaian segera." Ini adalah berita terpenting yang diterima pelaut Belanda. Secara resmi, sejauh yang kami ketahui, berita-berita ini belum dikonfirmasi, tetapi ada banyak alasan untuk mempercayai kebenarannya, bahkan untuk memprediksi bahwa penundaan dalam kasus ini setara dengan pembatalan. Kami yakin ada lebih sedikit alasan untuk mempercayai laporan tentang perdamaian yang akan datang dengan Atjeh, atau lebih tepatnya dengan Atjeher. Jika orang-orang ini membentuk satu bangsa, satu negara, dengan pemerintahan pusat yang kuat, maka, baik dengan kekuatan senjata maupun dengan imbalan ringgit, perang ini dapat diakhiri untuk selamanya. Namun, Aceh terdiri dari begitu banyak (lebih dari empat puluh) negara yang saling bermusuhan, semuanya bersatu dalam kebencian mereka terhadap Belanda, negara ini memiliki begitu banyak benteng alami, dan medannya begitu misterius bagi pasukan penjajah, sehingga sulit dipercaya bahwa perdamaian telah tercipta di seluruh Laut Utara Sumatra hanya dengan tunduknya satu atau dua kepala suku. "Orang Aceh yang baik hati" sangat sedikit dan jarang jumlahnya sehingga jika seorang kepala suku menunjukkan kecenderungan untuk tunduk, mereka akan ditembak mati atas perintah kepala suku lainnya. Fakta ini cukup menunjukkan bahwa pendistribusian senjata dan amunisi kepada suku-suku yang disebut sahabat tidak dapat dilakukan dengan cukup hati-hati. Meskipun Syeriff Mekah, pemerintah Turki, dan pihak-pihak lain telah menasihati Habib Abdul Rachman, Panglima Polim, dan Pangeran Pedir untuk tunduk, nasihat tersebut belum diindahkan. Bahkan sulit bagi para pemimpin bangsa yang keras kepala seperti orang Aceh untuk mengikutinya. Dan andaikan beberapa pemimpin terkemuka menyerah dengan itikad baik, dan pemerintah mengirimkan rakyatnya bersama pasukan kita untuk menaklukkan suku-suku yang masih bermusuhan, bukankah dikhawatirkan mereka akan terpaksa melawan negara dan keyakinan mereka? Orang Aceh akan membelot begitu ada kesempatan. Namun, pendudukan seluruh Aceh tetap diperlukan. Apakah tentara Belanda mampu melakukan ini? Ataukah berdamai dengan beberapa pemimpin merupakan tujuan akhir, dan haruskah kita mempercayakan pembentukan dan pemeliharaan perdamaian dalam negeri kepada para pemimpin tersebut? Dengan asumsi mereka mampu melakukannya, yang tidak kami yakini, apa yang diperoleh Belanda dari perang yang berkepanjangan ini? Tidak, seluruh Aceh harus diduduki dan ditaklukkan, dan untuk itu, dibutuhkan pasukan yang lebih besar’.

Habib Abdul Rachman di Atjeh hanyalah satu diantara banyak pemimpin perlawanan. Lantas apa keutamaan Habib Abdul Rachman jikapun harus menyerahkan diri? Namun yang tetap menjadi pertanyaan, bagaimana mungkin Pemerintah Hindia Belanda dapat menyetujui permintaan Habib Abdul Rachman untuk dikeluarkan dari Atjeh dan memilih ke Mekkah? Apakah ini menunjukkan kekalahan Belanda dalam bernegosiasi dengan Habib Abdul Rachman? Atau apakah ini juga menjadi keunggulan Pemerintah Hindia Belanda untuk menyetujui Habib Abdul Rachman ke Mekah?


Syeriff Mekah, pemerintah Turki, dan pihak-pihak lain telah menasihati Habib Abdul Rachman, Panglima Polim, dan Pangeran Pedir untuk tunduk, nasihat tersebut belum diindahkan menunjukkan dukungan dari luar yang dianggap potensial telah melemah. Artinya, pemerintah Turki melihat situasi dan kondisi di Atjeh tidak mungkin lagi melawan Pemerintah Hindia Belanda secara fisik (meskipun dengan bantuan peralatan militer). Dalam konteks inilah diduga yang menjadi sebab pilihan Habib Abdul Rachman ke Mekah. Namun apapun motif pemerintah Turki dalam menyikapi perjuangan penduduk di Atjeh, sebaliknya Pemerintah Hindia Belanda akan mengikat Habib Abdul Rachman dalam klausal perjanjian yang ketat.

Dalam fase dimana Habib Abdul Rachman akan menyerah di Atjeh, salah satu kekuatan di Atjeh adalah Batalion-15. Seperti disebut di atas, pada tahun 1878 HKJ van den Bussche dengan pangkat kapten berada di Batalion-15. Dalam konteks inilah HKJ van den Bussche dengan nama samara Johan menulis artikel berjudul Habib Abdul Rachman al Zair: Op de Reis an Atjeh naar Djiddah yang dimuat dalam jurnal Nederland, 1886 [volgno 3]. HKJ van den Bussche memulai karir sebagai juru tulis di Angkatan laut dan karenanya memiliki kapasitas untuk menulis artikel tersebut untuk memberi pencerahan pada narasi sejarah Habib Abdul Rachman.

 

Bataviaasch handelsblad, 16-10-1878: ‘Gubernur Aceh mengirim telegram: Kota Radja, 13 Oktober. Penaklukan Habib Abdul Rachman Alzahier telah selesai. Pukul 07.00 pagi, beliau menghadap perwakilan saya di Anaq Galoeng, yang kemudian membawanya menghadap saya dengan pengawalan militer di Kota Radja pukul 14.00. Permohonan dan pemberian pengampunan, yang terakhir atas nama Yang Mulia, berlangsung di hadapan para pejabat Militer, Maritim, dan Sipil yang hadir di sini, demikian pula dengan upacara pelantikan yang khidmat’.

Habib Abdul Rachman tamat di Atjeh pada tanggal 13 Oktober 1878. HKJ van den Bussche diduga kuat, dan tentu saja turut hadir pada saat penandatanganan perjanjian penyerahan diri Habib Abdul Rachman. Lantas bagaimana perjalanan hidup selanjutnya Habib Abdul Rachman di Arab? Dalam kontek ini pula Alexander menulis biografi Habib Abdul Rachman yang dimuat dalam majalah Indische Gids edisi bulan November 1880.


Dalam tulisan Alexander mencatat pada tanggal 4 November, kapal “Curacao” meninggalkan pelabuhan Olehleh. Pada tanggal 5 Desember, Habib berangkat dari Colombo, di mana, atas permintaannya, Curacao tinggal sedikit lebih lama, karena sebuah festival Muslim besar sedang diadakan di sana, yang ingin dihadiri Habib. Pada tanggal 28 Januari 1879, Habib tiba di Mekkah, dimana beliau disambut dan diterima oleh Syeriff dan para pejabat tinggi lainnya’.

Pilihan Habib Abdul Rachman ke Mekah kemudian menimbulkan berbagai analisis dan pertanyaan diantara orang Belanda. Apakah Habib seorang pria seperti Abd-el-Kader; seseorang yang dapat dipercayai kata-katanya? Dan bukankah Mekah merupakan tempat berkembang biaknya fanatisme? Bukankah perjalanan ke Mekah justru merupakan cara untuk mengembalikan aroma kesucian dan otoritas yang baru saja hilang dari Habib di antara rakyatnya? Bahkan dengan asumsi bahwa ia jujur dan bertindak dengan itikad baik dalam ketundukannya, apakah mengirimnya ke Mekah dengan cara seperti itu merupakan godaan besar untuk dibawa...? (lihat misalnya Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 17-10-1878).


Dalam tulisan Alexander mencatat pada tanggal 4 November, kapal “Curacao” meninggalkan pelabuhan Olehleh. Namun pada tanggal ini tidak ada pemberitaan bahwa Habib Abdul Rachman berangkat dengan kapal “Curacao”. Berita yang ada: “Kota Radja, 6 November. Keberangkatan Habib ke Curaçao dijadwalkan pada tanggal dua puluh dua bulan ini” (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-11-1878).  Kapal Curaçao telah kembali dari Pinang di Olehleh selama dua hari, dan sejauh yang diketahui siapa pun di kapal, kapal itu masih menuju tujuan yang sama; kapal telah diperlengkapi di Pinang untuk menerima tamu terhormat. Tidak seorang pun di sini tahu apa saja di kapal uap ke Mekah (lihat Bataviaasch handelsblad, 16-11-1878). 10 November 1878. Mayor Jenderal Pel memang tiba di pelabuhan Aceh, tetapi bukan untuk tujuan yang semula direncanakannya, yaitu membawa para sahabat Habib kita (400 pengikut sebelumnya) ke Mekah. Ia membawa surat-surat ke Padang. Lagipula, kedatangannya yang akan datang kini tidak lagi perlu, seperti sebelumnya, dikaitkan dengan alasan ini; lagipula, jumlah orang Aceh yang akan menemani Don Malabaar konon telah digabung menjadi sembilan belas orang, termasuk istri dan pelayan mereka. Sementara itu, keberangkatan HMS “Curacao” dijadwalkan pada 17 hingga 21 November (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 21-11-1878). Habib berangkat ke Curaçao pada tanggal 24 bulan ini (lihat Bataviaasch handelsblad, 05-12-1878).

Publik tampaknya telah dikelabui tentang keberangkatan Habib Abdul Rachman ke Mekah. Besar dugaan Habib Abdul Rachman berangkat dari Olehleh pada tanggal 4 November dengan kapal “Curacao” ke Penang. Lalu kapal “Curacao” ini kembali ke Olehleh untuk menjemput sembilan belas orang, termasuk istri dan pelayan mereka. Tanggal 4 ini merujuk pada biografi Habib Abdul Rachman yang ditulis Alexander berdasarkan catatan Habib Abdul Rachman sendiri.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Seputar Hubungan Kerajaan Turki dan Kerajaan Atjeh: Dari Masa ke Masa

Bagaimana Habib Abdul Rachman di Mekah tidak terinformasikan. Pada tahun 1883 JA Kruyt diangkat (Kembali) menjadi Konsul Jenderal Belanda di Jeddah berdasarkan Keputusan Kerajaan No. 20 tanggal 18 April, telah diakui dalam kapasitas tersebut oleh pemerintah Turki. Ini mengindikasikasi status konsulat Belanda di Jeddah telah ditingkatkan menjadi Konsul Jenderal dengan tetap JA Kruyt berkedudukan di Jeddah (lihat Nederlandsche staatscourant, 06-07-1883). Sementara itu, untuk level yang sama konsulat jenderal Turki di Batavia diakui (lihat De nieuwe vorstenlanden, 06-08-1883). Dalam fase timbal balik antara pemerintah Turki dan pemerintah (Hindia) Belanda inilah kemudian terinformasikan Dr Christiaan Snouck Hurgronje yang ahli dalam studi Islam akan berkunjung ke Arabia.


Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 16-06-1884: ‘Dr. Chr. Snouck Hurgronje, dosen di Institut Kota untuk Pelatihan Pegawai Negeri Sipil Hindia Timur di Leiden, telah berkonsultasi dengan Bapak JA Kruyt, Konsul Jenderal Belanda di Jeddah, menyusun rencana perjalanan ilmiah ke kota pelabuhan tersebut untuk mengumpulkan data guna menambah pengetahuan kita tentang Islam secara umum, khususnya tentang Islam di wilayah jajahan kita di Hindia Timur dan pengaruh ibadah haji di Mekkah terhadapnya. Penelitian ini akan sangat bermanfaat bagi mata kuliah yang beliau ajarkan. Mengingat, untuk melaksanakan rencana ini, beliau harus melakukan perjalanan ke Arab untuk jangka waktu yang cukup lama sebelum berakhirnya liburan musim panas mendatang, beliau telah meminta izin dari Dewan Kota untuk mengisi posisinya di Institut Kota selama waktu yang dibutuhkan untuk penelitian ilmiah tersebut melalui seseorang yang ditunjuk olehnya dan diberi wewenang untuk melakukannya menurut pendapat Wali Kota dan Anggota Dewan. Setelah berkonsultasi dengan Dewan Pembina Lembaga Kota, Wali Kota dan Anggota Dewan tidak berkeberatan untuk memberikan cuti abadi tersebut, dengan alasan telah terbukti bahwa pendidikan dapat disediakan secara memadai’.

Pada akhir tahun 1884 ini terinformasikan bahwa JA Kruyt akan mengakhiri tugasnya di Jeddah (lihat Nederlandsche staatscourant, 18-12-1884). Dr C Snouck Hurgronje sendiri berada di wilayah Arab antara bulan Agustus 1884 hingga bulan September 1885. Sudah barang tentu Dr C Snouck Hurgronje banyak bertemu dengan para jemaah Indonesia di Djeddah maupun di Mekkah. Bagaimana dengan Habib Abdul Rachman di Mekah?


Opregte Haarlemsche Courant, 27-11-1885: ‘Dalam Allgemeine Zeitung (sebelumnya diterbitkan di Ausburg, sekarang di München), Dr. C. Snouck Hurgronje dari Leiden menceritakan pengalamannya di Arabia, tempat ia tinggal dari Agustus 1884 hingga September 1885. Ia secara khusus menceritakan bagaimana kunjungannya di Mekkah berakhir secara tiba-tiba dan sangat tidak diinginkan, tepat ketika perayaan haji besar sedang dirayakan di sana, yang telah ia hadiri dengan penuh semangat, karena ketidaktahuan dan kecurigaan wakil konsul Prancis di Jeddah, Dr de Lostalot, ketika ia tiba di Jeddah, berita diterima bahwa cendekiawan Prancis Huber, yang sedang dalam perjalanan ilmiah ke Prancis bersama Profesor Euting, seorang pejabat Strasbourg, telah dibunuh di pedalaman. Pemerintah Prancis telah menginstruksikan Wakil Konsul de Lostalot untuk memastikan para pembunuh Dr Huber dihukum dan juga agar warisan ilmiah cendekiawan tersebut dikirim ke Prancis. Pemerintah Prancis sangat memperhatikan hal terakhir ini, karena batu bertuliskan "prasasti Teirna", yang kemudian menjadi terkenal di dunia ilmiah, konon terletak di dalam warisan tersebut. Wakil Konsul de Lostalot kemudian mencurigai Dr SH ingin mendapatkan batu itu sendiri, meskipun Dr SH telah menyatakan kepadanya secara lisan dan tertulis bahwa ia tidak ada hubungannya dengan masalah tersebut dan bahwa ia menginginkan batu itu bukan untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Terlepas dari pernyataan ini, sebuah laporan dari Dr. de Lostalot muncul di surat kabar Paris "Temps" tertanggal 5 Juli 1885, yang menyatakan bahwa Dr. S.H. telah bersekongkol dengan Profesor Euting untuk mengambil batu yang dimaksud dari Prancis. Laporan dari de Temps ini dicetak ulang di surat kabar berbahasa Arab dan Turki saat Dr. S.H. berada di Mekah. Akibatnya, ia menerima perintah dari otoritas kota suci untuk segera meninggalkan Mekah. Dr. S.H. mungkin senang lolos dengan nyawanya, karena kita tahu nasib apa yang menanti orang Frank yang mengejar tujuan selain mempelajari hukum suci di Mekah. Ketika Dr. S.H., setelah kembali ke Jeddah, berbicara kepada wakil konsul Prancis de Lostalot tentang apa yang telah terjadi, yang terakhir meminta maaf dengan alasan yang menyedihkan. Dr. S.H. berharap untuk menerbitkan kisah rinci tentang perjalanannya nanti, tetapi ia ingin membuat episode ini diketahui dunia sekarang, berbeda dengan rekayasa surat kabar Paris’. 

Dr C Snouck Hurgronje pernah selama 4 bulan di Mekkah termasuk pada saat hari raya Haji. Lantas bagaimana Dr. C Snouck Hurgronje bisa memasuki kota Mekkah? Yang membuka jalan bagi Dr. C Snouck Hurgronje memasuki Mekkah (dari Djeddah) atas inisiasi para guru agama asal Indonesia. Sebagaimana diketahui, sudah sejak lama banyak orang Indonesia yang mengajar di Mekkah. Lantas apakah Dr. C Snouck Hurgronje bertemu juga dengan Habib Abdul Rachman? Yang jelas sebagai orang Belanda Dr. C Snouck Hurgronje juga bisa berbahasa Arab; demikian juga dengan Habib Abdul Rachman sebagai orang Arab juga bisa berbahasa Belanda (plus bahasa Inggris). Habib Abdul Rachman tampaknya sudah masa lalu. Namun nama Habib Abdul Rachman kembali menjadi penting karena Johan alias HKJ van den Bussche menulis artikel berjudul Habib Abdul Rachman al Zair: Op de Reis an Atjeh naar Djiddah yang dimuat dalam jurnal Nederland, 1886 [volgno 3]. 


HKJ van den Bussche memulai karir sebagai juru tulis di Angkatan laut dan karenanya memiliki kapasitas untuk menulis artikel tersebut untuk memberi pencerahan pada narasi sejarah Habib Abdul Rachman. HKJ van den Bussche yang saat itu berpangkat Kapten dari Batalion-15 tampaknya hadir saat Habib Abdul Rachman menaiki kapal “Curacao”.  HKJ van den Bussche di dalam bukunya ditulis: “Habib Abdul Rachman mengenakan jubah hitam lebar (samaar), dihiasi sorban putih sebagai tanda kewibawaan imamatnya yang agung, dengan pedang di sisinya, pria berbahu lebar dan pendek dengan kulit gelap, mata berapi-api, dan janggut abu-abu.

Kapten HKJ van den Bussche tampaknya juga berada di kapal perang “Curacao” yang membawa Habib Abdul Rachman ke Djeddah/Mekkah. Hal ini karena HKJ van den Bussche menulis cukup rinci saat memasuki kapal maupun selama pelayaran di kapal bahkan saat sekoci di perairan Djeddah yang membawa Habib Abdul Rachman dan para pengikutnya ke darat.


Bagaimanapun informasi dari HKJ van den Bussche dan Alexander tentang Habib Abdul Rachman sangat penting. Alexander mendapatkan sebagian data dari catatan Habib Abdul Rachman sendiri di Arab; HKJ van den Bussche juga menjadi pelaku perang di Atjeh dan juga menjadi saksi mata dalam pelayaran kapal “Curacao” yang membawa Habib Abdul Rachman  ke Djeddah.  Sudah barang tentu informasi tentang Habib Abdul Rachman dapat dibaca dari berbagai surat kabar dan majalah yang memberitakan nama Habib Abdul Rachman di Atjeh selama perang. Secara khusus dalam buku HKJ van den Bussche disebut Habib Abdul Rachman pernah mengenakan jubah bersulam emasnya, yang di atasnya terpancar bintang Ordo Ottoman. Ini mengindikasikan bahwa Habib Abdul Rachman benar-benar pernah ke kraton Turki. Beberapa detail yang disampaikan Alexander bahwa pada tanggal 28 Januari 1879, Habib tiba di Mekkah dilengkapi dengan yang disampaikan HKJ van den Bussche bahwa kapal “Curacao” melepas Habib Abdul Rachman dan para pengikut di perairaan Djeddah dengan sekoci pada tanggal 29 Desember 1878. Ini mengindikasikan ada sekitar satu bulan di Djeddah sebelum melanjutnya perjalanan ke Mekkah.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar