*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Biasanya sejarah bermula, tepi kali in kita berpikir
tentang sejarah berakhir. Sangat janggal menulis narasi sejarah dengan judul
negatif seperti surat kabar berhenti terbit. Judul yang kerap dan lebih adil adalah
secara positif seperti sejarah awal terbitnya surat kabar Pikiran Rakyat
(terserah kapan berakhir). Tiga surat kabar (majalah) yang pernah saya
berlangganan di masa lalu, yang belum lama ini dikabarkan harus berhenti
terbit: Suara Pembaruan, Indo Pos dan Koran Tempo.
Berhentinya tiga surat kabar ini Suara
Pembaruan, Indo Pos dan Koran Tempo boleh kita tangisi tetapi jangan
berlebihan, Saya masih ingat wartawan Suara Pembaruan mewawancarai saya tentang
sejarah sepak bola. Bisa saja isak tangis tiga koran cetak ini menjadi kegembiraan
jika tiga surat kabar ini beralih ke surat kabar on-line. Tiga koran ini
mewakili koran-koran lain sebelumnya yang lebih dulu berhenti terbit. Entah
berapa koran lagi akan menyusul. Itu semua karena zaman baru telah mengubah
arah pembaca. Yang jelas bahwa tiga koran ini dan koran lainnya akan dikenang
sebagai bagian sejarah pers Indonesia. Saya masih ingat ketika surat kabar Suara
Pembaruan dan surat kabar Indopos terbit pertama dan kemudian berlaganan. Saya
masih ingat di tahun 1980an membeli majalah tempo (plus Intisari) bekas dengan
harga rata-rata Rp 50-Rp 200 karena mahasiswa umumnya hanya mampu baca majalah di
perpustakaan. Hingga lulus kuliah saya punya koleksi majalah Tempo hampir 800
edisi dimana ditemukan kolom Catatan Pinggir dari GM dan kolom Abdurrachman
Wahid dan Emha Ainun Najib. Tentu saja itu semua menjadi sejarah bagi saya. Secara
khusus untuk Indopos, saya masih menyimpan banyak suplemennya Indosport-nya
(bersaa Go dan Top Skor).
Artikel ini tidak berbicara tiga surat kabar yang belum
lama ini berhenti terbit, tetapi tentang surat kabar tempo doeloe yang juga
harus berhenti terbit karena berbagai sebab apakah pada era VOC, era Pemerintah
Hindia Belanda, era Pendudukan Jepang dan era Republik Indonesia. Pada era
Pemerintah Hindia Belanda satu kata ‘breidel’ menjadi kata kematian untuk suatu
koran berhenti terbit, seperti surat kabar Sianr Merdeka yang terbit di Padang
Sidempoean 1919 dan dibreidel 1922, surat kabar Bintang Timoer dan surat kabar
Fikiran Ra’jat. Tentu saja di era Republik Indonesia bagaimana surat kabar
Indonesia Raja dibreidel dan bagaima surat kabar Pikiran Rakjat tetap eksis.
Jaman breidel sudah lama berlalu, tetapi seperti tiga koran di atas berhenti
terbit secara alamiah (perubahan zaman). Untuk ntuk menambah pengetahuan dan
meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo
doeloe.