*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Pada masa ini begitu kuat (ambisius) di (negara) Malaysia (klaim) penyebutan nama Kepulauan Melayu (Malay Archipelago). Sebaliknya, penyebutan nama Kepulauan Indonesia di Indonesia dinyatakan biasa-biasa saja. Klaim nama Kepulauan Melayu seakan tidak ada nama Kepulauan Indonesia. Bahkan ada guru besar di Malaysia mendakwa bahwa tidak ada Bahasa Indonesia, yang ada adalah Bahasa Melayu. Bagaimana bisa begitu? Orang Indonesia maupun orang Malaysia sama-sama tidak mengetahui duduk perkara (fakta) yang sebenarnya. Mungkin pemicu perkara adalah AR Wallace.
Lantas bagaimana sejarah nama Kepulauan Indonesia lebih awal eksis bila dibandingkan dengan nama Kepulauan Melayu? Seperti disebut di atas, nama Kepulauan Melayu merujuk pada nama yang diperkenalkan AR Wallace dengan nama (baru) Malay Archipelago. Faktanya nama lama sudah ada dan sudah eksis begitu lama. Lalu bagaimana sejarah nama Kepulauan Indonesia lebih awal eksis bila dibandingkan dengan nama Kepulauan Melayu? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe..
Pahlawan Indonesia dan Nama Kepulauan Indonesia Lebih Awal Bila Banding Nama Kepulauan Melayu
Pada masa kini, terkesan para penyelidik sejarah dari (negara) Malaysia, sadar tidak sadar telah mengedepankan Semenanjung dan Melayu dalam hal apa pun. Sementara data dan fakta yang ada, sadar atau tidak sadar mereka mengabaikannya. Bahasa Melayu dianggap menyebar dari Semenanjung, fakta bahasa Melayu telah ditemukan pada prasasti Kedoekan Boekit 682 M di pantai timur Sumatra (dimana I ‘Tsing menyebut nama tempat Molayu). Bangsa Melayu tidak dianggap pendatang di Semenanjung, fakta penduduk asli Semang berada di pedalaman. Kerajaan Malaka segalanya, fakta bahwa Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Madjapahit jauh sebelum eksis Kerajaan Malaka. Banyak lagi dalam bidang yang lain (seperti penyelidikan kepurbakalaan diantaranya manusia purba di Jawa dan candi/piramida Gunung Padang) hingga isu terbaru nama Kepulauan Melayu (Malay Archipelago) sendiri.
Pada era Hindia Belanda, penyelidikan dan penemuan ilmiah terus diperbaiki. Saat itu banyak laporan-laporan (seperti antropologis) dari para pelancong yang lebih tua lambat laun menjadi sedikit atau tidak ada nilainya karena subjektivitas pengamat yang terlalu umum, yang tanpa metode penyelidikan yang pasti, sering memberikan representasi yang sangat salah tentang penduduk daerah yang jauh yang mereka kunjungi. Idem dito pada masa kini, para penyelidik sejarah dan temuannya telah banyak yang tidak berguna karena ditemukannya data dan fakta baru.
Nama Kepulauan Melayu (Malay Archipelago) di (negara) Malaysia dianggap satu-satunya terminologi terawal dan yang eksis. Fakta bahasa nama Kepulauan Melayu (Malay Archipelago) baru muncul saat mana Alfred Russel Wallace menerbitkan makalah yang kemudian diterbitkan di bawah judul buku ‘The Malay Archipelago’ yang diterbitkan di London: pada tahun 1869. Nama buku Wallace inilah yang dijadikan para penyelidik sejarah di (negara) Malaysia sebagai nama Kepualauan Melayu. Lantas apakah tidak ada nama Kepulauan Indonesia sebelum itu?
Fakta bahwa nama Hindia Timur muncul pada era Portugis untuk menamai nama asal yang sudah eksis sejak lama (paling tidak Nusantara pada era Madjapahit). Nama Hindia Timur kemudian diteruskan oleh Belanda (VOC) dengan terminologi Oost Indie[s]. Dari nama Indie[s] inilah kemudian bertransformasi menjadi nama (kepulauan) Indonesia. Tentu saja saat itu sudak eksis terminologi Melayu sebagai bahasa (lingua franca) tetapi tidak pernah disebut Kepulauan Melayu. Bahasa Melayu sendiri merujuk pada kerajaan Melayu di pantai timur Sumatra dan nama Melayu baru ditemukan dalam teks Negarakertagama (1365) pada era (kerajaan) Madjapahit. Nama Nusantara sendiri dinyatakan dalam teks Negarakertagama sebagai kawasan yang dimaksudkan untuk menggambarkan kelak Kepulauan Indonesia.
Setelah perjanjian Traktat London 1824, untuk waktu yang lama orang Belanda kemudian membedakan Land van Indie (Semenajung) menjadi British Indie (Hindia Inggris) dan Indisch Archipel sebagai Nederlandsch Indie (Hindia Belanda). Dalam perkembangannya orang-orang Belanda tidak menggunakan Bristish Indie lagi karena orang-orang Inggris di Semenanjung lebih suka menamai wilayah kawasan sebagai The Strait Settlement.
Penamaan Land van Indie untuk Semenanjung oleh orang-orang Belanda boleh jadi karena sebelum perjanjian Traktat London 1824 wilayah Malaka adalah wilayah yurisdiksi Hindia Belanda (yang dalam perjanjian 1824 dilakukan tukar guling antara Malaka dan Bengkoelen). Nama Melayu baru muncul kemudian sebagai nama yang ditambahkan pada Semenanjung, yakni Malay Peninsula (lihat Journal de La Haye, 12-04-1838). Dalam hal ini nama Melayu hanya sebatas wilayah (kawasan) Semenanjung (saja). Ini tampaknya sebagai pengganti nama Indiaa Peninsula.
Orang-orang Inggris sendiri di Singapoera telah mengakui Indisch Archipel dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Inggris sabagai Indian Arechipelago. Ini sehubungan dengan para ahli Inggris di Singapoera untuk kali pertama menerbitkan jurnal ilmiah yang diberi nama JOURNAL OF THE INDIAN ARCHIPELAGO AND EASTERN ASIA yang dicetak di London. Nama jurnal ini sering disingkat sebagai The East Indian Archipelago Journal. Jurnal ini terbit kali pertama tahun 1847.
Tidak ada angin tidak ada awan, tiba-tiba seorang peneliti Inggris Alfred Russel Wallace membuat ulah dengan menyebut judul bukunya dengan nama The Malay Archipelago yang diterbitkan Maret 1869. Nama ini dapat dikatakan mengingkari kelaziman. Sebab nama yang ada selama ini adalah Indisch Archipel (Belanda) dan belum lama ini Indian Archipelago (Inggris). Sebelumnya, seperti halnya orang Belanda telah menulis nama Oost Indie Archipela, orang-orang Inggris menerjemahkannnya dengan nama Eastern Archipelago atau Oriental Archipelago. Para pengikut nama Indian Archipelago sebelumnya antara lain John.Crawfurd (dengan bukunya History of the Indian Archipelago), CGC Reinwardt dan para sejumlah penulis Prancis.
Alfred Russel Wallace di dalam buku The Malay Archipelago mendeskripsikan banyak aspek ilmu pengetahuan seperti keragaman flora dan fauna serta keragaman budaya di Nusantara/Indisch Archipel. Russel memulai kajiannya dari Semenanjung yang menjadi wilayah yurisdiksi Inggris. Namun anehnya Russel melakukan penyelidikan ilmiah lebih banyak, lebih luas dan lebih lama selama interval waktu (1654-1862) justru di wilayah yurisdiksi Hindia Belanda seperti Jawa, Sumatera, Bali, Lombok, Borneo, Celebes, Timor, Moluccas dan Papua. Satu fakta lainnya yang juga penting adalah Russel sendiri meminta/mendapat izin melakukan penyelidikan ilmiah di wilayah Hindia Belanda justru dari Pemerintah Hindia Belanda. Nah, lho! Tentu saja dalam hal ini AE Wallace tidak jujur, fakta bahwa wilayah yurisdiksi Inggris, termasuk Semenanjung tidak memiliki wilayah kepulauan (archipel/archipelago). Wilayah Semenanjung adalah tanah daratan yang terhubung dengan benua Asia. Sepantasnya Wallace tidak membuat judul Malay Archipelago, karena faktanya adalah (yang tetap eksis) adalah Indisch Archipel. Namun, tentu saja Wallace, boleh jadi Wallace memiliki motif lain.
Nama Oost Indisch Archipel tidak hanya tetap eksis. Sementara nama Malay Archipelago semakin dikenal. Meski demikian, Indisch Archipel dan Malay Archipelago dianggap biasa-biasa saja. Boleh jadi hanya dianggap nama yang berbeda dengan cara pandang yang sama pada suatu (kawasan) yang sama. Akan tetapi pemahaman di tingkat akar rumput dalam perkembangannya diinterpretasi berbeda (bahkan hingga ini hari).
Lantas apakah ada orang-orang Belanda yang keberatan dengan judul yang diberikan Russel dengan nama Malay Archipelago? Ada, tetapi show must go on. Lambat laun orang-orang Belanda tidak memedulikannya lagi (dan lupa), tetapi nama Malay Achipelago menggelinding terus di tingkat internasional yang menjadi terminologi untuk menunjuk wilayah Nusantara (yang sebagian besar wilayah Indonesia/Hindia Belanda). Nasi sudah menjadi bubur.
Sementara buku AR Wallace menjadi buku penting yang terus dirujuk dalam dunia akademik, nama Oost Indisch Archipel tetap eksis. Nama OI Archipel bahkan telah lama dijadikan sebagai nama bidang keahlian di Universiteit te Leiden.
Sebagaimana diketahui salah satu pribumi yang lulus sarjana pada bidang tersebut di Leidem adalah Raden Mas Kartono (abang dari RA Kartini) yang lulus tahun 1900 (lihat Het vaderland, 08-03-1909). Disebutkan ujian universitas di Leiden doctotral examen in de Taal- en Letterkunde van de Oost Indisch Archipel, Raden Mas Pandji Sosro Kartono.
Sarjana-sarjana Belanda dan sarjana-sarjana pribumi (Indonesier) tetap melestrikan nomenklatur Oost Indisch Archipel. Karena nama itulah yang sesuai dan nama yang pertama muncul jauh sebelum nama Malay Archipelago muncul. Archipelago dalam bahasa Belanda ditulis Archipel (kepulauan). Indisch Archipel sudah sejak lama eksis. Seperti disebiut di atas, bahkan pada fase perjanjian Traktat London 17 Maret 1824 sangat jelas dibedakan antara Land van Indie (Tanah Semenanjung) di satu sisi dan Indisch[en] Archipel (kepulauan Hindia) di sisi lain (lihat kembali Nederlandsche staatscourant, 19-05-1824).
Tunggu deskripsi lengkapnya
Nama Kepulauan Indonesia Lebih Awal Bila Banding Nama Kepulauan Melayu: Apakah Pemicu Perkara adalah AR Wallace?
Pada masa kini, para ahli dan para peneliti di Malaysia dengan santai mengutip dan mengkampanyekan kemana-mana nama The Malay Archipelago (yang hanya merujuk pada nama buku AR Wallace). Mereka tidak lagi memperhatikan sebelum nama itu muncul sudah sejak lama eksis nama Indisch Archipel (Bahasa Belanda) atau Indian Archipelago (bahasa Inggrsi). Seperti Halnya AR Wallace, para peneliti di Malaysia tanpa merasa besalah menyatakan bahwa hanya ada Kepulauan Melayu (Malay Archipelago) dan tidak ada nama Kepulauan Indonesia (Indisch Archipel/Indian Archipelago).
Dengan mengacu pada nama Malay Archipelago, maka para peneliti di Malaysia berbicara kemana-mana. Para peneliti sejarah Malaysia dengan seenaknya menyatakan Kepulauan Melayu itu adalah Semenanjung termasuk pulau-pulau dari Madagaskar di barat hingga pulau-pulau kecil di Pasifik dan Selandia Baru yang dalam dalam hal ini termasuk Sumatra, Jawa, Borneo, Sulawesi dan Papua. Oleh karena itu karena bahasa kebangsaan Malaysia adalah Bahasa Melayu, maka bahasa Melayu termasuk bahasa Melayu di Indonesia. Anehnya pula, zaman sudah lama berubah, para peneliti di Malaysia menyebut Bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu. Lalu apakah negara Malaysia yang berpusat di Semenajung juga akan mengatakan negara Malaysia juga termasuk (negara) Indonesia? Oalah!
Baru-baru
ini PM Malaysia mengajak Presiden Indonesia (Joko Widodo) agar bahasa Melayu
(yang notabe bahasa kebangsaan negara Malaysia) dijadikan sebagai bahasa rasmi kedua ASEAN. Akan tetapi dengan tegas para
peneliti dan ahli Indonesia menjawab: Tidak bisa!. Yang akan dijadikan
sebaiknya Bahasa Indonesia. Nah. lho! Juga belum lama ini ada guru besar di
Malaysia dengan pede menyatakan bahwa tidak ada Bahasa Indonesia, yang ada
adalah Bahasa Melayu. Pie, to! Apakah para sarjana di Malaysia tidak mengetahuai ikrar Bahasa Indonesia tahun 1928 dan nama Bahasa Indonesia dinyatakan dalam UUD RI tahun 1945? Bukankah soal ilmu pengetahuan tidak hanya soal kejujuran ilmiah tetapi juga luasnya pengetahuan yang dimiliki.
Kini, daftar semakin panjang. Beberapa waktu yang lalu juga dari Malaysia ada klaim bahwa tari Tortor dan perkusi Gondang Sambilan adalah warisan Malaysia; rendang adalah warisan budaya Malaysia; tari piring, tari Pended, lagu Rasa Sayange, reog Ponorogo, batik, keris dan sebagainya. Belum lama ini juga ada yang mengklaim candi Borobudur, candi/piramida Gunung Padang adalah warisan Melayu (Malaysia). Ini ibarat pepatah ‘Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri’.
Pada masa ini dunia internasional tidak mau terjebak dengan motif Wallace. Cukup sudah. Cukup terminologi The Malay Archipelago. Para penutur bahasa asing sekarang mengetahui persis ada perbedaan yang signifikan antara Bahasa Melayu dengan Bahasa Indonesia. Namun mereka mengetahui bahwa Bahasa Indonesia berakar dari Bahasa Melayu. Akan tetap Bahasa Indonesia kini sudah bercabang beranting. Oleh karena itu, para penutur bahasa asing untuk menjaga jarak aman lebih kerap mereka menyebut BAHASA untuk menyatakan Bahasa Indonesia. Boleh jadi dengan yang dimaksudkan dengan BAHASA, itu termasuk Bahasa Melayu. Namun kini peminat Bahasa Indonesia semakin hari semakin banyak di seluruh muka bumi. Dengan mengikuti (sistem) algoritma nama BAHASA akan segera disempurnakan menjadi Bahasa Indonesia (contoh yang terbaru adalah Netlix yang menggunakan Bahasa Indonesia).
Orang Inggris berbeda dengan orang Belanda, orang Malaysia berbeda dengan orang Indonesia. Orang Malaysia seharusnya tidak mengikuti orang Inggris, Tapi fakta sebaliknya. Orang Malaysia mengikuti Orang Inggris. Akibatnya yang timbul adalah permasalahan di Malaysia? Malaysia adalah sebuah negara seperti halnya negara Indonesia. Lalu apakah orang Malaysia dapat mengatakan bangsa Melayu atau bangsa Malaysia? Yang jelas di Indonesia: Satu Tanah Air, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa—Indonesia. Biarlah Malaysia dengan pilihan sendiri, biarkan pula Indonesia dengan caranya sendiri.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar