Jumat, 02 Mei 2025

Sejarah Pendidikan (17): RA Kartini, Hari Kartini, Bagaimana dengan Hari Kartono? Habis Hari Gelap Terbitlah Hari Terang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Pendidikan dalam blog ini Klik Disini

Dalam rangka peringatan Hari Pendidikan Nasional hari ini, beberapa dekade yang lalu pada tanggal 2 Mei 1964 ditetapkan Raden Ajeng Kartini (RA Kartini) sebagai pahlawan nasional dan tanggal lahirnya ditetapkan sebagai Hari Kartini. RA Kartini lahir 21 April 1879. Pada 1922, oleh Empat Saudara, Door Duisternis Tot Licht disajikan dalam bahasa Melayu dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran. Buku ini diterbitkan oleh Balai Pustaka. Armijn Pane, salah seorang sastrawan pelopor Pujangga Baru, tercatat sebagai salah seorang penerjemah surat-surat Kartini ke dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Ia pun juga disebut-sebut sebagai Empat Saudara.


Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964, yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini. Pemerintahan Orde Lama Soekarno mendeklarasikan 21 April sebagai Hari Kartini untuk mengingatkan perempuan bahwa mereka harus berpartisipasi dalam "wacana negara hegemonik pembangunan". Namun, setelah tahun 1965, pemerintahan Orde Baru Soeharto mengubah citra Kartini dari emansipator wanita radikal menjadi citra yang menggambarkannya sebagai istri yang patuh dan putri yang patuh, "sebagai hanya seorang wanita berpakaian kebaya yang bisa memasak. Pada kesempatan itu, yang dikenal sebagai Hari Ibu Kartini, "gadis-gadis muda harus mengenakan jaket ketat yang pas, kemeja batik, gaya rambut yang rumit, dan perhiasan berornamen ke sekolah, yang seharusnya meniru pakaian Kartini tetapi dalam kenyataannya, mengenakan pakaian ciptaan, dan ansambel yang lebih ketat daripada yang pernah dia lakukan" (Wikipedia)

Lantas bagaimana sejarah RA Kartini, hari Kartini, bagaimana dengan hari Kartono? Seperti disebut di atas, Raden Ajeng Kartini (RA Kartini) lahir 21 April 1879 yang pada tanggal 2 Mei 1964 ditetapkan hari kelahiran RA Kartini sebagai Hari Kartini. Bagaimana dengan hari Kartono? Habis hari gelap terbitlah hari terang. Lalu bagaimana sejarah RA Kartini, hari Kartini, bagaimana dengan hari Kartono? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja*.

RA Kartini, Hari Kartini, Bagaimana dengan Hari Kartono? Habis Hari Gelap Terbitlah Hari Terang

Tunggu deskripsi Kartini lahir 21 April 1879, Kartono lahir 10 April 1877. Beda usia mereka dua tahun. Saudara tua mereka Slamet lahir 15 Juni 1873 dan Boesono lahir 11 Mei 1874. Saudara muda mereka Kardinah lahir 1 Maret 1881. Mereka adalah putra-putri bupati Japara, RM Ario Adipati Sosroningrat.


RM Ario Adipati Sosroningrat diangkat menjadi bupati Japara sejak 1880 (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 31-12-1880). Putra bupati Demak ini juga memiliki anak dari istri kedua yakni Soelastri (lahir 9 Januari 1877) dan Roekmini (lahir 4 Juli 1880). RM Ario Adipati Sosroningrat menyekolahkan semua putra-putrinya ke sekolah dasar Eropa (ELS) di Japara.

RM Slamet setelah lulus sekolah menengah (HBS) di Semarang langsung bekerja sebagai juru tulis bupati Japara. Sementara itu pada tahun 1892 RM Boesono naik dari kelas empat ke kelas lima di HBS Semarang (Bataviaasch nieuwsblad, 23-05-1892). Sedangkan RM Kartono di HBS Semarang baru di tahun pertama.


Pada tahun 1893 RM Boesono lulus ujian akhir di HBS Semarang dan diangkat sebagai juru tulis bupati Japara (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 21-06-1893). RA Soelastri setelah menyelesaikan sekolah ELS tidak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi. Pada tahun 1895 RA Soelastri menikah dengan putra bupati Semarang, Raden Kaboel (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 01-07-1895). Seperti halnya dengan RA Soelastri, RA Kartini dan RA Kardinah juga tidak melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi.

Pada tahun 1895 RM Kartono lulus ujian transisi naik dari kelas ermpat ke kelas lima (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 11-05-1895). Tinggal selangkah lagi RM Kartono untuk dapat menyamai prestasi suadara-saudaranya RM Slamet dan RM Boesono.


Siswa-siswa pribumi di sekolah Eropa tidaklah buruk, malahan sebaliknya. Misalnya pada tahun 1891 Raden Mas Oetojo lulus ujian akhir di HBS Semarang dengan nilai 119 sebagai rangking kedua (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 08-06-1891). RM Kartono bahkan di tahun pertama di HBS Semarang sudah menjadi rangking pertama. Sementara itu, Tan Tjioen Liang menyelesaikan studinya di Delft dengan mendapat gelar insinyur mesin di tahun 1894. Beberapa tahun sebelumnya Oei Jan Lee lulus ujian akhir bidang hukum di Leiden dan mendapat gelar sarjana hukum (lihat Dagblad van Zuidholland en 's Gravenhage, 15-10-1888). Oei Jan Lee tampaknya belum puas, lalu melanjutkan studi ke tingkat doktoral. Pada bulan Januari 1889 Mr Oei Jan Lee meraih gelar doktor di bidang hukum di Leiden (lihat Nieuwe Vlaardingsche courant, 16-01-1889). Keduanya sama-sama lulusan HBS di Batavia. Jika mundur ke belakang, pribumi pertama yang masuk ke perguruan tinggi di Belanda adalah Ismangoen Danoe Winoto. Cucu Sultan Jogja ini lulus akademi di Leiden pada tahun 1876. Jika mundur jauh ke belakang lagi, pribumi pertama yang studi ke Belanda adalah putra Radja Tinating dari Mandailing, Tapanoeli, Sati Nasoetion alias Willem Iskander yang meraih gelar akta guru pada tahun 1860. 

Akhirnya pada tahun 1896 RM Kartono lulus ujian akhir HBS (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 11-06-1896). Disebutkan diadakan ujian HBS di Batavia dimana salah satu yang lulus adalah Raden Mas Pandji Sosro Kartono. Ini mengindikasikan bahwa Raden Kartono lancar dalam studi di HBS. Dalam daftar RM Kartono berada pada rangking pertama. Dengan portofolio tinggi itu Raden Kartono melanjutkan studi ke Belanda.


Sebulan kemudia Raden Kartono berangkat ke Belanda (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 18-07-1896). Disebutkan di dalam manifes kapal Prinses Marie dengan tujuan Nederland berangkat tanggal 16 Juli terdapat nama Raden Kartono. Sementara itu surat kabar di Bandoeng memberitakan Raden Kartono, anak dari Bupati Djapara disebutkan akan kuliah di Polytechnische School di Delft (lihat De Preanger-bode, 27-07-1896).

Pada tahun 1897 Raden Kartono sudah terdaftar sebagai mahasiswa di Polytechnische School di Delft (lihat Delftsche studenten-almanak voor het jaar ..., 1897). Namun tidak lama kemudian, Raden Kartono tidak lagi kuliah di Polytechnische School di Delft Delf, tetapi menjadi calon mahasiswa di Lembaga Hindia (Indologi).


Hollandia; een weekblad voor Nederlanders in den vreemde, jrg 2, 1899, no. 96: “Kongres Bahasa dan Sastra di Ghent. Kami tidak melihat banyak manfaat pada kongres tersebut dalam bentuknya saat ini. Tetapi pastilah menjadi momen yang luar biasa ketika, pada salah satu rapat umum, kesempatan berbicara diberikan kepada pemuda Jawa Raden Mas Pandji Sosro Kartono, seorang calon mahasiswa di Lembaga Hindia (Indologi). Dalam bahasa Belanda yang murni dan dipilih dengan baik, ia berkata bahwa ia ingin melakukan bagiannya untuk membantu mempromosikan kecintaan terhadap bahasa tersebut (bahasa Belanda). Dia memberi tahu pendengarnya tentang penggunaan bahasa Belanda di Jawa. Ia menunjukkan cara terbaik bagi anak-anak bangsawan Jawa untuk belajar bahasa Belanda. Ia membaca beberapa surat dari saudara perempuannya, yang belum pernah ke Belanda dan bahasa serta ekspresinya dapat menjadi contoh bagi banyak wanita Belanda. Ia pun mencontohkan warga Jawa lainnya yang sudah menguasai bahasa Belanda, sehingga bisa berbicara dan menulis dengan lancar’.

Sejak di Belanda, Raden Kartono telah menerima surat-surat dari saudara perempuannya. Siapa yang dimaksud? Apakah RA Kartini?


De nieuwe courant, 25-08-1901: ‘Dalam ujian negara untuk universitas dari tanggal 22 hingga 24 Augustus yang mana terdapat 8 kandidat untuk faculteiten der godgeleerdheid der rechtsgeleerdheid en der letteren en wijsbegeerte (fakultas fakultas teologi, hukum, dan sastra dan filsafat). yang mana lima kandidat lulus diantaranya Raden Mas Pandji Sosro Kartono’, Ujian itu disebutkan dilakukan di Universiteit te Utrecht (lihat De Gooi- en Eemlander: nieuws- en advertentieblad, 28-08-1901). Raden Kartono kuliah dalam bidang studie der oostersche talen (program studi bahasa-bahasa Timur) yang diselenggarakan di [Universiteit te] Leiden,

Nellie van Kol di Prinsenhage tanggal 4 Juni 1902 mengirim surat-surat dari RA Kartini ke redaksi majalah Oost en West (lihat De Sumatra post, 15-07-1902). Nellie van Kol sendiri pernah ke Japara ikut suaminya dalam suatu kunjungan dinas. Setelah kembali ke Belanda inilah Nellie van Kol di Prinsenhage menerima surat yang terbilang panjang dari RA Kartini. Dalam hal ini, RA Kartini tidak hanya menulis surat ke saudaranya Raden Kartono di Belanda, tetapi juga ke Nellie van Kol.


RA Kardinah akan menikah dengan RM Reksohariono, patih di Pemalang, anak dari Bupati Tegal (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 06-01-1902). Disebutkan pernikahan akan diadakan pada tanggal 24 Januari 1902 di Japara. RA Kardinah berusia lebih muda dari RA Kartini maupun RA Roekmini.

Pada tahun  1903 Raden Kartono diberitakan lulus ujian kandidat pada bidang Taal- en Letterkunde van den Oost-lndischer. Archipel di Leiden (lihat De Telegraaf, 30-06-1903). Di Japara, pada tahun ini RA Kartini pada tanggal 12 November menikah dengan Bupati Rembang.


Nun jauh di kota Padang, Alimatoe’ Saadiah yang belum lama menyelesaikan studinya di sekolah radja (kweekschool) di Fort de Kock menikah bulan Juni 1903 dengan dokter muda Haroen Al Rasjid (Nasoetion) yang bertugas di Padang setelah menyelesaikan studi di Docter Djawa School tahun 1891). Alimatoe’ Saadiah sebelum lanjut ke sekolah yang lebih tinggi di Fort de Kock adalah lulusan sekolah dasar Eropa (ELS) di Padang. Alimatoe’ Saadiah adalah putri Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda (pensiunan guru pemilik sekolah dan pemimpin surat kabar Pertja Barat di Padang).

Masih pada tahun 1903 ini, Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, seorang guru di Padang Sidempoean berangkat ke Belanda. Soetan Casajangan tidak sendiri tetapi juga ada guru muda Djamaloedin yang didampingi oleh jurnalis senior di Padang, Haji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda. Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan adalah guru di Padang Sidempoean, alumni Kwekschool Padang Sidempoean (lulus 1887) yang juga merupakan adik kelas Dja Endar Moeda di sekolah guru (kweekschool) Padang Sidempoean; Djamaloedin lulus dari sekolah guru di Fort de Kock (1901). Sementara itu, juga diberitakan Abdoel Rivai berangkat dari Batavia ke Belanda. Abdoel Rivai adalah lulusan sekolah kedokteran pribumi (Docter Djawa School) tahun 1896.


Mereka datang ke Belanda dalam hubungan kerjasama Dr AA Fokker dan Dja Endar Moeda sehubungan dengan penerbitan penerbitan majalah dwimingguan Bintang Hindia di Amsterdam. Soetan Casajangan, Abdoel Rivai dan Djamaloedin untuk sementara bekerja sebagai tim redaksi Bintang Hindia (sambil menjajaki kemungkinan melanjutkan studi di Belanda).

Dalam perkembangannya diketahui program studi yang diikuti oleh Raden Kartono di Leiden tersebut disebut program studi Indologi. Demikian juga politeknik di Delft sudah disebut Universiteit te Delft.


Putra pertama RA Kartini lahir tanggal 13 September 1904. Namanya Raden Mas Sienggih. Namun RA Kartini tidak berumur panjang (empat hari setelah melahirkan), meninggal pada tanggal 17 September 1904 (lihat Soerabaijasch handelsblad, 23-09-1904). Tidak lama kemudian Raden Mas Adipati Arya Sosroningrat sang ayah ayah almarhum RA Kartini, meninggal dunia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 28-02-1905). Dalam situasi dan kondisi ini Raden Kartono di Leiden tidak bisa pulang karena jauhnya perjalanan, sementara studinya belum selesai. Raden Kartono kehilangan adiknya RA Kartini yang kerap mengirim surat dan Raden Kartono juga kehilangan sang ayah yang selama ini terus mengirim uang. Bagaimana duka Raden Kartono di rantau di negeri asing mungkin tidak terbayangkan.

Dalam perkembangan lain diketahui Djamaloedin mengikuti studi di Wageningen (sekolah pertanian); Soetan Casajangan diterima di Rijskweekschool di Leiden untuk mengikuti program studi keguruan (semacam IKIP yang sekarang); Dr Abdoel Rivai di sekolah tinggi kedokteran di Amsterdam. Di kampus kedokteran ini juga ada nama-nama F Laoh (asal Manado) dan W Tehupelory (asal Ambon) dan Asmaoen (asal Malang) serta Boenjamin (asal Solo).


Pada bulan Mei 1907 Soetan Casajangan lulus ujian mendapat akta guru (lihat Land en volk, 23-05-1907). Disebutkan tanggal 22 Mei 1907 lulus ujian akta guru (Lager Onderwijzer) di Haarlem. Disebut Soetan Casajangan berasal dari Batoe Na Doea (Hindia). Catatan: Batoe Na Doea pada masa ini sebuah kelurahan di kota Padang Sidempuan.

Pada tahun 1908 jumlah mahasiswa pribumi di Belanda sudah sebanyak 20an orang. Pada saat inilah Soetan Casajangan menginisiasi pendirikan organisasi pelajar/mahasiswa dengan meminta Raden Soemitro, yang baru lulus HBS di Belanda dan diterima di perguruan tinggi untuk mengirim undangan ke semua pelajar/mahasiswa untuk berkumpul di tempat kediamannya di Leiden.


Het koloniaal weekblad; orgaan der Vereeniging Oost en West, jrg 8, 1908, no. 52: ‘Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia). Kita telah lama mengetahui bahwa sebuah asosiasi pelajar Hindia di negara ini sedang dibentuk. Ketika kita membaca berita tentang hal ini di surat kabar besar akhir-akhir ini, kita bertanya kepada saudara Radjioen Soetan Casajangan tentang hal ini dan menerima jawaban berikut: Leiden, 22 Desember 1908. "Menanggapi surat Anda kemarin, dengan sopan saya sampaikan hal berikut: Tiga tahun yang lalu (1905, pen), saya sudah berencana untuk mendirikan perkumpulan bagi orang Hindia di negeri ini. Karena saya terlalu sibuk pada saat itu, saya tidak dapat melaksanakan rencana saya. Pada bulan Juni tahun ini, JH Abendanon datang menemui saya dan bertanya apakah saya pernah berpikir untuk mendirikan perkumpulan bagi orang Hindia. Saya menjawab pertanyaan ini dengan tegas dan kemudian dia mendorong saya untuk melanjutkan rencana yang bermanfaat ini. Kemudian saya memilih salah satu orang Hindia sebagai rekan kerja saya, yaitu saudara RM Soemitro. Kami lalu mengirim surat kepada semua orang Hindia yang sedang belajar di Belanda. Tanggal untuk menghadiri pertemuan dilakukan pada tanggal 25 Oktober yang lalu pukul 2, kami sebanyak 15 orang Hindia, berkumpul di rumah saya di Hoogewoerd 49 Leiden, dan pertemuan pertama diadakan. Saya meminta saudara Soemitro untuk memimpin rapat; R Hoesein Djajadiningrat menjabat sebagai sekretaris sementara. Setelah pidato pembukaan oleh ketua sementara, rancangan anggaran dasar dan peraturan rumah dibacakan. AD/ART sementara tersebut pada prinsipnya disetujui dengan suara bulat dan disetujui untuk pembentukan "Indische Vereeniging". Lalu, kami lanjut ke pemilihan pengurus. Berikut ini terpilih sebagai ketua perhimpunan: Radjioen Soetan Casajangan Soripada. RM Soemitro diangkat menjadi sekretaris dan bendahara. Atas nama perhimpunan, ketua sementara mengucapkan terima kasih kepada R Soetan CS atas inisiatifnya dan mendoakan agar kedua orang tersebut beruntung dalam pelantikannya. Suatu panitia yang terdiri dari R Soetan CS, RM Soemitro, RMP Sosro Kartono dan R Hoesain Djajadiningrat, ditunjuk untuk menyusun lebih lanjut anggaran dasar dan peraturan-peraturan. Pada tanggal 15 November yang lalu diadakan pertemuan ke-2 di Den Haag. Ketua membuka pertemuan, panitia membahas anggaran dasar dan peraturan-peraturan; pasal-pasal ditinjau dan ditetapkan satu per satu dan kemudian diadopsi melalui pemungutan suara umum. Ketua mengucapkan terima kasih kepada panitia, anggota perkumpulan, dll., dan menutup pertemuan. Ini adalah sejarah “Indische Vereeniging.” Jika Anda bermaksud untuk membagikan ini di majalah mingguan Anda, juga sebagai insentif untuk bergabung sebagai donatur, dll., maka saya sangat bersimpati. Pada saat yang sama saya juga akan mengirimkan salinan anggaran dasar dan peraturan kepada Anda”. Dari AD/ART ini (yang juga tersedia untuk dibaca di meja bacaan di Heuïstraat 17) kami akan mengutip beberapa pasal: Pasal-1. Perhimpunan ini bernama "Indische Vereeniging" dan didirikan di Den Haag. Pasal-2. Tujuan perhimpunan ini adalah untuk memajukan kepentingan bersama orang-orang Hindia di Belanda dan untuk memelihara kontak dengan Hindia. Yang kami maksud dengan orang Hindia adalah penduduk asli Hindia. Pasal-3. Perhimpunan ini berusaha mencapai maksud dan tujuan tersebut dengan cara: (a) Mempromosikan hubungan antara orang Hindia di Belanda. (b) Mendorong warga Hindia untuk datang dan belajar di Belanda. Untuk menjelaskan hal terakhir, lihat Pasal-2 rumah tangga. Peraturan: Perhimpunan bertujuan untuk mendorong mereka yang ingin datang dan belajar di Belanda, dapat melakukannya dengan: a. memberikan informasi tentang studi dan masa tinggal mereka di Belanda; b. dengan membantu orang Hindia yang baru tiba. c. dengan memberikan semua informasi yang mungkin tentang Belanda berdasarkan permintaan. Lebih lanjut, Pasal-5 Anggaran Dasar menyatakan: Perhimpunan ini terdiri atas: a. Anggota biasa, b. Anggota kehormatan. c. Donor. Pasal- 6. Hanya orang Hindia yang tinggal di Belanda yang dapat menjadi anggota biasa. Pasal-7. Anggota Kehormatan dapat berupa mereka yang telah memberikan jasa istimewa kepada perhimpunan. Mereka ditunjuk atas usul dewan atau tiga anggota, dengan setidaknya 3/4 suara sah yang diberikan. Pasal-8. Donatur adalah mereka yang membayar iuran tahunan paling sedikit f3, atau menyetorkan sejumlah uang sekaligus paling sedikit f15. Kami tidak perlu menambahkan bahwa kami sangat menyarankan para pembaca kami untuk mendukung perhimpunan yang bermanfaat ini sebagai tanda minat dengan menjadi sponsor. Hal ini tidak perlu dijelaskan lagi’.

Pada tangga; 25 Oktober 1908 dalam rapat diputuskan untuk mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa yang diberi nama Indische Vereeniging dimana Soetan Casajangan didaulat menjadi presidennya dan Raden Soemitro sebagai sekretaris. Lalu dibentuk satu komite untuk menyusun statuta organisasi yang terdiri dari Soetan Casajangan, Raden Soemitro, Hoesein Djajadiningrat dan Raden Kartono. Keempatnya berdomisili di Leiden. Soetan Casajangan dan Raden Kartono berada di lingkungan alamat yang sama di Leiden.


Raden Kartono berhasil menyelesaikan studinya di Leiden dengan mendapat gelar sarjana tahun 1909 (lihat Het vaderland, 08-03-1909). Pada tahun ini juga Soetan Casajangan lulus ujian mendapat akta guru MO (sarjana pendidikan setara lulusan IKIP) di Rijskweekschool, Leiden. Soetan Casajangan diangkat sebagai guru bahasa Melayu di Handelschooldi Amsterdam (lihat Algemeen Handelsblad, 18-08-1910). Raden Kartono bekerja di Leiden.

Pada tahun 1911 terjadi pergantian pengurus Indische Vereeniging. Yang diangkat sebagai pengganti Soetan Casajangan adalah Raden Noto Soeroto (tiba di Belanda tahun 1907). Pada tahun 1911 HJ Abendanon setelah mengumpulkan berbagai surat-surat RA Kartini membukukannya dan menerbitkannya dengan judul Door Duisternis tot Licht yang diterbitkan di Belanda oleh penerbit GCT van Doorp an Co di Den Haag.


Setelah Soetan Casajangan Soetan Casajangan mentrasfer kepengurusan Indische Vereeniging, untuk mendukung sumberdaya calon dan atau pelajar/mahasiswa di Belanda, Soetan Casajangan bersama dengan Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon membentuk studiefond. Tujuan pembentukan StudiFond ini adalah untuk menggalang dana bagi pelajar/mahasiswa di Belanda yang membutuhkan keuangan ketika mengalami kesulitan. Lagi-lagi Soetan Casajangan membuat terobosan baru diantara pelajar/mahasiswa asal Hindia di Belanda.

Pada saat terbitnya buku yang diterbitkan HJ Abendanon berjudul “Door Duisternis tot Licht: gedachten over en voor het Javaansche volk” yang merupakan kumpulan surat-surat RA Kartini, di Belanda sendiri sudah cukup banyak orang Indonesia. Mereka di Belanda tidak hanya yang tengah studi (pelajar dan mahasiswa), juga sudah banyak para pekerja Indonesia yang bekerja di perusahan-perusahaan Belanda yang bergerak dalam perdagangan dan pelayaran.


Algemeen Handelsblad, 13-03-1912: ‘Dua imigran terlibat perkelahian dari Madura dengan sesama imigran dari Jawa (Oost Java), korban akhirnya meninggal dunia akibat tusukan. Di pengadilan Amsterdam terdakwa disidangkan dan menghadirkan saksi-saksi. Aparat pengadilan bingung, karena para imigran (terdakwa dan saksi-saksi) tidak bisa berbahasa Belanda. Untuk mencari penerjemah dan juga untuk pemandu sumpah (secara Islam) ternyata tidak mudah meski sudah ada Indische Vereeniging (perhimpunan Hindia). Diantara mahasiswa yang ada hanya Abdul Firman gelar Mangaradja Soangkoepon yang masih sekolah menengah yang bersedia dan sukarela (tanpa paksaan). Dari namanya memang pantas (Abdoel+Firman), dan memang ternyata Abdul Firman pemuda Tapanuli adalah orang yang alim. Dalam masyarakat Belanda menganggap Abdul Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon dianggap sebagai pemimpin (imam) Islam dari para imigran dari Hindia. Abdul Firman tidak keberatan. Di dalam pengadian tersebut Abdul Firman tidak hanya menjadi penerjemah dan pemandu sumpah (secara agama Islam), Abdul Firman juga memberi pebelaan terhadap terdakwa untuk dikurangi tuntutan djaksa. Dan, berhasil’.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Habis Hari Gelap Terbitlah Hari Terang: Raden Mas Panji Sosrokartono (RM Kartono) Lahir 10 April 1877

Pada tahun 1911 di Belanda terbit buku berjudul “Door Duisternis tot Licht: gedachten over en voor het Javaansche volk” (583 halaman). Di dalam buku berbahasa Belanda ini disebutkan sebagai auteur adalah Raden Adjeng Kartini dan coauteur JH Abendanon. Judul buku tersebut jika diterjemahkan berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Apa yang menjadi perhatian tentang isi buku itu adalah apa yang ada dalam buku dan hubungan antara Abendanon dan RA Kartini. Kisahnya dimulai pada tahun 1900 ketika JH Abendanon sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Urusan Agama dan Industri (bersama istrinya) berkunjung ke Djepara. Tentu saja ada sebabnya Abendanon yang baru menjabat menyegarakan berkunjung ke Djepara.


Pada tahun 1900 Direktur OE en N, Jr. Van Der Wijck, bulan Maret yang akan datang ke Eropa karena sakit (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-01-1900). Disebtutkan ada dua kandidat Mr JH Abendanon dan Mr JW Th Cohen Stuart. Mr JH Abendanon adalah hakim di pengadilan tinggi di Batavia. Yang terpilih sebagai direktur OE en N adalah JH Abendanon (lihat De nieuwe vorstenlanden, 28-02-1900). Kunjungan dinas pertamanya ke daerah adalah ke (residentie) Rembang (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-07-1900). Dari Rembang Abendanon ke (residentie) Djepara.

Dalam kunjungan tahun 1900, di Djepara ada dialog antara JH Abendanon dengan Bupati Djepara tentang putri-putri bupati terutama putri tertua RA Kartini. Sudah barang tentu JH Abendanon juga membicarakan secara khusus keberadaan Raden Kartono di Belanda. Pada saat kehadiran Abendanon dan istri tahun 1900 di Japara, itu berarti usia Kartini sudah mencapai 20 tahun. Suatu usia tinggi diantara gadis-gadis Jawa (pribumi). Keberadaan Raden Kartono yang studi di Belanda yang diduga menjadi sebab Abendanon sebagai Kepala Dinas Pendidikan, Urusan Agama dan Industri berkunjung ke Djepara,


Seperti disebut di atas, abang RA Kartini bernama Raden Kartono sudah berada di Belanda. Raden Kartono selepas lulus sekolah HBS di Semarang, pada tahun 1896 melanjutkan studi ke Belanda. Sementara Kartini diperbolehkan bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS) yang menjadi sebab Kartini biasa berbahasa Belanda, tetapi setelah usia 12 tahun, Kartini (sesuai adat) harus tinggal di rumah karena harus dipingit. Dalam konteks inilah kemudian terjadi korespondensi antara RA Kartini dengan Raden Kartono di Belanda dan juga kepada teman-temannya. Surat-surat RA Kartini juga oleh temannya sudah ada yang dimuat dalam majalah di Belanda. Surat-surat korespondensi RA Kartini itulah yang kemudian dijadikan JH Abendanon sebagai bahan dalam penulisan buku “Door Duisternis tot Licht: gedachten over en voor het Javaansche volk” (583 halaman). Di dalam buku ini, tulisan RA Kartini terakhir ditulis di Rembang tanggal 11 Desember 1903. Artinya, RA Kartini masih melakukan korespondensi setelah menikah. Seperti disebut di atas, RA Kartini meninggal tanggal 13 September 1904 yang beberapa hari kemudian, 17 September 1904, RA Kartini meninggal di Rembang pada usia 25 tahun.

JH Abendanon sendiri mengakhiri tugasnya sebagai direktur OE en N pada tahu 1905. Tampaknya Abendanon akan segera kembali ke Eropa. Hal ini karena rumahnya di Kebon Sirih akan dijual (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 17-01-1905). JH Abendanon diberhentikan, dengan hormat, atas permintaan, dari dinas direktur 0E dan N. Abendanon, dibawah ucapan syukur atas pelayanan yang lama dan setia yang diberikan (lihat De locomotief, 25-01-1905). Sudah barang tentu JH Abendanon sebelum kembali ke Belanda sudah mengetahui meninggalnya RA Kartini.


Abendanon dan istri dengan kapal ke Singapoera (lihat De locomotief, 13-03-1905). Sementara itu, buku Wer en Adat karya Abendanon telah beredar di Batavia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 12-05-1905).

Setelah tiba di Belanda, JH Abendanon dan istri (yang berbahasa Spanyol) sempat berkunjung ke Suriname dan kembali ke Belanda lagi. JH Abendanon sendiri lahir di Paramaribo. JH Abendanon termasuk pengusung Oost en West di Belanda yang di Belanda pernah menemui Soetan Casajangan pada tahun 1905. JH Abendanon kemudian tahun 1906 diketahui menjadi anggota parlemen Belanda (Tweede Kamer). Dalam posisi inilah JH Abendanon kemudian mendapat tempat dalam menyuarakan pentingnya kerjasama Oost en West yang kemudian menjadikan dirinya sebagai salah satu orang Belanda sebagai tokoh yang peduli dan aktif mendorong kemajuan di Hindia.


Provinciale Drentsche en Asser courant, 27-05-1907: ‘Soetan Casajangan Soripada. Di antara mereka yang berhasil lulus ujian pendidikan dasar kemarin lusa di 'Haarlem, nama Hindia asli di atas juga muncul dimajalah HD, di residentie Tapanoeli di Surnatra. Kami pernah mengunjunginya di rumah J de Weeger, di Duvenvoordestraat, tempat tinggalnya. Kecil dan ramping, dengan wajah Hindia yang halus, dimana dia menggunan lorgnette emas dengan sopan santun, Soripada membuat kesan yang menyenangkan. Bagaimana dia bisa mengikuti ujian guru di Belanda? Soripada adalah kepala sekolah pribumi, tetapi kehilangan kesempatan untuk menjadi mahir berbahasa Belanda.Sejak tahun 1884, bahasa Belanda tidak lagi diajarkan di kweekschool di Hindia. Maka ia memutuskan untuk pergi ke Belanda. meskipun ada keberatan dari keluarganya, yang berpikir bahwa sebagai penduduk asli dia tidak akan mendapatkan pekerjaan yang biasanya diperuntukkan bagi orang Eropa. Namun Soripada tetap bertahan, berharap setelah memperoleh akta tersebut ia diangkat menjadi asisten guru di kweekschool. Dia menghabiskan tiga tahun di Belanda, satu setengah tahun di Haarlem, dan dia berbicara dengan rasa terima kasih tentang direktur dan guru di Rijksweekschool untuk guru, yang melatihnya untuk ujian. Dia sekarang menunggu perintah dari Menteri Koloni, yang mengetahui keinginannya dan menyetujuinya, dan kemudian, mungkin dalam dua atau tiga bulan, berangkat lagi ke Hindia, dimana dia harus meninggalkan istri dan dua anaknya, sehingga dia ingin bertemu dengan mereka lagi. Soripada yang berumur 31 tahun tergolong bangsawan pribumi dan kata Soetan adalah gelarnya. Dia berbicara dengan pujian tentang pendidikan pribumi, tetapi sangat disayangkan bahwa jumlah guru masih terlalu sedikit. Dan kemudian kami meninggalkan pemuda ini, yang pasti merupakan tindakan keberanian dan kekuatan pikiran, tanah tempat dia dilahirkan, bertentangan dengan nasihat keluarganya dan meninggalkan keluarganya, untuk membuka pintu ke karir yang lebih baik di negara asing. Dapat diharapkan bahwa pemerintah tidak akan membiarkan energi ini tidak dihargai. Selain itu, perubahan hidup tidak merugikannya. Dia tertawa, dalam bahasa Belandanya, diucapkan dengan sangat tepat, bahwa dia telah menjadi gemuk di negara kita, dan bahkan telah bebas sama sekali dari demam, yang sangat dideritanya dimasa lalu di Batoe Na Doea”.

Pada bulan Juni 1908 JH Abendanon di Belanda menemui Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan. Apa gerangan? Saat itu Soetan Casajangan yang tengah mengikuti pendidikan di Rijksweekschool juga merencanakan akan mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa Indonesia di Belanda. Di Belanda Soetan Casajangan adalah pelajar/mahasiswa senior asal Hindia. Seperti disebut di atas, Mr JH Abendanon adalah mantan Direktur Pendidikan di Hindia Belanda (1900-1905). Seperti disebut di atas, Soetan Casajangan di tempat tinggal di Leiden pada tanggal 25 Oktober 1908 dibentuk organisasi pelajar/mahasiswa Hindia (Indische Vereeniging).


De locomotief, 10-06-1909: ‘"Oost en West". Vereeniging Oost en West merayakan hari jadinya yang ke-10 pada tanggal 3 Mei lalu. Organ asosiasi adalah 'Het Koloniëal Weekblad' diterbitkan pada tanggal itu dalam bentuk edisi perayaan dimana berbagai orang yang terkait dan terkenal dengan asosiasi tersebut mengirimkan kontribusi mereka kepada editor. Dalam edisi ini Anda akan menemukan ucapan selamat dari Mr. Abendanon, KHO van Bennekom, CAHN Barge, Dr HD Benjamins, Andrée Snabilié, Soetan Casajangan, F Caspersz, Gongreep, Th. Hilgers, H van Kol dan Nellie van Kol, van der Zijl dan Ph Zilcken. Kami mendapatkan yang berikut dari ikhtisar tentang asal usul asosiasi. Pada musim semi tahun 1899, sebuah artikel diterbitkan di Haagsche Vaderland oleh seorang teman Hindia, dimana artikel itu mengundang para wanita yang telah aktif di seksi Hindia pada pameran buruh wanita yang diadakan untuk kepentingan seni dan kerajinan pribumi koloni kita untuk terus bekerjasama. Nyonya N Van Zuylen-Tromp kemudian mencoba memprovokasi "kerja sama untuk kepentingan Hindia". Di bawah judul ini, dia mengundang di surat kabar Den Haag semua pria dan wanita yang tertarik dengan Timur dan Barat kita untuk mempromosikan kepentingan kepemilikan luar negeri dengan cara praktis, dengan propaganda diantara seluruh rakyat dan dengan mempromosikan industri Hindia dan kerajinan tangan. Pada tanggal 13 April diadakan pertemuan pertama di rumah Ny. Van Zuylen Sebuah komite ditunjuk untuk membuat draf AD/ART dan peraturan internal, dan pada tanggal 3 Mei 1899, asosiasi dibentuk dalam pertemuan yang diadakan di gedung "Diligentia" di Den Haag. Berawal dari 200 anggota dan kini beranggotakan 2.000 anggota. Seperti diketahui, panitia dari asosiasi tersebut memberikan informasi kepada mereka yang berangkat ke Hindia dan membantu warga Hindia yang pulang kampung; ia menjalankaan restoran Indonesia di Den Haag, mengadakan 'koempulan' untuk bekas orang Hindia, melahirkan asosiasi 'Boeatan' dan mencoba menyebarkan pengetahuan yang berguna tentang Hindia Belanda melalui majalah 'Het Koloniëal Weekblad' dan tulisan-tulisan populernya. Asosiasi juga bertujuan untuk mendukung dan membantu pemuda Indo-Belanda di Belanda, untuk membentuk dana dukungan dan dana studi, dll. Pasangan van Kol menulis di edisi perayaan ini: “Dengan cepat tahun-tahun berlalu; dan sepuluh tahun telah berlalu sejak sekelompok kecil peminat mendirikan vereeniging dan majalah East and West. Jerih payah mereka tidak sia-sia. “Namun, disini juga bagian terbesar dari tugas itu berada di pundak beberapa orang, paling tidak pada keluarga van Zuylen. Dan siapa yang tidak mengingat disini dengan kesedihan dan rasa syukur pekerja yang setia, unruk Vereeniging, dan suami tercinta. yang meninggal dari Ny van Zuylen? Tetapi dia dengan berani melanjutkan pekerjaannya, atas dorongan hatinya sendiri dan untuk mengenangnya, bersama dengan teman-teman koloni lainnya. “Semangat baru telah dibangunkan melalui usaha bersama dan pengabdian; semakin banyak orang di koloni mulai melihat sesuatu selain alat keuntungan; mulai disadari bahwa disana ada hutang besar yang harus kita bayar dan tugas suci yang harus dilaksanakan. “Untuk satu dekade lagi, semoga kemajuan meningkat lebih jauh lagi!”

Pada tahun 1909 ini di Leiden Raden Kartono menyelesaikan studinya dengan mendapat gelar serjana. Soetan Casajangan juga lulus sarjana pendidikan di Leiden. Raden Kartono dan Soetan Casajangan bertempat tinggal di alamat yang sama di Leiden di Oude Vest 77.


De locomotief, 25-10-1909: ‘Den Haag, 24 Oktober. Memorial Tehupelory. Pada penyerahan tugu peringatan di makam dokter Tehupeiory kepada Indische Vereeniging, Van Deventer, JH Abendanon dan Presiden Indische Vereeniging Soetan Casajangan berbicara. Mahasiswa Ambon Apitully mengucapkan terima kasih’. Tehupelory meninggal pada bulan Januari 1909 (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 25-01-1909). Disebutkan jenazah dokter JE Tehupeiory, orang Ambon sejak lahir, dimakamkan di pemakaman umum baru di Utrecht dengan penuh minat. Th. van Deventer, anggota Tweede Kamer (Dewan Perwakilan Rakyat), adalah orang pertama yang tampil pada sambutan, atas nama semua orang Belanda yang menganggap dan mencintai Hindia sebagai tanah air kedua mereka, atas nama mereka yang percaya pada masa depan Insulinde, penghormatan yang dalam dan penuh hormat untuk mengenang Tehupeiory. JH Abendanon, mantan direktur pendidikan di Hindia melukiskan kontras yang mencolok antara negeri yang dingin, tempat Tehupelory sekarang dimakamkan, dan negeri yang cerah tempat ia datang satu setengah tahun yang lalu. 

Dalam konteks inilah diduga HJ Abendanon mengumpulkan surat-surat RA Kartini. Sudah barang tentu HJ Abendanon juga melakukan pengumpulan data dari Raden Kartono dan Soetan Casajangan di Belanda untuk mendapatkan gambaran umum dan latar belakang keluarga dan adiknya RA Kartini. Sebagaimana diketahui Raden Kartono dan Soetan Casajangan adalah dua yang pertama yang melakukan studi di Belanda.


Pengalaman JH Abendanon selama menjadi direktur pendidikan di Hindia (1900-1905) dan partisipasinya di Vereeniging Oost en West yang didirikan di Belanda. Gagasan Soetan Casajangan untuk mendirikan organisasi pelajar/mahasiswa di Belanda tahun 1908 turut didorong oleh HJ Abendanon untuk perealisasiannya pada bulan Juni 1908 yang kemudian diformalkan pada tanggal 25 Oktober 1908. Sejak itulah HJ Abendanon dekat kepada Soetan Casajangan dan anggota organisasi Indisch Vereeniging dimana salah satu anggotanya Raden Kartono. Pengalaman Abendanon betermu dengan ayah Raden Kartono tahun 1900 di Djepara dimana mereka membicarakan RA Kartini diduga Abendano merecall kembali, yang lalu direalisasi dengan mengumpulkan surat-surat RA Kartini. Sebagai bentuk kontribusi untuk Hindia Belanda, HJ Abendanon mulai mengumpulkan surat-surat RA Kartini untuk dijadikan buku.

Tunggu deskripsi lengkapnya


 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar