Senin, 04 November 2024

Sejarah Bahasa Indonesia (5): Nama Bahasa Melayu Awalnya Bernama Bahasa Jawi; Mengapa Diganti - Dipilih Nama Melayu?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bahasa Indonesia di blog ini Klik Disini

Aksara Batak bahasa Batak, aksara Jawa bahasa Jawa. Aksara adalah satu hal, bahasa adalah hal lain. Aksara Jawi adalah aksara Arab gundul. Apakah ada bahasa Jawi? Sebelum disebut sebagai bahasa Melayu, namanya disebut bahasa Jawi. Mengapa nama bahasa Jawi diganti menjadi bahasa Melayu?  

 

Jawi dalam bahasa Aceh: Jawoë; Kelantan-Pattani: Yawi; bahasa Melayu: Jawi adalah sistem penulisan digunakan menulis beberapa bahasa di Asia Tenggara, seperti bahasa Aceh, Magindanawn, Melayu, Mëranaw, Minangkabau, Tausūg dan Ternate. Aksara Jawi didasarkan aksara Arab, terdiri 31 aksara Arab asli, enam aksara yang dibangun agar sesuai dengan fonem asli bahasa Melayu, dan satu fonem tambahan yang digunakan dalam kata serapan asing, tetapi tidak ditemukan dalam bahasa Arab Klasik, yaitu cam, nga, pa, ga, va, dan nya. Aksara Jawi dikembangkan selama kedatangan Islam di Asia Tenggara, menggantikan aksara Brahmik yang digunakan selama era Hindu-Buddha. Bukti tertua tulisan Jawi ditemukan pada Prasasti Terengganu abad ke-14, sebuah teks dalam Bahasa Melayu Klasik mengandung campuran kosakata Bahasa Melayu, Bahasa Sansekerta dan Bahasa Arab. Teori populer menyatakan bahwa sistem ini dikembangkan dan diturunkan langsung dari aksara Arab, sementara para sarjana seperti RO Windstedt menyatakan bahwa sistem ini dikembangkan dengan pengaruh aksara Persia-Arab. Hingga abad ke-20, aksara Jawi merupakan aksara standar dalam bahasa Melayu (Wikipedia) 

Lantas bagaimana sejarah nama bahasa Melayu awalnya bernama bahasa Jawi? Seperti disebut di atas sebelum disebut sebagai bahasa Melayu, namanya disebut bahasa Jawi. Mengapa nama bahasa Jawi diganti menjadi bahasa Melayu? Siapa yang memberi nama bahasa Melayu? Lalus bagaimana sejarah nama bahasa Melayu awalnya bernama bahasa Jawi? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

Nama Bahasa Melayu Awalnya Bernama Bahasa Jawi; Mengapa Diganti dan Dipilih Nama Melayu?

Pada saat pelayaran pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman (1595-1597) membawa kamus kecil (yang beredar di Eropa) yang diduga hasil kompilasi pelaut-pelaut Portugis dan Spanyol selama ini. Kamus kecil itu kemudian diperkaya di Madagaskar oleh Frederik de Houtman yang menjadi pedoman menuju Hindia Timur.


Pelayaran pertama Belanda yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman cukup lama di Madagaskar. Tujunan singgah di pulau itu untuk istirahat, perbaikan kapal, pembekalan logistic untuk menembus lautan India yang sangat luas menuju Sumatra. Selama enam bulan di Madagaskar, Frederik de Houtman melakukan studi bahasa di Madagaskar. Fakta bahwa ada kemiripan bahasa di Hindia Timur dengan bahasa yang digunakan di bagian timur pulau Madagaskar. Kamus kecil yang akan digunakan di Hindia Timur yang diperkaya, dan kamus bahasa Madagaskar menjadi bagian dari laporan pelayaran Cornelis de Houtman

Dalam laporan Cornelis de Houtman (1597) inilah dapat dibaca kamus kecil bahasa yang digunakan di Hindia Timur dan bahasa yang digunakan di Madagaskar. Dalam laporan yang digunakan di Hindia Timur ini disebut bahasa Melayu. Besar dugaan penyebutan bahasa Melayu pertama kali yang terinformasikan dalam literatur Eropa. Lantas sejak kapan nama bahasa disebut bahasa Melayu? Yang jelas, sudah barang tentu pelaut-pelaut di Eropa, dalam hal ini Belanda, sudah mengetahui keberadaan (penyebutan nama) bahasa Melayu.


Pada pelayaran kedua Belanda tahun 1598 yang dipimpim Admiraal Jakob Cornelisz van Nek dan viceadmiraal Wybrand van Warwyk sudah barang tentu membawa kamus bahasa Melayu Frederik de Houtman. Admiraal Jakob Cornelisz van Nek dan viceadmiraal Wybrand van Warwyk di Ternate disebutkan menambahkan kosa kata pada dua buku kamus kecil yakni bahasa Jawa dan bahasa Melayu. Besar dugaan kamus kecil bahasa Jawa ini awalnya bersumber dari pelayaran pertama Belanda. Lalu kemudian, Cornelis de Houtman kembali memimpin ekspedisi Belanda ke Hindia Timur tahun 1599. Namun Cornelis de Houtman terbunuh di Atjeh tahun 1600. Sementara Fredrik de Houtman tertangkap dan dipenjara di Atjeh dan baru dibebaskan tahun 1602. Selama di Atjeh ini Frederik de Houtman memperkaya kamusnya dan kemudian pada tahun 1603 diterbitkan di Amsterdam. Mengapa kamus orang Portugis tidak terinformasikan?

Kamus bahasa Melayu yang disusun Frederik de Houtman (1603) dapat dikatakan kamus pertama yang diterbitkan di Eropa. Kamus ini kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman (dan kemudian bahasa Inggris). Sementara itu ekspedisi-ekspedisi Belanda ke Hindia Timur semakin intens, dan kekuatan armada Belanda semakin kuat yang kemudian menyebabkan Portugis terusir oleh Belanda di Amboina tahun 1605, di Timor tahun 1613, di Sunda Kalapa 1618 dan di Malaka tahun 1641.


Dalam fase peningkatan awal kekuatan Belanda di Hindia Timur, kamus bahasa Melayu terus dikembangkan yang mengacu pada kamus yang disusun Fredrik de Houtman. Pada tahun 1608 kamus yang disusun Cornelis Claasz diterbitkan di Amsterdam; lalu kemudian kamus yang disusun Michiel Colyn ditebitkan tahun 1619 (tahun dimana pos perdagangan Belanda/VOC direlokasi dari Amboina ke Batavia); selanjutnya kamus yang disusun Michiel Colyn ditebitkan kembali pada tahun 1644 (tiga tahun setelah Belanda/VOC menguasai Melaka). Pada tahun 1648 VOC/Belanda menerbitkan kamus yang diterbitkan di Amsterdam yang disusun oleh Jooft Hartgers.

Apa yang menarik diperhatikan sejauh ini adalah bahwa yang berperan dalam pembentukan/terbentuknya kamus bahasa Melayu sejak awal adalah orang Belanda. Tidak ada kontribusi orang Portugis dalam terbentuknya kamus bahasa Melayu. Kedudukan (kota) Malaka dalam pengumpulan kosa kata dalam bahasa Melayu nyaris tidak ada. Justru kota-kota yang menjadi sumber awal bahasa dalam terbentuknya kamus bahasa Melayu adalah Banten, Atjeh, Bali, Koepang, Ambon dan Batavia serta lainnya. Dalam hal ini pula (selama era VOC), tidak ada hubungan bahasa Melayu yang digunakan di Riau dan Johor dalam pembentukan bahasa Melayu oleh orang-orang Belanda. Mengapa bisa demikian?


Seperti disebut pada artikel-artikel sebelum ini, keberadaan bahasa mirip bahasa Melayu (meski yang sebenarnya bahasa mirip bahasa Batak) yang pertama ditemukan di dalam prasasti-prasasti di pantai timur Sumatra yang berasal dari abad ke-7. Pada abad ke-14 ditemukan prasasti Trenggano dan teks Tandjoeng Tanaah di Kerinci yang dapat dikatakan bahasa yang digunakan mirip bahasa Melayu. Pada tahun 1519-1521 Antonio Pigafetta menyusun kamus kecil di Ternate. Kamus ini kemudian disandingkan Pigafetta dengan kamus kecil yang dikumpulkan pelaut-pelaut lainnya di Malaka. Kamus Ternate/Maluku ini jauh lebih banyak dari kamus Malaka. Kedua kamus itu (Maluku/Ternate dan Malaka) berisi daftar kosa kata yang mirip bahasa Melayu. Kamus yang lebih baik baru ditemukan sejak kehadiran pertama pelaut-pelaut Belanda dimana pertama kali kamus berbahasa Melayu yang disusun Frederik de Houtman diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1603. Kamus inilah yang kemudian menjadi rujukan dari kamus-kamus selanjutnya yang digunakan di Belanda dan di Hindia Timur (baca: wilayah Indonesia yang sekarang).

Diantara orang-orang Belanda selama era VOC juga ada kontribusi dari para misionaris di Melaku. Para misionaris ini juga mengembangkan kamus sendiri untuk keperluan zending dimana para misionaris yang setiapsaaynya berinteraksi dan berkomunikasi dengan penduduk. Salah satu misionaris di Maluku yang menyusun kamus bahasa Melayu adalah Sebastiaan Danckaerts dan D Casparum Wiltens.


Beberapa karya Sebastiaan Danckaerts adalah (1) Historisch ende grondich verhael, vanden standt des Christendoms int quartier van Amboina, mitsgaders vande hoope ende apparentie eenigher reformatie ende beternisse van dien. 1621. Gravenhaag; (2) Grammaticale observation. 1623; (3) Eertyts ten deele ghecompaneert by Caspar Wiltens: ende namaels oversien, vermeerdert, ende uytgegeven door Sebastianus Danckaerts (S: Gravenhaghe 1623); (4) Vocabularium ofte Woortboeck, naer ordre van den Alphabet, int ' t Duytsch-Maleysch, ende Maleysch-Duytsch. 1628.

Sebastiaan Danckaerts adalah orang Belanda yang mulai secara intens tentang tatabahasa bahasa Melayu. Sementara kamus Frederik de Houtman masih beredar, penulis-penulis bahasa Melayu setelah Sebastiaan Danckaerts adalah Johannes Roman. Karya Johannes Roman berjudul Kort Bericht van de Maleysche letter-konst diterbitkan oleh Joan Blaev pada tahun 1655. Karya keduanya yang terkenal berjudul Grondt ofte Kort bericht van de Maleysche tale, vervat in twee deelen yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1674.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Mengapa Diganti dan Dipilih Nama Melayu? Aksara Batak Bahasa Batak, Aksara Jawa Bahasa Jawa

Setelah sekian lama kamus bahasa Melayu disusun oleh orang-orang Belanda, George Henric Werndly mulai menulis sejarah bahasa Melayu itu sendiri. Sejarah bahasa Melayu karya George Henric Werndly ditempatkan di bagian pertama bukunya berjudul Maleische spraakkunst: uit de eigen geschriften d. Maleiers opgemaakt, m. inleiding en twee boekzalen v. boeken in deze tale zo van Europëers als v. Maleiers geschreven yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1736.


Kehadiran George Henric Werndly di Hindia Timur awalnya sebagai ahli bahasa-bahasa timur termasuk bahasa Arab. Pada saat kehadirannya di Hindia Timur, sudah banyak pejabat-pejabat VOC yang menulis. Dalam perkembangannya orang-orang Eropa yang memiliki kemampuan menulis dipekerjakan oleh VOC untuk membantu mereka dalam berbagai bidang seperti botani. Geografi dan linguistik. Georg Eberhard Rumpf (1627-1702) adalah seorang Jerman yang bekerja untuk VOC dalam penulis botani di Hindia Timur. Salah satu karya terkenal Georg Eberhard Rumpf yang berkedudukan di Ambon adalah Herbarium Amboinense. Setelah Georg Eberhard Rumpf meninggal buku tujuh kilid itu diteruskan oleh St Martin di Batavia, seorang petinggi militer VOC (berpangkat Majoor) yang memiliki keahlian bahasa-bahasa pribumi dan memiliki minat yang tinggi dalam bidang pertanian. Setelah St Martin, buku Herbarium Amboinense.yang dirintis Georg Eberhard Rumpf kemudian diteruskan Cornelis Chastelein di Depok (meninggal di Depok tahun 1714). François Valentijn di Amboina, seorang misionaris pada akhirnya tertarik menulis sejarah Hindia Timur berdasarkan dokumen VOC yang diperkaya dengan literatur berasal dari Portugis. Buku François Valentijn yang terkenal berjudul Oud en Nieuw Oost-Indiën diterbitkan di Amsterdam pada tahun 1726. Dalam hubungan inilah kemudian muncul nama George Henric Werndly seorang Swiss yang awalnya bekerja untuk VOC, kemudian bekerja untuk zending. George Henric Werndly akhirnya diketahui menerjemahkan kitab suci Injil untuk kebutuhan para pendeta/misionaris.

George Henric Werndly menyatakan di dalam bukunya bahwa bahasa Melayu awalnya bernama bahasa Jawi. Sebagaimana diketahui bahasa Melayu umumnya beraksara Jawi. Lantas mengapa nama aksaranya tetap sebagai aksara Jawi sementara nama bahasanya disebut bahasa Melayu?


Wikipedia: Kata Jawi merupakan kependekan dari istilah dalam bahasa Arab Al-Jaza'ir Al-Jawi (Kepulauan Jawa) itulah istilah yang digunakan orang Arab untuk Nusantara. Kata Jawi merupakan kata serapan dari bahasa Jawa yang Jawi yang merupakan kata Krama dalam bahasa Jawa untuk menyebut Pulau Jawa atau masyarakat Jawa. Menurut Kamus Dewan, Jawi adalah istilah sinonim untuk Melayu. Istilah ini telah digunakan secara bergantian dengan 'Melayu'. Frasa Tulisan Jawi yang berarti ' aksara Jawi ' adalah turunan lain yang mengandung arti 'aksara Melayu'.

Dalam hubungan ini, pada masa ini orang Malaysia terkesan ingin memaksakan nama Bahasa Indonesia sebagai bahasa Melayu. Mereka berdalih karena Bahasa Indonesia belum wujud sebelum tahun 1928, nama yang ada adalah bahasa Melayu. Lantas bagaimana dengan nama bahasa Melayu sendiri? Seperti disebut di atas, awalnya disebut bahasa Jawi kemudian nama bahasa itu berubah menjadi bahasa Melayu. Dan harus dicatat disini bahwa nama bahasa Jawi merujuk pada nama Jawa, nama yang dieja orang Arab sebagai Jawi.


Sulalatu'l-Salatin atau Sulalatus Salatin artinya Hikayat Segala Raja-Raja yang dutulus dalam bahasa Jawi dengan menggunakan aksara Jawi. Hikayat ini disalin dengan berbagai versi diantaranya oleh Raffles berdasarkan terjemahan yang dilakukan oleh John Leyden dalam bahasa Inggris tahun 1821 dengan judul Malay Annals. Versi lainnya oleh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi tahun 1831. Versi Raffles 18 diterbitkan kembali oleh Richard Olaf Winstedt tahun 1938. Pemberian judul Malay Annal ini kemudian diterjemahkan dengan judul Sejarah Melayu. Namun penulis-penulis Belanda tetap dengan nama aslinya Sulalatu'l-Salatin. Lantas mengapa judul Sulalatu'l-Salatin diganti dengan nama Malay Annals? Boleh jadi Thomas Stamford Raffles terpengaruh dari judul buku     

George Henric Werndly dalam bukunya berjudul Maleische Spraakkunst yang diterbitkan di Amsterdam oleh penerbit E Maatſchappye tahun 1736 menyebutkan bahasa Djawij (bahasa Jawi) menjadi bahasa Malajuw (bahasa Melayu). George Henric Werndly menyatakan dalam buku Sulaletu-‘lsalathin (Sulalatu'l-Salatin) tidak ada pernyataan sebutan bahasa Malayu. Yang ada adaalah Awrang Malajuw. Dalam versi Thomas Stamford Raffles disebutkan buku Sulalatu'l-Salatin ditulis tahun 1612.


George Henric Werndly mencatat bahwa yang pertama nama bahasa Djawij yang merupakan kata Djawij dalam bahasa Arab/Persia ditemukan dalam buku berjudul Mira’atu-‘l,muk’min. Buku ini ditulis pada tahun 1601 berbahasa Jawi dengan menggunakan aksara Jawi (Arab gundul). Lalu sejak kapan nama bahasa Djawi disebut bahasa Melayu. Satu yang jelas dalam buku Sulaletu-‘lsalathin (Sulalatu'l-Salatin) yang ditulis tahun tahun 1612 tidak ditemukan sebutan bahasa Melayu. Bagaimana disebut bahasa Djawi? Dalam buku Gargias ab Orta berjudul Historie van de Speceryen (History of the Species) buku 1 bab 5, kemenyan dalam bahasa Melayu disebut komminjang dan dalam bahasa Arab disebut luban Djawij. 

Sebutan bahasa Djawi ini, menurut George Henric Werndly adalah bahasa yang digunakan secara umum atau bahasa ibu dari Tanah Melayu, tepatnya di pulau Sumatera, begitu kami menyebutnya disebut 'Indalus' oleh penduduk asli sendiri dan kemudian di setengah Semenanjung Malaka.


Dalam buku François Valentyn, benzoin adalah mata dagangan di Jawa yang berasal dari Sumatra. Orang Arab menyebutnya ‘dupa Sumatra’ dan juga dengan sebutan ‘lubaan Djawi’, sementara di Jawa disebut kemenyan. Sedangkan orang Yunani dan Afrika menyebutnya dengan nama ‘beensjawi’; orang Portugis menyebutnya dengan nama benzawi, lalu di Eropa menjadi ‘benzoin’. Catatan: Habitat kemenyan hanya ditemukan di pantai barat Sumatra, antara Air Bangis dan Singkil. Orang Batak di Tanah Batak (antara Air Bangis dan Singkil) menyebutnya sebagai ‘haminjon’. Nama ini diduga kuat menjadi komminjang dalam bahasa Melayu dan kemenyan dalam bahasa Jawa. Yang perlu diperhatikan disini adalah nama asli kemenyan oleh penduduk asli (Batak) disebut haminjon, sementara nama di Eropa adalah benzoin, yang merujuk pada sebutan orang Arab sebagai lubaan Djawi. Sebutan Djawi bagi orang Arab dalam hal ini adalah pulau Sumatra (bagian utara) tepatnya di Tanah Batak. Sedangkan Djawi sendiri berasal dari nama Djawa. Ini mengindikasikam sejak awal orang Arab menyebut Sumatra sebagai Djawi. Oleh karena itu sangat masuk akal bagi orang Arab, bahasa yang digunakan di wilayah pesisir adalah bahasa Djawi (tepatnya bahasa di Sumatra). 

Dalam penyebutan nama bahasa sebagai bahasa Djawi di satu sisi, dan kemudian sebagai bahasa Melayu di sisi lain yang tetap menyisakan pertanyaan adalah sejak kapan disebut bahasa Djawi dan sejak kapan disebut bahasa Melayu (menggantikan nama bahasa Djawi)? Yang jelas aksara yang digunakan dalam bahasa Melayu adalah aksara Djawi.


Penamaan orang Arab/Persia sebagai bahasa/aksara Djawi diduga sudah lama. Sejak kehadiran Hindu di Sumatra, nama pulau disebut Yawa Dwipa. Ptolomeus pada abad ke-2 menyebut sebagai Jabadiu (Iabadiu) sebagai pulau yang sangat subur, menghasilkan banyak emas dan di sebelah barat berbatasan dengan kota-kota utama, terutama Argyra. Dari nama Yawa Dwipa dan kemudian Jabadiu (Iabadiu) dan orang Arab menyebutnya Djawi (Ya-wa-dwi-pa dan Ja-ba-di-u)

Nama bahasa disebut bahasa Djawi diduga sudah sangat tua, dan nama bahasa Melayu (sebagai pengganti nama bahasa Djawi) masih terbilang baru. Meski terbilang baru, namun dalam buku Sulaletu-‘lsalathin (Sulalatu'l-Salatin) yang ditulis tahun tahun 1612 belum/tidak ditemukan nama bahasa Melayu. Yang ada adalah sebutan ‘Awrang Malajuw’. Dari adanya sebutan Awrang Malajuw yang menggunakan bahasa Djawi ini kemudian disebut bahasa Melayu? Lalu sejak kapan nama bahasa Djawi ini disebut/dicatat sebagai bahasa Melayu? Seperti disebut di atas, catatan pertama sebutan bahasa Melayu ditemukan dalam kamus kecil yang disusun oleh Frederik de Houtman yang kemudian diterbitkan pada tahun 1603. Lalu dari mana atau dari siapa pelaut-pelaut Belanda pertama ini mengetahui suatu bahasa disebut bahasa Melayu?


Frederik de Houtman di Madagaskar, selain mengumpulkan kosa kata bahasa untuk memperkaya kamus yang dibawanya dari Eropa, juga, sengaja atau tidak sengaja mengumpulkan kosa kata bahasa yang digunakan di Madagaskar. Dari sinilah diketahui bahasa Malagasi ada juga kemiripannya dengan bahasa Melayu. Dalam catatan Frederik de Houtman yang menjadi bagian laporan Cornelis de Houtman nama bahasa Melayu disebut di atas daftar kosa kata bahasa Melayu dan nama bahasa Malagasi di atas daftar kosa kata bahasa Malagasi. Adanya kemiripan bahasa inilah yang kemudian dihubungkan ada kaitan kelompok populasi di Madagaskar dengan kelompok-kelompok populasi di Hindia Timur. Hal itu terjadi karena dihubungkan dengan navigasi pelayaran jauh sebelumnya, antara Hindia Timur dengan Eropa/Laut Mediterania via Madagaskar/Afrika Selatan dan sebaliknya. Seperti disebut di atas, dalam buku berjudul Mira’atu-‘l,muk’min (1601) dan buku Sulaletu-‘lsalathin (1612) tidak ditemukan sebutan bahasa Melayu. Dalam buku Mira’atu-‘l,muk’min hanya disebut bahasa Djawi dan dalam buku Sulaletu-‘lsalathin hanya ada ditemukan sebutan ‘awrang Malajuw’. Dalam kamus kecil yang disusun Pigafetta tahun 1519-1521 tidak menyebut bahasa Melayu untuk kosa kata yang digunakan di Maluku maupun di Malaka. Dalam laporan-laporan Portugis sejauh ini tidak terinformasikan sebutan bahasa Melayu. Sebutan nama bahasa Melayu baru ditemukan dalam ekspedisi pertama Belanda (1595-1597) di dalam kamus kecil yang disusun Frederik de Houtman.

Nama Djawi sudah lama dikenal sebagai sebutan orang Arab untuk pulau Sumatra penghasil kemenyan. Orang Arab/Persia adalah yang diduga memperkenalkan aksara Arab gundul yang kemudian disebut aksara Djawi. Bahasa yang digunakan di pesisir pulau Sumatra dalam aksara Djawi ini kemudian disebut bahasa Djawi. Pelaut Spanyol, Pigafetta tahun 1519-1521 hanya menyebut bahasa digunakan di Maluku dan bahasa digunakan di Malaka. Besar dugaan orang Eropa/Belanda adalah yang pertama menyebut bahasa Djawi tersebut sebagai bahasa Malajuw. Dari sinilah nama bahasa Melayu dikenal, bahasa yang mirip yang dicatat Pigafetta di Maluku dan di Malaka dan yang dicatat Frederik de Houtman di Madagaskar.


George Henric Werndly dalam bukunya berjudul Maleische Spraakkunst yang diterbitkan di Amsterdam oleh penerbit E Maatſchappye tahun 1736 menyusan kronologi sejarah di sekitar pantai timur Sumatra yang dikaitkan dengan (kerajaan) Palembang, tokoh Lebar Daun, keberadaan di Tumasik dan era Majapahit (dimana disebut nama-nama Kedah, Trrengganu.Pahang, Muar dan lainya) serata terbentuknya Malaka. Dalam konteks inilh kemudian identifikasi kelompok penduduk di Semenanjung (Tanah Melayu) seperti orang Melayu Kedah, orang Melayu Pahang dan sebagainya. Lalu dalam perkembangannya akumulasi tersebuy menjadi nama umum Orang Malajuw. Nama Malayu dari Sumatra ini yang juga digunakan di Semenanjung, menjadi nama bahasa Melayu, sebagai pengganti penyebutan bahasa Djawi. Dalam hal ini orang Belanda menyebut bahasa Orang Malayu menjadi Bahasa Melayu.

Lantas mengapa nama aksara Djawi tetap disebut sebagai aksara Djawi, sementara nama bahasa Djawi sudah menjadi umum disebut bahasa Melayu? Perubahan nama bahasa Djawi menjadi nama bahasa Melayu tidak seketika, tetapi dipahami secara perlahan.


George Henric Werndly mengutip Lambert ten Kate yang menggolongkan bahasa Melayu menjadi tiga: (1) yang dibanggakan atau diagungkan; (2) yang bermartabat atau megah; dan (3) yang umum. Sedangkan George Henric Werndly sendiri membagi bahasa Melayu tersebut (terpecah belah) menjadi lima: (1) bahasa Djawi (sebagai bahasa terawal) yang dihubungkan dengan keagamaan dan kemudian menjadi bahasa umum; (2) bahasa dalam yang dicirikan seperti kalimat Sultan ada santap yang kemudian menjadi umum Awrang ada makan, Sultan sudah mangkat, Awrang sudah mati; (3) bahasa bangsawan, yaitu bahasa yang agung dan mulia yang teridentifikasi sebagai bahasa kebanggaan, kesopanan berbicara yang lebih unggul dari masyarakat biasa; (4) bahasa gunong/gunung yang bahasa bahasa masyaratkat pegunungan atau masyarakat petani yang dibedakan dengan bahasa orang di kota-kota; (5) bahasa katjokan, yang lebih tepat disebut bahasa campuran yang terus berlanjut yang dipahami sebagai bahasa sehari-hari atau bahasa jalanan yang kemudian juga disebut bahasa bazar/bahasa pasar.

Proses terbentuknya bahasa Djawi secara empiris dimulai dari penggunaan bahasa Melayu dalam hubungannya dengan keagamaan dan introduksi aksara Djawi yang kemudian bahasa Melayu itu disebut bahasa Djawi. Pada fase inilah banyak kosa kata Arab/Persia masuk ke dalam bahasa Melayu yang dimulai dari era Samudra Pasai dan Perlak. Seperti disebut pada artikel sebelumnya teks tertulis tertua bahasa mirip bahasa Melayu dengan menggunakan aksara Djawi ditemukan dalam prasasti Trenggano (bandingkan dengan teks tertulis yang masih Hindoe/Boedha yang ditemukan dalam teks Tandjoeng Tanah, Kerintji.


Keberadaan nama-nama tempat di pantai timur Sumatra seperti Samudara, Perlak dan Pasai ditemukn dalam laporan-laporan orang Eropa seperti Marco Polo dan Nicolo Conti. Pada era ini Samudra dan Perlak masing-masing adalah suatu kerajaan (Islam) di jaman itu. Isi teks prasasti Trenggano mengindikasikan suatu penaklukan di wilayah tersebut dengan diberlakukan peraturan/hukum Islam yang berlaku.  

Selama era kerajaan Malaka di pantai barat Semenanjung tidak ditemukan teks yang mengindikasikan bahasa Melayu maupun teks yang menggunakan aksara Djawi (Malaka ditaklukkan dan diduduki Portugis sejak 1511). Teks-teks berbahasa Melayu dengan menggunakan aksara Djawi di wilayah Semenanjung (Djohor dan Riau) baru ditemukan pada awal abad ke-17 seperti Sulaletu-‘lsalathin (Sulalatu'l-Salatin) yang ditulis pada tahun 1612 (yang mana dalam buku berjudul Mira’atu-‘l,muk’min yang ditulis tahun 1601 disebut adanya bahasa Djawi).


Pada fase ini orang Belanda sudah hadir di Hindia Timur. Dalam perkembangannya kemudian VOC/Belanda mengusir Portugis dari Malaka pada tahun 1641. Dalam fase ini nama bahasa masih disebut sebagai bahasa Djawi. Penamaan bahasa Djawi menjadi bahasa Melayu baru terjadi sesudahnya. Dalam hal inilah buku Lambert ten Kate dan buku George Henric Werndly menjadi penting soal penamaan bahasa Melayu.

Pada era VOC/Belanda Lambert ten Kate (tanpa tahun) dan George Henric Werndly (1736) telah mengidentifikasi bahasa yang digunakan, bahasa mirip bahasa Melayu. Berdasarkan penggolongam George Henric Werndly terhadap bahasa mirip bahasa Melayu adalah yang pertama bahasa Djawi dan yang kelima adalah bahasa Katjokan alias bahasa pasar.


Dalam hal ini bahasa Djawi adalah pengidentifikasian yang pertama terhadap bahasa yang mirip bahasa Melayu yang digunakan. Salah satu pengidentifikasian bahasa Bangsawan adalah ditemukannya gurindam (nama gurindam sebagai Gerandam atau Kirrendum ditemukan dalam buku Frabcois Valentijn yang diterbitkan di Amsterdam tahun 1726). Sedangkan, dalam perkembangannya bahasa Katjokan, bahasa campuran yang juga dikenal bahasa pasar jauh lebih meluas dan berkembang jika dibandingkan bahasa Djawi atau jenis bahasa lainnya seperi bahasa bangsawan (perlu dicatat Frederik de Houtman pada tahun 1596 sudah menyebut bahasa Melayu).

Bahasa (Melayu) Katjokan atau bahasa Melayu Pasar sudah sangat menyebar pada era VOC/Belanda di wilayah non Melayu seperti di kota-kota pelabuhan seperti Atjeh, Banten, Batavia, Semarang, Soerabaja, Bandjarmasin, Palembang, Koepang, Ambon dan Ternate dan Tidore serta Makassar. Sementara itu bahasa Djawi, bahasa Bangsawan, bahasa dalam dan bahasa gunong berkemnbang dengan sendiri dan terlestari di wilayah Melayu. Bahasa Melayu pasar ini sudah barang tentu tidak terkait langsung dengan bahasa di Malaka atau kota-kota pelabuhan di Semenanjung maupun di Riau. Bahasa Melayu pasar berkembang pula dengan sendirinya di Hindia Timur/Hindia Belanda.


Bahasa Melayu pasar di Hindia Belanda dapat dibedakan antara lain bahasa Melayu orang Cina, bahasa Melayu di dalam pendidikan pribumi dan bahasa Melayu dalam pers. Seperti kita lihat nanti bahasa (Melayu) pasar inilah yang kemudian di Hindia Belanda diberi nama Bahasa Indonesia. Oleh karena di wilayah Hindia, wilayah non Melayu, tidak begitu dikenal bahasa Djawi. Sebab bahasa Djawi adalah sebutan awal bahasa Melayu di wilayah Melayu (yang populasinya beragama Islam). Hanya sebutan aksata Djawi yang dikenal di wilayah non Melayu (yang beragama Islam).

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar