*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini
Beberapa kesalahan narasi atau mitos yang sering muncul tentang Kongres Pemuda, khususnya Kongres Pemuda II (1928), antara lain adalah: Istilah "Sumpah Pemuda" tidak ada pada tahun 1928. Peserta kongres tidak semuanya bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Orang Tionghoa memiliki peran penting dalam Kongres. Kongres Pemuda II diselenggarakan di gedung milik Sie Kong Lian, dan ada peserta keturunan Tionghoa, seperti Kwee Thiam Hong. Keterlibatan mereka sering diabaikan dalam narasi sejarah yang lebih populer.
Narasi populer tentang Kongres Pemuda sering kali mengandung kesalahan atau interpretasi yang keliru. Berikut beberapa kesalahan narasi yang umum terjadi: 1. Istilah "Sumpah Pemuda" tidak ada pada tahun 1928, baru muncul tahun 1950-an. Dokumen aslinya adalah "Putusan Kongres". 2. Kongres berlangsung dalam satu kesatuan yang mulus. Narasi yang keliru: Para pemuda dari berbagai daerah langsung bersatu dan bersepakat tanpa ada perdebatan yang berarti. Terdapat perdebatan sengit, terutama pada Kongres Pemuda I (1926). Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa persatuan pemuda adalah hasil dari proses diskusi yang panjang dan tidak selalu mulus. 3. Bahasa Indonesia sudah digunakan secara lancar oleh semua peserta. Narasi yang keliru: Semua peserta Kongres Pemuda II fasih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam diskusi. Fakta sejarah: Beberapa peserta, termasuk pimpinan sidang seperti Soegondo Djojopoespito, masih terlihat kesulitan berbahasa Indonesia dan lebih fasih berbahasa Belanda atau bahasa daerah. Namun, hal ini tidak mengurangi semangat mereka untuk menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yang menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya bahasa pemersatu. 4. Sumpah Pemuda adalah hasil dari satu peristiwa tunggal. Narasi yang keliru: Sumpah Pemuda hanya merupakan hasil dari Kongres Pemuda II yang terjadi pada 28 Oktober 1928. Fakta sejarah: Kongres Pemuda II adalah puncak dari upaya panjang yang dimulai sejak Kongres Pemuda I pada 1926 (AI Wikipedia).
Lantas bagaimana sejarah pemuda, Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda? Seperti disebut di atas, banyak hal keliru dalam narasi sejarah pemuda, sejarah Kongres Pemuda dan sejarah Sumpah Pemuda. Narasi hanya merujuk pada Kongres Pemuda 1926 dan 1928 saja. Faktanya tidak demikian. Apakah nama kongres saat itu disebut Kongres Pemuda? Jadi, kapan istilah Sumpah Pemuda ada? Fakta yang ada adalah Poetoesan Kongres, isinya menyatakan “Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe...Indonesia”. Lalu bagaimana sejarah pemuda, Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah ahli sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.
Pemuda, Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda; Sejarah Kongres Pemuda di Indonesia dari Dulu hingga Kini
Apakah ada bukti nama kongres para putra-putri Indonesia pada tahun 1928 disebut “Kongres Pemoeda”? Itu pertanyaan intinya. Fakta bahwa Kongres Hindia yang diadakan di Belanda pada tahun 1917, atas usul mahasiswa Indonesia (yang tergabung dalam Indische Vereeniging) untuk menggantikan nama Hindia Belanda menjadi Indonesia, diterima. Buktinya, pada kongres tahun berikutnya, pada tahun 1918 nama kongres sudah diberi nama Kongres Indonesia. Bagaimana dengan nama Kongres Pemoeda? Satu yang jelas bahwa istilah ‘pemoeda’ sendiri masih terbilang belum lama populer.
De
locomotief, 02-01-1928: ‘Pemoeda Indonesia’. Seorang koresponden di Bandung
melaporkan dari Bandung pada 31 Desember bahwa kongres
"Jong-Indonesia" diakhiri dengan "pertemuan persatuan",
yang dimeriahkan dengan cuplikan-cuplikan teatrikal yang jenaka. Kongres
tersebut mengubah nama perkumpulan—Jong-Indonesia—menjadi Pemoeda Indonesia’.
Lantas mengapa nama organisasi yang baru didirikan di Bandoeng diberi nama ‘Pemoeda Indonesia’? Tampaknya nama ‘Pemoeda Indonesia’ dipilih karena terkait dengan keberadaan organisasi kebangsaan ‘Perserikatan Nasional Indonesia’ (PNI). Suatu organisasi kebangsaan Indonesia yang baru yang dipimpin oleh Ir Soekarno dkk. ‘Pemoeda Indonesia’ dalam hal ini menjadi sayap pemuda dari ‘Perserikatan Nasional Indonesia’, seperti halnya Jong Java di dalam (organisasi kebangsaan) Boedi Oetomo dan Jong Sumatranenbond di dalam (organisasi kebangsaan) Sumatranen Bond.
Terminologi
‘pemuda’ sudah barang tentu merujuk pada kata dasar ‘muda’ (lawan kata dari
kata ‘tua’). Sebagai nama suatu entitas yang menggunakan kata ‘muda’ sudah lama
eksis, seperti: Iskandar Muda di Atjeh pada permulaan abad ke-17; Soetan Moeda
van Bila (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor
Nederlandsch-Indie, 29-08-1877); Si Mail galar Soetan Moeda dan Oemar gelar
Soetan Napaso, kamponghoofd van Oetarimbaroe (lihat De locomotief: Samarangsch
handels- en advertentie-blad, 04-08-1885).
Sayap pemuda di dalam suatu organisasi (kebangsaan) Indonesia sudah eksis sejak beberapa waktu yang lalu. Jong Java secara defacto dibentuk tahun 1915 oleh Satiman dkk. Jong Sumatranenbond tahun 1917 oleh Abdoel Moenier Nasoetion dkk (lihat (lihat De locomotief, 14-12-1917). Keduanya didirikan di Batavia. Sebagaimana diketahui di Batavia juga terdapat salah satu cabang Boedi Oetomo (Boedi Oetomo afdeeling Batavia).
Sejarah organisasi kebangsaan Indonesia (baca: pribumi) secara dejure baru tahun 1900. Organisasi tersebut diinisiasi oleh Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda yang diberi nama (organisasi kebangsaan) Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda menjadi presidennya yang mana kemudian pada tahun 1901 Medan Perdamaian yang bersifat nasional menerbitkan majalah bulanan Insulinde yang menjadi organ dari Medan Perdamaian. Pada tahun 1902 Medan Perdamaian yang berkedudukan di Padang berhasil mengumpulkan dana pendidikan yang kemudian melalui Dja Endar Moeda dikirim ke Semarang untuk membantu peningkatan pendidikan penduduk. Pada tahun 1907 terinformasikan organisasi kebangsaan di Medan yang diberi nama Sarikat Tapanoeli. Sementara itu di Batavia, pada bulan Mei 1908 sejumlah mahasiswa Stovia yang berasal dari Jawa (Raden Soetomo dkk) membentuk organisasi kebangsaan yang diberi nama Boedi Oetomo. Namun organisisasi yang baru dibentuk di Buitenzorg oleh Soediro Hoesodo kemudian bergabung dalam kongres pertama Boedi Oetomo yang akan diadakan di Djogjkarta pada akhir bulan September. Dalam kongres ini, golongan senior (Soediri Hoesodo dkk) berhasil mengkooptasi kepengurusan dimana Soediri Hoesodo menjadi ketua Boedi Oetomo yang di dalam statutanya bersifat kedaerahan (hanya terbatas di Jawa dan Madoera). Golongan muda tampaknya kecewa. Dalam kongres ini juga terinformasikan bahwa organisasi sejenis sudah lama eksis di Padang (Medan Perdamaian). Pada bulan Oktober 1925 di Belanda oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan menginisiasi organisasi kebangsaan yang diberi nama Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia). Soetan Casajangan menjadi presidennya dan sekretaris merangkap bendahara Raden Soemitro. Indische Vereeniging bersifat nasional. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda yang menjadi lulusan sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean. Sejak inilah Boedi Oetomo menjadi organisasi kebangsaan senior, yang seperti disebut di atas, yang dalam perkembangannya terbentuk sayap pemuda pada tahun 1915 (Jong Java). Pada tahun 1917 Sorip Tagor Harahap, mahasiswa sekolah kedokteran hewan di Utrecht menginisiasi pembentukan organisasi Sumatra Sepakat (Vereeniging van Sumatranen) di Belanda yang diresmikan pada tanggal 1 Januari 1917. Satu bulan kemudian, di Batavia, dibentuk bond van Sumatranen yang diberi nama Keroekoenan Anak (lihat De locomotief, 04-02-1917). Disebutkan di Hindia Belanda. Batavia, 4 Februari. Bond van Sumatranen. Di Batavia sebuah Nationale Bond van Sumatranen telah didirikan hari ini dengan nama "Keroekoenan Anak". Tujuh puluh anggota bergabung. Ada sebanyak 800 orang Sumatera di Batavia, sehingga diharapkan keanggotaan asosiasi akan segera bertambah. Dua organisasi Sumatra di Belanda dan Batavia inilah kemudian yang disebut Sumatranen Bond. Lalu pada akhir tahun 1917 di Batavia, seperti disebut di atas dibentuk Jong Sumatranenbond oleh Abdoel Moenier Nasoetion dkk.
Hingga sejauh ini belum pernah terinformasikan terminology ‘pemuda’. Orang-orang Sumatra di Belanda dan di Batavia menggunakan terminologi ‘anak’, atau ‘jong’ sebagaimana Jong Java. Tampaknya terminologi ‘pemuda’ adalah sesuatu yang belum dikenal. Seperti disebut di atas, ‘pemuda’ berasal dari kata dasar ‘muda’. Namun dalam pekembangannya kosa kata ‘muda’ ini mulai popular tidak lagi sebagai lawan dari kata ‘tua’, tetapi sebagai suatu kelompok (cohort) sosial yang memiliki karakteristik sendiri.
Majalah berbahasa Melayu Bintang Hindia yang diterbitkan di Amsterdam (dengan editor Dr Abdoel Rivai, Soetan Casajangan, dkk) sejak 1905 kerap menggunakan terminologi ‘kaoem moeda’, seperti contoh: “Kaoem koena” (da kuno, secara harfiah: "orang tua"); sangat bertentangan dengan ‘kaoem moeda’ (de jongeren) dan juga memiliki dukungan yang sangat kuat dalam (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 15-05-1905). Dalam edisi Bintang Hindia yang berikutnya: ‘Orang mungkin berharap sebaliknya bagi penduduk Jawa. Banyak yang percaya bahwa hanya dengan mengenakan pakaian Eropa, mereka termasuk dalam "Kaoem Moeda" (lihat Soerabaijasch handelsblad, 03-03-1906). Land en volk, 08-08-1906: ‘Asia sedang bangkit, dan ide-ide baru juga menyebar ke Hindia Belanda kita! Kita kemudian memimpin ‘Kaoem Moeda’ (fide progresif), partai Hindia Muda, dan itu demi kepentingan mereka, tetapi tentu saja juga demi kepentingan Belanda”. Arnhemsche courant, 11-08-1906 mengutip Bintang Hindia: Uit ‘Bintang Hindia’ zien we, dat er in Indië is de partij „Kaoem Moeda," dat is die der Jong-Indiërs’. De locomotief, 01-08-1910: ‘Salah satu perubahan paling signifikan yang disaksikan Boedi Oetomo adalah terkait pendidikan publik. Meskipun kongres pertama menunjukkan dengan antusiasme dan tekad muda akan pentingnya membantu menyediakan pendidikan dasar bagi rakyat jelata secepat mungkin, pada kongres kedua, pendapat tentang isu fundamental ini telah berbeda, dan sebuah faksi berpengaruh menganjurkan apa yang disebut pembangunan dari atas. Perubahan haluan ini tentu saja menunjukkan melemahnya kepemimpinan dan masuknya unsur-unsur asing, yang seharusnya dihindari oleh ‘Kaoem Moeda’ yang awalnya begitu bersemangat’. Sumatra-bode, 25-02-1911: Padang, 25 Februari 1911. Dalam Sepak Bola. Pada rapat pengurus yang diadakan tadi malam di klub "de Club", diputuskan bahw: I. klub kelas 2 "Matador" selanjutnya akan menjadi bagian dari kelas 1; II. klub "Merapi" dan "Moeda Setia" akan diskors selama 3 bulan’.
Yang sudah eksis adalah terminologi “kaoem
moeda’, suatu terminologi baru yang tidak hanya sekadar penggunaan nama ‘muda’
dalam suatu entitas (nama orang atau nama lainnya), tetapi mengindikasikan suatu
kelompok (cohort) tertentu, kelompok orang muda, yang memiliki semangat (baru)
yang disebut ‘kaoem moeda’. Dalam konteks inilah kemudian surat kabar baru yang
terbit diberi nama “Kaoem Moeda”.
De expres, 01-04-1912: ‘Peniruan adalah sanjungan terhebat. Surat kabar Sinar Pasoendan sudah tutup. Manajernya tidak membayar. Besok, Fortuna akan menerbitkan terbitannya sendiri: harian Kaoem Moeda. Tata letaknya identik dengan (surat kabar) Express. Catatan: Surat kabar De expres adalah surat kabar berbahasa Belanda diterbitkan di Bandoeng oleh seorang investor (orang-orang Indo). Surat kabar baru ‘Kaoem Moeda’ diterbitkan dalam bahasa Melayu juga di Bandoeng. Pada masa inilah di Bandoeng terbentuk NIP (Nationale Indisch Partij).
Terminologi “Kaoem Moeda” adalah wujud dari semangat baru, semangat orang muda. Kelompok (cohort) kaum muda di Eropa sudah lama eksis sebagai satu kelompok masyarakat yang terus memperjuangkan banyak hal. Oleh karenanya, terminologi yang awalnya muncul di majalah Bintang Hindia di Belanda, lalu diserap dan ppenggunaannya semakin meluas di Hindia, hingga menjadi nama surat kabar baru di Bandoeng. Lalu bagaimana dengan terminologi ‘pemoeda’?
Kamus bahasa Melayu-Belanda karya Rooda Eisinga adalah kamus yang terbit tahun 1825 memuat entri ‘moeda’=jong; ligt in kleur. Orang moeda een jong mensch, jongeling; Kamus AA Fokker berjudul Van Goor's miniatuur Maleisch woordenboek “Maleisch-Nederlandsch en Nederlandsch-Maleisch” terbit 1900 pada entri moeda: ‘kaoem’ (qaum), ‘kaoem moeda’=modern, orang zaman modern (versus —koeno). Kamus Nieuw Maleisch-Nederlandsch woordenboek karya HC Klinkert (1902) tidak ada entri kaoem moeda maupun pemoeda atau pamoeda. Dalam buku Handleiding bij de beoefening van het Maleische letterschrift karya Charles Adrian van Ophuijsen (1902) juga tidak ditemukan entri kaoem moeda maupun pemoeda atau pamoeda. Dalam buku Maleische spraakkunst karya Charles Adrian van Ophuijsen (1915) juga tidak ditemukan entri kaoem moeda maupun pemoeda atau pamoeda. Dalam buku Maleische taal karya C Spat, terbit 1920 tidak terdapat sebutan ‘pemoeda’.
Terminologi ‘pemoeda’ belum muncul dalam
kamus-kamus bahasa Melayu yang diterbitkan oleh para penulis-penulis Belanda.
Ini mengindikasikan bahwa kata ‘pemoeda’ belum meluas penggunaanya. Nama/terminologi
‘pemoeda’ sudah muncul sebagai identitas nama organisasi. Jika terminologi ‘kooem
moeda’ popular pada awalnya, terminologi ‘pemoeda’ kemudian popular di Jawa.
Seperti disebut di atas, nama Indonesia mulai popular diantara orang pribumi
sejak 1917.
Oetoesan
Hindia, 4 Oktober, 1920 No. 185: ‘Prosesi di Soerabaja. Diumumkan bahwa selama
berlangsungnya penyelenggaraan Pasar Malam "Kemadjoean Hindia" pada
tanggal 16 Oktober 1920 di Soerabaya, parade-parade berikut akan diadakan:
Jumat malam, 8 Oktober: Prosesi anak-anak sekolah Pribumi; Sabtu malam, 9
Oktober: Prosesi Lingkaran SI Kalongm-Kemajoran; Minggu malam, 10 Oktober:
Prosesi Lingkaran SI. Tjantikon; juga akan diadakan parade dari berbagai titik
Lingkaran SI Genteng dari perkumpulan "Jong Jaa” menuju lapangan Pasar Malam.
Terakhir, pada Sabtu malam, 16 Oktober: parade gabungan Ikatan Madura dan
perkumpulan Pemoeda Soerabaja (Soerabajasche jongeliengen)’ (lihat Overzicht
van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1920, No. 40, 19-02-1920).
Terminologi ‘pemoeda’ dan nama ‘Indonesia’ sebagai satu kesatuan nama identitas diri paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1925 di Jogjakarta, yakni: Organisatie Pemoeda Indonesia (OPI). Nama ini menjadi jauh lebih spesifik jika dibandingkan dengan nama surat kabar Kaoem Moeda di Bandoeng (1912). Lalu bagaimana dengan terminologi/sebutan ‘kongres pemoeda”? Yang jelas sudah disebut nama Kongres Indonesia pada tahun 1918 di Belanda.
De Indische courant, 17-09-1925: ‘Indisch
fascisme. Het blanke front. Parada Harahap, editor Bintang Hindia, menulis
dalam surat kabar Java Bode (berbahasa Belanda) tanggal 10 lalu dengan judul
Kranten en Klanten (Koran dan Pelanggan) setelah posisi Lokomotif diambil oleh
Soerabija HBL dengan operasi pasar di Semarang. Artikel ini di Soerabajasch
Handelsblad dan Algemeen Handelsblad di Semarang. Parada Harahap mengatakan:
‘Sebagai pribumi, kemajuan negara-negara ini sangat dekat dengan hati saya, dan
berusaha agar masyarakat tetap harmonis dari semua lapisan di Hindia, harus
mencatat bawah saya pikir saya memiliki pemahaman, setidakanya mewakili
wartawan dari pers Melayu. Mohon ijin saya harus member pendapat yang sama
dikhususkan pada Soer. Hbld hari ini yang kesannya sikap yang diambil
membahayakan kerjasama yang harmonis masyarakat di Hindia. Ini telah lama
mengancam kepercayaan umum penduduk pribumi niat baik dari Belanda akan hilang
di sini di Hindia, oleh tindakan beberapa pers Eropa/Belanda dan masyarakat
ETI, terutama oleh cepat meluncurkan mereka dari tuduhan senegara mereka
sendiri, yang mendukung keselamatan India dan rakyatnya dengan cara mereka,
jika mereka bersalah mengkhianati rakyat dan negara mereka sendiri. Kesenjangan
antara Timur dan Barat dan tidak sedikit Doori (tindakan yang dimaksudkan Anda
dari Soer. Hbld) untuk membentuk sebuah front kosong, yang begitu banyak
memiliki untuk menandakan tantangan resmi yang ditujukan kepada umat berwarna
di Hindia. Bagaimana Pribumi dan disini yang mana Lokomotif, Cina berpikir,
sempurna akrab bagi saya. Lokomotif adalah salah satu organ, menekankan sopan
santun yang baik bagi kita. Dalam hal ini bagi kami adalah bukti bahwa tidak
semua Belanda memusuhi kami, baik antar penduduk asli termasuk Cina, bahwa
semua orang Eropa di Hindia kepercayaan rakyat tidak pantas berada sendirian
dengan menunjuk ke item yang yang terdapat di Soer. Hbld. dan simpatisan nya.
Memang benar bahwa Soer. Hbld. tidak hitam-putih terhadap pribumi, tetapi efek
yang diperoleh oleh sesama seperti Mr Ant Lievegoed menunjuk sebagai anti-Belanda
atau orang berbahaya bagi Nederlandsene di Hindia tidak berbeda dengan semakin
yakin terletak di antara pribumi bahwa setiap pelatih asal Belanda, yang
berusaha untuk kemajuan dan pengembangan tanah dan orang, dan yang tidak
memperkuat depan putih, dan antagonisme abaian putih dan coklat, dengan
bangsanya sebagai pengkhianat. Ini sekarang jelas tilisan anda lebih berbahaya
daripada tulisan wartawan pribumi. Pers ETI bergema di dunia asli tapi
resonansinya jauh dari menguntungkan untuk hubungan timbal balik di Hindia.
Menurut pendapat saya tugas pers putih sekarang jauh lebih besar dari
sebelumnya, sekarang jadi harus memperhitungkan jutaan orang di Hindia, yang
oleh pers sendiri dan melalui komunikasi yang lebih baik dan karena itu lebih
menjamin kontak di antara mereka sendiri, akan diinformasikan diberitahu
tentang apa yang terjadi di pers ETI tercermin apa yang mereka percaya sebagai
yang kulit putih di wilayah ini. Anda telah mendorong ke arah fasisme. Hal ini
unsur-unsur, seperti Komunis, akan datang untuk mengeksploitasi pernyataan
tidak membantu seperti dan taktik dasar merusak mereka kemudian turun, dan
digunakan sebagai alat propaganda. Soer. Hbld. Telah berusaha kebohongan, bahwa
ada lebih kecurigaan terangsang antara pribumi melawan Belanda di Hindia?
Bukankah sekarang delapan orang datang waktu untuk menahan suara seseorang dari
journalistieken diucapkan sikap simpatik terhadap penduduk pribumi menunjukkan
sikap yang menurut banyak pihak, melihat orang Barat telah mulai menaruh minat
kompromi. Tapi kemajuan daerah ini telah membuat kemajuan besar juga, sudah ada
terlalu banyak intelektual asli yang merupakan penilaian independen untuk
mengetahui untuk membuat peristiwa politik saat ini dari yang klik taruhan
reaksioner akan berani secara terbuka untuk keluar orang untuk prinsip-prinsip
etika hanya sebagai musuh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, adalah komunisme
jika diperlukan untuk membenarkan kampanye. Ada yang mau mengikut Aku, yang
akan menyelesaikan pekerjaan saya ini?’. [artikel ini juga dilansir De Sumatra
post, 24-09-1925].
Pada tahun 1925 Parada Harahap, jurnalis senior di Batavia (yang sudah berseberangan dengan pers Eropa/Belanda) menginisiasi pembentukan asosiasi jurnalis pribumi di Batavia, Uniknya Parada Harahap hanya mengajak jurnalis muda. Lalu terbentuk asosiasi jurnalis pribumi dan Cina yang diresmikan pada tanggal 6 Oktober. Dalam organisasi jurnalis ini sebagai ketua adalah Thabrani dan sekretaris WR Soepratman. Parada Harahap sendiri menjadi salah satu komisaris (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, no 41).
Overzicht van de Inlandsche en
Maleisisch-Chineesche pers, 1925, no 41: ‘Berdasarkan surat kabar Hindia Baroe
edisi 7 Oktober 1925 bahwa Journalistenbond Asia diresmikan pada 6 Oktober, dan
menurut laporan di majalah ini, ketua terpilih pada pertemuan: Tabrani DI
(Hindia Baroe). wakil ketua: Kwee Kek Boeng (Sin Po), sekretaris: WR Soepratman
(Alpena), bendahara Boen Joe On (Perniagaan) dan RS Palindih (Berita). Anggota
Dewan Pengawas adalah: Parada Harahap (Bintang Hindia), Sing Yen Chen (Sin Po,
edisi Mandarin), Khoe Boen Sioe (Keng Po), Boe Giauw Tjoen (Sin Po) dan Achmad
Wongsosewojo (Sastra Rakjat), Kontribusi untuk pemimpin redaksi adalah f1,50,
editor f1 dan koresponden f 0.50 sebulan, sedangkan biaya masuk dua kali lipat.
Serikat pekerja juga telah dibentuk di Medan, sedangkan Parada Harahap akan
melakukan propaganda untuk afiliasi di Sumatera. Tentang pembentukan organisasi
ini sudah diberitakan sekitar satu bulan sebelumnya (lihat Deli courant,
02-09-1925). Pertemuan pembentukan organisasi ini diadakan di gedung kantor
berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di Weltevreden (lihat De Sumatra post,
29-09-1925). Sebelum itu di Batavia juga sudah didirikan organisasi non Belanda
(lihat Bataviaasch nieuwsblad, 13-01-1925). Disebutkan De Indische Associatie
Vereeniging), kemarin malam di Oost-Java Restaurant een diadakan pertemuan yang
mengumpulkan asosiasi-asosiasi di Hindia Belanda. Di dalam pertemuan ini
dibicarakan AD/ART program dan struktur kepengerusan. Program meliputi kegiatan
poolitik yang sehat, pengembangan pendidikan, pelatihan kejuruan sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar. Disamping itu untuk mempromosikan tingkat kesehatan,
kesejahteraan, hubungan keuangan Negara dengan daerah dan lainnya.
Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo, sekretaris Tb van Nitterik,
penningmeester, Mobamad Djamil, commissarissen: Parada Harahap, Raden Goenawan,
Oey Kim Koel, JK Panggabean, Ph J Krancher en A. Cbatib’.
Parada Harahap adalah salah satu tokoh pers pribumi dari golongan muda di Batavia. Meski masih muda (lahir 1899), tetapi pengalamannya di dunia jurnalistik sudah sangat panjang. Hal itulah mengapa Parada Harahap memiliki inisiatif untuk membentuk organisasi para jurnalis (yang nota bene dibedakan dengan para jurnalis orang Eropa/Belanda).
Parada Harahap memulai karir jurnalistik di
Medan sebagai redaktur surat kabar Benih Mardika dan redaktur surat kabar
Pewarta Deli (1918). Organisasi wartawan dipelopori oleh Parada Harahap di
Medan tahun 1918. Pada tahun 1919 Parada Harahap pulang kampong dan kemudian mendirikan
surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Di kota ini juga Parada Harahap
menjadi redaktur majalah Poestaha (yang didirikan Soetan Casajangan pada tahun
1915). Oleh karena sering terkena delik pers dan beberapa kali di penjara
akhirnya Sinar Merdeka dibreidel, pada tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke
Batavia dan awalnya bekerja sebagai redaktur di surat kabar harian Neratja dan
kemudian mendirikan surat kabar Bintang Hindia tahun 1923 (bersama Dr Abdoel Rivai).
Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi yakni Alpena
dengan merekrut WR Soepratman. Saat dimana belum lama WR Soepratman keluar dari
surat kabar Kaoem Kita di Bandoeng. Dalam perkembangannya, diketahui bahwa
Tabrani telah menjadi pemimpin redaksi surat kabar yang terbit di Batavia,
Hindia Baroe (lihat De Indische courant, 20-07-1925). Disebutkan redacteur van
de Hindia Baroe yang sebelumnya mengundurkan diri St. Palindih telah digantikan
oleh M Tabrani Soerjo Witjitro. Hindia Baroe adalah nama baru dari manajemen
baru Neratja. Besar dugaan, Parada Harahap yang mengajak Mohamad Thabrani dan
WR Soepratman dari Bandoeng ke Batavia pada awal tahun 1925. M Thabrani lulus
sekolah OSVIA di Bandoeng 1925.
Parada Harahap saat ini tidak hanya terbilang wartawan terbaik pribumi dari versi orang-orang Eropa/Belanda. Tetapi juga menjadi corong bagi kaoem pribumi (sebagai penduduk yang terjajah). Kini, tiga serangkai yang baru telah muncul, yakni dua di Batavia yang senior Parada Harahap dan yang junior Tabrani serta satu di Belanda Mohamad Hatta.
Sebagaimana diketahui antara Parada Harahap dan Mohamad Hatta sudah sejak lama terjadi persahabatan. Ini dimulai pada Kongres Jong Sumatranen Bond di Padang pada tahun 1919 yang mana saat itu Parada Harahap sebagai pemimpin surat kabar di Padang Sidempoean Sinar Merdeka menjadi ketua delegasi Tapanoeli ke kongres, sementara Mohamad Hatta (masih sekolah MULO) sebagai pimpinan delegasi kota Padang dalam kongres. Pada tahun 1919 Mohamad Hatta melanjutkan studi ke HBS di PHS Batavia. Pada tahun 1921 Mohamad Hatta melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun 1925 ini di Belanda, Mohamad Hatta menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia (dulu disebut Indische Vereeniging yang didirikan Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan tahun 1908).
Parada Harahap meski masih muda tetapi dari segi pengalaman yang banyak menjadikannya dengan cepat tidak lagi dianggap ‘keoem moeda’. Parada Harahap pemimpin redaksi Bintang Hindia di Batavia adalah mantan ketua Jong Sumatranen Bond di Tapanoeli (1919-1922). Parada Harahap dalam hal ini sejak awal sudah memeliki cara berpikir tidak sukuisme lagi, seperti seniornya dari Padang Sidempoean Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pendiri Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908 tetapi lebih berpandangan nasionalis. Catatan: Pada tahun 1925 Mohamad Hatta dkk di Belanda telah mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia.
Parada Harahap selagi masih di kampoeng halaman di Padang Sidempoean
memimpin surat kabar Sinar Merdeka, pada tahun 1919 di Batavia dibentuk
organisasi kebangsaan baru yang diberi nama Bataksch Bond. Pendirinya adalah Dr
Abdoel Rasjid Siregar kelahiran Padang Sidempoean. Pendirian ini dipicu karena di
dalam internal Sumatranen Bond mengerucut sentiment agama. Dr Abdoel Rasjid Siregar
menginisiasi pembentukan organisasi baru untuk organisasi alternatif bagi orang
Batak. Sementara saudaranya di Oost Sumatra masih bagian dari Sumatranen Bond.
Pada tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke Batavia menjadi redaktur surat kabar
Neratja. Pada tahun 1923 Parada Harahap dan Dr Abdoel Rivai mendirikan surat
kabar Bintang Hindia. Usianya yang sudah memasuki 25 tahun pada tahun 1925
tentu saja sudah tidak menjadi ‘kaoem moeda’ lagi. Pada tahun 1925 inilah sayap
pemuda Bataksche Bond dibentuk dengan ketua Aminoedin Pohan (kelahiran Padang
Sidempoean) mahasiwa Stovia. Seperti disebut di atas, pada tahun 1925 di Batavia
dibentuk semacam federasi organisasi non Belanda yakni Indische Associatie
Vereeniging yang meliputi orang pribumi, orang Cina dan orang Indo. Dalam badan
pengurus termasuk Mohamad Djamil, Parada Harahap, Raden Goenawan dan JK
Panggabean. Seperti disebut di atas, pada
bulan Oktober 1925 dibentuk organisasi para jurnalis non Belanda (Journalistenbond
Asia). Dalam struktur pengurus terdapat Tabrani DI, Kwee Kek Boeng, WR
Soepratman, RS Palindih dan Achmad Wongsosewojo.
Sentimen etnik antara Batak dan Minangkabau yang muncul di Batavia sejak beberapa lalu, tampaknya mulai dipertemukan. Parada Harahap adalah tokoh yang tepat berada di tengahnya. Parada Harahap adalah seorang putra Batak tetapi afiliasi organisasinya lebih condong ke Sumatranen Bond daripada Bataksch Bond. Mengapa? Parada Harahap adalah mantan Jong Sumatranen Bond (sebelum terbentuk organisasi Bataksch Bond dan Jong Batak).
De nieuwe vorstenlanden, 23-09-1925: ‘Orang-orang Sumatra di lapangan
sepak bola. Sudah lama, ada semacam kebencian yang tak terpuaskan antara orang
Minangkabau dan orang Batak di kota ini, karena hal-hal sepele dalam olahraga
dan... sastra. Sekitar sebulan yang lalu, para pemimpin kedua suku Sumatra ini
mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan perbedaan mereka dan membuat janji
bersama untuk mengakhiri permusuhan anak-anak Sumatra yang mencari pendidikan
atau mata pencaharian di Batavia untuk selamanya. Para pemimpin
mempertimbangkan, tetapi para pemuda memutuskan. Beberapa minggu sebelumnya,
kedamaian kembali terganggu, kali ini di lapangan olahraga. Sebuah perkelahian
terjadi, yang untungnya berakhir tanpa hambatan. Apa yang terjadi Sabtu sore,
menurut kami, cukup untuk membuat piala meluap. Seorang saksi mata melaporkan
hal berikut: Pada Sabtu sore, sebuah insiden yang sangat serius terjadi di
lapangan sepak bola Decapark, yang, menurut pendapat semua orang, harus dicegah
di masa mendatang. Pertandingan tersebut berlangsung antara SVC (Sumatra Voetbal
Club) dan BVV (Bataksch Voetbal Vereeniging), dalam pertandingan divisi-2 di
liga sepak bola Batavia. Sebelum turun minum, skor 0-3 untuk kemenangan klub
tersebut. Setelah jeda, salah satu pemain SVC melakukan kontak keras dengan
lawan, menyebabkan cedera di wajahnya; bahkan, darah mengalir dari mulutnya.
Insiden ini tidak disengaja. Namun, kapten SVC Abdoel Hamid Loebis,
memanfaatkan hal ini untuk memancing pemainnya membalas dendam dengan
berteriak: ‘Madjoe, ajo gasak’. Tentu saja wasit tidak mengizinkan hal ini dan
langsung mengeluarkan pemain tersebut dari lapangan. Ia memang pergi, tetapi
sempat memancing pertengkaran lagi dengan kiper BVV Godje, yang membalas,
sehingga Godje juga harus dikeluarkan dari lapangan oleh wasit Bruins. Mereka
berdua pergi ke ruang ganti, tempat pertengkaran berlanjut. Para penonton, yang
sebagian besar terdiri dari orang Minangkabau dan orang Batak, tampak memihak.
Bagaimanapun, partai-partai dibentuk, dan persiapan dilakukan untuk
menyelesaikan perselisihan yang telah berlangsung lama jika perlu. Situasi
menjadi semakin tegang. Sesuatu harus terjadi untuk memicu perkelahian. Dan
sesuatu itu terjadi. Bapak Parada Harahap, seorang jurnalis ternama Batak,
datang ke ruang ganti dengan kotak P3K untuk pertolongan pertama pemain SVC
yang terluka tersebut. Namun, di dekat ruang ganti, seseorang dari penonton,
entah sengaja atau karena kerumunan yang sudah ada, hampir mendorongnya ke
dalam benteng. Pertengkaran singkat yang tidak masuk akal terjadi di antara
keduanya. Namun, orang-orang Minangkabau, yang emosinya tampak meluap-luap,
mendesak maju, dan pada suatu saat, Tuan Parada Harahap dipukul di bagian
belakang kepala, membuatnya jatuh. Ini adalah sinyal untuk perkelahian umum
antara orang Minangkabau dan Batak, yang sayangnya, benda tajam juga tampaknya
telah digunakan; setidaknya beberapa orang terluka, dengan luka tusuk di dada
dan lengan. Polisi segera berhasil menjaga ketertiban dan membawa korban luka
ke rumah sakit kota CBZ. Investigasi segera diluncurkan, yang masih
berlangsung. Menurut laporan pertandingan yang disusun oleh wasit Bruins,
kejadiannya pasti agak aneh. Laporan tersebut menyebutkan, antara lain, bahwa
pemain Sitanggoeng dari BVV dan kapten SVC harus dikeluarkan dari lapangan
karena mereka memulai perkelahian. Hal ini menyebabkan perkelahian mendadak di
antara penonton, dengan pisau dan kursi digunakan, sementara para pemain SVC
meninggalkan lapangan dan ikut berkelahi. Pukul 6, dengan sisa waktu dua puluh
menit, pertandingan harus dihentikan, karena hanya pemain BVV yang hadir di
lapangan. "Dipahami bahwa kapten SVC, Abdoel Hamid Loebis, mengakui di
markas polisi bahwa ia telah menghasut para pemainnya untuk bermain kasar dan
telah mengucapkan kata-kata 'madjoe gasak'. Sekian faktanya. Kami percaya bahwa
tindakan tegas dan keras harus diambil terhadap para pembuat onar, tidak hanya
oleh orang Sumatra, tetapi juga oleh pihak-pihak lain, karena hal ini tidak
hanya memengaruhi olahraga, tetapi juga persatuan dan persahabatan di antara
putra-putra Hindia. Semua orang akan setuju dengan kami bahwa kelanjutan
perselisihan ini akan meninggalkan kesan yang sangat buruk bagi non-Sumatra,
penduduk asli, dan orang Eropa, dan kami berharap para pemimpin kedua belah
pihak juga akan menyadari hal ini. Pertemuan baru diperlukan dan kedua belah
pihak tidak hanya harus berjanji lagi untuk menjaga perdamaian dan
persahabatan, tetapi juga tindakan tegas juga akan diambil terhadap mereka yang
mengganggu kerukunan, jika perlu mengecualikan mereka dari semua kontak dengan
sesama ras dan suku, sehingga mereka kemudian dapat melampiaskan semangat juang
dan kebencian mereka sendiri, tanpa melibatkan orang lain’.
Boleh jadi atas kejadian di lapangan sepak bola, kemudian para pemuda Batak menginisiasi untuk pembentuk organisasi kepemudaan dalam suatu pertemua. Seorang tokoh pendidik di Batavia, Mr Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia yang juga anggota Volksraad diundang untuk memberi nasehat dan juga ketua Jong Sumatranen Bond, Bahder Djohan (tentu saja sekretarisnya Diapari Siregar turut hadir). Dalam pertemuan ini disepakati membentuk organisasi kepemudaan yang diberi nama Jong Batak Bond.
De
locomotief, 11-12-1925: ‘Jong Batak Bond. Pada hari Minggu, tanggal 6 bulan
ini, lebih dari 70 siswa dari berbagai sekolah menengah di Batavia, semuanya
berasal dari Batak, bertemu di gedung Lux Orientis di Weltevreden. Di antara
yang hadir adalah Bapak Toedoeg Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, anggota
Volksraad (Dewan Rakyat). Bapak Moelia berpartisipasi dalam diskusi tersebut. Setelah
perdebatan panjang, diputuskan untuk membentuk Jong Batak Bond. Bahder Djohan,
ketua Dewan Eksekutif Jong Sumatranen Bond, mengucapkan selamat kepada kaum muda
Batak atas persatuan baru ini, yang didirikan untuk memajukan kepentingan
mereka dan akan bekerja sama dengan persatuan-persatuan sejawatnya. Beliau
menyampaikan pidato atas Jong Sumatranen Bond. Sebuah dewan kemudian dipilih.
Lebih lanjut, keinginan untuk segera menerbitkan majalah terpisah, yang diberi
nama Jong Batak, juga dikemukakan. Jika memungkinkan, penerbitan akan dimulai
pada tanggal 1 Januari. Nona VL Tobing, Sanoesia Paue, dan dua pemuda lainnya
ditunjuk sebagai pemimpin redaksi. Cabang-cabang akan segera didirikan di
tempat-tempat di mana terdapat pemuda Batak, seperti Medan, Sibolga, dan
lain-lain.
Seperti disebut di atas, sayap pemuda organisasi kebangsaan Sumatranen Bond adalah Jong Sumatranen Bond yang kini dipimpin oleh Bahder Djohan (ketua) dan Diapari Siregar (sekretaris) yang keduanya sama-sama mahasiswa Stovia. Tidak lama setelah pendirian Jong Batak Bond, pada akhir tahun 1925 terinformasikan para pemuda akan melakukan kongres nasional.
De Indische courant,
30-12-1925: ‘Kongres pemuda Indonesia. Kami telah mendengar dari sumber yang
dapat dipercaya bahwa kongres pemuda Indonesia pertama akan diadakan di
Weltevreden selama hari-hari Paskah mendatang. Tujuan dari kongres tersebut
adalah untuk membangkitkan semangat kerja sama di berbagai asosiasi pemuda di
negeri ini, sehingga meletakkan dasar bagi persatuan Indonesia, di mana Hindia
kemudian harus dilihat dalam konteks dunia yang lebih luas. Kerja sama seperti
itu sulit ditemukan dalam perkumpulan-perkumpulan nasional besar kaum lanjut
usia, yang karena kepedulian terhadap keberadaan sosial mereka, hanya memiliki
sedikit kontak dengan gagasan-gagasan baru, cita-cita baru yang kini
menggemparkan dunia, dan yang sedang mempersiapkan dunia. dari hubungan baru.
Perhatian khusus akan diberikan pada konvensi ini untuk memajukan warga negara
Indonesia dengan mengantisipasi segala sesuatu yang memecah belah. Selanjutnya,
beberapa topik yang sangat topikal dan penting bagi Indonesia akan dibahas.
Penyelenggaraan kongres ini berada dengan panitia: Tabrani (ketua); Bahder
Djohan (wakil ketua), Soemarto (sekretaris), J Toule Solehuwy (bendahara);
Komisaris P. Pinontoan. Selain Tabrani, semua adalah siswa STOVIA dan
Rechthoogeschool’,
Dalam kepengurusan (panitia kongres pemuda) Tabrani dan Bahder Djohan terhubung dengan senior Parada Harahap. Tabrani dari kalangan jurnalis muda (Hindia Baroe eks Neratja) dan Bahder Djohan dari lingkungan mahasiswa (Jong Sumatranen Bond). Dalam konfigurasi baru pemimpin nasional sudah dengan tegas membebaskan diri dari dua hal yakni tidak terikat dengan Belanda (meskipun Indo) dan tidak berhaluan agama (memisahkan diri campur agama dalam politik nasional). Dalam hal ini agama adalah satu hal (urusan pribadi individu dengan tuhannya) dan nasional Indonesia adalah hal lain (urusan bersama semua orang Indonesia).
De locomotief, 21-01-1926: ‘Sebuah ordonansi bahwa di wilayah residensi
Yogyakarta, hak untuk berkumpul diberikan kepada: I. perkumpulan pemuda,
sebelumnya dikenal sebagai ‘Sarekat Pemoeda’ atau ‘Organisatie Pemoeda
Indonesia (OPI), Organisasi Pramuka Indonesia (IPO), atau Organisasi Pemoeda
(Internasional) Indonesia (IPO)’. VIII. Organisatie Pemoeda Indonesia (OPI),
Organisasi Pramoeka Indonesia (IPO), tunduk pada pembatasan berikut: a. ketentuan
pasal 5 dari Dekrit Kerajaan di Buletin Undang-Undang, Perintah, dan Dekrit
Hindia Belanda 1919 No. 27 berlaku untuk semua pertemuan yang terbuka untuk
umum, serta pertemuan yang diadakan di tempat-tempat yang biasanya dapat
diakses oleh umum, selain dari tempat-tempat pertemuan yang disebutkan di
bawah. Perintah tidak diizinkan kecuali kepala pemerintah daerah telah
memberikan pemberitahuan tentang hal ini setidaknya lima hari sebelumnya, yang
menyatakan bahwa, kecuali banding diajukan kepada kepala pemerintah, ia
berwenang untuk melarang penyelenggaraan pertemuan tersebut, asalkan ketentuan
Pasal 6, 7 dan 7a dipatuhi’.
Gerakan para pemuda (termasuk mahasiswa di Belanda), tampaknya mulai menjadi perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Di Belanda, Mohamad Hatta dkk dalam Perhimpoenan Indonesia telah mengubah nama organnya (majalah) Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Ini tampaknya paralel di Batavia ketika nama surat kabar Neratja berganti nama menjadi Hindia Poetra (dengan pemimpin redaksi M Thabrani). Perhatian Pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan pemuda pribumi ini dengan menerapkan ordonansi yang baru. Parada Harahap dan kawan-kawan termasuk Tabrani dan WR Soepratman sudah mengklaim diri sebagai bagian yang memperjuangkan Indonesia Raya.
De locomotief, 05-01-1926:
‘Unsur pengakuan dalam gerakan pribumi. Di surat kabar Hindia Baroe mulai Sabtu
yang lalu, kami menemukan kata perpisahan dari haji Agoes Salim, yang dengan
demikian mengundurkan diri dari kepemimpinan majalah. Apa yang dia katakan
bermuara pada fakta bahwa alasan mengundurkan diri karena dia ingin melihat
perjuangan kemerdekaan Indonesia dipandu di jalan Islam yang menurutnya tidak
bisa dilakukan di surat kabar seperti Hindia Baroe, tidak berdasarkan agama,
Anda mendukung agama Islam, memajukan umat melalui agama dan pengetahuan agama
tidak mungkin dalam kondisi seperti itu. Kepemimpinan sekarang telah berlalu
untuk sementara waktu di tangan Tabrani, yang dalam kata pengantar mengatakan
seperti ini: ‘Arah majalah ini sekarang adalah Indonesia, yang cita-citanya
akan lebih dikedepankan dari sekarang. Jika arah ini diikuti, kepemimpinan baru
berharap bahwa majalah tersebut akan menjadi pendukung besar bagi perkembangan
senyum Indonesia Raya. Apa pentingnya program ini? Dia mengatakan bahwa jelas
bahwa ide Indonesia Raya sedang berkembang diantara para pemimpin pribumi. Kita
mengingat kembali apa yang telah terjadi dalam waktu singkat’.
Mereka yang mengklaim diri nasionalis Indonesia itu telah berada di lingkaran orbit Parada Harahap di Batavia yang sudah sejak lama tidak melihat lagi tujuan kesukuan (daerah) dan agama. Parada Harahap adalah pendukung fanatik Indonesia Raya. Parada Harahap telah mendapat rekan baru Tabrani (Hindia Baroe) dengan memisahkan dirinya Agoes Salim (ke label agama).
Indonesia Raya. Nama
Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1850 (usul dari Richard Logan dalam
suatu artikelnya). Lalu seorang warga Belanda keturunan Jerman Adolf Bastian
mempopulerkan nama Indonesia tersebut di Eropa/Belanda dan Hindia. Di Hindia
seorang akademisi Belanda, Cornelis van Vollenhoven mengadopsi nama Indonesia
di dalam bukunya Hukum Adat (Het adatrecht van Nederlandsch-Indie) yang
diterbitkan pada tahun 1918 dalam tiga jilid (penerbit Brill). Sebagaimana
disebut pada tahun 1917 di Belanda nama Indonesia diusulkan dalam Indisch
Congres sebagai nama untuk wilayah Hindia Belanda yang kemudian pada tahun 1918
nama kongres telah menjadi Indonesisch Congres. Sejak inilah nama Indonesia
diantara orang Indonesia semakin tersebar luas dan dan digunakan untuk nama
organisasi, nama usaha dan sebagainya. Bagaimana dengan terminologi ‘raya’? Raja
(besar) dibedakan dengan Radja (pemimpin). Menurut penulis Eropa menyebut Raja
(Rachi) di Taprobana yang juga terdapat dalam peta era Ptolomeus abad ke-2 (lihat
Leydse courant, 05-05-1828). Para penulis menduga pulau Taprobana adalah
Sumatra atau Kalimantan. Nama-nama geografis Raja (baca: Raya) banyak ditemukan
di Sumatra bagian utara seperti gunung Loeboe Raja di Angkola, Tapanoeli
(Padang Sidempoean), pulau Raja di dekat Singkil, sungai Kroeeng Raja di Atjeh
dan nama kampong Raja di Simaloengoen. Nama Raja (Raya) sebagai nama geografis juga
banyak ditemukan di Kalimantan seperti Soengai Raja di pantai barat KalimantanPalangka
Raya ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah; Gunung Raya (Gunung Bukit Raya) gunung
tertinggi di Kalimantan yang berada di perbatasan Kalimantan Barat dan
Kalimantan Tengah; Murung Raya salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan
Tengah; Menthobi Raya sebuah desa di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah; Muroi
Raya sebuah desa di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kata ‘raja’ (raya)
inilah yang kemudian diketahui seperti Hari Raja dan sebagainya yang kemudian
Indonesia Raja. Fakta bahwa tidak ditemukan nama geografis Raja di pulau Jawa. Parada
Harahap lahir di kampong Pargaroetan di lereng gunung Loeboe Raja, Angkola
(Akkola). Untuk sekadar menambah disini: Pada peta Ptolomeus (abad ke-2) di
identifikasi nama Tacola di pantai barat Sumatra bagian utara. Apakah Tacola tersebut
adalah Batang Angkola, Batak Angkola atau Takkolam dalam prasasti Tanjore (1030)?
Sebelumnya Parada Harahap telah menemukan kawan seperjuangan dengan hadirnya WR Soepratman di sekitarnya. Sebagaimana diketahui WR Soepratman keluar dari surat kabar Kaoem Kita di Bandoeng karena masuknya (kembali) Abdoel Moeis yang membawa misi Islam (Abdoel Moeis menggantikan WR Soepratman). WR Soepratman sendiri di Batavia yang menjadi redaktur kantor berita Alpena (milik Parada Harahap) tinggal di sebuah pavilium rumah Parada Harahap. Persiapan kongres pemuda yang pertama sudah mulai dimatangkan.
De locomotief,
25-03-1926: ‘Kongres pemuda Indonesia. Selain yang telah disebutkan, mengenai rencana untuk
mengadakan Kongres pemuda
Indonesia di Batavia, dimana Tabrani DI, pemimpin redaksi Hindia Baroe, sebagai
ketua panitia persiapan, kami sekarang dapat mengatakan informasi berikut:
Minggu lalu diadakan pertemuan oleh pimpinan berbagai asosiasi pemuda, antara
lain Jong-Java, Jong Sumatranen Bond,
Jong Ambon. Jong-Mmahassa, Jong Batak Bond, Sekar Roekoen (Ikatan Moeda
Soenda). untuk pembahasan lebih lanjut mengenai rencana ini. Disini telah
ditentukan bahwa Kongres Pemuda pertama akan diadakan di Batavia dari tanggal
30 April, 1 Mei dan 2 Mei. Sebuah rancangan agenda telah disiapkan dalam
persiapan, tetapi belum disetujui secara resmi. Sementara masih menunggu
jawaban dari asosiasi pemuda lain dan juga dari Perhimpoenan Indonesia di
Belanda. Pertama-tama akan dibahas Pemikiran Besar Indonesia, kedudukan
perempuan dalam masyarakat Indonesia modern, dll. Sebagai pembicara sudah
terdaftar mahasiswa dari Stovia, AMS Jogja dan Bandoeng dan mahasiswa dari
perguruan tinggi di Batavia dan Bandoeng’. Persiapan kongres
pemuda sudah benar-benar matang dan siap dilaksanakan
(lihat De Indische courant, 29-04-1926).
Kongres pemuda pada tanggal 30 (hari Jumat) dibuka yang diadakan di gedung Loge Freemason atau Lux Orientes (tidak jauh dari kantor surat kabar Bintang Hindia dan kantor berita Alpena) yang turut dihadiri berbagai organisasi pemuda (lihat De locomotief, 01-05-1926). Dalam pembukaan ini pernyataan kepatuhan dari asosiasi yang diwakili dan lainnya dibacakan; Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Asosiasi Pemuda Teosofis, Ambonsche Studeerenden, Jong Minabassa, Jong Islamietenbocd, Jong Batak, Sarikat Minahasa, Boedi Oetomo Afdeeling Batavia, Pelajar Indonesia (Sekar Roekoen), Darmo, Ali Tirtosoewirjo, Prawira dan Ny. Koesoema Sumantri; sementara itu divisi Batavia Mohammadjjah dan Jong-Java serta Pasoendaa tidak terwakili (tetapi terwakili oleh kehadiran Boedi Oetomo Afdeeling Batavia dan Sekar Roekoen).
Topik-topik yang
dipresentasikan dalam kongres ini antara lain persatuan Indonesia, masa depan
perempuan, bahasa dan sastra serta agama dalam gerakan. Beberapa kesimpulan
persatuan Indonesia, usualan bahasa Melayu (lingua franca) sebagai bahasa
persatuan Indonesia, kemajuan perempuan tanpa meninggalkan budaya Indonesia dan
masalah agama harus berada di luar pembicaraam kongres (lihat De locomotief,
06-05-1926).
Bagaimana hasil-hasil kongres pemuda pada akhir bulan April 1926 tidak terinformasikan secara luas di surat kabar. Mengapa? Yang terinformasikan kemudian di Batavia adalah bahwa Parada Harahap menerbitkan surat kabar baru (dengan nama Bintang Timoer). Surat kabar ini akan menjadi surat kabar harian pertama dalam pers pribumi. Tidak hanya itu. Parada Harahap juga menerbitkan buku barunya. Dalam hal ini Parada Harahap dapat dikatakan jurnalis pribumi yang memiliki portofolio tertinggi di Batavia (boleh jadi di seluruh Hindia Belanda).
Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 12-07-1926: ‘Harian Melayu Baru. Surat kabar Cina-Melayu
mengumumkan penerbitan harian Melayu baru yang akan segera terbit, yang akan
dipimpin oleh Bapak Parada Harahap, editor mingguan bergambar Melayu
"Bintang Hindia." Dalam mingguan ini, Bapak PH telah berulang kali
mengimbau rekan-rekannya untuk tidak tertinggal dari kelompok masyarakat lain
dalam hal jurnalisme. Beliau dengan tepat menunjukkan fakta yang aneh dan tidak
menyenangkan bahwa di Hindia Belanda, atau Indonesia, tidak ada satu pun harian
Indonesia yang sepenuhnya dapat bersaing dengan terbitan Tionghoa dan Eropa,
bahkan di Batavia, ibu kota nusantara. Kami mendoakan kesuksesan bagi para
pengembang rencana ini dan berharap mereka akan melanjutkannya. Masyarakat Hindia
tentu membutuhkan surat kabar harian yang baik dan dikelola dengan baik di
bawah manajemen dan kepemilikan Hindia’.
Deskripsi dan interpretasi tentang kongres pemuda tahun 1926 dan hasil-hasilnya disarikan oleh Mohamad Amir dalam suatu artikel yang dimuat dalam majalah De opbouw; democratisch tijdschrift voor Nederland en Indie, jrg 10, 1927) dengan judul Sekitar Kongres Pemuda Indonesia. Paragraf pertama dimulai: Dari tanggal 1 hingga 3 Mei 1926, sebuah kongres yang sangat menarik diselenggarakan di Batavia oleh perkumpulan-perkumpulan pemuda pribumi, bertajuk "kongres pemuda Indonesia pertama" (het eerste Indonesische jeugdcongres). Kini setelah kami memiliki risalah presentasi dan rencana untuk segera menyelenggarakan kongres kedua, kami merasa sudah saatnya untuk menarik perhatian para pembaca pada fakta ini. Dalam artikel kami tentang "Kebangkitan Kebudayaan di Indonesia" di majalah ini kami menyebutkan keberadaan "gerakan pemuda" yang idealis di Timur”.
Artikel ini mengambil Sebagian dari laporang kongres dan artikel ini memulainya dengan deskripsi latar belakang organisasi-organisasi kepemudan. Saat ini rata-rata mahasiswa jarang, bahkan mungkin tidak pernah, bertemu keluarga Eropa yang baik, sementara lingkungan asli salah memahami mereka, mencabut mereka, atau bahkan merendahkan mereka: kampung-kampung Kepoe, Kemajoran, Kebonsirih, untuk tetap bertahan di Batavia, menyembunyikan dunia suka duka mahasiswa. Gerakan pemuda mempertahankan tingkat kontak tertentu dengan para tetua. Dukungan finansial diberikan oleh yang terakhir, tetapi jurang moral dan intelektual yang lebar menganga di antara mereka. Kejahatan populer yang diperangi kaum muda, seperti delusi rasial, provinsialisme, poligami, pernikahan paksa... dilestarikan oleh para tetua. Pengaruh para mahasiswa cukup besar ketika mereka kembali ke pulau masing-masing untuk liburan. Mereka tidak lagi merasa nyaman di lingkungan mereka, mereka melihat pelecehan, kehilangan cita-cita, dan mengalami banyak konflik dengan keluarga mereka, misalnya, terkait pernikahan. Namun, mereka membawa peradaban baru dari Barat ke pedalaman, bentuk-bentuk baru interaksi sosial, cita-cita keluarga, benda, buku, cerita, dan pengetahuan...Mengenai perkumpulan-perkumpulan pemuda yang muncul di bawah pengaruh komunis, seperti Organisasi Pemoeda Indonesia, Organisasi Pramuka Indonesia, dan Organisasi Pemuda Internasional Indonesia, yang juga dikenal sebagai Sarekat Moeda, Barisan Moeda…Upaya yang dilakukan enam tahun lalu oleh mendiang Dr. M. Basoeki dan kami untuk membentuk federasi antar-perkumpulan pemuda utama demi memajukan kepentingan bersama Indonesia gagal. Para pemuda, seperti para tetua, menginginkan "persatuan terpisah". Slogan pemersatu itu tidak ada. Slogan itu akan datang. Dalam beberapa tahun terakhir, bentuk "nasionalisme" yang agresif telah berkobar di Jepang, Tiongkok, Filipina, India, dan Mesir—singkatnya, di antara semua ras kulit berwarna—dengan kecenderungan anti-Eropa dan... materialistis…Kita sedang memberantas komunis ilegal di sini—terlibat dalam politik praktis; mereka hanya berkutat pada refleksi teoretis di majalah atau pertemuan. Ketenangan ini sangat kontras dengan radikalisme mahasiswa Indonesia di Belanda…jalannya Kongres pertama. Ketuanya adalah Bapak Tabrani, anggota Jong Java dan saat itu pemimpin redaksi Hindia Baroe...Intisari dari seluruh kongres dapat didengar dalam satu kalimat ini: "Kita semua, orang Jawa, Sumatra, Minahasa, Kalimantan, dan lainnya, telah dibentuk oleh sejarah menjadi manusia yang harus saling membantu jika kita ingin mencapai apa yang kita semua perjuangkan, yaitu kemerdekaan Indonesia, Tanah Air kita tercinta" (hlm. 3). Setelah memberikan gambaran singkat tentang pembentukan gerakan pemuda, beliau menutup pidatonya dengan mengungkapkan harapan yang kuat "agar kongres ini dapat menjadi dukungan bagi generasi muda Indonesia, yang akan segera terpanggil untuk bekerja, berkarya, berjuang, dan mati demi kemerdekaan Negara dan Rakyat kita. Rakyat Indonesia dari seluruh kepulauan di nusantara, bersatulah." Para delegasi dari perkumpulan Jong-Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Batak, Jong Theosofen Bond, Jong Ambon, Studieerenden-Vereeniging Minahassa, Studieclub Indonesia, Boedi Oetomo, dan Mohammadija kemudian menyampaikan simpati mereka terhadap Kongres Pemuda pertama ini. Soemarto kemudian membahas permasalahan terkini tentang "gagasan persatuan Indonesia", yang menurutnya, "pertama dan terutama merupakan gagasan politik" (hlm. 13). Isu inti pembicara adalah "bukan apakah pembentukan bangsa Indonesia dimungkinkan, melainkan apakah diinginkan dan perlu bagi kita untuk membentuk persatuan" (hlm. 15). Ia kemudian menyoroti asal-usul gerakan pribumi, termasuk gerakan pemuda. Kesimpulannya adalah: "tidak ada organisasi yang pernah mengingkari perlunya kerja sama dan persatuan" (hlm. 23). Pembicara kemudian menjawab pertanyaan apakah persatuan Indonesia mungkin terwujud. "Tentu saja, karena kita sudah memiliki landasan bersama, yaitu bahwa kita semua berada di bawah kekuasaan Belanda. Tidak ada keberatan untuk membangun struktur yang terpadu atas dasar ini." (hlm. 23). Sikap terhadap agama harus netral. "Kita tidak bebas secara politik, bukan secara agama." Sebagai langkah praktis, beliau merekomendasikan "pembentukan perkumpulan Jong Indonesia", bukan federasi perkumpulan yang sudah ada, karena hal ini akan melemahkan rasa kebersamaan, melainkan penggabungan. Tujuannya kemudian adalah "menghilangkan ketiadaan kebebasan bersama yang dimiliki Indonesia." (hlm. 25). Pembicara ini juga menutup pidatonya dengan seruan: "Jong Indonesiers”, maju menuju persatuan, maju menuju “Indonesia Merdika!". Beberapa orang bersimpati dengan usulan perkumpulan pemuda nasionalis tersebut. Mereka secara intuitif merasa bahwa kebahagiaan rakyat Indonesia bergantung pada sejauh mana putra-putri mereka dapat mewujudkan persatuan. Tentu saja, ada secercah harapan— Diskusi masih menyisakan keraguan dan perpecahan. Keraguan, apakah politik dapat dikaitkan dengan tujuan Jong Indonesia. Delegasi Jong Jawa (perkumpulan pemuda terbesar) menentang hal ini. Perpecahan, bahkan sudah terjadi dalam pemilihan agen pengikat; akankah nasionalisme menjadi sebuah penghinaan, atau dapatkah dan haruskah agama, dalam hal ini Islam, memiliki suara? Para delegasi Ikatan Pemuda Islam dan Mohammadija menggempur landasan terakhir ini, mungkinkah sebaliknya? Ciri khas dari ketidakpercayaan terhadap kekuatan agama yang terbukti keliru adalah kekhawatiran yang diungkapkan oleh beberapa orang bahwa perkumpulan pemuda yang diusulkan akan bersifat teosofis... Selain isu persatuan, dewan kongres juga telah menempatkan isu sosial terkini lainnya dari masyarakat Indonesia dalam agenda, yaitu "posisi perempuan dalam masyarakat Indonesia." Pembangunan dalam pengertian Barat menyebabkan banyak anak perempuan memberontak terhadap ikatan adat dan tradisi yang terlalu membatasi. Namun, kesadaran belum begitu luas, dan jumlah perempuan terpelajar belum begitu besar, sehingga sikap bersama yang tegas dan menentang adat yang mahakuasa dapat diharapkan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Ketua menyampaikan seruan yang berapi-api kepada tekad "kaum yang lebih lemah". Kemudian, Bahder Djohan, seorang dokter, merumuskan tujuan perjuangan: "perempuan Indonesia harus berdiri di samping laki-laki, demi Negara dan Rakyat" (hlm. 30). Kemudian, seorang guru Minahasa, Nona S. Adam, naik ke panggung. Ia mengamati adanya dorongan untuk kebebasan dan hak yang lebih besar di bawah pengaruh Barat, tetapi memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dan meniru Barat tanpa kritis. "Prosesnya harus berjalan perlahan, tidak peduli seberapa keras seseorang berusaha mencapainya." mendambakan lebih banyak hak. Jadi kita punya waktu. Mari kita ambil semua yang kita bisa dari Barat, tetapi yang terpenting, mari kita lestarikan kebaikan yang kita miliki dalam adat istiadat nasional kita.” (hlm. 40). Ia kemudian menggambarkan perempuan Menado, yang dipengaruhi oleh misi tersebut. “Ia setara dengan laki-laki. Di Minahasa, sistem pengasuhan anak berlaku” (hlm. 41). Ketika anak laki-laki dan perempuan bersekolah, ada “dorongan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mengadopsi segala sesuatu yang berasal dan tampak Eropa, dan orang-orang mulai malu dengan adat istiadat nasional yang lama.” (hlm. 41). Setelah “peniruan yang konyol” ini, gadis Minahasa “berkembang melampaui kondisi semi-Eropa, menjadi sangat dekat dengan menjadi perempuan Eropa sejati dalam perkembangan dan gagasan, dan mulai memberikan bahasa nasional tempatnya yang semestinya.”. Setelah Djaksodipoero menyampaikan tentang hukum adat dari Solo, yang disebut "kapak loemoeh" (hak perempuan untuk menggugat cerai hanya karena tidak ingin lagi hidup bersama suaminya), perdebatan sengit pun terjadi. Penampilan Ibu Koesoema Soemantri patut mendapat perhatian khusus. Beliau dengan ringkas menegaskan bahwa "putri-putri Indonesia tidak boleh tertinggal dari saudara-saudaranya dalam perjuangan nasional kita." Dua presentasi penting lainnya disampaikan. Penyair muda dan berbakat, Mohamad Jamin, yang memperkenalkan bentuk soneta ke dalam sastra Melayu enam tahun lalu dan yang himnenya "Tanah Air" merupakan salah satu puisi terindah akhir-akhir ini, mengajukan permohonan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia di masa depan, sebuah peran yang hampir bulat diharapkan untuk lingua franca ini. Seperti biasa, presentasinya memikat dalam bentuk dan kaya akan isi: beliau memandu hadirin melalui taman sastra Jawa dan Melayu yang rimbun. Pidatonya tak diragukan lagi menjadi salah satu sorotan utama konferensi ini. Setelah itu, Pinontoan (Sulawesi Muda) berbicara tentang perlunya toleransi beragama. Meskipun masyarakat Indonesia tidak mengalami konflik seperti yang terjadi sehari-hari di India antara umat Hindu dan Muslim, peringatan semacam itu tampaknya tidak berlebihan. Meningkatnya aktivitas misionaris, ditambah dengan kesadaran diri umat Muslim yang berlebihan, dapatkah, bagaimanapun juga, menyebabkan bentrokan yang tidak diinginkan?...Maka, kongres pemuda pertama ini telah berlalu, di mana kita tentu saja mendengar beberapa suara baru yang segar. Ungkapan-ungkapan tersebut mungkin seringkali terlalu keras atau berbobot, tetapi satu... Kongres ini menunjukkan kemenangan semangat komunitas atas kesempitan pemikiran daerah. Apakah persatuan itu akan terwujud bergantung pada bagaimana ia dibangun. Namun, jika para Jong Indonesia tahu bagaimana memanfaatkan berbagai ikatan positif, seperti kesamaan struktur internal, keturunan, sejarah, kepentingan sosial, dan sebagainya, maka persatuan dapat langgeng dan bermanfaat. Pada tanggal 30 Desember 1925, Kongres Jawa Muda Bandung menetapkan tujuan berikut: "Jawa Muda bertujuan untuk mempersiapkan anggotanya agar dapat berkontribusi pada pembentukan Jawa Raya di masa depan dan untuk memupuk rasa solidaritas di antara semua kelompok penduduk asli di Indonesia, dengan tujuan mencapai “Negara Indonesia yang merdeka.” Utrecht, 24 April 1927. M Amir.
Dari risalah hasil kongres pemuda Indonesia yang pertama ini yang penting digarisbawahi adalah adanya semangat para ‘kaoem moeda’ untuk bersatu dalam suatu persatuan. Persatuan yang diinginkan tersebut adalah penggabungan (fusi) dan bukan bersifat federasi dalam wujud Jong Indonesia (Pemuda Indonesia). Dalam konteks ini diusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (lingua franca).
Latar belakang
penyelenggaraan kongres, banyak-banyak masalah yang dihadapi penduduk
Indonesia, seperti pendidikan, peran perempuan, ekonomi, budaya Barat versus tradisi, perbedaan agama dan lainnya, namun tetap berada di dalam
bingkai yang sama: penjajahan. Cita-cita yang sudah terungkap dalam kongres
adalah mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan cinta tanah air. Namun demikian,
tantangan yang perlu diselesaikan masih ada, bahkan semisal Jong Java (bagian terbesar pemuda Indonesia) masih ragu-ragu dalam mewujudkan
persatuan yang seutuhnya ke bentuk Jong Indonesia. Catatan: Gerakan pemuda di
Indonesia ini (baca: Batavia) dalam bentuk kongres seiring seperjalanan dengan gerakan mahasiswa Indonesia
di Belanda. Sebagaimana diketahui di Belanda Indische Vereeniging Namanya telah menjadi Perhimpoenan Indonesia dan organnya dari
nama majalah Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka.
Pasca kongres pemuda, Tabrani kemudian dipanggil (lihat De Indische courant, 28-05-1926). Disebutkan bahwa Tabrani, ketua kongres pemuda, dipanggil ke Penasihat Urusan Pribumi sebagai tanggapan atas pernyataan yang agak bising selama kongres itu. Tampaknya ini adalah cara baru untuk menangani pelanggaran bicara. Akan lebih baik jika pelanggaran berbicara selalu ditangani oleh seorang ahli di bidang urusan Pribumi. Ini sering mencegah banyak kesalahpahaman. Sementara itu, prosedur dewan pertanahan (Landraad) yang panjang dan seringkali tidak membuahkan hasil dapat diselamatkan. Namun tidak bagaimana hasilnya tidak diketahui. Sementara itu Tabrani masih memiliki permasalahan sendiri di internal surat kabar Hindia Baroe.
Tabrani yang dulu
anggota Jong Java sebenarnya hanya sebagai kecil anggota Jong Java yang
menyetujui sepak terjang Tabrani. Sebagian besar lebih suka dengan cara yang
biasa-biasa saja. Hal itulah mengapa Tabrani (yang berasal dari Madura) sangat
jarang namanya dihubungkan dengan Jong Java maupun Boedi Oetomo. Hal itu juga
nantinya yang dialami oleh Dr Soetomo dan Ir Soekarno. Di dalam internal Jong
Java dan Boedi Oetomo ada sebutan Trawant Tabrani, tidak hanya Tabrani yang
tidak diikuti tetapi juga orang-orang
yang diindikasikan antek Tabrani. Sementara itu, surat kabar Hindia Baroe yang
dipimpin Soetadi dengan pimpinan redaksinya Tabrani sedang masalah keuangan.
Satu permasalahan besar Hindia Baroe adalah tidak memiliki percetakan sendiri
yang sangat tergantung dari luar yang menyebabkan biaya cetak yang terus naik.
Ini berbeda dengan NV Bintang Hindia pimpinan Parada Harahap yang telah
memiliki percetakan sendiri. Soetadi mulai angkat tangan tidak bisa mengatakan
apa, apakah Hindia Baroe ditutup atau tidak. Yang jelas kini Hindia Baroe tidak
beralamat di alamat lamanya lagi, tetapi sudah berada di alamat sementara di
alamat rumah Tabrani di Djohar (lihat Algemeen handelsblad voor
Nederlandsch-Indie, 10-05-1926). Tampaknya setelah ini tidak pernah diketahui
lagi kabar Hindia Baroe.
Demikianlah kongres pemuda pertama Indonesia telah berakhir. Seperti disebut di atas, satu hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah nama kongres pemuda yang dilakukan? Apakah ‘Kongres Pemoeda’? Apakah ‘Kongres Pemoeda Indonesia’? Fakta bahwa, seperti disebut di atas, sudah ada nama organisasi pemuda menggunakan terminologi ‘pemoeda’ seperti Partij Pemoeda di Djogja; perkumpulan "Perserikatan Pemoeda Lampoeng" dan Organisasi Pemoeda Indonesia (OPI) yang berafiliasi dengan komunis.
Fakta bahwa seperti disebut
di atas, organisaasi pemuda yang menghadiri kongres tidak ada nama organisasi
yang menggunakan nama ‘pemoeda’. Yang hadir adalah Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Asosiasi pemuda
Teosofis, Ambonsche Studeerenden, Jong Minabassa, Jong Islamietenbocd, Jong
Batak, Sarikat Minahasa, Boedi Oetomo Afdeeling Batavia, dan Sekar Roekoen.
Terminologi kongres diserap dari bahasa asing (dalam hal ini bahasa Belanda: congres; bedakan bahasa Inggris: congress). Terminologi ‘pemoeda’ yang merujuk pada kata dasar ‘moeda’ juga terbilang baru (belum ditemukan dalam kamus-kamus). Suatu terminologi yang terbentuk dari semakin menguatnya terminoogi ‘kaoem moeda’ (sudah ditemukan dalam kamus yang diterbitkan tahun 1900. Dalam hal ini pada kata dasar ‘moeda’ disisipi imbuhan ‘pe’, seperti halnya ‘pedagang’ dan ‘peladjar’.
Nama-nama organisasi pemuda
menggunakan nama ‘pemoeda’, antara lain: Organisastie Pemoeda Indonesia (OPI)
yang kerap dikaitkan dengan komunis (lihat antara lain lihat kembali API, 16-22
Februari 1926, Nos. 37-42) (lihat Overzicht van de Inlandsche en
Maleisisch-Chineesche pers, 1926, No. 9, 26-02-1926). Sarekat Pemoeda (jeugd
organisatie der PKI) (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie,
29-12-1926). Namun demikian penggunaan terminologi ‘pemoeda’ semakin meluas:
Pemoeda Medan dalam pemberitaan Juli 1926; Pemoeda Islam di Laboehan Roekoe
(Agustus 1926); Pemoeda Perintis Djalan (De Jonge Pioniers) di Padang (Maret
1927).
Kongres pemuda telah lama berlalu. Tabrani tidak berada lagi di surat kabar Hindia Baroe. Setelah begitu lama baru diketahui keberadaan Tabrani (lihat De locomotief, 25-01-1927). Disebutkan Panitia Kongres Jong Indonesia di Weltevreden, yang diketuai oleh Tabrani, mantan pemimpin redaksi harian berbahasa Melayu Hindia Baroe, sibuk membahas Kongres Pemuda kedua, yang rencananya akan diadakan pada awal tahun ajaran baru. Belum ada yang diketahui tentang sifat pokok bahasan yang akan dibahas dalam kongres itu. Tabrani diketahui akan berangkat ke Eropa. Lalu bagaimana dengan Parada Harahap? Parada Harahap mulai memasuki organisasi senior (Sumatranen Bond).
De Indische courant, 10-02-1927: ‘Sumatranen Bond. Kami
menerima surat dari Weltevreden pada tanggal 7 bulan ini: Minggu lalu, sebuah
pertemuan berbagai warga Sumatra diadakan di Batavia di rumah Bapak Soetan
Mohamad Zain, mantan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Weltevreden. Hampir
seluruh wilayah Sumatra diwakili oleh warganya masing-masing. Pada pertemuan
tersebut, kami bertemu, antara lain, tokoh-tokoh Sumatra ternama dari
Minangkabau, Tapanuli, Palembang, Lampung, dan Benkoelen. Perwakilan dari Atjeh
dan Oost Sumatra (Pantai Timur Sumatra) tidak dapat hadir karena keadaan yang
tidak terduga. Pukul 09.00, Bapak Soetan Mohamad Zain membuka pertemuan, dan
setelah menyambut para hadirin, pembicara menjelaskan tujuan pertemuan. Dewan
Rakyat. Tanpa bermaksud meremehkan mereka yang telah terpilih menjadi anggota
Dewan Rakyat, Ketua Dewan menyatakan bahwa hasil pemilihan umum terakhir tidak
akan memenuhi harapan Dewan jika badan ini tidak mengikutsertakan seseorang
yang, melalui pengalaman dan keahlian bertahun-tahun, telah memperoleh otoritas
dan popularitas, dan yang akan menjadi orang yang ideal untuk bertindak sebagai
juru bicara Sumatra di Dewan Rakyat. Menanggapi hal tersebut, panitia
sementara, yang terdiri dari Bapak Zain, Parada Harahap, dan Bapak Noer
Iskacdar, meyakini bahwa Dr Rivai adalah orang tersebut dan oleh karena itu
mengusulkan untuk mencalonkannya sebagai anggota Dewan Rakyat. Menurut surat
yang diterima dari Dr Rivai oleh seorang teman, Setelah mendengarkan pendapat
berbagai peserta, diputuskan untuk mengambil tindakan terkait masalah ini.
Bapak Zain juga mengumumkan bahwa Ikatan Dokter Hindia juga akan meluncurkan
kampanye untuk tujuan yang sama. Pada kesempatan ini, Sumatranen Bond, yang
sebagian telah bubar karena berbagai perubahan dalam pengurusnya, termasuk
pergantian ketuanya, Patih Datoek Toemenggoerg, dihidupkan kembali. Berikut ini
adalah anggota pengurus utama: Ketua: Soetan Mohamad Zain (Minangkabau).
Sekretaris: Parada Harahap (Tapanoeli). Sekretaris Kedua: M. Noer Iskandar
(Minangkabau). Bendahara: Abdoel Hamid (Tapanoeli). Komisioner: M. Sjahriar
(Minangkabau), MA Mohamad (Palembang), Boerhannoeddin (Lampong), Dr Joenoes
(Benkoelen), dan dua anggota lainnya masing-masing juga hadir. Atjeh dan
Pesisir Timur Sumatra akan diminta untuk bergabung dengan pengurus. Pertemuan
publik berikutnya akan diadakan pada hari Minggu, tanggal 13 bulan ini, di
Gedung Logegebow Weltevreden. Jonga Sumatranenbond dan Batakschbond, melalui
para ketuanya, menyatakan dukungan mereka, menyambut baik pembentukan kembali Sumatranen
Bond dengan antusiasme yang tak terselubung. Rapat tersebut juga mengungkapkan
harapan agar cabang-cabang Serikat yang ada di Padang, Bandung, dan Surabaya
pada akhirnya akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendukung aksi ini. Karena
tidak ada agenda lain, setelah mengucapkan terima kasih kepada para peserta
atas minat mereka, ketua rapat menutup rapat pada pukul 12.00 siang’.
Persiapan kongres pemuda terus dimatangkan. Pokok-pokok yang akan dibahas dalam kongres sudah ditetapkan. Susunan kepanitiaan kongres juga sudah terpilih yang mana sebagai ketua adalah Bahder Djohan (mahasiswa Stoia, semi-dokter) dan sekretaris Wahab (Stovia) serta bendahara Nelwan (Stovia). Para anggota antara lain P Pinontoan (Stovia); J Toule Soulehuwij (RHS); Diapari Siregar (Stovia); GML Tobing (Stovia); Gindo Siregar (Stovia); Abdullah Sjoekoer (RHS) dan Tabrani (Jurnalis).
De locomotief,
10-03-1927: ‘Kongres Pemuda Indonesia. Jumat sore lalu, tanggal 4 ini, Komite
Kongres Jong Indonesia bertemu di Weltevreden. Hidangan utama diskusi adalah
persiapan Kongres Pemuda kedua dan pemilihan panitia. Diputuskan untuk
mengadakan Kongres Pemuda kedua pada bulan Agustus. Dari pokok-pokok yang akan
dibahas, kita perhatikan: 1. Gagasan Indonesia Raya dan penjabarannya. 2. Arti
penting pers dalam pembangunan nasional Indonesia 3. Emansipasi wanita
Indonesia. 4. Masalah emigrasi. 5. Kesehatan. 6. Signifikansi internasional
Indonesia. 7. Wajib belajar. 8 Arti penting olahraga bagi ketahanan fisik
bangsa Indonesia. Berbeda dengan kongres pertama, kali ini akan diselenggarakan
berbagai kegiatan seni dan kompetisi
olahraga juga tidak akan dilupakan. Pemilihan panitia sementara sehubungan
dengan keberangkatan awal Tabrani ke Eropa menghasilkan hasil sebagai berikut:
Ketua Bahder Djohan (Semi-dokter), wakil ketua Ms. Soetji Soemarni (guru),
sekretaris 1 Wahab (Stovia), sekretaris 2 Tirtawinata (RHS), bendahara 1 Nelwan
(Stovia), bendahara 2 Louhanapessij (Normaal Cursus). Anggota: Ny. S. Adam
(Normaal Cursus); M Soepit (RHS); P. Pinontoan (Stovia); J. Toule Soulehuwij
(RHS); Darwin (Stovia); Diapari Siregar (Stovia); GM L Tobing (Stovia); Gindo Siregar
(Stovia); TH Pangemanan; Abdullah Sjoekoer
(RHS) dan Tabrani (Jurnalis). Tabrani mengatakan dalam pidato perpisahan
singkatnya antara lain bahwa Kongres Jong Indonesia harus menjadi sumber energi
yang darinya organisasi-organisasi pemuda yang ada dan yang akan didirikan
dapat menarik kekuatan mereka dalam mewujudkan gagasan Indonesia tentang
persatuan. Pukul 7 malam ketua baru menutup rapat, setelah mengucapkan terima
kasih kepada Tabrani atas nama panitia yang baru dibentuk atas segala upaya
yang telah dilakukan oleh promotor Kongres Pemuda Indonesia pertama ini dengan
penuh semangat menyebarkan gagasan Indonesia tentang kesatuan’.
Pada saat menjelang kongres pemuda kedua inilah nama Indonesia digunakan. Dalam pers di Belanda juga disebut demikian (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 23-04-1927). Disebutkan Het tweede jong-Indonesisch congres. Het comité voor het Jong Indonesisch Congres te Weltevreden heeft besloten om het tweede congres in den loop van de maand Augustus te houden. Namun penggunaan terminologi ‘pemoeda’ belum diberlakukan (masih menggunakan terminologi ‘jong’).
Ini mirip dengan penamaan organisasi Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Pada saat didirikan tahun 1908 diberi nama Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia). Pada tahun 1922 Dr Soetomo dkk mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Indonesisch Vereeniging. Oleh karena masih berbau Belanda, pada tahun 1925 Mohamad Hatta dkk mengubah sepenuhnya nama Indische Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia. Hal yang sama juga dengan nama Indische Congres pada tahun 1917 di Belanda (yang dihadiri berbagai asosiasi mahasiswa Belanda, Cina dan pribumi). Pada saat kongres diusulkan pihak Indische Vereeniging untuk menggantikan nama Indische menjadi nama Indonesia. Usulan diterima. Pada kongres Indische Congres berikutnya pada tahun 1918 nama kongres sudah disebut Indonesisch Congres (tentu saja masih menggunakan aksen/bahasa Belanda). Hal serupa ini juga nanti pada nama organisasi Jong Indonesie di Bandoeng.
Sumatranen Bond didirikan pada tahun 1918. Lalu kemudian terbentuk Bataksch Bond pada tahun 1919. Pada bulan Februari 1927, Parada Harahap mantan ketua Jong Sumatranen Bond (1919-1922) menghidupkan kembali Sumatranen Bond yang sempat mati suri cukup lama. Kini, Sumatranen Bond dalam jalur yang kuat.
Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1927: ‘Sumatranen Bond. Pada Sabtu malam,
21 Desember, Asosiasi Sumatra mengadakan pertemuan publik pertamanya di Loji
Freemason. Di antara yang hadir adalah beberapa anggota Volksraad, Penasihat
Desentralisasi, dan perwakilan dari Departemen Urusan Administrasi Daerah Luar
dan Kantor Urusan Adat. Pukul 20.30, ketua, Bapak St. Mohamad Zain, membuka
pertemuan. Beliau menyampaikan kekecewaannya yang mendalam karena tidak semua
anggota Volksraad dari Sumatra hadir. Beliau mengenang pendirian, perkembangan,
dan status asosiasi saat ini. Organisasi ini didirikan pada tahun 1918 atas
prakarsa beberapa asosiasi lokal di Padang. Tujuan utamanya adalah agar Bapak
Abdoel Moeis dapat menduduki kursi di Volksraad. Pengurus utama, yang
berkedudukan di Batavia, untuk pertama kalinya bergabung dengan Dr Rivai, HA
Salim, Datoek Toemenggoeng, Abdoel Moeis, dan St Mohamad Zain. Perlahan tapi
pasti, perkumpulan itu menyusut, dan selama pemerintahan Gubernur Jenderal
sebelumnya, Liga Sumatra tidak lagi terdengar. Namun, hal ini berubah dengan
kedatangan Gubernur Jenderal saat ini. Sebuah dewan baru dipilih, dan sekarang,
menurut Tuan Zain, dapat dikatakan bahwa Liga Sumatra, seolah-olah, telah
terlahir kembali. Pembicara menjelaskan tujuan dan aspirasi perkumpulan secara
rinci. Perkumpulan itu netral dalam hal agama. Baik aksi politik maupun sosial
ada dalam agendanya. Gagasan Indonesia Raya juga dipatuhi. Dia kemudian
memberikan kesempatan kepada Tuan St. Pamoentjak, yang membahas situasi di
Pantai Barat Sumatra secara rinci. Menurutnya, penyebab kerusuhan itu adalah:
konflik antara tua dan muda; cara rakyat diperintah (demokrasi palsu); metode
pemungutan pajak; dan apa yang disebut sistem paspor. Komunis memainkan peran
kecil. Dengan dihapuskannya sistem mutakat (musyawarah dengan penduduk mengenai
hal-hal penting), penduduk merasa diabaikan dan mencari perlindungan kepada
kaum komunis. Ketika pemerintah mengambil keputusan, hanya para penghulu yang
didengar, yang pada kenyataannya bukan lagi pemimpin rakyat. Kemudian, secara
berurutan, Dr. Joenoes, Tjik Nang, Boerhanoedin, Parada Harahap, dan Boesthami
naik podium, membahas pelanggaran di wilayah Bengkoelen, Palembang, Kabupaten
Lampong, Tapanoeli, dan Fort de Koek serta sekitarnya. Semua orang menyayangkan
komposisi komisi penyelidikan yang dibentuk pemerintah yang berat sebelah.
Tidak ada anggota penduduk yang ditunjuk. Seperti pembicara pertama, mereka
percaya bahwa akar penyebab kerusuhan bukanlah hasutan komunis, tetapi fakta
bahwa penduduk tidak diperintah secara demokratis, sebagaimana seharusnya di
bawah lembaga adat asli. Rapat ditunda sekitar pukul 12.00 dan dibuka kembali
pada Minggu pagi. Setelah ringkasan singkat dari proses rapat sebelumnya, ketua
membuka rapat pada pukul 09.30 dan langsung memberikan kesempatan kepada Bapak
Iskandar, yang antara lain membahas petisi yang ditandatangani oleh sekitar 70
warga Minangkabau. Menurut pembicara, niat dan maksud para penandatangan ini
tidak lain adalah untuk memperkuat dan memperbaiki posisi mereka, dengan
mengorbankan kepentingan rakyat. Bapak Zain kemudian menyampaikan pidatonya.
Beliau menyatakan keyakinannya bahwa penyebab kerusuhan ini sebagian besar
disebabkan oleh kebijakan Gubernur sebelumnya dan hasutan komunis. Rata-rata
orang Sumatera tidak menerima ajaran Lenin. Jika tidak ada alasan lain, rakyat
tidak akan mudah tergoda untuk melakukan kerusuhan. Sebagai cara untuk
mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, beliau menyebutkan: penurunan pajak;
peningkatan penerimaan pajak; pembentukan dewan yang berbasis demokrasi; dan pengaturan
sistem kehutanan yang lebih baik. Tujuh orang memanfaatkan kesempatan untuk
berbicara, menyatakan simpati mereka terhadap tujuan dan aspirasi perkumpulan.
Setelah berdiskusi, usulan-usulan berikut diadopsi, yang intinya adalah
keinginan dan kebutuhan untuk: membentuk dewan-dewan yang berbasis demokrasi
(Dewan Marga, Dewan Negari, Dewan Koeria, dewan-dewan sub-departemen, dll.) dan
mempertahankan sistem Demang. Rapat ditutup pukul 14.15’. S.P. juga meminta
kami untuk memasukkan hal-hal berikut: Bahwa S.B. adalah perkumpulan
orang-orang Sumatera yang tinggal di sini dan dipimpin oleh orang-orang
berpendidikan dan berkedudukan tinggi, dan sebagian besar anggotanya adalah
pekerja kantoran, sehingga sulit untuk mengidentifikasi perkumpulan ini dengan perkumpulan
rakyat biasa, dan di mana, akhirnya, agendanya mencantumkan topik-topik
penting. Tentu saja kita berharap para anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Sumatra
hadir. Namun, apa yang terjadi? Bapak Mr Toedoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng
Moelia menghadiri seluruh rapat, Bapak Nja Arif berupaya hadir pada hari Sabtu,
dan Bapak Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon serta Bapak
Mochtar menghadiri rapat hari Minggu, sementara tokoh-tokoh kunci, terutama HH
Datoek Kajo dan Alimoesa Harahap, tampak jelas tidak hadir sama sekali. Apa
penyebab ketidakpedulian ini? Bagaimanapun, sikap ini langsung menimbulkan
kemarahan di antara para anggota perkumpulan tersebut, terutama karena banyak
pejabat lain yang kemudian menyatakan minat mereka untuk menghadiri rapat
tersebut. Saya sungguh berharap agar insiden ini merupakan insiden yang
terisolasi, dan agar Datoek Kajo dan Ali Moesa Harahap menyadari bahwa, sebagai
wakil rakyat mereka di Dewan Rakyat, mereka hanya akan diuntungkan jika bekerja
sama dengan perkumpulan seperti SB’. Catatan: Jumlah anggota Volksraad dari pulau
Sumatra untuk golongan pribumi sebanyak 6 orang: Jahja Datoek Kajo (dapil Midden
Sumatra), Alimoesa Harahap (dapil Nooed Sumatra); Nja Arif (dapil Atjeh); Abdoel
Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (dapil Oost Sumatra); Mochtar bin
Praboe (dapil Zuid Sumatra); Mr Toedoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia
(golongan Pendidikan). Tiga diantara enam anggota dewan pusat Dr Alimoesa Harahap; Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja
Soangkoepon; Mr Toedoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia sama-sama
kelahiran Padang Sidempoean.
Pada tahun 1927 ini Parada Harahap, sekretaris Sumatranen Bond kembali membuat gebrakan baru. Sebelumnya menghidupkan kembali Sumatranen Bond, kini Parada Harahap menginisiasi ke arah persatuan diantara organisasi-organisasi kebangsaan yang ada di Batavia. Pada bulan September 1927 dibentuk suatu komite bersifat nasional dimana Mohammad Hoesni Thamrin didaulat menjadi ketua dan tentu saja Parada Harahap sebagai penggagas diposisikan sebagai sekretaris.
De koerier, 27-09-1927: ‘Aneta memberi tahu kita: Pada malam tanggal 25 September, berbagai pemimpin Masyarakat Adat di Batavia bertemu di rumah Tuan Djajadiningrat di Weltevreden. Selain Bapak Djajadiningrat, hadir pula: Soejono (delegasi Dewan Rakyat), Dr. Kayadoe (Sarekat Ambon), F. Laoh (Persatoean Minahassa), H. Moh. Zaïn dan Parada Harahap (Sumatranen Bond), Soebrata (wakil anggota Dewan Provinsi), R. Poeradiredja dan R. Soeriadiredja (Pasoendan), dan Thamrin (Kaoem Bstawi), untuk membahas rencana amandemen Konstitusi Hindia Belanda terkait perluasan jumlah kursi Pribumi di Dewan Rakyat. Diputuskan untuk membentuk sebuah panitia yang terdiri dari para pemimpin berbagai Perkumpulan Pribumi, dengan Bapak Thamrin dan Parada Harahap sebagai ketua dan sekretaris. Rapat umum bersama akan diselenggarakan pada tanggal 15 Oktober oleh Asosiasi Boedi Oetomo, Pasoendan, Kaoem B-tawi, Sumatranenbond, Persatoean Minahassa, Sarekat Ambon, dan NIB (Perserikatan Nasional Indonesia=PNI di Bandoeng), dan berbagai pembicara akan menyatakan dukungan mereka terhadap rencana pemerintah’. Catatan: Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat adalah senior para mahasiswa Indonesia, keduanya adalah angkatan pertama di Indische Vereeniging di Belanda. Pada awal pendirian tahun 1908 Soetan Casajangan sebagai Ketua dan Husein Djajadiningrat sebagai sekretaris. Soetan Casajangan menyelesaikan studi menjadi sarjana tahun 1910 dan Husein Djajadiningrat meraih PhD tahun 1913. Mohammad Hoesni Thamrin dan Parada Harahap adalah sama-sama pengusaha. Usaha MH Thamrin bergerak di bidang perdagangan dan industri pengolahan di Batavia. Sedangkan Parada Harahap pengusaha di bidang media dan percetakan. Parada Harahap adalah ketua pengusaha di Batavia (semacam Kadin pada masa ini). Mr. Husein Djajadiningrat, PhD saat itu adalah salah satu dosen di Rechthoogeschool di Batavia.
Singkatnya,
rencana kongres pemuda kedua tidak terlaksana hingga waktu yang diperkirakan
sebelumnya. Mohamad Thabrani sudah berangkat ke luar negeri dan Bahder Djohan tengah sibuk menjelang ujian terakhirnya di
Stovia. Dalam konteks inilah
kemudian terbentuk organisasi pemuda yang baru Jong Indonesie. Ide ini sudah
muncul dalam kongres pemuda pertama tahun 1926.
De Indische courant, 01-11-1927:
‘Djokja. Koresponden kami di sana melaporkan. "Jong Indonesie". Pada Minggu pagi di Djokja, rapat pembentukan
perkumpulan baru "Jong Indonesie" diadakan di perkumpulan adat
"Handeprojo". Sekitar 150 orang, termasuk beberapa perempuan,
menghadiri rapat tersebut. Polisi juga hadir. Delegasi dikirim oleh PNI, Jong
Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond dan SIAP. Berturut-turut berbicara adalah
Bapak Samidi Mangoensarkoro, Bapak Winoho, Bapak Soegeng, Bapak Soejoedi, dan
Bapak Sam. Sebagian besar pembicara ini ingin menggunakan bahasa Melayu, bukan
bahasa Belanda, sebagai bahasa utama, karena menurut mereka, hal ini lebih
sesuai dengan landasan nasionalis perkumpulan yang akan didirikan. Akhirnya,
cabang Djokja dari perkumpulan "Jong Indonesie" didirikan, setelah
itu pengurus sementara mengundurkan diri dan anggota pengurus diangkat dalam
rapat tertutup. Sekitar 51 orang terdaftar sebagai anggota perkumpulan baru
tersebut. Iuran bulanan untuk anggota biasa dan anggota asosiasi masing-masing
adalah 35 dan 50 sen. Jadi, kita punya perkumpulan adat baru lagi’.
Lantas mengapa Jong Indonesie didirikan di Djogjakarta pada tahun 1927? Dari namanya yang menggunakan nama Indonesia sudah barang tentu sifatnya nasional (multi-etnik). Fakta bahwa dewan pusat Boedi Oetomo berada di Djogjakarta. Sebagaimana diketahui Boedi Oetomo bersifat kedaerahan yang di dalam statutanya hanya pada ruang lingkup (orang) Jawa dan Madoera. Sayap pemuda Boedi Oetomo yakni Jong Java, centrumnya di Djogja juga. Lalu mengapa Jong Indonesie didirikan di Djogjakarta? Satu yang jelas Jong Indonesia adalah salah satu rekomendasi di dalam kongres pemuda Indonesia pertama tahun 1926.
Pada tahun 1914 Dr Soetomo
baru selesai bertugas di Deli yang berkedudukan di Tandjoeng Morawa. Sesampai
di Batavia ‘kekesalannya’ terhadap
Boedi Oetomo yang notabene juga lahir semasa Raden Soetomo dkk studi di Stovia tahun 1908. Seperti disebut di atas, dalam kongres Boedi Oetomo di
Jogja pada bulan September 1908 golongan senior (Soediro Hoesodo, dkk)
menggkooptasi Boedi Oetomo, yang kemudian statunyanya sejak itu hanya untuk di
Jawa dan Madoera. ‘Kekesalannya’ terhadap Boedi Oetomo menyebabkan Dr Soetomo
meminta Boedi Oetomo afdeeling Batavia diadakan rapat massa. Ketua Boedi Oetomo afdeeling Batavia adalah Dr Sardjito (adik kelasnya di Stovia). Pembicara utama dalam rapat massa itu adalah Dr Soetomo sendiri. Dr
Soetomo dalam pidatonya untuk meminta perhatian: ‘Banyak kuli asal Jawa di
perkebunan di Deli, mereka sangat lemah dan sangat menderita atas perlakuan
para planter. Kita tidak bisa hidup sendiri lagi. Banyak orang Tapanoeli yang
pintar-pintar di berbagai tempat. Tentu saja Dr Soetomo mengatahui betul orang
Tapanoeli yang mendirikan organisasi kebangsaan pertama di Padang (Medan
Perdamaian) pada tahun 1900, organisasi kebangsaan Sarekat Tapanoeli di Medan
tahun 1907 dan tentu saja organisasi Indische ereeniging di Belanda tahun 1908.
Dr Soetomo tentu saja menginginkan Boedi Oetomo agar menjadi organisasi yang
lebih terbuka dan melihat kepentingan nasional (daripada daerah sendiri).
Setelah beberapa waktu kemudian, Dr Soetomo pada tahun 1919 mendepat kesempatan
untuk melanjutkan studi ke Belanda. Dr Soetomo sudah barang tentu langsung
menjadi bagian dari Indisch Vereeniging (organisasi bersifat nasional). Pada
tahun 1921 Dr Soetomo menjadi ketua. Pada saat kepengurusan ini nama Indisch Vereeniging
diubah menjadi Indonesisch Vereeniging. Pada tahun 1924 setelah lulus, Dr
Soetomo kembali ke tanah air yang kemudian mendirikan studie-club di Soerabaja
dengan nama Indonesia Studie-club. Klub studi di Soerabaja inilah yang kemudian
membentuk organisasi kebangsan yang diberi nama Persatoean Bangsa Indonesia
(PBI) dimana Dr Soetomo menjadi ketuanya. Soeloeh Rajat Indonesia adalah nama majalah mingguan Klub Studi di
Surabaya.
Dr Soetomo (salah satu pendiri) sudah lama tidak berafiliasi (langsung) dengan Boedi Oetomo. Lebih-lebih setelah menjadi ketua Indisch Vereeniging di Belanda (sejak 1921) dan mendirikan Studie-club Indonesia di Soerabaja pada tahun 1924. Lalu kemudian nama-nama yang coba menjauh dari Jong Java adalah Raden Soekarno dan Mohamad Thabrani di Bandoeng. Pada tahun 1926 Mohamad Thabrani menjadi ketua kongres pemuda (nasional) di Batavia. Ir Soekarno kemudian di Bandoeng bersama kawan-kawan mendirikan organisasi kebangsaan yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Dalam kongres pertama PPPKI yang diadakan di Bandoeng bulan November 1927, PPPKI diformalkan dengan mengangkat pengurus yang dipimpin oleh Ir Anwari (PNI).
Mr Soepomo, PhD setelah
selesai studi di Belanda dalam bidang hukum pulang ke tanah air (lihat Het
Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-08-1927). Mr. Dr. Soepomo
(baca: Mr. Soepomo, PhD ditempatkan di Djogjakarta. Diantara waktunya, Mr.
Soepomo, PhD diberitakan mengisi kekosongan sekretaris administrasi pusat
asosiasi Boedi Oetomo, yang fungsinya sebelumnya diisi oleh Adipoetranto (lihat
De Indische courant, 13-12-1927). Seperti disebut di atas, saat inilah di
Djogjakarta terbentuk organisasi pemuda yang diberi nama Jong Indonesie (lihat
kembali De Indische courant, 01-11-1927). Lalu apakah Mr Soepomo, PhD terkait
dengan pendirian Jong Indonesie di Jogjakarta? Boleh jadi karena rekan-rekannya
seperti di Soerabaja Dr Soetomo telah mendirikan Studie-club Indonesia dan Ir
Soekarno di Bandoeng mendirikkan organisasi kebangsaan Perhimpoenan Nasional
Indonesia. Dalam hal ini boleh jadi ‘orang dalam’ Boedi Oetomo (Mr Soepomo)
coba mencairkan Boedi Oetomo yang selama ini kukuh berjuang untuk dirinya
sendiri. Namun boleh jadi Ir Soekarno dkk dari Bandoeng yang menginisiasi
pendirian Jong Indonesie di Djogjakarta dan Mr Soepomo hanya menutup mata
dengan jari tangan terbuka.
Sebelum terbentuknya Jong Indonesia, organisasi kepemudaan yang cabangnya luas adalah Jong Java dan Jong Sumatranen Bond. Kedua organisasi ini dalam kegiatannya juga terbilang aktif. Sebagaimana diketahui Jong Sumatranen Bond didirikan di Batavia pada akhir tahun 1917. Pada bulan November ini Parada Harahap dari Bintang Timoer perang urat saraf (perang opini) dengan KW Wijbran dari pers Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-11-1927). KW menyatakan bahwa Indonesia adalah warisan leluhur mereka, dan Parada Harahap dari Bintang Timoer memprotes keras hal ini: 'Indonesia bukan warisan nenek moyangmu'.
De Indische courant, 19-12-1927: ‘Persatuan Muda Sumatra. Kami mendapat
informasi: Peringatan sepuluh tahun Jong Sumatranen Bond cabang Soerabaya telah
dirayakan secara tertutup pada Sabtu malam di gedung Klub Studi Indonesia. Di
antara sekitar empat puluh peserta terdapat Dr Saaf dan Dr. Kamaroedin,
perwakilan dari Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Indie, Jong Indonesia dan
beberapa perempuan Sumatra. Ketua membuka acara dengan pengantar singkat
tentang gerakan pemuda secara umum dan kontribusi besar yang telah diberikan
oleh Dr Satiman Wirjosandjojo. Tepat sepuluh tahun yang lalu, nama asli
"Persatoean Anak Sumatra" diubah menjadi Jong Sumatranen Bond atas
usulan Ir Fournier. Pembicara kemudian memberikan penghormatan kepada para
pemimpin JSB, seperti Tengkoe Mansoer, Amir, Mohamad Hatta, dan Bahder Djohan.
Persatuan ini berkembang pesat di bawah kepemimpinan trio Bahder Djohan,
Diapari Siregar, dan Abdul Gafar, dan secara total memiliki sekitar delapan
cabang. Serikat ini menderita kerugian besar akibat pemisahan diri orang Batak,
yang kemudian mendirikan perkumpulan sendiri pada akhir tahun 1925 dengan nama
Jong-Batak-bond. Perkumpulan ini kini berdiri sangat berseberangan dengan JSB,
sama sekali mengabaikan kepentingan orang-orang Sumatera lainnya. Apa
penyebabnya, dan siapa yang harus disalahkan? Sebagai orang luar, atau
setidaknya bukan orang Batavia, pembicara tidak mampu menjawab pertanyaan ini
dan menyimpulkan dengan bertanya apakah orang-orang yang keras kepala itu tidak
mampu memaafkan dan melupakan, dan apakah seorang Kristus dan seorang Muhammad
telah hidup di bumi dengan sia-sia. Sejarah JSB, cabang Surabaya, telah menjadi
salah satu sejarah yang penuh penderitaan. Bertransformasi dari sebuah kelompok
keanggotaan (beranggotakan empat orang) menjadi sebuah cabang, awalnya, seperti
biasa, dengan aktivitas yang tak terbatas di bawah manajemennya masing-masing,
hanya untuk kemudian tenggelam lagi dan lagi ke dalam stagnasi total. Kini,
setelah 10 tahun, situasi JSB tampaknya tidak menguntungkan, baik untuk cabang
utama di Batavia maupun cabang-cabang lainnya. Dalam konteks ini, pembicara
mengutip perkataan mantan ketua pengurus, Bahder Djohan: "Orang Sumatra,
di atas segalanya, adalah seorang individualis yang membumi: ia bukanlah orang
Jawa yang mudah bergaul yang mencari kekuatan dalam komunitas dan membaur
dengan masyarakat, tetapi di dalam hatinya bersemayam kesepian yang juga
bersemayam di hutan-hutan sunyi dan pegunungan liar di negerinya yang jarang penduduknya.
Ia terutama memikirkan dirinya sendiri. Dan naluri mempertahankan diri yang
berkembang kuat membuatnya curiga, dingin, dan acuh tak acuh terhadap ketiadaan
yang telah dipaksakan kepadanya dan yang di dalamnya ia melihat ancaman
terhadap kebebasan pribadinya." Meskipun demikian, pengurus cabang
Surabaya yang baru mendambakan masa depan yang lebih baik bagi J.S.B. dan bahwa
mereka akan dapat terus bermanfaat bagi para mahasiswa muda Sumatra di
tahun-tahun mendatang. Terakhir, pembicara menjelaskan posisi J.S.B. tentang
"gagasan persatuan Indonesia." Perkumpulan kami tidak akan disebut
J.S.B. jika tidak menanggapi seruan ini, dan melalui federasi, kami akan
berjuang bersama perkumpulan-perkumpulan saudara kami untuk mewujudkan gagasan
persatuan Indonesia, demikianlah simpulan pidato pembukaan pembicara,
demikianlah simpulan pidato pembukaan sang pembicara. Setelah ucapan selamat
yang tulus dari para delegasi dari berbagai perkumpulan pemuda, Bapak Abdoe1 Rivai
memberikan kuliah singkat tentang "Kondisi Ekonomi" di Pantai Barat
Sumatra. Beliau secara khusus berbicara tentang pertanian, industri, dan
perdagangan skala kecil, yang sedang mengalami pukulan berat dari
perusahaan-perusahaan besar. Perjuangan hidup menjadi semakin sulit bagi
masyarakat kecil ini, dan banyak di antara mereka terpaksa mencari nafkah di
luar negeri. Pembicara menutup pidatonya dengan menyatakan bahwa masyarakat
Sumatra memiliki peluang besar untuk meringankan beban hidup mereka. Hidangan
ringan disajikan selama istirahat. Setelah itu, Bapak Zainoe1 Mochtar
memberikan kuliah tentang "Tanah dan Masyarakat Minangkabau," yang
membahas sejarah, adat istiadat, dan kedudukan perempuan Minangkabau dalam
kaitannya dengan matriarki. Pada pukul 11.00 WIB, Ketua kembali mengucapkan
terima kasih atas kehadiran dan perhatian para hadirin, kemudian menyatakan
bahwa sesi resmi telah selesai’.
Setelah terbentuk Jong Indonesie di Bandoeng dan di Jogjakarta, dalam perkembangannya terinformasikan Jong Indonesie akan menyelenggarakan kongres (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-11-1927). Disebutkan perkumpulan "Jong Indonesie" akan menyelenggarakan kongres tahunannya di Bandung selama libur Natal ini. Dalam hal ini Jong Indonesie adalah sayap pemuda dari Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) yang dewannya berkedudukan di Bandoeng.
De Sumatra post, 30-12-1927:
‘Federasi. Minggu lalu pertemuan pribadi Sabtu dan Minggu diadakan di Bandoeng
di bawah naungan Panitia Pembentukan Federasi Organisasi Kebangsaan. Sebuah
laporan telah dikirim ke Sin Po tentang diskusi tersebut, dari mana kami secara
singkat memperoleh yang berikut ini. Pertemuan pada Sabtu malam itu diadakan di
gedung sekolah Taman Siswa di Poengkoerweg. Hadir: PNI diwakili oleh Ir.
Soekarno dan Ishaq; PSI diwakili oleh Dr Soekiman dan Shahbudin Latief; BO
diwakili RMAA Koesoemo Oetojo dan Soetopo Wonobojo; Pasoendan diwakili oleh Oto
Koesoemasubrata dan Soetisma Sendjaja; Soematranen Bond diwakili oleh Parada
Harahap dan Dachlan Abdoellah; Kaoem Betawi diwakili oleh Hoesni Thamrin; Klub
Studi Indonesia Soerabaja diwakili oleh Soejono, Soenarjo, Gondo Koesoemo dan
Soeadjoto.
PerserikatanNasional Indonesia (PNI) terus berupaya untuk melebarkan sayap ke berbagai tempat, seperti Batavia, Djogjakarta, Pekalongan, Soerabaja dan lainnya. Bataviaasch nieuwsblad, 02-12-1927: ‘Minggu pagi pukul sembilan, Perserikatan Nasional Indonesia Afdeeling Jacatra mengadakan rapat propaganda publik di Cinema Palace di Krekot (tidak jauh dari kantor surat kabar Bintang Timoer). Pembicara adalah Ir. Soekarno, Mr. Boediarto dan Mr. Sartono’. Tentu saja Parada Harahap hadir. Hal ini karena Ir Soekarno semakin kerap mengirim artikel ke surat kabar Bintang Timoer.
Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) lahir 4 Juli 1927 (yang juga hari
kemerdekaan Amerika) dan Jong Indonesia (yang kini disebut Pemoeda Indonesia, didirikan
20 Februari 1927) telah semakin luas dan semakin kuat. Nama Indonesia di organisasi
kebangsaan dan sayap pemudanya tersebut semakin memperkuat positioningnya dalam
waktu singkat. Anak lebih dahulu lahir dari bapak, seperti halnya Jong
Sumatranen Bond lahir lebih dahulu (akhir tahun 1917) dan induknya Sumatranen
Bond dibentuk tahun 1918.
Sementara itu, komite persatuan (MH Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris-bendahara) yang dibentuk pada bulan September di Weltevreden, telah berujung dengan estafet sekarang berada di Bandoeng (terbentuknya federasi organisasi kebangsaan Indonesia: PPPKI).
De Sumatra post, 30-12-1927:
‘Politik Pribumi. Federasi. Sehubungan dengan telegram yang relevan, kami
mengutip pernyataan berikut dari Crt: Sabtu dan Minggu lalu, di Bandung, di
bawah naungan Panitia Pembentukan Asosiasi Politik, telah diadakan pertemuan
tertutup. Laporan mengenai diskusi tersebut telah dikirimkan kepada Sin Po, dan
dari sana kami kutip secara singkat pernyataan berikut. Pertemuan pada Sabtu
malam diadakan di gedung Sekolah Taman Slawo di Poengkoerweg. Yang hadir
adalah: PNI, diwakili oleh Bapak Ir. Soekarno dan Bapak Ishaq; PSI, diwakili
oleh Bapak Dr. Soekiman dan Sjahboedin Latif; BO, diwakili oleh Bapak R.M.A.A.
Koesoemo Oetoyo dan Soetopo Wonobojo; Dari Pasoedan, diwakili oleh Bapak Oto
Koesoemasoebrata dan Soetisma Seudjaja; dari Soematranen Bond, oleh Bapak
Parada Harahap dan Dachlan Abdoellah; dari Kaoem Betawi, Bapak Hoesni Thamrin;
dari Klub Studi Indonesia, oleh Bapak Soejono, Soenarjo, Gondo Koesoemo, dan
Soeadjoto. Turut hadir dalam pertemuan-pertemuan tersebut, tanpa afiliasi
partai apa pun, adalah Bapak Soeroso, Soetadi, Bapak Boediarto, Bapak Soejardi,
Bapak Sartono, Dr. Soerono, Panoedjoe Darmobroto, dan Ir. Soekarno. Sukarno membuka
diskusi dengan menguraikan tujuan dan makna federasi perkumpulan-perkumpulan
politik. Akhirnya, usulan-usulan yang diajukan oleh pengurus P.N.I. Rancangan
anggaran dasar Federasi yang diusulkan diadopsi melalui pemungutan suara umum.
"Persarikatan Partij Politiek Indonesia" (PPPI) kemudian dianggap
terbentuk, dan semua perkumpulan yang terwakili bergabung dengan Federasi
sebagai anggota. Rapat tersebut meminta Yang Terhormat Soekarno untuk menjabat
sebagai ketua selama pemilihan pengurus. Akan tetapi, karena komitmen lain,
beliau tidak dapat menerima tawaran ini, sehingga Tuan Ishaq terpilih sebagai
ketua. Tuan Dr. Samsi diangkat sebagai sekretaris. Rapat tertutup dilanjutkan
pada Minggu pagi. Tuan Soebrata tidak hadir, dan kembali ke Batavia. Perwakilan
pengurus utama PSI., Tuan Dr. Soekiman van Solo, menguraikan rencananya untuk
menerbitkan publikasi terpisah untuk Federasi. Usulan tersebut diterima, dan
sebuah komite ditunjuk untuk tujuan ini, yang terdiri dari Tuan Parada Harahap
dan Tuan Sartono, yang harus mengembangkan rencana pendirian umum, yang harus
diserahkan kepada pengurus dalam waktu satu bulan, sementara badan tersebut
akan hadir di Batavia. Para anggota Dewan Masyarakat Adat akan diminta untuk
menawarkan dukungan dan kerja sama mereka. Rapat tersebut menyatakan simpatinya
kepada Dokter Tjipto Mangoenkosoemo, yang sedang ditahan di Banda. Komite
Penasihat mengeluarkan manifesto berikut, yang ditujukan kepada asosiasi
Indonesia: Sebagaimana diketahui, gerakan Indonesia saat ini berada pada tahap
penting. Kejelasan mulai muncul di antara barisan. Apa yang dulunya kacau kini
semakin nyata. Stabilitas sejati terletak pada Persatuan Nasional kita!
Peristiwa politik terkini, jika memungkinkan, telah memperjelas bahwa di antara
barisan gerakan Indonesia, kebutuhan akan aksi persatuan masih belum sepenuhnya
disadari dan diungkapkan. Bahkan hingga saat ini, perwujudan solidaritas
Indonesia harus dianggap sebagai kebijaksanaan politik tertinggi. Justru
kesadaran yang menyentuh hati inilah—bahwa kurangnya kesatuan tujuan yang
dirasakan dengan baik hanya dapat melumpuhkan aksi bersama—yang telah mendorong
sejumlah partai politik Indonesia untuk mencapai persatuan yang lebih erat.
Tugas mendesak adalah menciptakan suatu bentuk di mana kegiatan berbagai partai
Indonesia dapat dikonsolidasikan menjadi satu gerakan tunggal yang kuat bagi
bangsa Indonesia. Sebagai hasil dari upaya ini, Perhimpunan
Perhimpunan-Perhimpunan Politiek Kebangsaan Indonesia (PPPPKI) yang baru
didirikan kini dapat ditawarkan kepada rakyat Indonesia sebagai bentuk
solidaritas politik yang tepat. Partai-partai politik yang memprakarsai langkah
ini dengan tegas berharap agar seluruh partai politik Indonesia lainnya tidak
ragu lagi untuk menunjukkan komitmen serius mereka dalam mewujudkan solidaritas
Indonesia dengan bergabung dalam Federasi yang baru dibentuk ini. Terwujudnya
Kemerdekaan Nasional bergantung langsung pada transformasi nyata perpecahan
yang ada menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Rakyat Indonesia! Ingatlah
momen berdirinya Persatuan, yang menandai tonggak sejarah dalam perjalanan
kalian untuk mendapatkan kembali hak-hak kalian. Banyak partai politik kalian,
dengan cara mereka sendiri dan secara independen, telah berupaya menyelesaikan
permasalahan hidup kalian dengan cara yang paling memuaskan. Namun, kalian merasa persatuan itu kurang; dan itu tidak melayani tujuan
kalian. Keberagaman ini harus diakhiri. Dan akhir itu telah tiba. Dimulai oleh
partai-partai P.M.I. dan P.S.I., yang pada Kongres di Pekalongan memprakarsai
pembentukan Federasi di antara keduanya, pekerjaan ini terus mengembangkan
Federasi itu menjadi Federasi yang memiliki semua partai politik nasional,
besar maupun kecil, sebagai pilarnya. Rakyat Indonesia! Ingatlah hari 17
Desember 1927, ketika Federasi didirikan di antara hampir semua partai kalian.
Menyadari bahwa melalui persatuan mereka akan melayani tujuan nasional bersama,
partai-partai kalian saling menjangkau. Pada tanggal itu, P.P.P.K.I. didirikan
oleh partai-partai yang disebutkan di bawah ini, dengan kantor pusatnya di
Bandung, dan Anggaran Dasarnya juga ditetapkan. Yang telah bergabung dengan
Federasi adalah: Perserikatau Nasional Indonesia, Partij Sarikat Islam, Boedi
Oetomo, Pasoendan, Sarikat Soematera (Persatuan Sumatera), Klub Studi Indonesia
Surabaya, dan Kaoem Betawi. Yang telah terpilih menjadi pengurus sementara
Federasi adalah: Tn. Iskad Tjokrohadisoerjo, Dr. Samsi Sastrawidagda, Ketua,
dan Sekretaris-Bendahara. Setelah pertemuan pertama, pada tanggal 11 Desember
1927, dibahas kemungkinan pendirian surat kabar harian, yang akan menjadi suara
bagi sentimen-sentimen yang ada di dalam P.P.P.K.I. Diputuskan untuk membentuk
sebuah panitia guna mempelajari lebih lanjut kemungkinan penerbitan semacam
itu. Langkah-langkah persiapan awal ini dapat mengawali periode di mana kalian,
partai-partai Indonesia, dapat mengembangkan kegiatan politik kalian menjadi
pengembangan kekuatan yang bertujuan. Kalian mungkin secara intuitif memahami
bahwa untuk setiap pukulan yang dilayangkan kepada kalian, hanya persatuan yang
lebih erat dan kerja sama yang lebih erat yang harus diikuti sebagai
satu-satunya tanggapan yang tepat. Situasi saat ini seringkali menggambarkan
sikap yang tepat dengan sarkasme yang tajam. Mungkin ini merupakan pertanda
baik bagi Anda bahwa tindakan menempatkan salah satu pemimpin terkemuka
Indonesia, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, di pulau terpencil hampir bertepatan
dengan hari lahirnya P.P.P.K.I. Rakyat Indonesia! Sangat yakin bahwa hal ini
didukung oleh perasaan terdalam Anda, P.P.P.K.I. menggunakan kesempatan ini
untuk mengucapkan selamat tinggal sementara kepada Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo
dan "sampai jumpa lagi" setelah kepergiannya yang terpaksa, dengan
jaminan bahwa rakyat Indonesia juga akan dapat menghargai pukulan telak ini
terhadap nilai sejatinya. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo: Tidak ada pengasingan
yang terlalu berat bagi Anda dan keluarga Anda jika dapat membeli solidaritas
orang-orang yang Anda tinggalkan. Sekarang, tunjukkan kepada rakyat Indonesia
melalui tindakan nyata bahwa putra-putra bangsa Indonesia tidak melakukan
pengorbanan terbesar dengan sia-sia’.
Kini sebelum berakhir tahun 1927, federasi organisasi kebangsaan PPPKI telah terbentuk di Bandoeng dengan ketua Iskaq Tjokrohadisoerjo, dan sekretaris Dr. Samsi Sastrawidagda. Dalam pendirian PPPKI ini sebuah komite ditunjuk untuk mendirikan organ PPPKI, yang terdiri dari Tuan Parada Harahap dan Tuan Sartono, yang harus mengembangkan rencana pendirian umum, yang harus diserahkan kepada pengurus dalam waktu satu bulan, yang mana badan tersebut akan hadir di Batavia. Lantas siapa Dr. Samsi Sastrawidagda?
Pada tahun 1911 Radjioen Harahap
gelar Soetan Casajangan di Belanda, pendiri Indische Vereeniging lulus sekolah
guru mendapat akta guru MO (sarjana pendidikan) tengah mendirikan Studiefond.
Pada tahun 1911 ini dalam rapat Boedi Oetomo di Djogja pengurus baru sedang
mengalami dilemma: kinerja Boedi Oetomo semakin menurun dari waktu ke waktu,
sementara perkumpulan-perkumpulan kecil mulai tumbuh dimana-dimana. Pengurus
baru, bupati Karanganjar Menyusun satu program utama dengan dua arah: perluasan
pendidikan dengan penerbitan majalah guru dan peningkatan kualitas guru. Oleh
karena keterbatasan anggaran, satu orang guru muda, Sjamsi Sastrawidagda,
kelahiran Solo yang belum lama lulus dari sekolah guru (kweeekschool) di Djogja
dikirim ke Belanda untuk melanjutkan studi keguruan. Di Belanda, Samsi
Sastrawidagda menemui Soetan Casajangan, guru bahasa Melayu di sekolah
perdagangan (Handelschool) di Haarlem, dengan membawa surat dari ketua Boedi
Oetomo (lihat De expres, 04-06-1912). Intinya: Boedi Oetomo memohon kepada
Soetan Casajangan untuk membimbing Sjamsi Sastrawidagda. Soetan Casajangan mengelola
studifond bersama Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (untuk
menggalang dana untuk membantu yang kesulitan keuangan bagi pelajar/mahasiswa
di Belanda dan pelajar/mahasiswa yang melakukan persiapan di tanah air untuk
studi ke Belanda. Dalam perkembangannnya Samsi Sastrawidagda cepat beradaptasi.
Pada tahun 1913 Sjamsi Sastrawidagda lulus ujian dengan mendapat akta guru LO
(lihat De avondpost, 02-06-1913). Samsi Sastrawidagda adalah orang kedua
peribumi yang mendapat akta LO (Soetan Casajangan, lulusan sekolah guru di
Padang Sidempoean memperoleh akta LO di Belanda pada tahun 1907). Setelah
mengintegrasikan studiefond ke dalam Indisch Vereeniging, pada bulan Juli 1913 Soetan
Casajangan kembali ke tanah air (ditempatkan sebagai direktur sekolah guru di
Fort de Kock). Samsi Sastrawidagda diusulkan untuk sementara untuk guru bahasa
Melayu di sekolah perdagangan mulai tahun ajaran 1913/1914 (lihat De Maasbode,
04-08-1913). Boleh jadi itu karena posisi yang ditinggalkan Soetana Casajangan.
Samsi Sastrawidagda oleh Boedi Oetomo diizinkan lanjut studi di Belanda untuk
mendapatkan akta guru MO (lihat Het vaderland, 23-09-1913). Samsi Sastrawidagda
diangkat kembali untuk satu tahun guru bahasa Melayu (lihat De Maasbode,
13-09-1914). Diangkat kembali untuk satu lagi (lihat De Maasbode, 26-09-1915). Pada
saat ini Soetan Casajangan sebagai direktur sekolah guru di Fort de Kock juga
menginisiasi organisasi diantara masyarakat dan juga mendirikan surat kabar
Poestaha di kampongnya di Padang Sidempoean. Pada tahun 1915 Tadoeng Harahap
gelar Soetan Goenoeng Moelia lulus ujian akta LO di Leiden. Sementara itu, Mas
Samsi dan Dahlan Abdulah lulus ujian Bahasa Melayu dan etnografi di Den Haag,
27 Desember (lihat Deli courant, 27-12-1915). Dahlan Abdoellah adalah lulus
sekolah guru di Fort de Kock. Pada tahun 1916 kembali Sjamsi diangkat guru
bahasa Melayu di sekolah perdagangan (lihat Rotterdamsch nieuwsblad,
08-08-1916). Guru bahasa Melayu di sekolah perdagangan tentu saja akan menjadi
tertarik dengan studi perdagangan. Samsi Sastrawidagda beralamat di Den Haag
lulus ujian akta guru MO di Utrecht (lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk
dagblad, 12-09-1916). Setahun berikutnya, tahun 1917 Soetan Goenoeng Moelia
lulus ujian guru kepala hoofdacte (MO). Ini mendakan semakain banyak orang
pribumi yang sudah bergelar sarjana pendidikan. Soetan Goenong Moelia kembali
ke tanah air. Bagaimana dengan Sjamsi? Sjamsi kembali diangkat sebagai guru
bahasa Melayu di sekolah perdagangan untuk tahun ajaran 1917/1918 (lihat
Rotterdamsch nieuwsblad, 14-08-1917). Berdasarkan resolusi Menteri Koloni, 24
Agustus 1917, Divisi ke-5, No. Pada tanggal 10 Juli, Mas Samsi, alias
Sastrawidagda, di Rotterdam, dan Mas Samoed, alias Sastrawardaja, di Den Haag,
diserahkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk dipekerjakan
(sementara, sejauh yang bersangkutan) sebagai guru dalam pendidikan
Belanda-Indonesia (lihat Nederlandsche staatscourant, 29-08-1917). Mas Samsi
Sastrowidagdo telah ditunjuk sebagai asisten guru bahasa Jawa di Leiden (lihat
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-05-1918). Hal serupa ini
juga pernah dilakukan oleh Soetan Casajangan dalam membantu Prof CA van
Ophuijsen dalam pengajaran bahasa Melayu di Leiden. Dengan semangat belajar
tinggi, lanjut studi ke perguruan tinggi perdagangan. Pada tanggal 28 Juni 1918
di Rotterdam lulus ujian di Nederland Handelshoogeschool dalam bidang ekonomi
perdagangan antara lain Mas Samsi (lihat De Maasbode, 29-06-1918). Deli
courant, 05-07-1918 memberitakan Mas Samsi Sastrowidjojo lulus ujian kandidat
ilmu niaga, dan Raden Panowidjojo Darmobroto lulus sekolah niaga. De Preanger-bode, 05-10-1918 memberitakan Mas Samsi Sastrowidigdo dan
Baginda Dahlan Abdoellah telah diangkat sebagai asisten profesor di Universitas
Leiden untuk mengajar bahasa Jawa dan Melayu. Di Belanda kembali Baginda Dahlan
Abdoellah dan Samsi Sastrawldagda diangkat untuk masa jabatan satu tahun
sebagai asisten guru bahasa Malayu dan bahasa Jawa (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 02-10-1919). Rasa nasionalis Sjamsi mulai muncul (lihat Het
vaderland, 03-10-1919). Di dalam majalah Hindia Poetra, majalah Indische
ereeniging di Belanda, Samsi Sastrawidagda menulis: "Jika kita orang
Indonesia lebih rendah daripada orang Eropa, kita akan kalah dari orang Barat
di Eropa dalam persaingan, sementara orang Barat kemudian akan kalah dari orang
Indonesia di Timur. Marilah kita orang Indonesia mengatakan ini sebagai penghiburan
untuk masa depan, yang sangat ingin kita lihat gratis bagi kita. Namun, tidak
ada yang diberikan kepada kita, tidak ada yang dicapai tanpa kemenangan. Dan
kemenangan itu, yang dicapai semata-mata melalui kekerasan, tidak membawa kita
lebih jauh, hanya membawa kita pada kehancuran; lihat apa yang terjadi di
negara-negara Barat, di mana demokrasi masih belum cukup berkembang, masih
terlalu belum matang untuk pemerintahan sendiri’. Bagaimana dengan studi Sjamdi di Rotterdam?
Pada tahun 1919 di dalam namanya sudah dicantumkan gelar Drs (lihat De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-10-1919). De Maasbode, 05-05-1921 di Indisch
Genootschap menjadi Sjamsi menjadi anggota pengurus Sjamsi yang dipimpin oleh
Prof C van Volienhoven dan juga sebagai anggota pengurus Soetan Casajangan dari
pengurus bestuur van Moederland en Koloniën. Sebagaiman diketahui setelah
bertugas di sekolah guru Ambon dan menjadi asisten inspektur pribumi di
Batavia, Soetan Casajangan pada tahun 1920 mendapat cuti satu tahun ke
Eropa/Belanda. Pada saat itulah Soetan Casajangan (senior) bertemu kembali
dengan juniornya Sjamsi Sjastrawidagda. Soetan Casajangan diundang kembali oleh
Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah air untuk berpidato di hadapan
para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah 19 halaman
yang berjudul: 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek
(modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Forum ini juga dihadiri oleh
Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan
makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya: Geachte Dames en Heeren!
(Dear Ladies and Gentlemen). ....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum,
ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada
saya...di hadapan forum ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun
lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor
pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan
pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di
negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri
saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa)
pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk
merealisasikannya…yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa
perbaikan…termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf)
dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa…Sekarang saya ingin berbicara dengan cara
yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari
keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar
sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan
putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda,
bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling
takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan
kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan
intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani
perlunya kebijakan baru pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging
Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini
lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan…’. Pada tahun
1921 terinformasikan Mas Samsi Sastrowidigdo dan Baginda Dahlan Abdoellah telah
diangkat sebagai asisten profesor di Universitas Leiden untuk mengajar bahasa
Jawa dan Melayu (lihat De nieuwe courant, 23-10-1921). Pada tahun 1922 dalam
pemilihan dewan, sejumlah aktivis otonomi mendorong para kandidat untuk
perubahan undang-undang untuk Zelfbestuur voor Indie, antara lain Dr. HT
Colenbrander, profesor di Leiden, Raden Gondokoesoemo di Leiden, Dr GAJ Hazeu
profesor di Leiden, Dr JH Kern, profesor di Groningen. Dr JC Koningsberger,
mantan ketua Dewan Rakyat Hindia Belanda, di Utrecht, Mohamad Sjaaf, dokter, di
Amsterdam, raden Oerip Kartodirdjo, di Scheveningen, Th B Pleyte, mantan
Menteri Koloni, di Den Haag. Mas Samsi Sastrawidagda, guru bahasa Jawa, di
Leiden, C Snouck Hurgronje, profesor di Leiden, Raden Soetomo, dokter, Ketua Indische
Vereeniging, di Amsterdam, HE. Steinmetz, mantan Residen, di Den Haag, C van
Vollenhoven, profesor di Leiden. Gondokoesoemo meraih gelar doctor (PhD) dalam
bidang hukum di Leiden (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad,
22-06-1922). RM Koesoemah Atmadja lahir di Poerwakarta dengan judul desertasi
‘De Mohammedaansche vrome stichtingen in Indie’ (lihat Het Vaderland: staat- en
letterkundig nieuwsblad, 15-12-1922). Pada tahun 1922 di Leiden Mas Samsi
Sastrowidigdo dan Baginda Dahlan Abdoellah sebagai asisten profesor di
Universitas Leiden untuk mengajar bahasa Jawa dan Melayu digantikan Mohamad
Zain dan Poerbartjaraka (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 18-09-1922). Pada tahun 1922 Soetan Casajangan diangkat sebagai direktur sekolah guru
Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara di Salemba). Dahlan
Abdoellah lulus ujian acte MO vóór de Maleische taal en letterkunde (lihat Het
Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 28-06-1923). Dahlan Abdoellah
kembali ke tanah air. Bagaimana dengan Sjamsi? Yang jelas pada tahun 1923 oleh
para aktivis Indisch Vereeniging mengusir Noto Soeroto, mantan ketua Indisch
Vereeniging (1913). Mengapa? Yang jelas sejak pengusiran Bapak Noto Soeroto,
dan semangat kebebasan nasional menjadi lebih nyata di antara anggota Indisch
Vereeniging. Pada tahun ini Raden Soegondo lahir di Rembang dengan desertasi
berjudul Vernietiging van Dorpsbesluiten (lihat De Preanger-bode, 22-01-1923). Yang
jelas di Nederland Handelhoogeschool di Rotterdam telah diterima Mohamad Hatta
(lulus HBS di PHS Batavia tahun 1921 pada jurusan perdagangan) dan langsung
berangka ke Belanda. Akhirnya Samsi Widagda lulus ujian sarjana pada tahun 1923
(lihat Arnhemsche courant, 21-03-1923). Sjamsi Widagda belum selesai, belum
pulang ke tanah air, masih ingin melanjutkan ke tingkat doktoral untuk meraih
gelar doktor. Penerus Sjamsi di bidang studi ekonomi sudah muncul (Mohamad
Hatta). Pada tahun 1925 Samsi Widagda dipromosikan doctor (PhD) (lihat De
Maasbode, 18-11-1925). Disebutkan Samsi Widagda lahir di Soeracarta dengan
desertasi berjudul “De Ontwikleing voor der Handelspolitiek van Japan”. Sebelumnya,
Soebroto dengan desertasi berjudul ‘Indonesische Sawah-verpanding’ (De Tijd:
godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-09-1925). Pada rahun 1925 ini juga
Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi lahir di Batang Toroe Padang
Sidempoean dinyatakan lulus di Universiteit Leiden dan mendapat gelar doctor
(PhD) dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden:
Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Apakah Dr Sjamsi segera kembali ke
tanah air? Yang jelas Poerbatjaraka meraih gelar doktor (PhD) pada bidang
sastra di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul 'Agastya in den
Archipel' (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 11-06-1926). Pada bulan Oktober 1926,
Dr Sjamsi Sastrawidagda terinformasikan sudah tiba di kampong halaman (lihat De
Indische courant, 04-10-1926). Disebutkan di Solo, hari ini, setelah
bertahun-tahun menghilang, Dr. Samsi Sastrawidagda tiba di tempat kelahirannya.
Pada tahun 1912, setelah menyelesaikan studinya di sekolah guru di Djocja,
beliau pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi keguruan. Itu berarti Sjamsi
Sastrawidagda berada di Belanda selama 14 tahun. Dr. Samsi Sastrawidagda
kemudian terinformasikan di Bandoeng (lihat De koerier, 31-05-1927). Disebutkan
lembaga pendidikan nasional, Taman Siswo, akan dibuka Sekolah Mulo dan AMS di Bandoeng
pada tanggal 6 Juli dengan kurikulum sesuai pemerintah seperti AMS di Djocja.
Sosrokartono akan memimpin dan berikut ini juga akan menjadi pengajar:
Sjaboedin Latif, Ir. Soekarno, K Karnadidjaja, Ir Anwari, Soenaria, Dr Samsi Sastrawidagda,
dan RM Soorjoadipoetro. Sekolah ini akan dikelola setiap hari oleh Dr
Sosrokartono, Dr Samsi Sastrawidagda dan RM Soerjoadipoetro. Masih di Bandoeng
Dr Sjamsi menjadi anggota panitia pembentukan organisasi kebangsaan (lihat De
locomotief, 13-06-1927). Disebutkan sebuah perkumpulan nasional. Kami
mengetahui dari Bandung bahwa sebuah panitia baru-baru ini dibentuk di sana,
dipimpin oleh Ir Soekarno dan Iskaq, untuk mendirikan Partai Rakyat Nasional.
Panitia tersebut juga beranggotakan Bapak Dr. Tjipto, Bapak Boediarto, Bapak
Soenarjo, dan Dr Samsi. Panitia tersebut akan menyelenggarakan kongres
pendirian sesegera mungkin, yang akan membahas topik-topik ekonomi, politik,
dan budaya. Menurut informan kami, Dr Tjipto akan berbicara pada hari pendirian
tentang nilai budaya bagi pembangunan Indonesia. Namun, belum diketahui kapan
pendirian tersebut akan dilaksanakan. Sebagaimana diketahui Perserikatan
Nasional Indonesia (PNI) didirikan pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandoeng. PNI
juga sudah didirikan di Jogjakarta (lihat De locomotief, 19-07-1927). Raden
Soepomo, lahir di Solo meraih gelar doktor di bidang hukum di Universiteit
Leiden tahun 1927 dengan judul desertasi ‘De reorganisatie van 't agrarisch
stelsel in het Gewest Soerakarta’ (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad,
09-07-1927). Pada bulan Agustus 1927 di Bandoeng diadakan pertemuan massa
(lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-08-1927). Disebutkan
sebuah pertemuan publik diadakan di Bandung oleh berbagai organisasi
"nasionalis" mengenai penggeledahan dan penyitaan rumah-rumah
mahasiswa pribumi di Belanda. Ketuanya adalah Ir Sukarno. Ada tiga pembicara,
yang juga membahas Liga Melawan Penindasan Kolonial. Selain itu, sebuah komite pendukung
dibentuk untuk para mahasiswa, yang dipimpin oleh Dr Samsi di Batavia. Pada
bulan September di Bandoeng diadakan pertemuan umum Perserikatan Nasional
Indonesia (lihat De locomotief, 26-09-1927). Disebutkan para nasionalis di
Bandung. Aneta melaporkan hari ini dari Bandung: Kemarin pagi, sebuah pertemuan
umum Perserikatan Nasional Indonesia yang dihadiri banyak orang telah
diselenggarakan. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Dr Samsi, yang mengumumkan
bahwa organisasi tersebut berkembang pesat dan memiliki cabang hampir di
mana-mana. Bapak Iskaq kemudian membahas sejarah gerakan nasionalis Indonesia
dan platform partai tersebut. Menurut pembicara, gerakan tersebut mengandalkan
kekuatannya sendiri, karena PNI, di bawah struktur ketatanegaraan saat ini, tidak
ingin berpartisipasi dalam pemerintahan nasional. Perspektifnya adalah: negara
di dalam negara. Pembicara menggunakan Jepang sebagai contoh untuk menunjukkan
apa yang dapat dicapai dalam waktu singkat. Ir Sukarno mempertimbangkan tujuan
PNI. Pembicara ini mengutuk semua sistem pemerintahan oleh "para
penguasa" dan, seperti Bapak Iskaq, tidak menyetujui pendidikan.
"Kita tidak punya harapan apa pun dari mereka yang datang ke sini untuk
mencari uang, mengisi perut, lalu pergi," kata pembicara. Ia kemudian
mengajukan permohonan yang berapi-api agar tidak bekerja sama. Tepuk tangan
meriah; tak ada debat’.
Iskaq Tjokrohadisoerjo dan Sartono adalah sama-sama pengacara. Nama Iskak mulai menjadi perhatian Pemerintah Hindia Belanda pada bulan Juni 1926. Ini sehubungan dengan keberadaan studie-club di Bandoeng. Yang mana Iskaq Tjokrohadisoerjo yang dikenal sebagai pengacara turut menghadiri Kongres Boedi Oetomo yang mana Iskaq berbicara dengan mengkritik pemerintah.
Nama Iskaq Tjokrohadisoerjo pertama kali terinformasikan pada tahun 1912
(lihat De expres, 29-05-1912). Disebutkan di Opleidingsschool voor Inlandsche
Rechtskundigen di Batavia diadakan ujian transisi. Di tingkat persiapan (voorbereidende
afdeeling) dari kelas satuke kelas dua antara lain RP Iskak, yang naik dari
kelas dua ke kelas satu di tingkat rechtskundige afdeeiing antara lain: M Besar,
R Aroeman, R Hadi, Soetan Zaïnoelarifin dan R Sasra Hoedaja. Naik dari kelas satu
ke kelas dua antara lain R Soebroto, R Singgih en R Soewono. Dari kelas dua ke
kelas tiga antara lain R Soejoedi. Het eindexamen voor de leerlingen van de
derde klasse der rechtskundige afdeeling zal gehouden worden Donderdag, Vrijdag
en Zaterdag. Pada tahun 1915 yang berhasil ujian naik dari kelas satu ke kelas
dua antara lain Iskak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1915). Dalam
perkembangannya sekolah yang sama-sama didirikan dengan sekolah kedokteran hewan
Veeartsen di Buitenzorg, diubah Namanya menjadi Rechtschool (di Weltevreden).
Pada tahun 1918 Rechtschool diadakan ujian (lihat De Preanger-bode, 22-05-1918).
Disebutkan di Rechtschool di Weltevreden lulus ujian di tingkat persiapan yang naik
dari kelas dua ke kelas tiga antara lain Soedibjo, Sarip, Emor, Nazief, Sartono
dan Moethalib. Pada tahun 1919, Sartono naik dari kelas tiga persiapan ke kelas
satu tingkat akademik (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-05-1919). Pada tahun
1922 RM Sartono lulus ujian akhir (lihat Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indie, 26-05-1922). Yang juga lulus R Soedibio Dwidjosewojo,
Abdoel Moethalib Moro, R Emor Djajadinata, R Sharip dan Mohamad Nazief. RM Sartono
ditempatkan di Salatiga (lihat De Preanger-bode, 09-06-1922). RM Sartono tidak menempati
di Salatiga, tetapi berangkat ke Belanda (lihat De Preanger-bode, 28-08-1922).
Disebutkan kapal ss “Kawi” berangkat dari Priok dengan tujuan akhir Roetterdam
pada tangga 30 Agustus. Di dalam manifes kapal antara lain RM Sartono, Ali Nordin,
R Djenal Asikin Widjaja Koesoema bersama istri dengan satu anak, Raden Hadi
bersama istri dan bayi, Liem Kie In, Mohamad Joesoef Adimodjojo, Raden Notosoebagio
bersama istri dan bayi, Raden Soebroto, Raden Soedirman, Soesajito Tirtoprodjo,
Soetan Mohamad Zain bersama istri dan empat anak, Raden Koesoemo Soemantri dan
Tjhin Tjoeng Djie. Singkatnya, sementara itu, setelah lulus ujian akhir di Opleidingsschool
voor Inlandsche Rechtskundigen di Batavia, Iskaq Tjokrohadisoerjo ditempatkan
di kantor pengadilan pribumi (Landraad). Lalu bagaimana dengan Iskak? Setelah beberapa
tahun kemudian, Iskaq Tjokrohadisoerjo melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun
1925 RP Iskak Tjokrohadisoerjo lulus ujian sarjana hukum dengan gelar Mr di
Leiden (lihat De locomotief, 20-07-1925). Sebelumnya terinformasikan RM Sartono
lulus ujian kandidat hukum di Leiden (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig
dagblad, 31-01-1925). RP Iskak Tjokrohadisoerjo segera kembali ke tanah air
(lihat De Indische courant, 16-09-1925). Disebutkan dilaporkan dari Pekalongan
kepada Loc.: Di atas kapal penumpang ss “Johan de Witt” dari perusahaan Belanda
dan kapal “Trier dari Nord-Deutscher Lloyd” dari perusahaan Jerman, yang
masing-masing berangkat dari Genoa pada tanggal 9 dan 8 September, terdapat
pengacara asal Jawa, yaitu RP Notosoebagio, R Hadi, M Soesanto Tirtoprodjo, dan
RP Iskak, yang kini sedang dipulangkan setelah menyelesaikan studi mereka di
Belanda dan luar negeri. Tiga pengacara pertama termasuk di antara mereka yang
dikirim oleh pemerintah dan oleh karena itu akan kembali bertugas di
pemerintahan. Ketiga ekspatriat tersebut lulus dengan pujian di Belanda. RP
Iskak kuliah dengan biaya sendiri dan kemungkinan besar tidak akan menjadi
pegawai negeri, melainkan akan berpraktik hukum sendiri. Tiga lulusan hukum di Jawa
lainnya saat ini sedang belajar di luar negeri dan akan segera kembali.
Ketiganya adalah R Soebroto, seorang ekspatriat yang sedang mengerjakan
disertasi, Sartono, dan Boediarto. Dua yang terakhir ini kuliah sepenuhnya
dengan biaya sendiri dan, sekembalinya mereka, akan memperkaya Hindia Belanda
dengan dua pengacara’. Dalam hal ini Iskaq Tjokrohadisoerjo yang sudah lulus
sarjana hukum di Belanda tahun 1925 segera pulang ke tanah air, sementara Sartono
masih sedang menyelesaikan studinya di Belanda. Di tanah air, dimana Iskaq
Tjokrohadisoerjo tinggal dan bekerja dimana tidak terinformasikan. Pada awal
tahun 1926 RM Sartono lulus ujian sarjana hukum dengan gelar Mr (lihat Haagsche
courant, 23-01-1926). RM Sartono segera kembali ke tanah air (lihat Bataviaasch
nieuwsblad, 11-02-1926). Disebutkan kapal Norddeutschen Lloyd, ex Hamburg tanggal
9 Januari dan tiba di Singapore tanggal 19 Februari dan akan merapat di Priok tanggal
21 Februari (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-02-1926). Dalam manifes kapal hampir
semua orang Jerman tetapi terdapat nama Raden Mas Sartono dan Raden Wirjono
Koesoemo.
Pada bulan Maret 1926, Iskaq Tjokrohadisoerjo
terinformasikan sebagai salah satu pembicara dalam rapat tahunan Boedi Oetomo
yang diselenggarakan di Soerakarta. Dalam rapat ini banyak isu yang akan di bahas.
Iskaq Tjokrohadisoerjo akan membahas tugas para pemuda bersama Soedjadi, Dr
Goenawan Mangosnkoesoemo dan Dr Satiman Wirjosandjojo. Dr Goenawan Mangoenkoesoemo
pernah menjadi ketua Indische Vereeniging di Belanda (1918). Dr Satiman
Wirjosandjojo lulusan Stovia adalah ketua Jong Java pertama (1915).
De locomotief, 23-03-1926: ‘Rapat Tahunan Boedi-Oetomo. Agenda rapat
tahunan "Boedi-Oetomo", yang dimulai pada tanggal 1 April dan
berakhir pada tanggal 5 April 1926, yang akan diselenggarakan di perkumpulan
"Habiprojo" di Soerakarta, adalah sebagai berikut: (1). Jumat malam,
tanggal 2 April, mulai pukul 21.00. 1. Sambutan ketua panitia penyambutan dan
ketua pengurus utama. 2. Desa Jawa. Nasihat awal yang dirangkum oleh RMAA
Koesoemo Oetojo: 3. Tugas para pemuda oleh Soedjadi, Dr Goenawan
Mangosnkoesoemo, Dr. Satiman Wirjosandjojo, dan Iskak Tjokrohadisoerjo, (2).
Sabtu pagi, 3 April, diawali dengan Tanya Jawab 1. Reformasi dan pembangunan
desa dan masyarakat, oleh R Gondokoesomo dan RM Oetarjo. 2. Pembahasan usulan
dari berbagai subdivisi. (3). Sabtu malam, 4 April, mulai pukul 09.00. 1.
"Reformasi administrasi". Pendahuluan oleh R Slamet. 2. Rapat
tertutup. (4). Minggu pagi, 4 April, diawali dengan Tanya Jawab. 1. Peluang
ekonomi bagi masyarakat Jawa, oleh RMAA Koesoemo Oetoyo, mantan bupati Jawa,
dan RM Oetarjo. 2. Melanjutkan pembahasan usulan. 3. Rapat tertutup. (5).
Minggu malam, 4 April, mulai pukul 20.00. 1. Pertemuan perwakilan
sub-departemen dengan ketua pengurus, mulai pukul 20.00. 2. Pertunjukan wayang
kulit pukul 21.00’.
Pada awal tahun 1926 terinformasikan di Belanda bahwa nama Indische Vereeniging telah dibah namanya oleh pengurus baru dengan nama Perhimpoenan Indonesia. Yang teripilih menjadi ketua baru Perhimpoenan Indonesia adalaj Mohamad Hatta dengan sekretaris Abdoel Madjid dan bendahara Aboetari.
De Indische courant, 03-04-1926: ‘Lulusan Indonesia. Berita diterima dari
Den Haag bahwa pada rapat Perhimpunan Indonesia tanggal 17 Januari, pengurus
lama perhimpunan mengundurkan diri dan terpilihlah pengurus baru, yang terdiri
dari Mohamad Hatta, ketua; Abdoel Madjid, sekretaris; Aboetari, bendahara; Darsono
dan Soenario, komisaris. Baru-baru ini, M Teko, RG Iskandar, dan H Soebiarto lulus
ujian kandidat di Sekolah Tinggi Pertanian Kolonial di Wageningen. Di Belanda
dibentuk komite yang misinya adalah memberikan dukungan kepada warga negara
Indonesia yang baru tiba di Belanda, terdiri dari Nazir Pamoentjak, M Aboetari,
Achmad Mochtar Lubis, dan M Moerman’.
Sementara itu di tanah air, terinformasikan lulus dengan gelar insinyur di sekolah tinggi teknik (THS) Bandoeng, yakni Soekarno, M Anwari, JAH Ondang dan M Soetedjo. Mereka berempat adalah pribumi pertama yang lulus di THS Bandoeng.
De Indische courant, 07-05-1926: ‘Di THS Bandoeng yang lulus dan meraih gelar insinyur diantaranya Soekarno, M Anwari, JAH Ondang dan M Soetedjo. Mereka yang lulus tahun ini adalah alumni pribumi pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng. Pada bulan-bulan ini juga dilaporkan mahasiswa yang lulus di sekolah tinggi lainnya. Di sekolah kedokteran Stovia yang lulus ujian akhir diantaranya Diapari Siregar (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-05-1926). Di Buitenzorg di Veeartsenschool yang berhasil menerima gelar dokter hewan diantaranya Anwar Nasoetion (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-05-1926). Di Utrecht seorang wanita muda bernama Ida Loemongga berhasil meraih gelar dokter (1926). Ida Loemongga (Nasution) adalah perempuan Indonesia pertama yang kuliah di Belanda.
Ir Soetedjo diangkat pemerintah dan ditempatkan di
pemerintah daerah di Pekalongan. Bagaimana dengan Soekarno dan Anwari? Ir Anwari dan Ir Soekarno lebih memilih
bekerja sebagai swasta yang keduanya mendirikan firma arsitek di Bandoeng.
Sejauh ini pribumi yang telah meraih gelar insinyur di Delft Belanda adalah KJ Leatemia dari Saparoea, dan R Sarengat dari Karanganjar lulus insinyur sipil di Delft tahun 1920 (lihat De standard, 09-07-1920). Pada tahun 1922 di Universiteit te Delf lulus ujian dan meraih sarjana di bidang teknik kimia yakni Ir Soerachman. Pada tahun 1925 RM Sarsito lulus ujian akhir di Delft dan mendapat gelar insinyur sipil (lihat De standard, 27-03-1925).
Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo yang turut mengkritisi
pemerintah dalam rapat tahunan Boedi Oetomo di Soerakarta pada awal bulan April
1926 menjadi salah satu nama yang menjadi target Pemerintah Hindia Belanda. Selain
Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo pengacara dan advokat di Bandoeng yang juga menjadi
ketua Klub Studi Indonesia di Bandoeng, nama-nama lainnya yang disebut adalah
Dr Soetomo dokter di CBZ di Soerabaja (yang juga menjadi ketua klub studi Indonesia
di Soerabaja).
De tribune: soc. dem. Weekblad, 02-06-1926: ‘Penganiayaan terhadap kaum intelektual. Mereka yang berkuasa di Indonesia kini, untuk pertama kalinya, mengadili kaum intelektual "mapan". Banyak pelanggaran bicara tercatat pada kongres Boedi Oetomo terakhir. Ind. Crt. memberikan daftar berikut: Slamet, ketua dewan utama, instruktur teknis di pegadaian, dan anggota dewan kota Semarang, karena mengkritik reformasi pemerintah. Bapak Soejoeti, anggota dewan utama, pengacara dan advokat di Djokja, atas kesimpulannya yang tajam bahwa pemuda adat harus menghindari layanan pemerintah; Bapak Iskak, pengacara dan advokat di Bandung, ketua Klub Studi Indonesia di sana, karena alasan yang sama dengan pembicara sebelumnya; Dr Satiman, dokter di Bangil, atas kritiknya yang sangat tajam terhadap pemerintah dan kebijakannya; Dr Soetomo, dokter di CBZ di Soerabaja, atas pemikirannya tentang kerja sama’.
Lalu bagaimana dengan Ir Soekarno? Satu yang jelas,
pemerintah mulai menaruh ketidak percayaan terhadap studie-club yang dibentuk
para intelektual pribumi (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 18-01-1927).
Disebutkan Dr Soetomo ini harus dipandang dengan ketidakpercayaan terhadap Klub
Studi. Lebih lanjut disebut bahwa nama-nama Singgih (Mr), Semaoen, Tan Malaka,
Moeso, Alimin, Soebakat, dan Dr. Soetomo. Iskak menjadi ancaman. Oleh karena
itu, kekuatan yang diperlukan harus diambil terhadap para "Striber"
di negeri ini, demi kepentingan rekan-rekan mereka sendiri, dan oleh karena itu
gerakan Klub Studi ini harus diawasi dengan ketat. Apakah Ir Soekarno masih
hati-hati alias wait en see?
De nieuwe vorstenlanden, 17-06-1926: ‘Pengacara di Bawah Pengawasan. Redaktur
AID. di Batavia melaporkan: Ada tiga pengacara di Bandung yang tampaknya
mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Kasus ini dimuat di surat kabar
harian "Sin Po", yang darinya kami mengutip informasi berikut: Tuan R
Wirjonokoesoemo telah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan pemerintah,
tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan karena pria yang dimaksud
sebelumnya adalah komisaris Vereeniging Indonesia Merdika [yang terkenal]. Ia
telah diangkat sebagai pengacara dan advokat di Mahkamah Agung dan bekerja sama
dengan Tuan Iskaq Tjokrohidisoerjo, yang telah menetap di Bandung. Lebih
lanjut, seorang pengacara pihak ketiga, Tuan RM Sartono, belum mendapatkan
keputusan atas permohonan pengangkatannya sebagai pengacara dan advokat.
Sartono, yang telah bekerja sama dengan Tuan Iskaq, sebelumnya adalah
sekretaris Perhimpunan Indonesia. Sungguh aneh seorang nasionalis menghadapi
hambatan di negerinya sendiri! menurut harian berbahasa Mandarin tersebut.
Dalam artikel lain, surat kabar yang sama menulis bahwa Tuan Iskaq memprotes
surat-surat pro-Jerman. Beberapa surat dari "saudara-saudara" di
Belanda ditahan selama sebulan, dan yang lainnya juga mengalami nasib yang
sama. Jaksa Agung merasa senang, tetapi diharapkan Tuan Iskaq tidak akan
menoleransi metode ilegal ini, kata surat kabar tersebut. Sejauh ini, publikasi
yang ada menunjukkan bahwa Bandung memiliki tiga ahli hukum yang sebelumnya
membantu aksi di Belanda, yang berpuncak pada penerbitan Buku Kenangan Indonesia
yang terkenal. Sebagaimana diketahui, saat ini terdapat peraturan ketat
mengenai impor literatur asing. Oleh karena itu, kemungkinan besar Tuan Iskaq
menerima dokumen-dokumen yang sedemikian rupa sehingga orang mungkin mencurigai
bahwa mereka berurusan dengan literatur berbahaya. Lebih lanjut, mungkin
bermanfaat bagi pemerintah untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh
para pemuda pemarah ini. Lebih lanjut, fakta bahwa ia ditolak untuk mendapatkan
posisi di dinas nasional untuk salah satu bidang seni yang disebutkan di atas
kemungkinan besar merupakan kesalahan orang tersebut sendiri. Lebih lanjut,
menurut pernyataannya sendiri, pengacara ini meminta posisi tersebut
semata-mata demi keluarganya. Oleh karena itu, beliau tidak akan terlalu kecewa
ketika permintaannya ditolak. Kami juga mengetahui bahwa Bapak Iskaq memang
telah mengajukan protes langsung kepada Jaksa Agung dan telah menerima
tanggapan atas protesnya. Sayangnya, kami tidak dapat mengakses korespondensi
ini’. De Indische courant, 05-07-1926: ‘Mahasiswa Indonesia. Kami memahami
bahwa sebuah surat edaran saat ini beredar di beberapa tempat di Jawa, berasal
dari Bandung, yang diterbitkan oleh Tuan B dan Tuan S dan ditandatangani
"dibacakan" oleh Tuan R.M. Sartono di sana, yang meminta bantuan
keuangan bagi mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda dan tidak memiliki
sarana. Surat edaran tersebut berbunyi: Laporan telah sampai kepada kami dari
berbagai sumber yang menyoroti keadaan yang dihadapi rekan-rekan mahasiswa kami
di Eropa. Jauh dari tanah kelahiran mereka, hampir tanpa dukungan materi,
mereka harus berusaha keras untuk memperoleh pengetahuan yang sangat dibutuhkan
bagi negara-negara ini. Karena kami menyadari bahwa keberhasilan upaya mereka
juga secara tidak langsung sangat penting bagi kami, kami merasa perlu untuk
memohon kemurahan hati Anda. Setiap sumbangan, sekecil apa pun, akan kami
terima dengan senang hati. Tuan RM Sartono di Bandung, Regentsweg No. 22, siap
memberikan informasi apa pun dan juga akan memastikan penyaluran dana
selanjutnya. Kami yakin bahwa permohonan kami untuk kemanusiaan Anda, dll.,
tidak sia-sia. Hormat kami, Sartono, B (dan) S’. Catatan: Siapa berisinial B (?)
dan S (Soekarno?). Dalam perkembangannya diberitakan RM Sartono diangkat menjadi
pengacara dan advocat (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-07-1926).
Disebutkan diangkat sebagai pengacara dan jaksa (advocaat en procureur) di
bawah Mahkamah Agung (het Hooggerechtshof) Raden Mas Sartono di Bandoeng.
Seperti disebut di atas, di Bandoeng pada tahun 1926
Ir Soekarno dkk membentuk klub studi yang diberi nama Algemene Studieclub. Konon,
klub studi ini dibentuk karena klub studi Indonesia di Soerabaja (didirikan
tahun 1924). Dalam hal ini, meski belum lulus, Putuhena menjadi ketua pertama
Algemene Stidieclub (yang mana sebagai sekretaris adalah Ir Soekarno). Dalam
konteks inilah kemudian diduga Mr Iskak seorang pengacara di Bandoeng menjadi
bagian dari studi-club Bandoeng.
De locomotief, 25-08-1926: ‘Mr Singgih di Bandung. Sebagaimana telah
dilaporkan melalui telegram, Bapak Singgih berbicara di Bandung Minggu lalu.
Beberapa penutur asli telah mempersiapkan kuliah ini. Pertemuan umum tersebut
didahului oleh pertemuan tertutup, yang hanya memperbolehkan perwakilan dari
asosiasi terkait dan tamu undangan. Mengenai hal-hal yang dibahas di sana, kami
mengetahui hal-hal berikut: Pertemuan pendahuluan dijadwalkan pada Sabtu sore
pukul 20.00. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Sabirin, tetapi tepat setelah
dibuka, pertemuan tersebut diinterupsi oleh seorang polisi yang datang dan
mendapati beberapa pemimpin komunis hadir, yaitu Soepradja, Sanoesi, Koesni,
dan Goenawan dari PKI. Polisi tersebut mengumumkan bahwa mereka telah
diinstruksikan untuk tidak memberikan izin kepada siapa pun yang berhaluan
komunis untuk menghadiri pertemuan tertutup ini. Setelah berdiskusi sejenak,
diputuskan untuk menunda pertemuan hingga pukul 19.00, yang kemudian
diputuskan. Dalam pertemuan tertutup yang dibuka pukul 19.00, menjadi jelas
bahwa para komunis tersebut, meskipun bukan sebagai perwakilan PKI, diizinkan
untuk menghadiri pertemuan tertutup tersebut secara langsung. Dalam rapat
tersebut, diputuskan bahwa rapat umum pada Minggu pagi akan dipimpin oleh
Soepradja, seorang komunis, meskipun bukan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin
PKI. Jika polisi berkeberatan, salah satu dari Bapak Sartono atau Bapak Ischak
akan mengambil alih presidium. Sebagaimana diketahui, polisi tentu saja merasa
perlu untuk berkeberatan, setelah itu Mr Sartono mengambil alih pimpinan rapat
umum. Setelah pidato Bapak Singgih pada rapat Minggu pagi, empat orang komunis
berdebat mengenai penyusunan program yang akan menunjukkan jalan menuju
persatuan Indonesia. Para pendebat komunis ini adalah Moh. Sanoesi,
Somoprawiro, Soepradja, dan Koesno, serta jurnalis Soeharjo. Terakhir,
disebutkan juga bahwa rapat menyetujui mosi yang menyatakan penyesalan rapat
atas penolakan Soepradja, seorang komunis, untuk menjadi ketua oleh polisi. Mr
Singgih kemudian berbicara tanpa perdebatan mengenai "Kerja Sama dan
Non-Kerja Sama."
Nama Indonesia sudah sejak 1917 meluas diantara orang pribumi (baca: orang Indonesia) setelah nama Kongres Hindia di Belanda diadopsi nama Indonesia menjadi Kongres Indonesia. Pada tahun 1918 Dr Ratoelangi dkk di Bandoeng mendirikan asuransi pribumi dengan menggunakan nama Indonesia. Pada tahun 1922 Dr Soetomo dkk mengubah nama Indische dalam nama Indische Vereeniging dengan nama Indonesia (Indonesia Vereeniging). Pada tahun 1922 di Volksraad diusulkan nama Indonesia, namun kalah dalam voting. Pada tahun 1924 Dr Soetomo setelah selsai studi kembali ke tanah air dan mendirikan klub studi di Soerabaja dengan nama Indonesia Clubstudie. Pada akhir tahun 1925 Mohamad Hatta dkk di Belanda memperbarui lagi nama Indische Vereeniging dengan nama yang penuhnya Indonesia dengan nama Perhimpoenan Indonesia. Kini, nama Indonesia mulai dikibarkan di Bandoeng.
Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 03-09-1926: ‘Persatuan
Hindia. Menurut Ind. Tel. sebuah komite dengan nama Persatoean Indonesia dibentuk
di Bandung, yang terdiri dari anggota dewan dari dua belas perkumpulan pribumi
dan perorangan. Sebuah dewan kemudian dipilih, yang terdiri dari Mr Sartono,
ketua; Soepardjo, wakil ketua; Sjahboedin Latif, sekretaris; Ir. Soekarno, juga
sekretaris; dan Oesman, bendahara. Komite eksekutif (dewan harian) terdiri dari
Mr Sartono dan Ir Sukarno’. De nieuwe vorstenlanden, 13-12-1926: ‘Kerusuhan
Komunis. (AID) Di bawah pengawasan polisi. Surat kabar berbahasa Mandarin
melaporkan bahwa pengurus Klub Studi Umum di Bandung, yang terdiri dari Ir Darmawan
(Mangoenkoesoemo), Soekarno, dan Anwari, serta tiga orang lain yang kurang
dikenal, berada di bawah pengawasan polisi sehubungan dengan kerusuhan komunis.
Lebih lanjut dilaporkan bahwa pengacara pribumi Bandung, Mr Sartono dan Soenarjo,
juga ditempatkan di bawah pengawasan polisi untuk mengantisipasi gangguan
keamanan dan ketertiban. (Warga Midden-Priangan dengan tegas membantah hal ini.
Red. AID)’. De locomotief, 24-01-1927: ‘Komunis untuk Boven-Digoel. Aneta
melaporkan dari Bandung hari ini bahwa pihak berwenang kemarin memberikan
kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada para komunis yang ditahan.
Para intelektual pribumi non-komunis hadir. Bapak Tjipto menawarkan diri untuk
bertindak sebagai asisten petugas medis, dan Bapak Sartono sebagai penasihat
hukum di Boven-Digoel. Salah satu koresponden kami di Bandung melaporkan hari
ini bahwa pagi ini, sekitar 25 komunis dan keluarga mereka (sepuluh orang yang
ditahan) diangkut dari Bandung ke Cimahi dengan truk militer di bawah pengawalan
militer. Di Cimahi, kereta api menuju Batavia telah siap. Untuk sementara, para
komunis akan menuju penjara Glodok. Mereka akan menunggu di sana hingga
tersedia kapal menuju Boven-Digoel. Perjalanan kemudian akan dilanjutkan
sementara ke Ambon’.
Parada Harahap seorang nasionalis yang terbilang anti terhadap komunis (lihat antara lain De nieuwe vorstenlanden, 08-01-1927). Seperti disebut di atas, Parada Harahap memiliki andil dalam penyelenggaraan kongres pemuda nasional tahun 1926 di Weltevreden. Dalam kasus Dr Tjipto dan Mr Sartono, Parada Harahap, pemimpin surat kabar Bintang Timoer di Batavia mencoba membersihkan nama Dr Tjipto dan Mr Sartono dari pembicaraan umum atas tawaran mereka terhadap bantuan kepada para aktiviis komunis yang dikirim ke Boven Digoel.
Bataviaasch nieuwsblad, 31-01-1927: ‘Sebuah "Demonstrasi
Politik". Tinjauan Umum Pers Pribumi dan Cina-Tionghoa" resmi memuat
artikel dari surat kabar Bintang Timoer, yang menafsirkan tawaran Tn. Tjipto
(dikenal sebagai "nasionalis Indonesia yang hebat") dan Tn. Sartono
untuk pergi ke Boven Digoel sebagai sebuah demonstrasi politik. Bagi mereka
yang belum berpengalaman dalam politik, ditambahkan bahwa mereka bermaksud
untuk menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh menentang pergi ke Nieuw Guenia.
Hal ini dinyatakan kembali dengan kata-kata yang berbeda, tetapi dalam upayanya
untuk menggambarkan "demonstrasi politik" sebagai sesuatu yang
signifikan, surat kabar Bintang Timoer menambahkan: "Tn. Tjipto dan Tn.
Sartono tahu sebelumnya bahwa tawaran mereka tidak akan dipenuhi, namun mereka
tetap memintanya." Tentu saja, ada juga orang-orang yang melihat
demonstrasi politik dari sudut pandang ini dan menganggapnya sangat murahan dan
sangat minim unsur politik!’.
Parada Harahap mantan ketua Jong Sumatranen Bond Tapanoeli (1919-1922) berinisiatif untuk menggalang kembali semangat berkumpul orang Sumatra. Boleh jadi karena sudah banyak organisasi kebangsaan Indonesia yang tetap aktif dan terus berkembang seperti Boedi Oetomo, Bataksch Bond dan kini organisasi kebangsaan yang baru Perserikatan Nasional Indonesia (Partai Nasional Indonesia) di Bandoeng. Parada Harahap tampaknya memiliki visi sendiri.
De Indische courant, 10-02-1927: ‘Serikat Sumatra. Kami menerima surat
dari Weltevreden pada tanggal 7 bulan ini: Minggu lalu, sebuah pertemuan
berbagai warga Sumatra diadakan di Batavia di rumah Bapak Soetan Mohamad Zain,
mantan anggota Dewan Rakyat di Weltevreden. Hampir seluruh wilayah Sumatra
diwakili oleh warganya masing-masing. Pada pertemuan tersebut, kami bertemu,
antara lain, tokoh-tokoh Sumatra ternama dari Minangkabau, Tapanuli, Palembang,
Lampung, dan Benkoelen. Perwakilan dari A'jeh dan Pantai Timur Sumatra tidak
dapat hadir karena keadaan yang tidak terduga. Pada kesempatan ini, Sumatranen
Bond dihidupkan kembali. Berikut ini adalah anggota pengurus utama: Ketua:
Soetan Mohhamad Zain (Minangkabau). Sekretaris: Parada Harahap (Tapanoeli), Bendahara:
Hamid (Tapanoeli). Atjeh dan Pesisir Timur Sumatra akan diminta untuk bergabung
dengan pengurus. Jong Sumatranen Bond dan Bataksch Bond melalui para ketuanya,
menyatakan dukungan mereka, menyambut baik pembentukan kembali Sumatranen Bond dengan
antusiasme yang tak terselubung. Rapat tersebut juga mengungkapkan harapan agar
cabang-cabang Serikat yang ada di Padang, Bandung, dan Surabaya pada akhirnya
akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendukung aksi ini’.
Dalam perkembangan di Bandoeng Algemene Studieclub membentuk organ (media) sendiri yang dibentuk di Bandoeng diberi nama Indonesia Moeda. Tim editor majalah Indonesia Moeda adalah Putuhena (kandidat insinyur) sebagai presiden sementara, Ir Soekarno, Ir Anwari, Sjamsoeddin dan K Karnadidjaja sebagai anggota. Dalam edisi pertama Indonesia Moeda terdapat artikel dari Dr Tjipto Mangoenkosoemo (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 01-02-1927). Dalam perkembangannya, Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo terinformasikan sudah berada di Batavia.
Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 10-02-1927: ‘Seorang
anggota terhormat dari klub studie di Bandoeng kini telah menetap di Batavia,
di lingkungan yang kurang dikenal, sebagai pengacara dan advokat. Nama pria itu
adalah Tuan Iskak. Bukankah dia tanpa pamrih menawarkan diri untuk membela para
terdakwa dalam kerusuhan itu? Kami memberi mereka hak penuh untuk mengadvokasi
arah politik, tetapi kami juga menuntut hak untuk mengisyaratkan arah tersebut.
Namun, kami ingin menyarankan kehati-hatian di sini, agar para intelektual lain
dalam komunitas adat tidak disebutkan dalam kalimat yang sama dengan
orang-orang yang disebutkan di atas’.
Dalam pertemuan Algemene Studieclub.tanggal 20 Februari dilakukan sesuai AD/ART untuk pemilihan pengurus baru. Pemilihan pengurus berjalan lancar. Dalam pertemuan itu diputuskan yang menjadi ketua baru adalah Ir Anwari Parinduri (untuk menggantikan Putuhena). Sementara Ir Soekarno masih tetap pada posisinya sebagai sekretaris (lihat De Indische courant, 23-02-1927).
Mengapa diganti? Boleh jadi Putuhena tengah memasuki ujian akhir. Putuhena
berhasil studi dan mendapat gelar insinyur teknik di Technische Hoogeschool
(THS) Bandoeng pada bulan Mei 1927 (lihat De locomotief, 05-05-1927). Dalam hal
ini yang menjadi ketua pertama Algemene Studieclub adalah Putuhena dan yang
kedua dijabat oleh Ir Anwari. Yang lulus ujian akhir bersama Putuhena antara
lain Hoedioro, Koesoemaningrat, Marsito, GM Noor dan Soetoto. Dalam hal ini
Putuhena yang masuk tahun 1923 lulus tepat waktu (empat tahun). Soekarno dan
Anwari masuk di THS pada tahun 1921.
Singkatnya, setelah nama Iskaq Tjokrohadisoerjo menjadi perhatian kritis pemerintah, pada bulan Juni 1927, Iskaq Tjokrohadisoerjo berkolaborasi dengan Ir Soekarno di Bandoeng (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-06-1927). Disebutkan Aneta mengetahui bahwa sebuah "panitia persiapan kongres nasionalis" di Bandung telah dibentuk. Promotor utamanya adalah Ir Soekarno dan Iskaq Tjokrohadisoerjo.
Dalam kongres nasional di Bandoeng ini, studi klub Algemene Stidieclub ditingkatkan
menjadi organisasi kebangsaan yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia
(PNI). Seperti disebut di atas, sebagai saya pemuda PNI dibentuk di Bandoeng
organisasi pemuda yang diberi nama Jong Indonesia, namun dalam perkembangannya
diubah dengan nama baru menjadi Pemoeda Indonesia. Nama Indonesia Moeda sendiri
sudah menjadi nama organ PNI. Gerakan nama Indonesi sudah lebih dahulu
dilakukan di organisasi pemuda Sumatra, Jong Sumatranen Bond dengan nama baru
Pemoeda Sumatra.
Pada bulan Desember 1927 seiring dengan terbentuknya PPPKI, organisasi kebangsaan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) diubah platformnya menjadi partai dengan nama baru Partai Nasional Indonesia (PNI). Seperti disebut di atas, yang menjadi ketua PPPKI adalah Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo dengan sekretaris Drs Sjamsi Sastrawidagda, PhD.
Seperti kita lihat nanti, nama Indonesia Moeda kemudian menjadi nama
tunggal organisasi kepemudaan di Indonesia sebagai tindak lanjut hasil Kongres
Pemuda 1928. Dalam hal ini nama Jong Indonesia, Pemoeda Indonesia dan Indonesia
Moeda adalah satu kesatuan dalam unit organisi dalam orbit (lingkaran)
nasional.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Sejarah Kongres Pemuda di Indonesia dari Dulu hingga Kini ke Masa: 1926, 1927, 1928, 1950 dan 1953
Terminologi ‘pemoeda’ untuk nama organisasi pemuda saat kongres pemuda tahun 1926 bukanlah nama yang ‘aman’ dan ‘nyaman’. Nama tersebut sebenarnya asli Indonesia (dibandingkan dengan penggunaan terminologi ‘jong’). Namun seperti disebut di atas, dalam perkembangannya penggunaan terminologi ‘pemoeda’ semakin banyak dan semakin meluas.
De locomotief, 29-12-1927: ‘"Jong
Indonesie. Kami menerima surat dari Bandung: Rapat umum kedua Kongres "Jong
Indonesie" diadakan pada hari Selasa. Jumlah peserta tidak sebanyak hari
sebelumnya. Bapak Gobee, penasihat Urusan Dalam Negeri, kembali hadir. Sekitar
pukul 09.30, rapat dibuka oleh ketua dewan, mahasiswa Soegiono, dengan pidato
sambutan seperti biasa. Laporan sekretaris asosiasi dan bendahara dibahas,
setelah itu dibahas tentang penggabungan dan tujuannya. Departemen Batavia,
mengenai asosiasi dan penyatuan, mengusulkan agar posisi JI diserahkan kepada
kebijaksanaan perkumpulan pemuda lainnya dan PPPI. Cabang Bandung membahas
bahasa Melayu dan perubahan nama. Mereka merasa aneh bahwa setiap pembicara
yang naik podium, sebelum berbicara, terlebih dahulu meminta maaf atas
keterbatasan pengetahuan mereka tentang bahasa Melayu. Ada pula anak-anak muda
yang sama sekali tidak mengenal bahasa Melayu, karena sejak kecil mereka hanya
diajari bahasa Belanda hingga usia 15 tahun. Sementara diskusi ini berlangsung,
sebuah rangkaian bunga merah dibawa masuk. Ketika rangkaian bunga ini
diletakkan di tempat terhormat, ketua menyampaikan rasa terima kasihnya kepada
pemberi, tetapi menyesal karena tidak tahu siapa pemberinya, karena kartu itu
hanya bertuliskan "NN" (Hore dan tepuk tangan). Setelah itu, dibahas
situasi berbagai cabang. Perdebatan sengit juga terjadi mengenai perubahan
nama. Setelah pemungutan suara, perkumpulan tersebut berganti nama menjadi
"Pemoeda Indonesia". Ketua menutup rapat sekitar pukul satu. Namun,
sebelum mereka berpisah, ketua memberi tahu hadirin bahwa "saudara
kita" Dr. Tjipto akan segera berangkat ke Banda. Hadirin diminta untuk
berdiri dari tempat duduk dan berdiam diri sejenak, sebuah permintaan yang
dituruti. Sambil menyanyikan "Hidup Pemoeda Indonesia" dan
"Hidup Dr. Tjipto", hadirin meninggalkan aula’.
Dari Kongres Jong Indonesia di Bandoeng secara jelas menganggap sangat penting tentang soal isu penyatuan dan soal isu perubahan nama bahasa persatuan. Seperti disebut di atas, perdirian Jong Indonesia adalah refleksi hasil dari kongres pemuda Indonesia pertama tahun 1926. Yang di dalam kongres juga merekomendasi ke arah persatuan yang utuh dalam wujud penggabungan organisasi-organisasi dan pentingnya bahasa persatuan (bahasa Melayu). Dalam Kongres Jong Indonesia di Bandoeng ini tidak hanya menyoal tentang perubahan nama Jong Indonesia menjadi Pemoeda Indonesia, juga secara khusus dibahas tentang isu penyatuan (oleh JI/PI afdeeling Batavia) dan isu perubahan nama bahasa persatuan (afdeeling Bandoeng). Tampaknya tentang perubahan nama bahasa persatuan menjadi perhatian umum.
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-02-1928: ‘Kronik. Bahasa Indonesia. Akhir-akhir ini kaum nasionalis banyak berbicara dan menulis tentang gagasan persatuan. Pembentukan pusat persatuan, yang di dalamnya semua organisasi nasionalis, dari Sarekat Islam hingga Boedi Oetomo (Boedi (yang bahkan memiliki anggaran dasar untuk orang kulit putih), telah memberikan bentuk baru pada gagasan persatuan. Memang benar bahwa beberapa organisasi pribumi telah mengeluh bahwa pusat yang didirikan di Bandoeng adalah urusan pribadi para pemimpin saja, tetapi secara umum pembentukan ikatan yang lebih kuat antara semua asosiasi rakyat yang besar ini tampaknya dianggap sebagai kemenangan penting dari gagasan persatuan - gagasan tentang keberadaan persatuan Indonesia, yang dalam kekuatan sistem pendidikan harus diperhatikan. Sekarang masalah lain harus dipecahkan. Bahkan, selama ini, di kalangan nasionalis intelektual dari berbagai ras — misalnya, Batak, Jawa, Ambon, dan Madura — bahasa yang umum adalah bahasa Belanda. Bagaimanapun, bahasa inilah yang, sebagai bahasa pengantar, memperkenalkan prinsip-prinsip pengetahuan Barat di sekolah Belanda-Indonesia, kemudian lebih jauh menginisiasi pengetahuan Barat itu di HBS atau AMS, dan kemudian, bagi yang istimewa, membuka ruang-ruang ilmu pengetahuan Barat di universitas. Namun, sekarang, penolakan terhadap penggunaan bahasa Belanda tampaknya mulai muncul, terutama di kalangan pemuda — di kalangan Jong Java, Jong Islamietenbond, dan organisasi pemuda terkini Pemoeda Indonesia (PI). Jadi, dalam hal ini, ada konflik dengan cita-cita nasionalis mereka. Alih-alih bahasa Belanda, bahasa Indonesia harus dipilih, yang akan menjadi bahasa Indonesia — Bahasa Indonesia. Dan karena tidak ada satu bahasa pun yang digunakan oleh semua orang Indonesia, orang ingin menunjuk bahasa yang paling luas untuk tujuan ini — dan ini adalah lingua franca pasar, pelabuhan, dan jalan raya — bahasa Melayu. Bukan bahasa Melayu "asli", seperti yang dilestarikan di kepulauan kita dalam bentuk paling murni di Minangkabau di Padangsche Bovenlanden, tetapi bahasa Melayu sehari-hari. Bahasa Melayu yang digunakan oleh pedagang Cina dan Arab serta kusir Makassar, pemandu Bali, pendayung perahu Dayak, dan pembantu rumah tangga Jawa. Bahasa Melayu sehari-hari ini. yang sebelumnya dapat digunakan oleh orang Hindia yang lebih terpelajar dengan cukup fasih — kosakatanya biasanya lebih banyak daripada orang Eropa, yang juga menggunakan bahasa ini — makin tidak digunakan lagi: bahasa itu telah digantikan oleh bahasa Belanda. Belum lama ini terjadi pada suatu pertemuan besar pribumi bahwa seorang Jawa harus melanjutkan pidato yang dimulai dalam bahasa Melayu dalam bahasa Belanda. karena perbendaharaan kata Melayu-nya kurang memadai. Oleh karena itu, kursus-kursus dan kolom-kolom majalah sekarang dibuka untuk mengajarkan bahasa Melayu sosial ini secara lebih menyeluruh kepada kaum muda. Dan bahasa Melayu ini selanjutnya harus disebut Bahasa Indonesia mulai sekarang. Dikatakan. untuk menghindari kebingungan dengan bahasa orang Melayu, memang, orang dapat berasumsi, untuk menjaga kepekaan yang bersifat nasionalistis yang lebih sempit: bagaimanapun juga, tampaknya orang Melayu menetapkan nada dalam persatuan nasional Indonesia. Praktik harus membuktikan apakah usaha untuk mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Melayu dalam lalu lintas rasial intelektual dapat diwujudkan. Bagaimanapun juga itu akan menjadi bahasa Melayu, diselingi dengan bahasa Belanda, karena bagaimanapun juga banyak konsep, yang oleh orang Barat dibawa ke Timur, tidak dapat direpresentasikan dalam bahasa Melayu asli. Itu tampaknya bukan kemajuan. Bahwa orang-orang Hindia menghargai bahasa mereka sendiri dan, misalnya, mendukung penggunaannya di dewan-dewan (raads) kabupaten, berusaha untuk melengkapi bahasa mereka sejauh perluasan wilayah konseptual menuntut hal ini, tentu saja terhormat. Penggantian bahasa Barat yang kaya dengan bahasa Timur yang miskin dan rusak seperti bahasa Melayu interpersonal (kita tidak berbicara tentang "Melayu") mungkin dapat memberikan kepuasan di kalangan tertentu, para penggunanya akan merugikan diri mereka sendiri karenanya’. Catatan: Artikel tersebut juga dilansir De Indische courant (20-03-1928)
Artikel yang dimuat di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-02-1928 (tanpa nama penulis; sangat mungkin para redaktur) tampaknya telah meninjau dinamika perkembangan terakhir di Hindia soal persatuan (termasuk Pemoeda Indonesia yang menjadi sayap pemuda Partai Nasional Indonesia=PNI) dan munculnya gerakan anti bahasa Belanda. Dalam hal ini dapat diperhatikan apa yang menjadi usulan bahasa persatuan yang terinformasikan di dalam kongres pemoeda tahun 1926. Boleh jadi perubahan nama bahasa tersebut mengacu pada penggunaan bahasa Melayu Pasar (yang berbeda dengan bahasa Melayu di wilayah orang Melayu) diberi nama bahasa Indonesia dengan nama tunggal ‘Bahasa Indonesia’.
Artikel yang dimuat di surat
kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-02-1928 seakan menjembatani tentang apa
yang belum lama berkembang dengan kemungkinan apa yang akan ditetapkan
kemudian. Kongres pemuda Indonesia pertama tahun 1926 telah merekomendasi
bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, Dalam kongres Jong Indonesia menganggap
perlu dibahas tentang perubahan nama bahasa tersebut. Seperti kita lihat nanti
dalam kongres pemuda berikutnya diadopsi dengan nama Bahasa Indonesia.
Jong Indonesia (kemudian menjadi Pemoeda Indonesia) pada dasarnya adalah, di satu pihak merupakan rekomendasi kongres pemuda pertama tahun 1926, dan di pihak lain merupakan perwujudan dari terbentuknya organisasi kebangsaan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandoeng yang kemudian membentuk sayap pemuda dengan nama Jong Indonesia. Dengan kata lain terbentuknya Jong Indonesia yang seutuhnya, yang merupakan gabungan dari organisasi-organisasi pemuda yang ada, belum terbentu. Oleh karena itu Jong Indonesia di Bandoeng harus dilihat sebagai bagian dari PNI.
Seperti disebut di atas, pada
bulan September 1927 di Weltevreden diadakan rapat organisasi-organisasi
kebangsaan Indonesia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927). Dalam rapat
ini diputuskan untuk mendirikan organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari
berbagai serikat pribumi, dengan ketua komite adalah MH Thamrin dan sekretaris
Parada Harahap. Serikat yang hadir adalah Boedi Oetomo (baca; Boedi Oetomo
afdeeling Batavia), Pasoendan, Kaoem Betawi, Sumatranenbond, Persatoean
Minahasa, Sarekat Amboncher dan NIB (Perserikatan Nasional Indonesia). Dalam
rapat ini juga dihadiri oleh Ir Soekarno dari Bandoeng. Pasca rapat inilah
kemudian terinformasikan Ir Soekarno dan kawan di Bandoeng membentuk organisasi
kebangsaan yang baru yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Dalam kaitannya dengan kongres PNI di Bandoeng pada bulan November terinformasikan
telah terbentuk Jong Indonesia di Bandoeng dan Jong Indonesia di Jogjakarta.
Kongres pemuda Indonesia pertama pada tahun 1926 telah menjadi awal munculnya persatuan diantara organisasi-organisasi kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini golongan ‘kaoem moeda’ telah mengambil inisitif terlebih dahulu. Inisiatif ini karena sudah terbentuk lama hubungan ‘moeda’ atau ‘modern’ semangat baru atau moder versus ‘toea’ atau ‘koeno’ semangat lama (tradisi). Bertransformasi golongan ‘toea’ atau senior ke pembentukan federasi, tentu saja diantara golongan senior terdapat tokoh-tokoh yang masih terbilang muda dan cosmopolitan seperti Parada Harahap (Sumatranen Bond), Ir. Anwari dan Ir Soekarno (studie-club Bandoeng) dan Dr Soetomo (studie-club Soerabaja) dan lainnya. Singkatnya antara golongan ‘moeda’ dan golongan ‘toea’ beringsut saling mendekati. Antara golongan ‘moeda’ dan golong ‘toea’ kesenjangannya makin sempit.
Pada saat kongres PNI di
Bandoeng pada bulan November 1927, juga dilakukan rapat satu kamar tentang usulan
Weltevrden tentang perluanya pembentukan federasi organisasi kebangsaan Indonesia
(PPPKI). Parada Harahap mewakili Sumatranen Bond hadir di Bandoeng. Dalam rapat
di Bandoeng ini sudah diagendakan kongres pertama PPPKI yang akan diadakan di
Soerabaja pada bulan September 1928 yang menjadi salah satu tugas utama ketua Iskaq
(ketua PPPKI).
Golongan ‘moeda’ dan golongan ‘toea’ sudah tampak saling kejar-kejaran dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan cinta tanah air (Indonesia). PPPKI sudah menggunakan nama Indonesia, sebagaimana juga PNI dan tentu saja Jong Indonesia (yang sudah mulai meluas seperti di Djogjakarta dan Soerabaja). Semua itu karena terjadinya eskalasi internasional baik pemuda Indonesia di Hindia maupun mahasiswa Indonesia di Belanda. Perjuangan Indonesia tengah berlangsung, suatu pesaing baru (pesaing tungggal) penjajahan Belanda di Indonesia.
De Sumatra post, 16-02-1928:
‘Partai Nasional Indonesia. Dari Surabaya, seorang koresponden Loc. menulis
pada tanggal 5 bulan ini: Minggu lalu, sebuah pertemuan umum diadakan di gedung
klub studi Indonesia di sini oleh cabang PNI yang baru didirikan, yang dihadiri
oleh sekitar 1.000 orang. Sejumlah besar orang berbicara, termasuk seorang
perempuan: Soekarno dari Bandung, Ir. Anwari, dan Dr. Soetomo. Ir. Soekarno
membahas tujuan dan aspirasi Partai Nasional Indonesia, sementara Ir. Anwari
memberikan tinjauan politik, dimulai dengan gerakan pribumi pertama pada tahun
1908 (diwujudkan dalam Boedi Oetomo), Sarekat Islam pada tahun 1911, kemudian
PKI, dan sekarang PNI. Singkatnya, pembicara ingin menunjukkan bahwa
"penduduk Pribumi mendambakan kemerdekaan, terlepas dari reaksi yang
ada." Woro Soekija berbicara tentang posisi perempuan dan mendesak para
perempuan yang hadir untuk mendukung suami mereka dalam "gerakan menuju kemerdekaan."
Dr. Soetomo menjelaskan situasi ekonomi gerakan Pribumi, mendorong berbagai
kelompok pekerja Pribumi untuk berorganisasi menjadi serikat pekerja tidak
hanya untuk meningkatkan posisi mereka tetapi juga untuk mengabdi kepada negara
dan rakyatnya’.
Kongres pemuda pertama tahun 1926 sudah lama berlalu. Rencana kongres pemuda pada tahun 1927 tampaknya telah gagal direalisasikan. Amanat dari kongres pemuda tahun 1926 untuk membentuk persatuan diantara pemuda, mulai direalisasikan pada tahun 1928. Federasi organisasi pemuda sudah dibentuk.
Nieuwe Rotterdamsche Courant,
12-03-1928: ‘Indonesische jeugdvereenigingen (Ikatan Pemuda Indonesia). Pengurus
berbagai organisasi pemuda, yaitu Poetri-Indonesia, Dameskring (Lingkaran
Wanita), Jong-Islamietenbond (Persatuan Pemuda Islam), Pemoeda-Indonesia,
Jong-Java (Persatuan Pemuda Jawa), dan Jong-Sumatraenbond (Persatuan Pemuda Sumatra),
telah membentuk sebuah centraal bestuur (dewan pusat). Para pengurus harian
dari perkumpulan-perkumpulan tersebut akan bertugas di dewan ini. Tujuannya,
sebagaimana yang kita baca dalam AID, adalah untuk mencapai kerja sama yang
lebih intensif, yang selama ini hanya sebatas teori. Pemusatan ini semata-mata
berkaitan dengan kepentingan umum pemuda, sehingga anggaran dasar dan peraturan
internal organisasi pemuda tidak diganggu gugat. Olahraga dan seni
diprioritaskan, sementara isu-isu politik dan agama dihindari. Dewan pusat,
antara lain, telah mendirikan kursus Bahasa Melayu bersama. Bachtiar Effendi
telah terpilih sebagai ketua.
Sementara itu, PNI telah menjadi motor utama penggerak ke arah persatuan Indonesia. Organisasi kebangsaan (partai) PNI yang telah menggunakan nama Indonesia, tentu saja sudah menjadi tanggungjawabnya dalam urusan persatuan dan kesatuan. Sementara itu PPPKI juga berada di mana-mana, di setiap kesempatan kongres organisasi-organisasi kebangsaan Indonesia. Lantas bagaimana dengan persatuan pada tingkat pemuda?
De Indische courant, 29-05-1928:
‘Kongres P.N.I. Sangat menarik. Pada hari Senin, tanggal 28 bulan ini, kongres
pertama P.N.I. (Partai Nasionalis Indonesia) dimulai di kota Soerabaja.
Sebagaimana telah dipublikasikan sebelumnya di majalah kami, partai muda ini,
di jajaran perkumpulan politik pribumi, baru saja memulai debutnya; partai ini
telah menyelenggarakan kongres pertamanya. Gagasan persatuan Indonesia kembali
digalakkan dengan penuh semangat dan antusias. Perlu dicatat bahwa beberapa
bulan yang lalu, partai yang sama juga mengadakan rapat propaganda di sini.
Rupanya, Surabaya dipilih sebagai titik strategis untuk mengembangkan kegiatan
partai tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa pengurus cabang Surabaya telah
diduduki oleh Ir. Anwari dari Bandung, yang kemungkinan besar akan menetap di
sini. Dua rapat umum lagi akan diadakan: malam ini dan besok pagi. Kemudian,
Bapak Iskaq dan Bapak Soenarjo masing-masing akan berbicara tentang iuran yang
sangat tinggi dan hak berserikat, berkumpul, dan pers. Laporan singkat rapat
umum pertama disajikan di bawah ini. Sangat menarik: Di Teater Stadstuin,
tempat pertemuan umum diadakan kemarin, terdapat kerumunan yang penuh sesak
dari para pihak yang berminat. Di antara mereka yang hadir, kami mencatat:
bupati Soerabaja, Datoek Toemenggoeng dari Kantor Urusan Pribumi di Batavia,
dan banyak pejabat administrasi dan kepolisian. Pers, terutama pers Melayu,
terwakili dengan baik. Pembukaan. Ir. Anwari, atas nama panitia kongres dan
P.N.I. cabang Soerabaia, menyambut hangat semua orang dan menyerahkan
kepemimpinan kongres kepada dewan utama, setelah itu Ir. Soekarno, atas nama
kongres, mengucapkan terima kasih kepada mereka yang hadir atas minat mereka.
Ir. Sukarno menyebutnya sebagai pertanda baik bahwa, selama kongres P.S.I. di
Pekalongan, kolaborasi antara partai ini dan asosiasi lain, seperti Partai
Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasoendan, dll., diresmikan. Ia mendesak penyatuan
semua asosiasi politik pribumi dan kemudian memberikan kesempatan kepada
organisasi lain untuk menyampaikan pidato di P.N.I. Selamat. Bapak AM Sangadji,
atas nama pengurus P.S.I., mengucapkan selamat kepada Partij Nasionalis
Indonesia pada kongres pertama ini dan mengingat kembali rencana penyatuan yang
dibahas di Pekalongan selama kongres P.S.I. Bapak Zaina1, atas nama pengurus
Sarekat Madoera, memuji pengurus P.N.I. Soekono mengucapkan selamat kepada
P.N.I. atas nama Klub Studi Surabaya. P.P.P.K.I., federasi semua partai politik
pribumi, diwakili oleh Dr. Soetomo, yang mengucapkan selamat kepada P.N.I. pada
kongres pertamanya. P.N.I. menawarkan tempat bagi semua orang—Muslim dan
Kristen, orang Sumatra, orang Timor, orang Sunda, dan orang Jawa—yang ingin
berorganisasi dan yang belum berorganisasi. Dr. Soetomo menghimbau penduduk
Surabaya untuk mendukung organisasi baru ini dengan sebaik-baiknya. Ir.
Soekiman kemudian membacakan beberapa telegram masuk, termasuk dari Dr.
Soekiman di Djokja, dari ketua P.N.I. di Oeloe-Siaoe, dan dari pengurus Boedi-Oetomo,
yang berisi ucapan selamat. Panitia Pendoedoek Soerabaja mengirimkan karangan
bunga kepada kongres. Ketika Ir. Soekarno naik panggung untuk menyampaikan
Deklarasi Pokok-Pokok PNI, Dr. Samsi Sastrowidigdho mengambil alih pimpinan
rapat darinya. Karena kelebihan salinan, kami akan menerbitkan sisa laporan ini
Rabu depan’.
Diantara dua organisasi kepemudaan, antara Jong Java dan Jong Sumatranen Bond sudah kerap berinteraksi. Kebetulan kedua organisasi ini memiliki basis keanggotaan yang banyak, paling tidak di Batavia. Tanpa mengabaikan organisasi kepemudaan lainnya, Jong Java dan Jong Sumatranen Bond telah memainkan peran penting dalam menuju persatuan pemuda. Lalu pada secara intens gilirannya menyusul Jong Indonesia. Tiga organisasi kepemudaan ini akan berperan penting dalam terbentuknya persatuan Indonesia. Jong Indonesia menjadi inisiator pembentukan federasi organisasi kepemudaan seperti halnya yang telah terbentuk PPPKI.
De Indische courant, 02-05-1928: ‘Rapat Umum. Organisasi pemuda adat. Sabtu malam yang lalu, Badan Pusat (Centraal Lichaam) Organisasi Pemuda Adat yang berdiri di kota ini mengadakan rapat umum yang telah kami umumkan di gedung Klub Studi di Boeboetan. Ketua membuka rapat pukul 20.45 dengan sambutan khas kepada sekitar 300 peserta. Beliau mencatat bahwa tujuan rapat ini adalah untuk memperkenalkan esensi federasi perkumpulan pemuda lokal yang baru dibentuk kepada dunia luar. Gagasan untuk mempersatukan pemuda Indonesia bukanlah hal baru lagi. Dr. Satiman memberikan dorongan awal, tetapi upayanya untuk menciptakan sebuah perkumpulan di mana semua orang Indonesia, tanpa memandang kebangsaan atau agama, dapat menjadi anggota, gagal. Beliau mengirimkan surat edaran ke provinsi-provinsi, tetapi tidak menerima pernyataan dukungan. Pembicara kemudian mengutip kata-kata dari tokoh-tokoh terkenal di bidang perkumpulan, yang menunjukkan bahwa gagasan federasi telah dianjurkan sejak tahun 1918. Namun, benih itu ditabur di tanah yang tandus. Pembicara menganggap tahun 1926 sebagai tahun pertama di mana para pendukung persatuan di antara semua kelompok Indonesia dapat berharap untuk mewujudkan cita-cita mereka. Pada tahun itu, kongres pemuda Indonesia pertama diadakan. Selanjutnya, pada tahun 1928, P.P.P.J. didirikan dengan tujuan menyatukan semua perkumpulan pemuda mahasiswa menjadi satu federasi. Pada tahun yang sama, Permoeda Indonesia lahir. Dan sekarang, lanjut pembicara, gagasan untuk mendirikan sebuah federasi di kota ini semakin digulirkan. Ini merupakan langkah maju dalam perjalanan menuju persatuan di antara perkumpulan pemuda. Pembicara meminta dukungan dari mereka yang hadir. Atas nama Jong Java, Moorsito menyampaikan pidatonya kepada para pendukung Badan Pusat. Sebagai anggota tetap J.J., beliau dapat berhubungan dengan orang Indonesia lainnya. Beliau mengatakan bahwa J.J. juga mengemukakan gagasan tentang sebuah federasi. Namun, beliau kini telah dibebaskan dari tugas ini karena P.I. telah mengambil inisiatif. Pembicara berharap agar CL akan memperjuangkan tujuan mulia ini. Achmad Soemadi dari "Pemoeda Indonesia" mengapresiasi pembentukan CL. Pembicara mengatakan bahwa ini menandai tonggak sejarah dalam perjalanan menuju persatuan. Djauharsjah Jenie dari Jomg Sumatranen Bond bersimpati dengan PI, yang berani membentuk federasi. Setelah banyak berdiskusi dan menulis, perempuan muda ini akhirnya lahir. Roeslan Wongsokoes dari P.N.I. mengatakan bahwa malam ini adalah peristiwa istimewa. Kita dapat menyaksikan persatuan bangsa Indonesia. Para pemuda harus belajar dengan baik di sekolah agar dapat menguasai apa yang mereka perjuangkan. Yang terpenting, para pemuda harus sabar. Katasoebrata dari Rumah Perempuan mengatakan bahwa para pemuda yang sekarang bersatu semuanya adalah mahasiswa. Mengapa mereka yang bukan mahasiswa tidak dapat bergabung dengan perkumpulan? Dari sini, pembicara dapat menyimpulkan bahwa persatuan belum terbentuk. Lagipula, mayoritas anak muda Indonesia tidak semuanya lulusan sekolah menengah, sehingga mereka tidak bisa berbahasa Belanda. Pembicara berharap agar majelis pemuda yang ada saat ini dapat memperluas kegiatannya. Sangadji mengatakan bahwa beliau tidak berbicara di sini sebagai perwakilan dari perkumpulan mana pun, melainkan atas namanya sendiri. Pembicara memberikan penghormatan kepada para pendukung CL atas inisiatif mereka. Dari pidato-pidato pembicara sebelumnya, beliau dapat menyimpulkan bahwa kebanyakan dari mereka adalah pendukung persatuan. Siti Rahajoe memperjuangkan hak-hak perempuan. Saat ini, gerakan perempuan di negeri ini masih dalam tahap awal. Perempuan belum begitu terbuka terhadap cita-cita baru. Mereka masih terlalu terikat oleh tugas, adat istiadat lama, dan sebagainya. Mereka belum memiliki kebebasan yang sangat dibutuhkan. Gerakan perempuan di sini masih terlalu dipengaruhi oleh laki-laki. Karena itu, belum ada gerakan perempuan yang murni. Cita-cita mendiang RA Kartini belum terwujud. Perempuan adalah pendidik kaum muda, yang harus memimpin negeri ini ke depan. Soerowijono dari Jong Islamieten Bond menjelaskan posisi partainya mengenai gagasan persatuan. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak berniat mempromosikan J.I.B. Beliau membantah anggapan bahwa Jong Islamieten Bond menyimpan "fanatisme". Beliau lebih lanjut menyatakan bahwa J.I.B. akan selalu ingin berpartisipasi dalam perjuangan, melalui cara-cara yang wajar, untuk membangun Indonesia Raya. Agama memberi mereka posisi yang kuat. Ketua kemudian mengucapkan terima kasih kepada para pembicara. Rapat ditutup pada pukul sebelas kurang seperempat’.
Sementara Gerakan
pembentukan federasi di tingkat pemuda, federasi organisasi kebangsaan
Indonesia (PPPKI) sudah semakin dekat dengan penyelengaraan Kongres PPPKI.
Hingga saat ini organisasi kebangsaan Sarekat Ambon dan Perserikatan Minahassa,
belum memberikan pengumuman positif mengenai afiliasi mereka dengan PPPKI.
De Indische courant, 12-07-1928:
‘Kongres PPPKI. Persiapan. Telah diberitahukan: Sebagaimana diketahui, sebuah
panitia Perajaan telah dibentuk dari Klub Studi di Soerabaja, yang bertugas
menyelenggarakan Kongres P.P.P.K.I. pertama secara meriah. Awalnya, rencananya
bertepatan dengan hari kedua antarpulau Klub Studi Indonesia, agar dapat
dipublikasikan dengan lebih baik. Namun, karena Kongres P.N.I. (Partai Nasionalis
Indonesia) pertama yang diselenggarakan di sini Juni lalu, beberapa
penyelenggara menganggap waktu persiapan tidak mencukupi, sehingga Kongres
P.P.P.K.I. ditunda hingga akhir Agustus; sekarang akan diselenggarakan dari
tanggal 31 Agustus hingga 3 September. Sementara itu, Klub Studi Indonesia akan
merayakan hari keempat antarpulau secara tertutup pada hari Sabtu, tanggal 14
bulan ini. Bukan tidak mungkin akan diadakan pasar malem selama Kongres
P.P.P.K.I., bersamaan dengan pameran kerajinan rakyat. Setidaknya, itulah
rencana awal Panitia Perajaan, sementara para peserta kongres akan disuguhi
malam kesenian Indonesia, yang menampilkan permainan-permainan seni khas dari
seluruh nusantara. Pramuka adat Surabaya akan dilibatkan untuk memeriahkan acara
tersebut. Mengenai program kongres itu sendiri, belum ada yang dapat diumumkan,
karena rekomendasi awal belum diterima. Kecuali Sarekat Ambon dan Perserikatan
Minahassa, semua perkumpulan adat kemungkinan akan diwakili dalam kongres
tersebut. Diketahui bahwa pengurus dari perkumpulan-perkumpulan tersebut belum
memberikan pengumuman positif mengenai afiliasi mereka dengan P.P.P.K.I’.
Setelah pembentukannya bulan September 1927, kongres pertama PPPKI akan diselenggarakan di Soerabaja dari tanggal 31 Agustus hingga 3 September 1928. Panitia kongres terdiri dari Bapak N Gondhokoesoemo sebagai ketua dan Ir Anwari sebagai sekretaris. Sebagaimana disebut di atas, Ir Anwari adalah ketua PNI cabang Soerabaja.
De locomotief, 31-07-1928: ’Kongres pertama P.P.P.K.I. Seorang koresponden dari Surabaya menulis: Sebagaimana diketahui, kongres pertama Persatoean Permoefakatan Politiek Kebangsaan di Indonesia akan diselenggarakan dari tanggal 30 Agustus hingga 2 September di Soerbaja. Panitia kongres yang baru dibentuk terdiri dari Bapak N Gondhokoesoemo sebagai ketua, Ir. Anwari sebagai sekretaris, dibantu oleh beberapa perwakilan dari asosiasi-asosiasi lokal. Pada rapat terakhir panitia kongres, yang dihadiri oleh Ir. Soekarno dari Bandung dan Bapak Soejoedi dari Jogja, ditetapkan program sebagai berikut: Kamis, 30 Agustus. Pada malam harinya, akan diadakan pertemuan terbuka di Perkumpulan Pelajar Indonesia di Boeboetan. a. Akan diadakan diskusi mengenai posisi P.P.P.K.I. b. Perwakilan dari asosiasi politik yang hadir akan diundang untuk menyampaikan pendapat mereka mengenai P.P.P.K.I. Jumat, 31 Agustus: Rapat tertutup pagi hari di gedung Studie Club. Agenda: a. Pembahasan internal. b. Pendidikan nasional. Jumat, 31 Agustus: Rapat umum, di mana pendidikan nasional akan dibahas. Dr. Sosrokartono dari Bandung akan memperkenalkan topik ini. Sabtu, 1 September: Rapat tertutup pagi hari. Agenda: a. Masalah ekonomi. b. Pemilihan pengurus. Sabtu malam, 1 September: Malam seni di Teater Taman Kota oleh organisasi pemuda setempat. Minggu pagi, 2 September: Rapat umum di Teater Taman Kota. Agenda: a. Masalah ekonomi. b. Penutupan kongres oleh ketua baru. Sabtu sore, para peserta kongres akan berkeliling kota, mengunjungi klinik rawat jalan Moehammadijah, Institut Taman Siswo, dll. Minggu malam, makan malam untuk tamu undangan di gedung Studie Club’.
Sementara
itu terinformasikan bahwa Jong Sumatranen Bond menyelenggarakan kongres peda
tanggal 12 Agustus 1928. Dalam kongres ini nama Jong Sumatra yang menjadi nama
majalah Jong Sumatranen Bond diubah menjadi (majalah) Pemoeda Soematra. Bagaimana
dengan nama Jong Sumatranen Bond sendiri? Sebagaimana diketahui Jong Indonesia
pada bulan November 1927 di Bandoeng dalam kongresnya telah mengubah nama (organisasi)
Jong Indonesia menjadi (organisasi) Pemoeda Indonesia. Ini mengindikasikan Jong
Sumatranen Bond telah mengikuti sebagian langkah yang dilakukan Jong Indonesia
yakni menghilangkan unsur Belanda pada semua elemen organisasi (menjadi unsur
Indonesia).
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 24-10-1928: ‘Sesuai dengan keputusan kongres tanggal 12 Agustus 1928, nama Jong-Sumatra dari organ Jong-Sumatranen Bond telah diubah menjadi Pemoeda Soematera. Majalah ini sekarang dicetak oleh Mij Fadjar Asia. Kepemimpinan dan administrasi dipimpin oleh Sjahrial dari Stovia dan Adnan dari AM S di Weltevreden. Komite redaksi (Sjahrial dan Adenan) melaporkan bahwa "tahun asosiasi yang baru telah dimulai dengan buruk: penerbitan terbitan bulanan tidak dapat dilanjutkan karena kekurangan dana. Karena alasan yang sama, majalah bulanan reguler tidak dapat terbit untuk sementara waktu. Komite mempertanyakan apakah Jong Sumatranen Bond kekurangan kapasitas. Para editor menganggap "Pemoeda Soematra" sebagai pengganti yang baik untuk nama "Jong-Sumatra" yang "tidak Indonesia"; merujuk pada takhayul bahwa seseorang harus memberi anak nama yang berbeda jika ia terus-menerus diganggu penyakit - fraksi tersebut percaya bahwa, terlepas dari janji kesehatan yang buruk, seseorang harus tetap dibimbing oleh patriotismenya yang tinggi, untuk mengubah anak kecil yang sakit menjadi anak laki-laki yang kuat yang dapat bertahan dengan baik dan... kawan-kawan akan mampu menegakkan rasa hormat. Dalam "pengumuman dewan utama", susunan dewan utama yang baru diumumkan, serta keputusan dewan utama untuk bekerja sama dalam persiapan Konferensi Nasional Indonesia di Batavia. Dalam pidato pembukaan, dewan utama menjelaskan situasi di dalam perkumpulan: mereka memperingatkan terhadap perselisihan internal dan terhadap "kedaerahan"; selama hal ini ada, Perkumpulan Jong Sumatra sangatlah diperlukan. Peristiwa di luar dan di sekitar asosiasi juga menunjukkan pengaruhnya di J.S.B. Yayasan-yayasan lama secara bertahap harus mengalami perubahan sehubungan dengan hal ini; di lubuk hati pengurus utama, hal-hal ini telah dipertimbangkan: namun, kita harus bertindak hati-hati dan hanya boleh menerapkan perubahan ketika waktunya tepat. Asosiasi ini memperjuangkan persatuan Indonesia dengan asosiasi-asosiasi nasionalis yang lebih kecil.
Kongres pertama PPPKI yang diselenggarakan di Soerabaja sesuai waktu yang direncanakan yakni dimulai pada tanggal 31 Agustus 1928 (lihat De locomotief, 01-09-1928). Disebutkan Kongres P.P.P.K.I (Persatoean Permoefakatan Politiek Kebangsaan Indonesia). telah dibuka di kota Soerabaja. Dua ribu orang hadir. Ketua kongres adalah Bapak Iskaq. Hadir pula Bapak E. Gobée, penasehat pelaksana urusan adat, dan Bapak CO van der Plas, seorang pejabat di kantor penasehat pelaksana urusan adat, dan Ali Sastroamidjojo, seorang mahasiswa "Indonesia" yang telah dibebaskan, yang terakhir berbicara. Parada Harahap berbicara atas nama "Sarikat Sumatra", yang menyatakan keinginannya untuk bekerja sama dengan orang Jawa. Utusan dari "Sarekat Arabon" pertama-tama meminta studi yang lebih rinci tentang tujuan organisasi tersebut. Bapak Parada Harahap, juga menyayangkan sikap pasif rekan-rekan senegaranya dari Minahasa dan Ambon (lihat De Indische courant, 01-09-1928). Bagaimana rangkaian kegiatan kongres PPPKI berikutnya disarikan oleh surat kabar De Indische courant yang terbit di Soerabaja.
De Indische courant, 03-09-1928:
‘Kongres P.P.P.K.I. Rapat umum hari kedua. Kami menerima surat: Rapat umum
kedua kongres tersebut berlangsung di Teater Stadstuin di sini pada Jumat
malam, 31 Agustus, dihadiri sekitar 1.500 orang. Lebih banyak perwakilan dari
berbagai asosiasi yang hadir dibandingkan pada hari pertama. Di antara yang
hadir adalah Bapak Gobée dan Bapak Van der Plas dari Kantor Urusan Adat,
pejabat kepolisian, dan banyak intelektual adat. Pukul 09.00, Ketua P.P.P.K.I.,
Iskaq, membuka rapat dengan menyambut semua yang hadir. Beliau secara singkat
memperkenalkan pembicara malam itu, Bapak Ki Hadjar Dewontoro dan Bapak R.
Soekaris. Karena rapat tertutup tersebut mengungkapkan bahwa rekomendasi awal
dari kedua Bapak tersebut sebagian besar sama, Bapak R. Soekaris hanya akan
memberikan pengamatan tambahan atas presentasi yang akan disampaikan oleh
pembicara pertama. Pendidikan Nasional. Bapak Ki Hadjar Dewontoro mengawali
pidatonya dengan mencatat bahwa upaya pemenuhan pendidikan nasional oleh
penduduk asli semata-mata didorong oleh minimnya kesempatan pendidikan bagi
penduduk asli, dan belum mempertimbangkan kehidupan sosial budaya penduduk
dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena pemerintah tidak semata-mata
bertanggung jawab atas kebutuhan dan tuntutan penduduk asli, pemerintah tidak
mungkin dapat melayani kepentingan penduduk asli, khususnya di bidang
pendidikan, sesuai kebutuhan dan keinginan mereka. Pembicara mengkritik
ketidaklengkapan pendidikan dasar di sekolah-sekolah pribumi tingkat dua dan di
sekolah yang lebih tinggi swasta. Keterkaitan dengan pendidikan lanjutan bagi
lulusan sekolah-sekolah tersebut masih menjadi isu yang pelik. Setiap tahun,
reformasi baru diperkenalkan dalam sistem pendidikan, yang dengan jelas
menunjukkan bahwa masih belum ada sistem yang mapan untuk pendidikan pribumi di
negeri ini. Pembicara mengusulkan pembentukan komite aksi dan subkomite
penelitian, yang akan mengadvokasi nasionalisasi pendidikan pribumi, dengan
memanfaatkan sumber daya yang tersedia bagi komite-komite tersebut dalam
pendidikan Barat. Salah satu dari sekian banyak reformasi pendidikan yang ingin
direkomendasikan oleh pembicara dalam pertemuan tersebut adalah metode baru
yang muncul dalam beberapa tahun terakhir, yaitu metode Montessori, yang berfokus
pada kebebasan berpikir dan bertindak anak. Pembicara memperingatkan agar tidak
menerima subsidi, karena hal ini akan mengikat kedua tangan dan kaki pemberi
subsidi. Pendidikan nasional harus dicapai melalui upaya sendiri dan juga
dipertahankan melalui sumber daya sendiri. Oleh karena itu, P.P.P.K.I.
membentuk dana dukungan untuk mensubsidi sekolah-sekolah nasional dan membangun
sistem beasiswa. Yang terpenting, metode kerja pendidikan internasional harus
dibuat mudah dan terjangkau. Pembicara juga menganjurkan pengenalan sekolah
berasrama, karena hal ini akan memfasilitasi kontak antara guru dan siswa, yang
akan bermanfaat bagi pendidikan. Dalam konteks ini, pembicara merujuk pada apa
yang disebut sistem pondok. Pembicara menyebut pembentukan sekolah penghubung
sebagai perkembangan yang disambut baik, karena lembaga-lembaga ini tidak hanya
murah tetapi juga terbukti memberikan hasil yang baik. H.I.S. menyebut
pembicara sebagai ancaman bagi eksistensi nasional karena memiliki efek
denasionalisasi. Dalam konteks ini, pembicara secara ekstensif mengutip hasil
yang dicapai di sekolah Taman-Siswo, yang dapat menjadi pedoman bagi
investigasi komite. Bapak Soekaris menginginkan pendidikan nasional tidak hanya
memberikan informasi, tetapi juga mengembangkan kesadaran nasional. Pendidikan
harus berorientasi pada gagasan persatuan Indonesia. Selanjutnya, Bapak Soewijono
dan Bapak Soedjono berbicara, dan pra-pembimbing menanggapi. Pertemuan ini
ditutup pada siang hari, dengan pengumuman bahwa pertemuan publik berikutnya
akan berlangsung pada Minggu pagi di Teater Stadstuin. Seni berlangsung. Pada
Sabtu malam, para peserta kongres ditawari malam seni di Teater Stadstuin,
beberapa di antaranya telah kami sebutkan. Pertemuan publik ketiga. Pertemuan
publik ketiga berlangsung pada Minggu pagi, 2 September, juga di Teater
Stadstuin. Pada pertemuan ini, masalah ekonomi dibahas oleh Bapak Dr. Samsi,
Bapak Tjokroaminoto, dan Bapak Singgih. Kita akan membahas topik-topik ini
lebih lanjut. Selain Bapak Gobée dan Bapak Van der Plas, yang hadir pada
pertemuan-pertemuan publik sebelumnya, kami mencatat anggota Dewan Rakyat JE
Stokvis, Koesoemo Oetoyo, Soeroso, dan Soetadi. Bapak Stokvis, atas nama
I.S.D.P., menyampaikan penghormatan dan kebanggaan kepada P.P.P.K.I., yang beliau
sebut sebagai "front cokelat". Mosi. Dalam rapat tertutup P.P.P.KI.
di gedung Klub Studi pada Sabtu pagi, 1 September, sebuah mosi disahkan, yang
bunyinya kira-kira sebagai berikut: Rapat P.P.P.K.I. Surabaya di gedung Klub
Studi (Boeboetan 4) pada hari Sabtu, 1 September 1928, dengan mempertimbangkan
bahwa persatuan dalam gerakan rakyat nasional saat ini sangat penting dan
serius bagi setiap tindakan dan gerakan nasional di Indonesia yang darinya
hasil terbaik dapat diharapkan, dan untuk mencegah bahaya yang dapat
mengakibatkan disintegrasi persatuan Indonesia, mengusulkan mosi berikut: 1.
Dalam propaganda apa pun oleh berbagai partai politik P.P.P.K.I., setiap
anggota harus menahan diri dari menggunakan kata-kata yang dapat menyinggung
perkumpulan lain, dan tidak boleh mengungkapkan kritik yang tidak pantas
terhadap partai-partai lain di P.P.P.K.I. 2. Setiap perselisihan akan
diselesaikan dengan penyelesaian secara damai. Pemilihan Pengurus. Dalam rapat
tertutup hari Sabtu, pengurus baru P.P.P.K.I. terpilih. Hasilnya adalah sebagai
berikut: Dr. Raden Soetomo, ketua, dan Ir. Anwari, sekretaris-bendahara. Makan
malam konferensi. Tadi malam, makan malam konferensi diadakan di gedung Klub
Studi, dipandu oleh Poetri Boedi Sedjati. Acara tersebut berlangsung meriah.
Berbagai perwakilan partai menyampaikan pidato. Beberapa peserta konferensi
telah meninggalkan ruangan, dan peserta yang tersisa akan kembali ke lokasi
masing-masing pagi ini’.
Dalam kongres PPPKI hari kedua sejumlah pembicara diahadirkan. Yang pertama adalah Ki Hadjar Dewantara, Dr. Samsi, Tjokroaminoto, dan Mr Singgih Soewijono dan Soedjono. Pada hari kedua ini dilakuka rapat tertutup untuk pemilihan pengurus. Pengurus baru P.P.P.K.I. terpilih adalah Dr. Raden Soetomo, ketua, dan Ir. Anwari, sekretaris-bendahara. Dengan demikian Dr Soetomo menggantikan Iskaq. Pada hari ketiga Dr. Samsi kembali diberi kesempatan untuk berbicara dalam bidang ekonomi.
De Indische courant, 04-09-1928: ‘Rapat umum ketiga. Kongres PPPKI. Kami diberitahu: Dalam rapat tertutup pertama, P.P.P.K.I. membentuk panitia untuk memajukan dan membangun pendidikan nasional. Panitia ini diberi mandat untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan perluasan pendidikan nasional dan melaporkan temuannya kepada P.P.P.K.I. pada waktunya. Kajian ini tidak hanya akan mencakup isu-isu mengenai pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, tetapi juga pembentukan dana yayasan. Berikut ini adalah tokoh-tokoh yang bertugas dalam panitia ini: Bapak Singgih dari Boedi-Oetomo, Dr. Soekiman dari Partai Sarekat Islam, dan Bapak Soejoedi dari P.N.I. (Partai Nasional Indonesia). Bidang Ekonomi. Sebagaimana halnya dengan pendidikan nasional, P.P.P.K.I. akan membahas isu pendirian Bank Nasional. Pada rapat tertutup kedua pada hari Sabtu, 1 September, sebuah panitia dibentuk untuk tujuan ini, yang terdiri dari Dr. Soekiman dari P.S. I., Bapak Soejoedi untuk P.N.I., dan Roedjito untuk Boedi-Oetomo. Komite ini diberi kesempatan untuk meminta nasihat ahli jika diperlukan. Sebuah komite studi juga dibentuk untuk mengembangkan program aksi dan, jika diperlukan, untuk menentukan arah masa depan P.P.P.K.I. Komite ini terdiri dari Bapak Tjokroaminoto untuk P.S.I., Bapak Soekarno untuk P.N.I., Bapak Thamrin untuk Kaoem Betawi, dan Bapak Ottosoebrata untuk Pasoendan. Selanjutnya, ketua, Bapak Iskaq, membacakan mosi yang kami sebutkan kemarin. Atas permintaan Dr. Samsi, yang akan menguraikan secara singkat isi nasihat pendahuluannya, beliau diberi kesempatan pertama untuk menjelaskan wawasannya mengenai peluang ekonomi bagi penduduk asli. Kekayaan penduduk asli semata-mata terdiri dari modal "mati", yaitu sawah dan rumah. Siapa pun yang ingin memulai usaha terpaksa meminjam uang dari orang lain dengan suku bunga tinggi. Pendirian Bank Nasional akan menjadi pedang bermata dua. Bank Kebudayaan akan menjadi penopang utama bagi usaha patungan dalam satu badan usaha. Modalnya akan berupa saham, dan badan usaha akan diberikan fasilitas dalam bentuk uang muka. Lebih lanjut, Bank Kebudayaan juga akan bertanggung jawab atas penjualan produk-produk masyarakat adat, dengan hak komisi. Dr Sjamsi yakin bahwa pendekatan ini tidak hanya akan membuahkan hasil, tetapi juga akan memiliki nilai edukasi. Hubungan langsung Bank Kebudayaan dengan pasar umum secara otomatis akan menghilangkan daya beli. Bapak Tjokroaminoto, pembicara kedua, berpendapat bahwa Bank Nasional seharusnya, terutama, mendukung rakyat. Dalam sistem perbankan saat ini, rakyat tidak dapat dilayani karena usaha kecil tidak memiliki kesempatan untuk berkembang. Dalam konteks ini, pembicara mengutip, sebagai contoh konsekuensi dari sistem saat ini, bahwa di Jepang, misalnya, sistem kredit hanya berada di tangan ... dua keluarga. Pembicara memperingatkan mereka yang hadir bahwa pelaksanaan tindakan nasional apa pun tidak dapat dilakukan jika tidak didahului dengan pengorbanan kekuatan dan harta benda. Lebih lanjut, pembicara ini juga menganjurkan pembentukan Bank Nasional. Bapak Singgih, pra-pembimbing ketiga, membahas pengaruh perdagangan ekspor terhadap masyarakat Indonesia, khususnya industri gula. Sektor pertanian di Indonesia sangat bergantung pada faktor-faktor produksi Indonesia: lahan dan tenaga kerja. Angka resmi yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa total nilai ekspor produk olahan diperoleh dari sebagian kecil lahan sitaan. Porsi terbesar masih belum dimanfaatkan. Karena kebutuhan akan lahan memang sangat mendesak di sini, terjadi apa yang disebut "kelaparan lahan" di antara penduduk. Hak atas tanah dan pemanfaatannya yang lebih intensif melalui penanaman tanaman semusim sangat penting bagi pertumbuhan penduduk. Pada kongres Boedi-Oetomo, Dr. Radjiman menekankan bahwa terdapat kendala politik dan ekonomi yang menghambat dan menindas petani dalam mengelola lahan mereka. Faktor penghambat terpenting ini berasal dari pertanian skala besar Eropa. Radjiman menguraikan secara ekstensif isu gula, yang menghambat evolusi penduduk asli. Terakhir, Bapak Singgih menekankan pentingnya bagi para petani untuk memahami nilai tanah mereka sendiri dengan menunjukkan keuntungan yang lebih besar yang dapat diperoleh melalui budidaya tanaman ekspor dan komersial. Tenaga kerja pribumi juga harus lebih terorganisir daripada sebelumnya untuk memastikan bahwa untuk meningkatkan taraf hidup. Tugas kaum intelektuallah untuk "menyadarkan" para petani dan buruh upahan Indonesia. "Pembebasan politik berkaitan erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat ini," pungkas Pak Singgih. Kongres berikutnya. Kongres P.P.K.I. berikutnya akan diadakan di Solo. Perkumpulan Boedi-Oetomo kemudian akan menerima...’.
Setelah Kongres PPPKI di Soerabaja berakhir, para peserta kembali ke tempat masing-masing. Tentu saja para peserta yang bertempat tinggal di Batavia seperti Parada Harahap. Yang kembali ke Bandoeng seperti Iskaq (yang baru berakhir jabatannya sebagai ketua PPKI) dan Ir Soekarno. Parada Harahap di Batavia kembali membuka front dengan pers Belanda.
Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 14-09-1928: ‘Pendapat
Seorang Intelektual. Bertujuan untuk amplifikasi. Ikhtisar mingguan pers
pribumi dan Melayu-Tionghoa, yang disusun oleh Bureau voor de Volkslectuur
(Biro Sastra Populer), tak diragukan lagi bermanfaat, terutama bagi jurnalis
Eropa, yang menemukan esensi dari apa yang diungkapkan dalam artikel-artikel
panjang di surat kabar pribumi. Ikhtisar terbaru memuat kutipan dari Bintang
Timoer, sebuah surat kabar yang dianggap "liberal," dan dari kutipan
tersebut, apa yang ditulis tentang "Het Openbaar Gehoor" (Dengar
Pendapat Umum) patut mendapat perhatian khusus. Dalam edisi 6 September—setelah
kembali dari kongres P.P.P.K.I. di Surabaya, di mana ia mewakili Serikat
Sumatra—pemimpin redaksi Parada Harahap menyampaikan pendapat tentang Dengar
Pendapat Umum dan kritik yang muncul dari pers Eropa. Ia menggunakan judul:
"Kesenjangan Antara Sana dan Sini" Penulis tidak hanya yakin bahwa Gubernur
Jenderal telah jauh lebih berhati-hati daripada sebelumnya, dan tampaknya Yang
Mulia menghadapi kendala besar, tetapi jelas belum putus asa. Namun di sisi
lain, penulis yakin bahwa ketua Dewan Rakyat telah menunjukkan keberanian yang
"wajar", yang dengannya Gubernur Jenderal menyatakan persetujuannya. Dari
mana penulis apa yang harus disimpulkan dari hal ini adalah misteri bagi kita,
karena tidak satu kata atau frasa pun menunjukkan hal ini. Di sini juga,
seperti dalam banyak kasus dengan rekan-rekan pribumi kita, keinginan itu
pastilah menjadi bapak pemikiran. Namun, kita akan membiarkan masalah ini
sebagai hal yang tidak penting sebagaimana adanya, tetapi mengarahkan perhatian
kita ke hal lain. Penulis melanjutkan, mengatakan dengan sangat berani: Orang
Belanda yang memiliki keberanian untuk menilai penduduk asli dengan cara apa
pun secara positif pasti dianggap sebagai musuh oleh orang Sana atau berbahaya
bagi kepentingan mereka, dan dalam konteks ini ia menunjuk pada tindakan Dr
Blankenstein di Digoel, yang tindakannya dikritik keras oleh sebagian pers
Belanda’.
Tidak lama pula setelah Kongres PPPKI di Soerabaja, awal bulan September 1928 ini telah diadakan pertemuan federasi organisasi pemuda (PPPI) di Batavia (lihat De Indische courant, 08-09-1928). Disebutkan surat kabar Bintang Timoer memberitakan bahwa dalam pertemuan federasi organisasi pemuda diputuskan untuk mengadakan Kongres Pemuda pada bulan Oktober untuk membahas masalah organisasi kepemudaan. Yang mana Panitia Kongres terdiri dari, antara lain: ketua, Soegondo (jur. studie); sekretaris, Mohamad Jamin (jur. studie); bendahara, Amir Sjarifoeddin Harahap (jur. studie).
Organisasi pemuda yang tergabung yakni PPPI, federasi organisasi kepemudaan Jong lslamitesbond, Pemoeda Indonesia, Jong Java, Jong Sumateranen bond, Jong Ambon, Jong-Batak dan Kaoem Pemoeda Betawi serta Jong Celebes. Catatan: PPPI adalah singkatan dari Perserikatan Peladjar-Peladjar Indonesia namun adakalanya ditulis Perserikan Pemoeda-Peladjar Indonesia (junior). Pada bulan September ini juga diketahui Soegondo lulus ujian kandidat kedua (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-09-1928). Disebutkan di Rechthoogeschool lulus ujian kandidat dua Soegondo. Besar dugaan Soegondo yang lulus ujian kandidat dua.
Sementara itu, dalam
rapat perwakilan pemuda (Pemoeda Indonesia, Jong-Java, Jong-Islamieten Bond,
dan Jong-Sumatranen Bond) dipilih pengurus federasi (badan pusat) terdiri dari:
ketua, Djauharsjah (Jong Sumatranen Bond), sekretaris Achmad Soemadi (Pemoeda
Indonesia), dan bendahara Soeprapto (Jong Islamieten Bond). Nama Centraal
Lichaam (Badan Pusat) diubah menjadi “Badan Permoefakatan”.
De Indische courant, 15-09-1928:
‘"Badan Pusat." Dalam rapat perwakilan Pemoeda Indonesia, Jong-Java,
Jong-Islamieien Bond, dan Jong-Sumatranen Bond baru-baru ini, rancangan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas, serta pemilihan pengurus baru.
Pengurus baru ini terdiri dari: ketua Djauharsjah (Jong Sumatranen Bond),
sekretaris Achmad Soemadi (Pemoeda Indonesia), dan bendahara Soeprapto (Jong
Islamieten Bond). Salah satu poin penting dalam diskusi ini adalah penggantian
nama "Badan Pusat" menjadi "nama Indonesia". Diputuskan
bahwa Badan tersebut selanjutnya akan disebut "Badan Permoefakatan" Sulit
untuk membicarakan program kerja yang tepat bagi badan yang baru dibentuk ini.
Upaya akan dilakukan sesegera mungkin untuk mendirikan sebuah klub mahasiswa
Indonesia di kota ini.
Pada saat ini ketua dan sekretaris Jong Sumatranen Bond tidak lagi Bahder Djohan dan Diapari Siregar. Yang menjadi ketua baru Pemoeda Sumatra adalah Mohamad Jamin. Sementara ketua Jong Indonesia (Pemoeda Indonesia) pusat di Bandoeng adalah Soegiono. Ketua Pemoeda Indonesia afdeeling Bandoeng adalah Soetan Sjahrir (lihat De locomotief, 14-03-1928). A Gani sebagai ketua Pemoeda Indonesia di Soerabaja (lihat De Indische courant, 15-10-1928). Jong Java diketuai oleh Koentjoro Poerbopranoto.
Pembentukan komite (panitia) Kongres Pemuda 1928 dipublikasikan oleh
surat kabar Bintang Timoer yang dipimpin Parada Harahap yang kemudian dilansir De
Indische courant, 08-09-1928. Ini tidak lama setelah kembali ke Batavia dari
Kongres PPPKI di Soerabaja. Panitia inti adalah ketua, Soegondo (jur. studie);
sekretaris, Mohamad Jamin (jur. studie); bendahara, Amir Sjarifoeddin Harahap
(jur. studie). Ketiganya sama-sama mahasiswa Rechthoogeschool Batavia. Apakah ini
serba kebetulan? Soegondo adalah ketua PPPI; Mohamad Jamin adalah ketua Pemoeda
Sumatra (nama baru Jong Sumatranen Bond); Amir Sjarifoeddin Harahap (Bataksch
Bond). Amir Sjarifoeddin Harahap lulusan sekolah menengah di Belanda yang meski
masih tingkat pertama di Rechthoogeschool sudah menjadi pemimpin redaksi
majalah Jong Batak. Sebagaimana disebut sebelumnya dekan Rechthoogeschool
adalah Prof Dr Hoesein Djajadiningrat (yang mana di rumahnya pada bulan
September 1927 diadakan pertemuan yang kemudian dibentuk komite pembentukan
PPPKI dimana Parada Harahap sebagai sekretaris). Saat ini Parada Harahap masih
menjabat sebagai sekretaris Sumatranen Bond. Ini mengingatkan pada kongres
pemuda tahun 1926 yang menjadi ketua adalah M Thabrani (ketua jurnalis
pribumi/Asia dimana Parada Harahap sebagai komisaris) dan wakil ketua adalah
Bahder Djohan (ketua Jong Sumatranen Bond). Ini seakan mengindikasikan dalam
penentuan struktur komite Kongres Pemuda 1926 dan Kongres Pemuda 1928 terdapat
peran Parada Harahap? Tentu saja peran Parada Harap juga pada golongan senior
(cikal bakal PPPKI).
Seperti disebut di atas, Kongres Pemuda akan diadakan pada akhir Oktober 1928. Iini berarti hari penyelenggaran Kongres Pemuda 1928 semakin dekat. Kongres Pemuda akan diadakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di Weltevreden.
Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1928: ‘Kongres Pemuda Indonesia. Sabtu malam di KSB (Katholieken Socialen Bond), Minggu pagi di bioscoop Oost Java, dan Minggu malam di gedung Indonesia-club di Kramat, Kongres Pemuda Indonesia diselenggarakan di kota ini, dihadiri oleh berbagai perkumpulan pemuda adat. Baik Sabtu maupun Minggu malam, beberapa pembicara terlibat dalam kegiatan politik, sehingga mendorong departemen investigasi politik untuk membubarkan mereka. Lebih lanjut, kongres berakhir tanpa insiden.
Sementara Kongres Pemuda berlangsung di Batavia, salah satu cabang Jong Java melakukan pertemuan di Solo. Dalam pertemuan ini cabang Solo akan mengusulkan pada Kongres Jong Java di Dogjakarta pada tanggal 25 Desember yang akan datang untuk turut bergabung dengan federasi organisasi kepemudaan yang telah terbentuk (yang tengah melakukan kongres saat ini).
De Indische courant, 30-10-1928:
‘Pertemuan Jong-Java. Pada Minggu pagi, diadakan pertemuan Jong-Java cabang
Solo di perkumpulan Mangkoenagaran. Beberapa diskusi penting terkait kongres
yang akan diselenggarakan pada tanggal 25 Desember di Djocja telah dilakukan.
Mengenai kemungkinan Jong-Java bergabung dengan perkumpulan pemuda lain seperti
PPPI, Jong Sumatranen-Bond, Jong-Batak, dan lain-lain, serta apakah akan
menjadi federasi atau merger, pertemuan tersebut memutuskan untuk menggabungkan
diri’.
Bagaimana jalannya rangkaian Kongres Pemuda yang diadakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 kurang terinformasikan dan sulit diperoleh. Hal ini berbeda dengan Kongres PPPKI sebulan sebelumnya pada akhir bulan September. Hasil-hasil Kongres PPPKI terpublikasikan secara lebih detail dan mudah diperoleh. Sudah barang tentu hasil-hasil dapat dibaca dalam majalah-majalah organisasi kepemudaan atau organisasi kebangsan termasuk organ dari organisasi Pemoeda Indonesia yakni majalah ‘Persatoean Indonesia’.
Nieuwe Rotterdamsche Courant, 20-12-1928: ‘Demi persatuan bangsa. Resolusi-resolusi kongres pemuda. Resolusi-resolusi kongres, yang diselenggarakan oleh perkumpulan-perkumpulan pemuda, tercantum dalam organ PNI, Persatoean Indonesia. Resolusi-resolusi ini meliputi perkumpulan: Jong Java, Pemoeda Sumatra, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Selebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoean Peladjar-Peladjar Indonesia. Resolusi-resolusi ini berbunyi: 1. Kami, putra dan putri Indonesia, mengakui hanya satu tanah air, yaitu Indonesia. 2. Kami, putra dan putri Indonesia, mengakui bahwa kami hanya satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. 3. Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Kongres menyatakan keyakinannya bahwa semua perkumpulan nasionalis Indonesia harus menjadikan resolusi-resolusi ini sebagai asas mereka; meyakini bahwa persatuan Indonesia dapat diperkokoh dengan berpegang teguh pada dasar-dasar persatuan itu: a. kemauan; b. asal-usul; c. bahasa; d. hukum adat; dan e. pendidikan dan kepanduan.
Surat kabar yang terbit di Belanda Nieuwe Rotterdamsche courant mempublikasikan hasil Kongres Pemuda pada bulan Oktober dari majalah Persatoean Indonesia. Disebutkan organisasi yang hadir adalah Jong Java, Pemoeda Sumatra, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Selebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoean Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI). Sementara saat pembentukan komite kongres pada awal bulan September seperti disebut di atas adalah PPPI, Jong lslamites bond, Pemoeda Indonesia, Jong Java, Jong Sumateranen bond (yang telah berganti nama menjadi Pemoeda Sumatra), Jong Ambon, Jong Batak dan Kaoem Pemoeda Betawi serta Jong Celebes. Dalam hal ini tidak hadir perwakilan Jong Ambon.
Hasil Kongres Pemuda yang dibuat pada tanggal 28 Oktober berupa resolusi-resolusi yang intinya terdiri: 1. Kami, putra dan putri Indonesia, mengakui hanya satu tanah air, yaitu Indonesia. 2. Kami, putra dan putri Indonesia, mengakui bahwa kami hanya satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. 3. Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Dalam resolusi ini juga menyatakan keyakinan bahwa semua perkumpulan nasionalis Indonesia harus menjadikan resolusi-resolusi ini sebagai asas dan meyakini bahwa persatuan Indonesia dapat diperkokoh dengan berpegang teguh pada dasar-dasar persatuan itu: a. kemauan; b. asal-usul; c. bahasa; d. hukum adat; dan e. pendidikan dan kepanduan. Resolusi-resolusi Kongres Pemuda 1928 kurang lebih sama dengan yang beredar pada masa ini.
Plakat ‘Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia’ yang beredar masa ini, bagaimana itu dapat dikatan asli? Dalam hal ini tidak berbicara tentang wujud fisiknya tetapi apa yang menjadi isinya. Jika judulnya adalah Poetoesan Congres pada baris pertama dan Pemoeda-Pemoeda Indonesia pada baris kedua, cukup masuk akal. Pertama, bahwa plakat harus memiliki judul. Kedua, bahwa penyebutan dan penulisan Poetoesan Congres yang masih menggunakan ejaan (bahasa Belanda) yakni ‘congres’ (bukan ‘kongres’) saat itu terbilang lazim sebagai ‘poetoesan congres’ (lihat antara lain Het Indische volk; weekblad van de Afdeeling Batavia der Soc. Dem. Arbeiderspartij, jrg 13, 1930, No. 14-15). Ketiga, sebutan ‘Pemoeda-Pemoeda Indonesia’ saat itu sudah umum seperti nama organisasi ‘Pemoeda Sumatra’ dan ‘Pemoeda Indonesia’ (yang juga turut dalam kongres tersebut). Dalam hal ini penyebutan/penulisan ‘pemoeda-pemoeda’ saat itu juga lazim (lihat antara lain De locomotief, 19-06-1934). Tidak pernah ditemukan ‘pemoeda-pemoedi’. Untuk sekadar menambahkan penyebutan/penulisan ‘pemoeda-pemoedi’ baru muncul pada perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Keempat, tentang isi putasan utama, yakni: 1. Kami, poetra dan poetri
Indonesia, mengakoe bertoempah darah satu, tanah Indonesia. 2. Kami, poetra dan
poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe bangsa Indonesia. 3. Kami, poetra
dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia, dapat
dikatakan valid karena dapat dibandingkan dengan salinan ke dalam bahasa Belanda pada
kata “poetra-poetri” sebagai kata “zonen en dochteren” yang dimuat dalam surat
kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant, 20-12-1928. Demikian juga dengan sendirinya
[ada bagian penutup poetoesan congress tentang keyakinan pelaksanaannya, juga
dapat dikatakan valid.
Dalam plakat tersebut tidak terdapat penyebutan/penulisan Kongres Pemoeda. Faktanya, dari berbagai sumber sejaman yang dapat ditelusuri, tidak pernah terinformasikan. Yang terinformasikan adalah dalam bahasa Belanda yakni ‘jeugdcongres’ yang diartikan sebagai ‘kongres pemuda’. Lantas mengapa demikianj? Fakta bahwa untuk kongres-kongres yang lainnya secara tegas disebutkan/dituliskan seperti Kongres PPPKI, Kongres Pemoeda Indonesia, Kongres Jong Java dan lainnya seperti “Kongres Perserikatan Pegawai Pelaboehan”. Lantas mengapa dengan penyebutan/penulisan Kongres Pemoeda?
Pada saat ini bahasa yang digunakan masih tercampur (dan bahkan saling
tertukar) antara bahasa Belanda dengan bahasa Melayu/Bahasa Indonesia seperti
‘Onderwijs Kongres’ (mengapa tidak Kongres Goeroe?); dan tentu saja nama-nama
organisasi kepemudaan Indonesia seperti Jong Java dan Jong
Islamieten Bond, Jong Indonesia (kemudian diubah menjadi Pemoeda Indonesia) dan
Jong Sumatranen Bond (diubah menjadi Pemoeda Sumatra”). Namun perlu disadari
penulisan/ejaan dalam bahasa Belanda ‘congres’ dan ‘kongres’ sama-sama eksis
seperti ‘kongres der PNI. Namun ‘kongres pemoeda’ yang diadakan di Indonesia
pada tahun 1928 selalu ditulis ‘jeugdcongres’ bukan ‘jeugdkongres’.
Meski demikian, tidak disebutkan dalam penulisan ‘kongres pemoeda’ tetapi rangkatan kegiatan kongres pemuda tahun 1928 itu tetap dapat diartikan sebagai ‘kongres pemoeda’ karena merujuk pada ‘jeugdcongres’. Lalu bagaimana dengan terminologi ‘sumpah pemuda’ pada masa kini?
Fakta bahwa di dalam ‘poetoesan congres’ tahun 1928 yang dinyatakan
adalah suatu ikrar (pernyatan/pengakuan) sebagaimana dalam frase “Kami, poetra
dan poetri Indonesia, mengakoe/mendjoendjoeng “. Dalam konteks ini, tidak ada
indikasi tentang suatu ‘sumpah’. Oleh karena itu, ‘poetoesan congres’ hanya
mengindikasikan suatu keputusan hasil kongres yang didalamnya terdapat tiga
ikrar.
Lantas kapan muncul terminologi ‘sumpah pemuda’? Namun perlu disadari bahwa Kongres Pemuda yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya kongres pemuda tahun 1926 dan tahun 1928. Pada tahun 1927 secara organisasi akan diadakan kongres tetapi rencana kongres pada tahun itu tidak dapat direalisasikan. Mengapa? Tidak terinformasi. Yang terinformasikan pada bulan September 1928 akan diadakan kongres pemuda pada bulan Oktober 1928. Dalam konteks ini tentu saja kongres pemuda berikutnya juga telah diadakan (namun tidak terinformasikan). Oleh karena itu, dalam konteks ini pula mengapa sejarah Kongres Pemuda di Indonesia perlu ditulis (ulang)---seperti halnya pada masa ini tentang kegiatan penulisan ulang Sejarah Indonesia. Lalu kapan Kongres Pemuda berikutnya?
Satu yang jelas ‘poetoesan congres’ tahun 1928 tengah diimplementasikan.
Salah satu amanat dalam ‘poetoesan congres’ adalah sosialisasi tentang tiga
ikrar kepada semua perkumpulan nasionalis Indonesia sebagai asas. Sudah barang
tentu itu membutuhkan waktu. Bahkan Jong Ambon tidak hadir dalam kongres. Tentu
saja jangan lupa bahwa masih ada organisasi-organisasi kebangsaan (senior)
dimana Boedi Oetomo belum bergabung dalam PPPKI. Selain itu, masih banyak
organisasi-organisasi lainnya yang relevan yang perlu diterapkan
asas tiga ikrar tersebut.
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com











Tidak ada komentar:
Posting Komentar