*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
Tidak ada seorang pun yang sangat peduli sejarah Jakarta, kecuali Ridwan Saidi. Upaya Ridwan Saidi untuk merekonstruksi sejarah Jakarta patut didukung. Ridwan Saidi tampaknya merasa ada yang salah atau keliru menulis narasi sejarah Jakarta dan karena itu Ridwan Saidi mulai melakukan pelurusan sejarah. Satu yang penting cara berpikir Ridwan Saidi adalah berani berpendapat, suatu yang langka selama ini tentang sejarah Jakarta.
Tidak ada seorang pun yang sangat peduli sejarah Jakarta, kecuali Ridwan Saidi. Upaya Ridwan Saidi untuk merekonstruksi sejarah Jakarta patut didukung. Ridwan Saidi tampaknya merasa ada yang salah atau keliru menulis narasi sejarah Jakarta dan karena itu Ridwan Saidi mulai melakukan pelurusan sejarah. Satu yang penting cara berpikir Ridwan Saidi adalah berani berpendapat, suatu yang langka selama ini tentang sejarah Jakarta.
Sejarah adalah sejarah, suatu
narasi fakta masa lampau. Sejarah bukan narasi yang bersifat fiksi. Narasi fiksi adalah skenario
(drama) yang tujuannya untuk membuat terhenyak atau terhibur. Kesalahan
penulisan sejarah adalah alamiah, suatu kesalahan yang bisa diperbaiki. Yang
perlu dihindari adalah pembohongan dalam narasi sejarah. Kesalahan sejarah dan
pembohongan sejarah akan sendiri akan terkoreksi sehubungan dengan tersedianya
data sejarah yang lebih lengkap dan lebih valid.
Upaya Ridwan Saidi meluruskan sejarah Jakarta
dengan rekonstruksi baru tetap kita dukung. Namun jika ditemukan terdapat kesalahan-kesalahan
dalam cara berpikir dan cara menginterpretasikan yang dilakukan oleh Ridwan
Saidi, sebagai pendapat baru harus kita kemukakan. Dengan demikian upaya yang
dilakukan Ridwan Saidi dalam membangun sejarah Jakarta yang benar menjadi lebih
kuat. Artikel ini sebagai log. Mari kita mulai dari yang ringan-ringan lebih dahulu.
Sumber
utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat
kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai
pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi
(analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua
sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya
sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di
artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan
saja*.
Gang Scott, Mookervaart....
Dalam buku Ridwan Saidi berjudul ‘Jakarta dari
Majakatera hingga VOC’ (2019) terdapat
interpretasi berbeda tentang nama Mookervaart, Schout dan Scott. Berdasarkan catatan
yang ada Mookervaart adalah kanal dari (benteng) Tangerang ke (benteng) Angke.
Kanal ini pada masa ini dikenal sebagai kali di sisi jalan Daan Mogot dari
Jakarta ke Tangerang. Kanal Mookervaart selesai dibangun pada era VOC tahun
1687 oleh Cornelis Vincent van Mook. Karena van Mook yang membuat maka para
pembuat peta menyebutnya kanal Mookervaart.
Jalan
Budi Kemuliaan di era Hindia Belanda disebut gang Scott. Nama gang (jalan
kecil) ini disebut karena dirintis oleh Mr. Scott yang menjadi tempat kediaman
dan usahanya. Gang lain yang merujuk pada nama seseorang seperti gang Holle
(tempat kediamaan KF Holle). Sebagaimana gang Scott dan gang Holle, nama jalan
Berendes Laan juga mengacu pada nama keluarga orang Eropa/Belanda (sedikit
berbeda perihal Beeren Laan yang menjadi Berlan). Sementara itu terminologi
Schout digunakan pada awal pemerintah Hindia Belanda (pasca VOC) sebagai
pemimpin Eropa/Belanda di wilayah tersebut. Semacam Sheriff di Amerika. Schout
pertama kali diperkenalkan untuk wilayah district Tangerang yang berkedudukan
di Tangerang dan district Bekasi yang berkedudukan di Bekasi. Fungsi Schout dua
macam yakni pengamanan dan pengadministrasian wilayah. Schout terkenal di
Bekasi adalah Schout Maijer yang terbunuh dalam pemberontakan 1869. Dalam
perkembangannya fungsi Schout digantikan oleh fungsi Controleur/Asisten
Residen. Lalu terminologi Schout ini fungsinya dibatasi (terbatas pada
keamanan) dan wilayahnya dipersempit di dalam wilayah-wilayah dalam kota,
seperti di Soerabaja, Semarang, onderdistrict Tanah Abang, onderdistrict Senen
dan lainnya. Schout terkenal di Tanah Abang adalah Schout Hinne yang berhasil
melumpuhkan Si Pitoeng (1893). Jadi Scott dan Schout adalah dua hal yang
berbeda.
Soal nama geografis peran pembuat peta sangatlah
minim. Mereka sangat tergantung pada data yang tersedia apakah data sekunder
(berdasarkan laporan-laporan perjalanan) atau data yang mereka kumpulkan
sendiri. Data ini tentu saja bersumber dari informan. Khusus mengenai nama
sungai adakalanya muncul dua versi. Yang pertama berdasarkan sumber dari
pedalaman (penduduk asli) dan yang kedua sumber dari lautan (pendatang).
Misalnya sungai Tjisadane adakalanya disebut sungai Tangerang; sungai Tjiliwong
disebut sungai Jacatra; sungai Tjilengsi disebut sungai Bekasi dan sungai
Tjitaroem disebut sungai Karawang.
Semua wujud
geografis sudah memiliki nama sendiri oleh penduduk asli seperti nama gunung,
nama sungai dan nama kampong. Para surveyor/pembuat peta mengacu pada nama yang
sudah ada. Sangat jarang nama asli diubah dan selalu dipertahankan karena nama
geografis adalah penanda navigasi. Sungai-sungai di wilayah West Java namanya
sudah eksis sejak lama (oleh penduduk asli). Mereka menyebutnya dengan sebutan
Tji untuk sungai. Untuk sebutan kali atau sungai adalah oleh pendatang. Oleh
karenanya adakalanya, seperti disebut di atas, sungai yang sama disebut (dipetakan)
berbeda.
Bagaimana
munculnya nama sungai secara teoritis bisa karena nama kampong menjadi nama
sungai (sungai Tangerang, sungai Bekasi dll) atau sebaliknya nama sungai
menjadi nama kampong. Penggunaan terminologi ‘tji’ diduga kuat lebih awal dari
penggunaan terminologi ‘kali’. Dalam hubungan ini jika ada nama kampong yang
menggunakan kata ‘tji’ itu berarti menunjukkan adanya sungai meski sungai
tersebut bisa saja telah hilang (karena di masa lampau ada proses kanalisasi).
Misalnya sungai Tjilandak sudah pasti ada meski belakangan hanya tinggal nama
kampong saja. Demikian juga sungai Tjimanggis meski hanya tinggal nama kampong
saja. Semua nama sungai di wilayah Soenda disebut ‘tji’.
Masih di buku yang sama, soal nama jalan selain
jalan/gang Scott ditafsirkan secara keliru, bahwa jalan Batu Tulis yang sekarang
(kecamatan Sawah Besar) adalah untuk menggantikan nama jalan Berendes. Yang
benar adalah jalan Batu Tulis sudah ada sejak lama hingga ini hari. Pasca
pengakuaan kedaulatan Indonesia oeleh Belanda, jalan Berendrecht diganti dengan
nama yang baru yakni jalan Batu Ceper. Lantas apakah yang dimaksud jalan
Berendes adalah jalan Berendrecht?
Terminologi
Berendes dalam bahasa Belada memang tidak ada. Nama Berendrecht sudah
terdeteksi tempo doeloe pada era VOC/Belanda, Berendrecht adalah nama marga Belanda.
Pada awal era Pemerintah Hindia Belanda nama Berendrecht dijadikan sebagai nama
wijk. Jalan yang berada di wijk Berendrecht ini adalah Berendrechtlaan. Nama
jalan ini diduga merujuk pada nama Berendrecht. Pada tahun 1821 tuan
Berendrecht menjual lahannya tepat berada dimana nama jalan Berendrecht
dipetakan. Boleh jadi lahan yang mana kini disebut jalan Batu Ceper awalnya
dimiliki oleh tuan Berendrecht.
Jembatan Busuk, bukan jembatan yang bau busuk
Ridwan Saidi pernah mengatakan, yang juga idem
dito dengan Alwi Shahab, bahwa nama Jembatan Busuk karena dihubungkan dengan
bau busuk. Ridwan Saidi pernah mengatakan bahwa: ‘Di kawasan Jakarta Kota ada
daerah Jembatan Busuk. Letaknya persis di depan Gang Ketapang. Disebut demikian
karena tempo doeloe kupu-kupu malam berpangkalan disekitar sini ‘menabur asmara
busuk’. Pada kesempatan lain, Ridwan Saidi pernah mendeskripsikan bahwa: ‘Perempuan penjaja
berkeliaran di sekitar Bioskop Alhambra sampai Jembatan Ciliwung (di depan
Gajah Mada Plaza sekarang). Di masa itu, penduduk menyebut kawasan itu sebagai
Jembatan Busuk lantaran bau parfum WTS yang menyengat bercampur bau keringat
selalu menyebar di malam hari’.
Alwi
Shahab bertanya dan menjawab sendiri: ‘Mengapa jembatan--yang sampai saat ini
masih kita jumpai--dinamakan 'jembatan busuk’? Penamaannya sangat terkait
dengan adanya saluran gas yang digunakan penduduk Batavia. Pabrik gas terletak
di Gang Ketapang, yang kini bernama Jalan KH Hasyim Ashari.
Entah darimana sumber kedua ahli sejarah Jakarta
ini, tak taulah. Juga tidak pernah dikatakan sejak kapan munculnya nama
jembatan itu disebut jembatan busuk. Yang jelas, nama Jembatan Busuk sudah
diinformasikan paling tidak tahun 1835 (lihat Javasche courant, 22-08-1835).
Nama jalan tersebut tetap eksis dan tidak ada masalah bagi warga. Hal ini
karena jembatan itu disebut Djambatan Boezoek. Sebab boezoek dalam bahasa
Belanda adalah mengunjungi (kini masih kerap disebut para pengunjung rumah
sakit untuk besuk). Namun boleh jadi lambat laun karena lidah orang timur
boezoek bergeser menjadi busuk. Nah, lo!
Hingga
pada tahun 1914 masih disebut Djambatan Boezoek atau Djembatab Boezoek. Dalam
hal ini, selama era kolonial Belanda Djambatan Boezoek tidak pernah disebut
atau ditulis sebagai Djembatan Busuk. Baru setelah pengakuaan kedaulatan
Indonesia (1950an) namanya mulai ada yang menulis Djambatan Boezoek dengan
Djembatan Busuk. Penulisan semacam ini boleh jadi sebagai salah satu bentuk
nasionalisasi nama-nama tempat atau nama jalan dan jembatan, tetapi keliru
dalam menerjemahkan atau melafalkannya. Sejak era pengakuan kedaulatan
Indonesia, khususnya nama-nama Eropa-Belanda telah disapu bersih dengan
nama-nama non Belanda kecuali beberapa seperti Jalan Braga dan Jalan Pasteur di
Bandung atau Jalan Multatuli di Medan. Namun di Jakarta cara menyapunya tidak
benar, masih tersisa nama Jembatan Boezoek, eh Jembatan Busuk. Nah dalam hal
ini, Ridwan Saidi dan Alwi Shawab sisa ‘kotoran’ yang tidak tersapu bersih
justru menaruhnya di bawah karpet baru. Ada-ada saja ikut menyebarkan hoaks.
menarik sekali untuk dibaca
BalasHapusElever Media Indonesia
Ridwan saidinya aja kontraversi bung, dengan pede mendeklarasikan sriwijaya adalah kerajaan fiktif.
BalasHapusItu 1 fakta peristiwa sejarah, gk bisa di selewengkan.
Jadi mikir, gimana cerita2 sejarah lain yg beliau wartakan ya, ������������
Mending cari sumber informasi, tanpa kata kunci nama beliau lah. Udh gak bener...