*Untuk melihat seluruh artikel Sejarah Banten, klik Disini
Portugis
(yang disusul Spanyol) sudah satu abad di Hindia Timur (baca: nusantara,
Indonesia). Seperti jauh sebelunya, orang-orang Portugis mengikuti jejak
orang-orang Moor. Lalu orang-orang Belanda (yang disusul Inggris) mengikuti
jejak orang-orang Portugis dan Spanyol. Kedatangan orang-orang Belanda, berbeda
situasi dan kondisinya ketika awal kedatangan orang Portugis. Ada perbedaan
waktu satu abad. Pelayaran Belanda pertama (sejak 1595 dari Texel) sudah berada
pada level teknologi pelayaran yang lebih tinggi dan (sistem) manajemen yang
lebih terorganisir.
Pelayaran pertama Belanda ini dipimpin oleh
Cornelis de Houtman. Laporan perjalanan pelayaran pertama ini telah dibukukan
yang diberi judul ‘Journael vande reyse der Hollandtsche schepen ghedaen in
Oost Indien, haer coersen, strecking hen ende vreemde avontueren die haer
bejegent zijn, seer vlijtich van tijt tot tijt aengeteeckent’. Jurnal ini diterbitkan
pada tahun 1598 yang didalamnya berisi sepenuhnya catatan hari demi hari tentang
ekspedisi yang dimulai pada tanggal 2 April 1595 dengan total 249 orang. Di
dalam jurnal ini juga berisi beberapa peta yang telah diupdate dari peta-peta
Spanyol seperti peta pulau Sumatra dan pulau Jawa. Setelah sempat singgah
selama enam bulan di pulau Madagaskan, dimana Frederik de Houtman menyusun
kamus bahasa Melayu, akhirnya mereka menemukan jalan hingga pulau Enggano dan
kemudian menuju kota (pelabuhan) Banten. Mereka kurang diterima di Banten, setelah
mampir di beberapa tempat seperti Jacatra dan Japara, mereka berbalik di pulau
Lombok dan merapat di pantai timur Bali (Padang Baai) pada tanggal 21 Februari
1596. Sebelum kembali ke Belanda via selatan Jawa dan Afrika Selatan, Cornelis
de Houtman meninggal dua pedagang Belanda di Bali. Frederik de Houtman adalah
adik Cornelis de Houtman yang bertindak sebagai ahli bahasa (Melayu).
Lantas
bagaimana kontak orang-orang Belanda ini di Banten? Tentu saja sudah ada yang menulis sejarahnya. Namun
bagaimana situasi dan kondisi di kota (pelabuhan) Banten tampaknya kurang
terperhatikan oleh penulis-penulis sejarah. Padahal situasi dan kondisi di
pelabuhan Banten adalah gambaran awal tentang sejarah Banten sendiri. Okelah
kalau begitu. Seperti
kata ahli sejarah
tempo doeloe, semuanya
ada permulaan.
Karena itu kita mulai dari permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan
wawasan sejarah nasional,
mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan
gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya
sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi,
sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti
surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya
digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*.
Pelabuhan Banten: Kesultanan
Banten
Kota
Banten yang sekarang, tempo doeloe posisinya tidak berubah hingga sekarang.
Kota Banten berpusat di benteng dan kraton Surosowan (masih bisa diidentifikasi
hingga ini hari). Namun posisi relatifnya telah berubah, pada masa ini seakan
jauh dari pantai, padahal tempo doeloe, ketika tiga kapal dalam pelayaran
pertama Belanda berlabuh di teluk Banten (1596) posisi kraton (diduga Surosowan) berada
di pantai (dekat ke laut).
Dalam Peta 1596 kedalaman laut di teluk
(Banten) bervariasi dari satu meter (di bibir pantai) hingga sembilan meter.
Perahu-perahu pribumi bisa merapat sampai bibir pantai. Akan tetapi tiga kapal
Belanda (yang sangat besar) hanya bisa buang jangkar di kedalaman tiga meter
atau lebih. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam Peta 1596 ini diidentifikasi
pulau yang bernama Pulau Dua (karena terdiri dari dua pulau). Sejajar dengan
garis pantai Pulau Dua ini adalah lima pulau yang tidak bernama. Nah, sekarang
kita identifikasi situasi dan kondisi di teluk pada peta satelit masa kini.
Posisi Pulau Dua tidak lagi di tengah laut, tetapi sudah menyatu dengan daratan
(pantai). Pulau-pulau yang tidak bernama tempo doeloe, pada masa ini dikenal
sebagai Pulau Lima, Pulau Kambing dan Pulau Kubur.
Adanya
proses sedimentasi jangka panjang di teluk (Banten), posisi bibir pantai telah
bergeser ke tengah laut sehubungan dengan terbentuknya daratan. Proses serupa
ini sangat lazim di pantai-pantai dangkal apalagi di teluk. Proses sedimentasi
ini karena sungai membawa lupur dan sampah (seperti batang pohon dan daunan)
seiring dengan meningkatnya aktivitas penduduk dalam proses produksi
(perdagangan seperti perkebunan lada).
Pulau Sumatra, Pulau Jawa dan Pulau Kalimantan
bentuknya tempoe dioeloe berbeda dengan yang sekarang. Pulau Sumatra tempo
doeloe lebih ramping yang mana pusat peradaban berada di sekitar bukit Barisan
di pedalaman dekat dengan danau-danau ulai dari utara hingga selatan (danai
Laut Tawar, danau Toba, danau Siais, dana Maninjau, danau Singkarak, danau Kerinci
dan danau Ranau). Kota-kota seperti Palembang dan Jambi tempo doeloe berada di
pantai. Pulau Jawa juga telah mengakami pembekakan di pantai utara. Semisall
kota Teluk Naga (Tangerang) yang sekarang tempo doeloe berada di pantai (suatu
teluk). Seluruh kecamatan Teluk Naga yang sekarang pada era Portugis (awal VOC)
masih berupa lautan (perairan). Demikian juga di pantai selatan, barat dan
timur pulau Kalimantan telah menjadi daratan luas (lahan gambut yang sekarang).
Hal serupa inilah yang terjadi di teluk Banten, berbeda tempo doeloe dengan
yang sekarang.
Berdasarkan
sketsa kota (Banten) yang dibuat oleh Cornelis Claesz berdasarkan laporan para
pelaut dalam pelayaran pertama Belanda tersebut diidentifikasi jarak pagar
kraton dengan pantai (pelabuhan) hanya sekitar empat bangunan. Pusat kota
Banten (kraton) sendiri dibatasi oleh kanal-sungai di bagian luar dan pagar di
bagian dalam. Kanal dan pagar menjadi semacam benteng pertahanan. Dalam hal ini
kota Banten (yang berpusat di kraton dan masjid) begitu dekat dengan pantai (di
dalam teluk).
Kesultanan Banten tipikal dengan kota-kota
kerajaan yang lain yang berada di pantai atau kota kerajaan yang tidak jauh dari
muara sungai. Area kesultanan Banten mirip dengan area kerajaan Gowa-Makassar,
kerajaan Atjeh dan kerajaan Malaka. Kota-kota pelabuhan yang berada di muara
sungai antara lain kota Zunda (kini Jakarta), Semarang, Soerabaja, Djohor dan Bandjarmasin
serta Amboina, Ternate dan Tidore. Beberapa kota pelabuhan yang di zaman kuno
berada di pantai, tetapi karena proses sedimentasi, tetapi menjadi seakan jauh
ke pedalaman antara lain Martapura (Lampong), Palembang, Telainapura (Djambi),
Indtraguri (sungai Kampar), Indrapoera (sungai Siak), Bengkalis (sungai Rokan), Pasai
(sungai Djamboe Aer) dan Pedir (sungai Pidie) serta di pantai barat Sumatra Indrapoera, Pauh (sungai Batang Arau), Oedjoeng Gading (sungai Sikabao), Pasaman, Linggabajoe (sungai Batang-Natal), Sangkoenoer (sungai Batangtoroe), Baroes (sungai Baroes) dan Singkil (sungai Singkil).
Pada
bagian luar (benteng) kraton Banten pada sketsa kedua kota (Banten) yang dibuat
oleh Cornelis Claesz baik di sisi barat maupun sisi timur terdapat area untuk
orang asing.Pusat perdagangan berada di sisi timur. Pasa sisi timur ini juga
terdapat masjid. Di pusat perdagangan ini terdapat sejumlah pasar (seperti
pasar lada, pasar ayam, pasar perhiasan) dan sejumlah kawasan tempat tinggal
dan bisnis (gudang dan kantor). Dua area pemukiman yang diidentifikasinya
namanya adalah area Bengalen dan Guzarat di dekar pantai dan pemukiman Cina
agak jauh ke dalam. Pedagang-pedagang yang ada di pasar juga digambarkan ada
perempuan.
Cornelis Claesz pemilik toko buku dan penerbit
di Amsterdam yang menerbitkan log perlayaran pertama Belanda yang dipimpin oleh
Cornelis de Houtman. Frederik de Houtman, saudara dari Cornelis de Houtman bertindak
sebagai asli bahasa (Melayu), Cornelis Claesz mengupulkan berbagai catatan dari
pelayaran tersebut termasuk peta (sketsa). Dalam pelayaran pertama ini saudara Cornelis
Claesz bernama Jacob Claesz ikut dalam pelayaran yang mana Jacob Claesz (van
Delf) bersama Emanuel Rodenburgh ditinggal di Bali ketika (dua kapal yang
tersisa dari Cornelis de Houtman) kembali ke Belanda Februari 1597.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Kesultanan Banten di Mata
Orang Belanda: Era VOC
Tunggu
deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap,
penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga
ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas
Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di
seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel
di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya
jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang
memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia.
Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang
sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar