Senin, 13 Oktober 2025

Sejarah Indonesia Jilid 6.4:Pemuda, Kongres Pemuda, Sumpah Pemuda; Sejarah Kongres Pemuda di Indonesia dari Dulu hingga Kini


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Indonesia Jilid 1-10 di blog ini Klik Disini

Beberapa kesalahan narasi atau mitos yang sering muncul tentang Kongres Pemuda, khususnya Kongres Pemuda II (1928), antara lain adalah: Istilah "Sumpah Pemuda" tidak ada pada tahun 1928. Peserta kongres tidak semuanya bisa berbahasa Indonesia dengan lancar. Orang Tionghoa memiliki peran penting dalam Kongres. Kongres Pemuda II diselenggarakan di gedung milik Sie Kong Lian, dan ada peserta keturunan Tionghoa, seperti Kwee Thiam Hong. Keterlibatan mereka sering diabaikan dalam narasi sejarah yang lebih populer.


Narasi populer tentang Kongres Pemuda sering kali mengandung kesalahan atau interpretasi yang keliru. Berikut beberapa kesalahan narasi yang umum terjadi: 1. Istilah "Sumpah Pemuda" tidak ada pada tahun 1928, baru muncul tahun 1950-an. Dokumen aslinya adalah "Putusan Kongres". 2. Kongres berlangsung dalam satu kesatuan yang mulus. Narasi yang keliru: Para pemuda dari berbagai daerah langsung bersatu dan bersepakat tanpa ada perdebatan yang berarti. Terdapat perdebatan sengit, terutama pada Kongres Pemuda I (1926). Perbedaan pandangan ini menunjukkan bahwa persatuan pemuda adalah hasil dari proses diskusi yang panjang dan tidak selalu mulus.  3. Bahasa Indonesia sudah digunakan secara lancar oleh semua peserta. Narasi yang keliru: Semua peserta Kongres Pemuda II fasih menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa utama dalam diskusi. Fakta sejarah: Beberapa peserta, termasuk pimpinan sidang seperti Soegondo Djojopoespito, masih terlihat kesulitan berbahasa Indonesia dan lebih fasih berbahasa Belanda atau bahasa daerah. Namun, hal ini tidak mengurangi semangat mereka untuk menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, yang menunjukkan adanya kesadaran akan pentingnya bahasa pemersatu.  4. Sumpah Pemuda adalah hasil dari satu peristiwa tunggal. Narasi yang keliru: Sumpah Pemuda hanya merupakan hasil dari Kongres Pemuda II yang terjadi pada 28 Oktober 1928. Fakta sejarah: Kongres Pemuda II adalah puncak dari upaya panjang yang dimulai sejak Kongres Pemuda I pada 1926 (AI Wikipedia).

Lantas bagaimana sejarah pemuda, Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda? Seperti disebut di atas, banyak hal keliru dalam narasi sejarah pemuda, sejarah Kongres Pemuda dan sejarah Sumpah Pemuda. Narasi hanya merujuk pada Kongres Pemuda 1926 dan 1928 saja. Faktanya tidak demikian. Apakah nama kongres saat itu disebut Kongres Pemuda? Jadi, kapan istilah Sumpah Pemuda ada? Fakta yang ada adalah Poetoesan Kongres, isinya menyatakan “Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mengakoe...Indonesia”. Lalu bagaimana sejarah pemuda, Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah seharusnya memiliki permulaan. Jika sejarawan gagal memberikan bukti catatan tertulis, setiap orang bahkan oleh penduduknya sendiri akan menciptakan imajinasi sendiri. Untuk menghindari hal itu terjadi, sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar dan majalah sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk lebih menekankan saja. Dalam hal ini saya bukanlah ahli sejarah, melainkan hanya sekadar untuk menyampaikan apa yang menjadi fakta (kejadian yang benar pernah terjadi) dan data tertulis yang telah tercatat dalam dokumen sejarah.

Pemuda, Kongres Pemuda dan Sumpah Pemuda; Sejarah Kongres Pemuda di Indonesia dari Dulu hingga Kini

Apakah ada bukti nama kongres para putra-putri Indonesia pada tahun 1928 disebut “Kongres Pemoeda”? Itu pertanyaan intinya. Fakta bahwa Kongres Hindia yang diadakan di Belanda pada tahun 1917, atas usul mahasiswa Indonesia (yang tergabung dalam Indische Vereeniging) untuk menggantikan nama Hindia Belanda menjadi Indonesia, diterima. Buktinya, pada kongres tahun berikutnya, pada tahun 1918 nama kongres sudah diberi nama Kongres Indonesia. Bagaimana dengan nama Kongres Pemoeda? Satu yang jelas bahwa istilah ‘pemoeda’ sendiri masih terbilang belum lama populer.


De locomotief, 02-01-1928: ‘Pemoeda Indonesia’. Seorang koresponden di Bandung melaporkan dari Bandung pada 31 Desember bahwa kongres "Jong-Indonesia" diakhiri dengan "pertemuan persatuan", yang dimeriahkan dengan cuplikan-cuplikan teatrikal yang jenaka. Kongres tersebut mengubah nama perkumpulan—Jong-Indonesia—menjadi Pemoeda Indonesia’.

Lantas mengapa nama organisasi yang baru didirikan di Bandoeng diberi nama ‘Pemoeda Indonesia’? Tampaknya nama ‘Pemoeda Indonesia’ dipilih karena terkait dengan keberadaan organisasi kebangsaan ‘Perserikatan Nasional Indonesia’ (PNI). Suatu organisasi kebangsaan Indonesia yang baru yang dipimpin oleh Ir Soekarno dkk. ‘Pemoeda Indonesia’ dalam hal ini menjadi sayap pemuda dari ‘Perserikatan Nasional Indonesia’, seperti halnya Jong Java di dalam (organisasi kebangsaan) Boedi Oetomo dan Jong Sumatranenbond di dalam (organisasi kebangsaan) Sumatranen Bond.


Terminologi ‘pemuda’ sudah barang tentu merujuk pada kata dasar ‘muda’ (lawan kata dari kata ‘tua’). Sebagai nama suatu entitas yang menggunakan kata ‘muda’ sudah lama eksis, seperti: Iskandar Muda di Atjeh pada permulaan abad ke-17; Soetan Moeda van Bila (lihat Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, 29-08-1877); Si Mail galar Soetan Moeda dan Oemar gelar Soetan Napaso, kamponghoofd van Oetarimbaroe (lihat De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 04-08-1885).

Sayap pemuda di dalam suatu organisasi (kebangsaan) Indonesia sudah eksis sejak beberapa waktu yang lalu. Jong Java secara defacto dibentuk tahun 1915 oleh Satiman dkk. Jong Sumatranenbond tahun 1917 oleh Abdoel Moenier Nasoetion dkk (lihat (lihat De locomotief, 14-12-1917). Keduanya didirikan di Batavia. Sebagaimana diketahui di Batavia juga terdapat salah satu cabang Boedi Oetomo (Boedi Oetomo afdeeling Batavia).


Sejarah organisasi kebangsaan Indonesia (baca: pribumi) secara dejure baru tahun 1900. Organisasi tersebut diinisiasi oleh Hadji Saleh Harahap gelar Dja Endar Moeda yang diberi nama (organisasi kebangsaan) Medan Perdamaian. Dja Endar Moeda menjadi presidennya yang mana kemudian pada tahun 1901 Medan Perdamaian yang bersifat nasional menerbitkan majalah bulanan Insulinde yang menjadi organ dari Medan Perdamaian. Pada tahun 1902 Medan Perdamaian yang berkedudukan di Padang berhasil mengumpulkan dana pendidikan yang kemudian melalui Dja Endar Moeda dikirim ke Semarang untuk membantu peningkatan pendidikan penduduk. Pada tahun 1907 terinformasikan organisasi kebangsaan di Medan yang diberi nama Sarikat Tapanoeli. Sementara itu di Batavia, pada bulan Mei 1908 sejumlah mahasiswa Stovia yang berasal dari Jawa (Raden Soetomo dkk) membentuk organisasi kebangsaan yang diberi nama Boedi Oetomo. Namun organisisasi yang baru dibentuk di Buitenzorg oleh Soediro Hoesodo kemudian bergabung dalam kongres pertama Boedi Oetomo yang akan diadakan di Djogjkarta pada akhir bulan September. Dalam kongres ini, golongan senior (Soediri Hoesodo dkk) berhasil mengkooptasi kepengurusan dimana Soediri Hoesodo menjadi ketua Boedi Oetomo yang di dalam statutanya bersifat kedaerahan (hanya terbatas di Jawa dan Madoera). Golongan muda tampaknya kecewa. Dalam kongres ini juga terinformasikan bahwa organisasi sejenis sudah lama eksis di Padang (Medan Perdamaian). Pada bulan Oktober 1925 di Belanda oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan menginisiasi organisasi kebangsaan yang diberi nama Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia). Soetan Casajangan menjadi presidennya dan sekretaris merangkap bendahara Raden Soemitro. Indische Vereeniging bersifat nasional. Soetan Casajangan adalah adik kelas Dja Endar Moeda yang menjadi lulusan sekolah guru (kweekschool) di Padang Sidempoean. Sejak inilah Boedi Oetomo menjadi organisasi kebangsaan senior, yang seperti disebut di atas, yang dalam perkembangannya terbentuk sayap pemuda pada tahun 1915 (Jong Java). Pada tahun 1917 Sorip Tagor Harahap, mahasiswa sekolah kedokteran hewan di Utrecht menginisiasi pembentukan organisasi Sumatra Sepakat (Vereeniging van Sumatranen) di Belanda yang diresmikan pada tanggal 1 Januari 1917. Satu bulan kemudian, di Batavia, dibentuk bond van Sumatranen yang diberi nama Keroekoenan Anak (lihat De locomotief, 04-02-1917). Disebutkan di Hindia Belanda. Batavia, 4 Februari. Bond van Sumatranen. Di Batavia sebuah Nationale Bond van Sumatranen telah didirikan hari ini dengan nama "Keroekoenan Anak". Tujuh puluh anggota bergabung. Ada sebanyak 800 orang Sumatera di Batavia, sehingga diharapkan keanggotaan asosiasi akan segera bertambah. Dua organisasi Sumatra di Belanda dan Batavia inilah kemudian yang disebut Sumatranen Bond. Lalu pada akhir tahun 1917 di Batavia, seperti disebut di atas dibentuk Jong Sumatranenbond oleh Abdoel Moenier Nasoetion dkk.

Hingga sejauh ini belum pernah terinformasikan terminology ‘pemuda’. Orang-orang Sumatra di Belanda dan di Batavia menggunakan terminologi ‘anak’, atau ‘jong’ sebagaimana Jong Java. Tampaknya terminologi ‘pemuda’ adalah sesuatu yang belum dikenal. Seperti disebut di atas, ‘pemuda’ berasal dari kata dasar ‘muda’. Namun dalam pekembangannya kosa kata ‘muda’ ini mulai popular tidak lagi sebagai lawan dari kata ‘tua’, tetapi sebagai suatu kelompok (cohort) sosial yang memiliki karakteristik sendiri.


Majalah berbahasa Melayu Bintang Hindia yang diterbitkan di Amsterdam (dengan editor Dr Abdoel Rivai, Soetan Casajangan, dkk) sejak 1905 kerap menggunakan terminologi ‘kaoem moeda’, seperti contoh: “Kaoem koena” (da kuno, secara harfiah: "orang tua"); sangat bertentangan dengan ‘kaoem moeda’ (de jongeren) dan juga memiliki dukungan yang sangat kuat dalam (lihat Provinciale Drentsche en Asser courant, 15-05-1905). Dalam edisi Bintang Hindia yang berikutnya: ‘Orang mungkin berharap sebaliknya bagi penduduk Jawa. Banyak yang percaya bahwa hanya dengan mengenakan pakaian Eropa, mereka termasuk dalam "Kaoem Moeda" (lihat Soerabaijasch handelsblad, 03-03-1906). Land en volk, 08-08-1906: ‘Asia sedang bangkit, dan ide-ide baru juga menyebar ke Hindia Belanda kita! Kita kemudian memimpin ‘Kaoem Moeda’ (fide progresif), partai Hindia Muda, dan itu demi kepentingan mereka, tetapi tentu saja juga demi kepentingan Belanda”. Arnhemsche courant, 11-08-1906 mengutip Bintang Hindia: Uit ‘Bintang Hindia’ zien we, dat er in Indië is de partij „Kaoem Moeda," dat is die der Jong-Indiërs’. De locomotief, 01-08-1910: ‘Salah satu perubahan paling signifikan yang disaksikan Boedi Oetomo adalah terkait pendidikan publik. Meskipun kongres pertama menunjukkan dengan antusiasme dan tekad muda akan pentingnya membantu menyediakan pendidikan dasar bagi rakyat jelata secepat mungkin, pada kongres kedua, pendapat tentang isu fundamental ini telah berbeda, dan sebuah faksi berpengaruh menganjurkan apa yang disebut pembangunan dari atas. Perubahan haluan ini tentu saja menunjukkan melemahnya kepemimpinan dan masuknya unsur-unsur asing, yang seharusnya dihindari oleh ‘Kaoem Moeda’ yang awalnya begitu bersemangat’. Sumatra-bode, 25-02-1911: Padang, 25 Februari 1911. Dalam Sepak Bola. Pada rapat pengurus yang diadakan tadi malam di klub "de Club", diputuskan bahw: I. klub kelas 2 "Matador" selanjutnya akan menjadi bagian dari kelas 1; II. klub "Merapi" dan "Moeda Setia" akan diskors selama 3 bulan’. 

Yang sudah eksis adalah terminologi “kaoem moeda’, suatu terminologi baru yang tidak hanya sekadar penggunaan nama ‘muda’ dalam suatu entitas (nama orang atau nama lainnya), tetapi mengindikasikan suatu kelompok (cohort) tertentu, kelompok orang muda, yang memiliki semangat (baru) yang disebut ‘kaoem moeda’. Dalam konteks inilah kemudian surat kabar baru yang terbit diberi nama “Kaoem Moeda”.

 

De expres, 01-04-1912: ‘Peniruan adalah sanjungan terhebat. Surat kabar Sinar Pasoendan sudah tutup. Manajernya tidak membayar. Besok, Fortuna akan menerbitkan terbitannya sendiri: harian Kaoem Moeda. Tata letaknya identik dengan (surat kabar) Express. Catatan: Surat kabar De expres adalah surat kabar berbahasa Belanda diterbitkan di Bandoeng oleh seorang investor (orang-orang Indo). Surat kabar baru ‘Kaoem Moeda’ diterbitkan dalam bahasa Melayu juga di Bandoeng. Pada masa inilah di Bandoeng terbentuk NIP (Nationale Indisch Partij).

Terminologi “Kaoem Moeda” adalah wujud dari semangat baru, semangat orang muda. Kelompok (cohort) kaum muda di Eropa sudah lama eksis sebagai satu kelompok masyarakat yang terus memperjuangkan banyak hal. Oleh karenanya, terminologi yang awalnya muncul di majalah Bintang Hindia di Belanda, lalu diserap dan ppenggunaannya semakin meluas di Hindia, hingga menjadi nama surat kabar baru di Bandoeng. Lalu bagaimana dengan terminologi ‘pemoeda’?


Kamus bahasa Melayu-Belanda karya Rooda Eisinga adalah kamus yang terbit tahun 1825 memuat entri ‘moeda’=jong; ligt in kleur. Orang moeda een jong mensch, jongeling; Kamus AA Fokker berjudul Van Goor's miniatuur Maleisch woordenboek “Maleisch-Nederlandsch en Nederlandsch-Maleisch” terbit 1900 pada entri moeda: ‘kaoem’ (qaum), ‘kaoem moeda’=modern, orang zaman modern (versus —koeno). Kamus Nieuw Maleisch-Nederlandsch woordenboek karya HC Klinkert (1902) tidak ada entri kaoem moeda maupun pemoeda atau pamoeda. Dalam buku Handleiding bij de beoefening van het Maleische letterschrift karya Charles Adrian van Ophuijsen (1902) juga tidak ditemukan entri kaoem moeda maupun pemoeda atau pamoeda. Dalam buku Maleische spraakkunst karya Charles Adrian van Ophuijsen (1915) juga tidak ditemukan entri kaoem moeda maupun pemoeda atau pamoeda. Dalam buku Maleische taal karya C Spat, terbit 1920 tidak terdapat sebutan ‘pemoeda’. 

Terminologi ‘pemoeda’ belum muncul dalam kamus-kamus bahasa Melayu yang diterbitkan oleh para penulis-penulis Belanda. Ini mengindikasikan bahwa kata ‘pemoeda’ belum meluas penggunaanya. Nama/terminologi ‘pemoeda’ sudah muncul sebagai identitas nama organisasi. Jika terminologi ‘kooem moeda’ popular pada awalnya, terminologi ‘pemoeda’ kemudian popular di Jawa. Seperti disebut di atas, nama Indonesia mulai popular diantara orang pribumi sejak 1917.


Oetoesan Hindia, 4 Oktober, 1920 No. 185: ‘Prosesi di Soerabaja. Diumumkan bahwa selama berlangsungnya penyelenggaraan Pasar Malam "Kemadjoean Hindia" pada tanggal 16 Oktober 1920 di Soerabaya, parade-parade berikut akan diadakan: Jumat malam, 8 Oktober: Prosesi anak-anak sekolah Pribumi; Sabtu malam, 9 Oktober: Prosesi Lingkaran SI Kalongm-Kemajoran; Minggu malam, 10 Oktober: Prosesi Lingkaran SI. Tjantikon; juga akan diadakan parade dari berbagai titik Lingkaran SI Genteng dari perkumpulan "Jong Jaa” menuju lapangan Pasar Malam. Terakhir, pada Sabtu malam, 16 Oktober: parade gabungan Ikatan Madura dan perkumpulan Pemoeda Soerabaja (Soerabajasche jongeliengen)’ (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1920, No. 40, 19-02-1920). Sinar Hindia 7-14 Februari No 27-32: Partij Pemoeda di Djogja terafiliasi dalam Kongres ISDV (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1923, No. 8, 19-02-1923); Kaoem Moeda, 13-17 Augustus 1923, No. 184 -188: perkumpulan "Perserikatan Pemoeda Lampoeng" adalah organisasi yang telah menerima dukungan dari pejabat pribumi di Lampoeng; API, 1-7 September 1925, No. 194-199: Berbagai terbitan mencantumkan sumbangan yang diterima untuk kepentingan organisasi pemuda Indonesia, yang didirikan di Semarang, yang kemudian berganti nama menjadi "Organisasi Pemoeda Indonesia" atau OPI (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, No. 37, 12-03-1925); Darmo Kondo, 21-24 Oktober 1925, No. 80-81: Jogja; bagaimana beberapa waktu lalu puluhan pramuka dari "Sarekat Pemoeda", organisasi pramuka komunis, datang ke rumah Sismadi di kompleks Pangéran Soerjomataram untuk mengadakan Latihan (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, No. 44, 30-04-1925).

Terminologi ‘pemoeda’ dan nama ‘Indonesia’ sebagai satu kesatuan nama identitas diri paling tidak sudah terinformasikan pada tahun 1925 di Jogjakarta, yakni: Organisatie Pemoeda Indonesia (OPI). Nama ini menjadi jauh lebih spesifik jika dibandingkan dengan nama surat kabar Kaoem Moeda di Bandoeng (1912). Lalu bagaimana dengan terminologi/sebutan ‘kongres pemoeda”? Yang jelas sudah disebut nama Kongres Indonesia pada tahun 1918 di Belanda.


De Indische courant, 17-09-1925: ‘Indisch fascisme. Het blanke front. Parada Harahap, editor Bintang Hindia, menulis dalam surat kabar Java Bode (berbahasa Belanda) tanggal 10 lalu dengan judul Kranten en Klanten (Koran dan Pelanggan) setelah posisi Lokomotif diambil oleh Soerabija HBL dengan operasi pasar di Semarang. Artikel ini di Soerabajasch Handelsblad dan Algemeen Handelsblad di Semarang. Parada Harahap mengatakan: ‘Sebagai pribumi, kemajuan negara-negara ini sangat dekat dengan hati saya, dan berusaha agar masyarakat tetap harmonis dari semua lapisan di Hindia, harus mencatat bawah saya pikir saya memiliki pemahaman, setidakanya mewakili wartawan dari pers Melayu. Mohon ijin saya harus member pendapat yang sama dikhususkan pada Soer. Hbld hari ini yang kesannya sikap yang diambil membahayakan kerjasama yang harmonis masyarakat di Hindia. Ini telah lama mengancam kepercayaan umum penduduk pribumi niat baik dari Belanda akan hilang di sini di Hindia, oleh tindakan beberapa pers Eropa/Belanda dan masyarakat ETI, terutama oleh cepat meluncurkan mereka dari tuduhan senegara mereka sendiri, yang mendukung keselamatan India dan rakyatnya dengan cara mereka, jika mereka bersalah mengkhianati rakyat dan negara mereka sendiri. Kesenjangan antara Timur dan Barat dan tidak sedikit Doori (tindakan yang dimaksudkan Anda dari Soer. Hbld) untuk membentuk sebuah front kosong, yang begitu banyak memiliki untuk menandakan tantangan resmi yang ditujukan kepada umat berwarna di Hindia. Bagaimana Pribumi dan disini yang mana Lokomotif, Cina berpikir, sempurna akrab bagi saya. Lokomotif adalah salah satu organ, menekankan sopan santun yang baik bagi kita. Dalam hal ini bagi kami adalah bukti bahwa tidak semua Belanda memusuhi kami, baik antar penduduk asli termasuk Cina, bahwa semua orang Eropa di Hindia kepercayaan rakyat tidak pantas berada sendirian dengan menunjuk ke item yang yang terdapat di Soer. Hbld. dan simpatisan nya. Memang benar bahwa Soer. Hbld. tidak hitam-putih terhadap pribumi, tetapi efek yang diperoleh oleh sesama seperti Mr Ant Lievegoed menunjuk sebagai anti-Belanda atau orang berbahaya bagi Nederlandsene di Hindia tidak berbeda dengan semakin yakin terletak di antara pribumi bahwa setiap pelatih asal Belanda, yang berusaha untuk kemajuan dan pengembangan tanah dan orang, dan yang tidak memperkuat depan putih, dan antagonisme abaian putih dan coklat, dengan bangsanya sebagai pengkhianat. Ini sekarang jelas tilisan anda lebih berbahaya daripada tulisan wartawan pribumi. Pers ETI bergema di dunia asli tapi resonansinya jauh dari menguntungkan untuk hubungan timbal balik di Hindia. Menurut pendapat saya tugas pers putih sekarang jauh lebih besar dari sebelumnya, sekarang jadi harus memperhitungkan jutaan orang di Hindia, yang oleh pers sendiri dan melalui komunikasi yang lebih baik dan karena itu lebih menjamin kontak di antara mereka sendiri, akan diinformasikan diberitahu tentang apa yang terjadi di pers ETI tercermin apa yang mereka percaya sebagai yang kulit putih di wilayah ini. Anda telah mendorong ke arah fasisme. Hal ini unsur-unsur, seperti Komunis, akan datang untuk mengeksploitasi pernyataan tidak membantu seperti dan taktik dasar merusak mereka kemudian turun, dan digunakan sebagai alat propaganda. Soer. Hbld. Telah berusaha kebohongan, bahwa ada lebih kecurigaan terangsang antara pribumi melawan Belanda di Hindia? Bukankah sekarang delapan orang datang waktu untuk menahan suara seseorang dari journalistieken diucapkan sikap simpatik terhadap penduduk pribumi menunjukkan sikap yang menurut banyak pihak, melihat orang Barat telah mulai menaruh minat kompromi. Tapi kemajuan daerah ini telah membuat kemajuan besar juga, sudah ada terlalu banyak intelektual asli yang merupakan penilaian independen untuk mengetahui untuk membuat peristiwa politik saat ini dari yang klik taruhan reaksioner akan berani secara terbuka untuk keluar orang untuk prinsip-prinsip etika hanya sebagai musuh pemerintah Belanda. Oleh karena itu, adalah komunisme jika diperlukan untuk membenarkan kampanye. Ada yang mau mengikut Aku, yang akan menyelesaikan pekerjaan saya ini?’. [artikel ini juga dilansir De Sumatra post, 24-09-1925].

Pada tahun 1925 Parada Harahap, jurnalis senior di Batavia (yang sudah berseberangan dengan pers Eropa/Belanda) menginisiasi pembentukan asosiasi jurnalis pribumi di Batavia, Uniknya Parada Harahap hanya mengajak jurnalis muda. Lalu terbentuk asosiasi jurnalis pribumi dan Cina yang diresmikan pada tanggal 6 Oktober. Dalam organisasi jurnalis ini sebagai ketua adalah Thabrani dan sekretaris WR Soepratman. Parada Harahap sendiri menjadi salah satu komisaris (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, no 41).


Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1925, no 41: ‘Berdasarkan surat kabar Hindia Baroe edisi 7 Oktober 1925 bahwa Journalistenbond Asia diresmikan pada 6 Oktober, dan menurut laporan di majalah ini, ketua terpilih pada pertemuan: Tabrani DI (Hindia Baroe). wakil ketua: Kwee Kek Boeng (Sin Po), sekretaris: WR Soepratman (Alpena), bendahara Boen Joe On (Perniagaan) dan RS Palindih (Berita). Anggota Dewan Pengawas adalah: Parada Harahap (Bintang Hindia), Sing Yen Chen (Sin Po, edisi Mandarin), Khoe Boen Sioe (Keng Po), Boe Giauw Tjoen (Sin Po) dan Achmad Wongsosewojo (Sastra Rakjat), Kontribusi untuk pemimpin redaksi adalah f1,50, editor f1 dan koresponden f 0.50 sebulan, sedangkan biaya masuk dua kali lipat. Serikat pekerja juga telah dibentuk di Medan, sedangkan Parada Harahap akan melakukan propaganda untuk afiliasi di Sumatera. Tentang pembentukan organisasi ini sudah diberitakan sekitar satu bulan sebelumnya (lihat Deli courant, 02-09-1925). Pertemuan pembentukan organisasi ini diadakan di gedung kantor berita Alpena (pimpinan Parada Harahap) di Weltevreden (lihat De Sumatra post, 29-09-1925). Sebelum itu di Batavia juga sudah didirikan organisasi non Belanda (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 13-01-1925). Disebutkan De Indische Associatie Vereeniging), kemarin malam di Oost-Java Restaurant een diadakan pertemuan yang mengumpulkan asosiasi-asosiasi di Hindia Belanda. Di dalam pertemuan ini dibicarakan AD/ART program dan struktur kepengerusan. Program meliputi kegiatan poolitik yang sehat, pengembangan pendidikan, pelatihan kejuruan sesuai dengan prinsip-prinsip dasar. Disamping itu untuk mempromosikan tingkat kesehatan, kesejahteraan, hubungan keuangan Negara dengan daerah dan lainnya. Kepengurusan: voorzitter, PJA Maltimo, sekretaris Tb van Nitterik, penningmeester, Mobamad Djamil, commissarissen: Parada Harahap, Raden Goenawan, Oey Kim Koel, JK Panggabean, Ph J Krancher en A. Cbatib’.

Parada Harahap adalah salah satu tokoh pers pribumi dari golongan muda di Batavia. Meski masih muda (lahir 1899), tetapi pengalamannya di dunia jurnalistik sudah sangat panjang. Hal itulah mengapa Parada Harahap memiliki inisiatif untuk membentuk organisasi para jurnalis (yang nota bene dibedakan dengan para jurnalis orang Eropa/Belanda).


Parada Harahap memulai karir jurnalistik di Medan sebagai redaktur surat kabar Benih Mardika dan redaktur surat kabar Pewarta Deli (1918). Organisasi wartawan dipelopori oleh Parada Harahap di Medan tahun 1918. Pada tahun 1919 Parada Harahap pulang kampong dan kemudian mendirikan surat kabar Sinar Merdeka di Padang Sidempoean. Di kota ini juga Parada Harahap menjadi redaktur majalah Poestaha (yang didirikan Soetan Casajangan pada tahun 1915). Oleh karena sering terkena delik pers dan beberapa kali di penjara akhirnya Sinar Merdeka dibreidel, pada tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke Batavia dan awalnya bekerja sebagai redaktur di surat kabar harian Neratja dan kemudian mendirikan surat kabar Bintang Hindia tahun 1923 (bersama Dr Abdoel Rivai). Pada tahun 1925 Parada Harahap mendirikan kantor berita pribumi yakni Alpena dengan merekrut WR Soepratman. Saat dimana belum lama WR Soepratman keluar dari surat kabar Kaoem Kita di Bandoeng. Dalam perkembangannya, diketahui bahwa Tabrani telah menjadi pemimpin redaksi surat kabar yang terbit di Batavia, Hindia Baroe (lihat De Indische courant, 20-07-1925). Disebutkan redacteur van de Hindia Baroe yang sebelumnya mengundurkan diri St. Palindih telah digantikan oleh M Tabrani Soerjo Witjitro. Hindia Baroe adalah nama baru dari manajemen baru Neratja. Besar dugaan, Parada Harahap yang mengajak Mohamad Thabrani dan WR Soepratman dari Bandoeng ke Batavia pada awal tahun 1925. M Thabrani lulus sekolah OSVIA di Bandoeng 1925.

Parada Harahap saat ini tidak hanya terbilang wartawan terbaik pribumi dari versi orang-orang Eropa/Belanda. Tetapi juga menjadi corong bagi kaoem pribumi (sebagai penduduk yang terjajah). Kini, tiga serangkai yang baru telah muncul, yakni dua di Batavia yang senior Parada Harahap dan yang junior Tabrani serta satu di Belanda Mohamad Hatta.


Sebagaimana diketahui antara Parada Harahap dan Mohamad Hatta sudah sejak lama terjadi persahabatan. Ini dimulai pada Kongres Jong Sumatranen Bond di Padang pada tahun 1919 yang mana saat itu Parada Harahap sebagai pemimpin surat kabar di Padang Sidempoean Sinar Merdeka menjadi ketua delegasi Tapanoeli ke kongres, sementara Mohamad Hatta (masih sekolah MULO) sebagai pimpinan delegasi kota Padang dalam kongres. Pada tahun 1919 Mohamad Hatta melanjutkan studi ke HBS di PHS Batavia. Pada tahun 1921 Mohamad Hatta melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun 1925 ini di Belanda, Mohamad Hatta menjadi ketua Perhimpoenan Indonesia (dulu disebut Indische Vereeniging yang didirikan Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan tahun 1908). 

Parada Harahap meski masih muda tetapi dari segi pengalaman yang banyak menjadikannya dengan cepat tidak lagi dianggap ‘keoem moeda’. Parada Harahap pemimpin redaksi Bintang Hindia di Batavia adalah mantan ketua Jong Sumatranen Bond di Tapanoeli (1919-1922). Parada Harahap dalam hal ini sejak awal sudah memeliki cara berpikir tidak sukuisme lagi, seperti seniornya dari Padang Sidempoean Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan pendiri Indische Vereeniging di Belanda tahun 1908 tetapi lebih berpandangan nasionalis. Catatan: Pada tahun 1925 Mohamad Hatta dkk di Belanda telah mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia.


Parada Harahap selagi masih di kampoeng halaman di Padang Sidempoean memimpin surat kabar Sinar Merdeka, pada tahun 1919 di Batavia dibentuk organisasi kebangsaan baru yang diberi nama Bataksch Bond. Pendirinya adalah Dr Abdoel Rasjid Siregar kelahiran Padang Sidempoean. Pendirian ini dipicu karena di dalam internal Sumatranen Bond mengerucut sentiment agama. Dr Abdoel Rasjid Siregar menginisiasi pembentukan organisasi baru untuk organisasi alternatif bagi orang Batak. Sementara saudaranya di Oost Sumatra masih bagian dari Sumatranen Bond. Pada tahun 1922 Parada Harahap hijrah ke Batavia menjadi redaktur surat kabar Neratja. Pada tahun 1923 Parada Harahap dan Dr Abdoel Rivai mendirikan surat kabar Bintang Hindia. Usianya yang sudah memasuki 25 tahun pada tahun 1925 tentu saja sudah tidak menjadi ‘kaoem moeda’ lagi. Pada tahun 1925 inilah sayap pemuda Bataksche Bond dibentuk dengan ketua Aminoedin Pohan (kelahiran Padang Sidempoean) mahasiwa Stovia. Seperti disebut di atas, pada tahun 1925 di Batavia dibentuk semacam federasi organisasi non Belanda yakni Indische Associatie Vereeniging yang meliputi orang pribumi, orang Cina dan orang Indo. Dalam badan pengurus termasuk Mohamad Djamil, Parada Harahap, Raden Goenawan dan JK Panggabean. Seperti disebut di atas, pada bulan Oktober 1925 dibentuk organisasi para jurnalis non Belanda (Journalistenbond Asia). Dalam struktur pengurus terdapat Tabrani DI, Kwee Kek Boeng, WR Soepratman, RS Palindih dan Achmad Wongsosewojo.

Sentimen etnik antara Batak dan Minangkabau yang muncul di Batavia sejak beberapa lalu, tampaknya mulai dipertemukan. Parada Harahap adalah tokoh yang tepat berada di tengahnya. Parada Harahap adalah seorang putra Batak tetapi afiliasi organisasinya lebih condong ke Sumatranen Bond daripada Bataksch Bond. Mengapa? Parada Harahap adalah mantan Jong Sumatranen Bond (sebelum terbentuk organisasi Bataksch Bond dan Jong Batak).


De nieuwe vorstenlanden, 23-09-1925: ‘Orang-orang Sumatra di lapangan sepak bola. Sudah lama, ada semacam kebencian yang tak terpuaskan antara orang Minangkabau dan orang Batak di kota ini, karena hal-hal sepele dalam olahraga dan... sastra. Sekitar sebulan yang lalu, para pemimpin kedua suku Sumatra ini mengadakan pertemuan untuk menyelesaikan perbedaan mereka dan membuat janji bersama untuk mengakhiri permusuhan anak-anak Sumatra yang mencari pendidikan atau mata pencaharian di Batavia untuk selamanya. Para pemimpin mempertimbangkan, tetapi para pemuda memutuskan. Beberapa minggu sebelumnya, kedamaian kembali terganggu, kali ini di lapangan olahraga. Sebuah perkelahian terjadi, yang untungnya berakhir tanpa hambatan. Apa yang terjadi Sabtu sore, menurut kami, cukup untuk membuat piala meluap. Seorang saksi mata melaporkan hal berikut: Pada Sabtu sore, sebuah insiden yang sangat serius terjadi di lapangan sepak bola Decapark, yang, menurut pendapat semua orang, harus dicegah di masa mendatang. Pertandingan tersebut berlangsung antara SVC (Sumatra Voetbal Club) dan BVV (Bataksch Voetbal Vereeniging), dalam pertandingan divisi-2 di liga sepak bola Batavia. Sebelum turun minum, skor 0-3 untuk kemenangan klub tersebut. Setelah jeda, salah satu pemain SVC melakukan kontak keras dengan lawan, menyebabkan cedera di wajahnya; bahkan, darah mengalir dari mulutnya. Insiden ini tidak disengaja. Namun, kapten SVC Abdoel Hamid Loebis, memanfaatkan hal ini untuk memancing pemainnya membalas dendam dengan berteriak: ‘Madjoe, ajo gasak’. Tentu saja wasit tidak mengizinkan hal ini dan langsung mengeluarkan pemain tersebut dari lapangan. Ia memang pergi, tetapi sempat memancing pertengkaran lagi dengan kiper BVV Godje, yang membalas, sehingga Godje juga harus dikeluarkan dari lapangan oleh wasit Bruins. Mereka berdua pergi ke ruang ganti, tempat pertengkaran berlanjut. Para penonton, yang sebagian besar terdiri dari orang Minangkabau dan orang Batak, tampak memihak. Bagaimanapun, partai-partai dibentuk, dan persiapan dilakukan untuk menyelesaikan perselisihan yang telah berlangsung lama jika perlu. Situasi menjadi semakin tegang. Sesuatu harus terjadi untuk memicu perkelahian. Dan sesuatu itu terjadi. Bapak Parada Harahap, seorang jurnalis ternama Batak, datang ke ruang ganti dengan kotak P3K untuk pertolongan pertama pemain SVC yang terluka tersebut. Namun, di dekat ruang ganti, seseorang dari penonton, entah sengaja atau karena kerumunan yang sudah ada, hampir mendorongnya ke dalam benteng. Pertengkaran singkat yang tidak masuk akal terjadi di antara keduanya. Namun, orang-orang Minangkabau, yang emosinya tampak meluap-luap, mendesak maju, dan pada suatu saat, Tuan Parada Harahap dipukul di bagian belakang kepala, membuatnya jatuh. Ini adalah sinyal untuk perkelahian umum antara orang Minangkabau dan Batak, yang sayangnya, benda tajam juga tampaknya telah digunakan; setidaknya beberapa orang terluka, dengan luka tusuk di dada dan lengan. Polisi segera berhasil menjaga ketertiban dan membawa korban luka ke rumah sakit kota CBZ. Investigasi segera diluncurkan, yang masih berlangsung. Menurut laporan pertandingan yang disusun oleh wasit Bruins, kejadiannya pasti agak aneh. Laporan tersebut menyebutkan, antara lain, bahwa pemain Sitanggoeng dari BVV dan kapten SVC harus dikeluarkan dari lapangan karena mereka memulai perkelahian. Hal ini menyebabkan perkelahian mendadak di antara penonton, dengan pisau dan kursi digunakan, sementara para pemain SVC meninggalkan lapangan dan ikut berkelahi. Pukul 6, dengan sisa waktu dua puluh menit, pertandingan harus dihentikan, karena hanya pemain BVV yang hadir di lapangan. "Dipahami bahwa kapten SVC, Abdoel Hamid Loebis, mengakui di markas polisi bahwa ia telah menghasut para pemainnya untuk bermain kasar dan telah mengucapkan kata-kata 'madjoe gasak'. Sekian faktanya. Kami percaya bahwa tindakan tegas dan keras harus diambil terhadap para pembuat onar, tidak hanya oleh orang Sumatra, tetapi juga oleh pihak-pihak lain, karena hal ini tidak hanya memengaruhi olahraga, tetapi juga persatuan dan persahabatan di antara putra-putra Hindia. Semua orang akan setuju dengan kami bahwa kelanjutan perselisihan ini akan meninggalkan kesan yang sangat buruk bagi non-Sumatra, penduduk asli, dan orang Eropa, dan kami berharap para pemimpin kedua belah pihak juga akan menyadari hal ini. Pertemuan baru diperlukan dan kedua belah pihak tidak hanya harus berjanji lagi untuk menjaga perdamaian dan persahabatan, tetapi juga tindakan tegas juga akan diambil terhadap mereka yang mengganggu kerukunan, jika perlu mengecualikan mereka dari semua kontak dengan sesama ras dan suku, sehingga mereka kemudian dapat melampiaskan semangat juang dan kebencian mereka sendiri, tanpa melibatkan orang lain’.

Boleh jadi atas kejadian di lapangan sepak bola, kemudian para pemuda Batak menginisiasi untuk pembentuk organisasi kepemudaan dalam suatu pertemua. Seorang tokoh pendidik di Batavia, Mr Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia yang juga anggota Volksraad diundang untuk memberi nasehat dan juga ketua Jong Sumatranen Bond, Bahder Djohan (tentu saja sekretarisnya Diapari Siregar turut hadir). Dalam pertemuan ini disepakati membentuk organisasi kepemudaan yang diberi nama Jong Batak Bond.


De locomotief, 11-12-1925: ‘Jong Batak Bond. Pada hari Minggu, tanggal 6 bulan ini, lebih dari 70 siswa dari berbagai sekolah menengah di Batavia, semuanya berasal dari Batak, bertemu di gedung Lux Orientis di Weltevreden. Di antara yang hadir adalah Bapak Toedoeg Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia, anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Bapak Moelia berpartisipasi dalam diskusi tersebut. Setelah perdebatan panjang, diputuskan untuk membentuk Jong Batak Bond. Bahder Djohan, ketua Dewan Eksekutif Jong Sumatranen Bond, mengucapkan selamat kepada kaum muda Batak atas persatuan baru ini, yang didirikan untuk memajukan kepentingan mereka dan akan bekerja sama dengan persatuan-persatuan sejawatnya. Beliau menyampaikan pidato atas Jong Sumatranen Bond. Sebuah dewan kemudian dipilih. Lebih lanjut, keinginan untuk segera menerbitkan majalah terpisah, yang diberi nama Jong Batak, juga dikemukakan. Jika memungkinkan, penerbitan akan dimulai pada tanggal 1 Januari. Nona VL Tobing, Sanoesia Paue, dan dua pemuda lainnya ditunjuk sebagai pemimpin redaksi. Cabang-cabang akan segera didirikan di tempat-tempat di mana terdapat pemuda Batak, seperti Medan, Sibolga, dan lain-lain.

Seperti disebut di atas, sayap pemuda organisasi kebangsaan Sumatranen Bond adalah Jong Sumatranen Bond yang kini dipimpin oleh Bahder Djohan (ketua) dan Diapari Siregar (sekretaris) yang keduanya sama-sama mahasiswa Stovia. Tidak lama setelah pendirian Jong Batak Bond, pada akhir tahun 1925 terinformasikan para pemuda akan melakukan kongres nasional.


De Indische courant, 30-12-1925: ‘Kongres pemuda Indonesia. Kami telah mendengar dari sumber yang dapat dipercaya bahwa kongres pemuda Indonesia pertama akan diadakan di Weltevreden selama hari-hari Paskah mendatang. Tujuan dari kongres tersebut adalah untuk membangkitkan semangat kerja sama di berbagai asosiasi pemuda di negeri ini, sehingga meletakkan dasar bagi persatuan Indonesia, di mana Hindia kemudian harus dilihat dalam konteks dunia yang lebih luas. Kerja sama seperti itu sulit ditemukan dalam perkumpulan-perkumpulan nasional besar kaum lanjut usia, yang karena kepedulian terhadap keberadaan sosial mereka, hanya memiliki sedikit kontak dengan gagasan-gagasan baru, cita-cita baru yang kini menggemparkan dunia, dan yang sedang mempersiapkan dunia. dari hubungan baru. Perhatian khusus akan diberikan pada konvensi ini untuk memajukan warga negara Indonesia dengan mengantisipasi segala sesuatu yang memecah belah. Selanjutnya, beberapa topik yang sangat topikal dan penting bagi Indonesia akan dibahas. Penyelenggaraan kongres ini berada dengan panitia: Tabrani (ketua); Bahder Djohan (wakil ketua), Soemarto (sekretaris), J Toule Solehuwy (bendahara); Komisaris P. Pinontoan. Selain Tabrani, semua adalah siswa STOVIA dan Rechthoogeschool’,   

Dalam kepengurusan (panitia kongres pemuda) Tabrani dan Bahder Djohan terhubung dengan senior Parada Harahap. Tabrani dari kalangan jurnalis muda (Hindia Baroe eks Neratja) dan Bahder Djohan dari lingkungan mahasiswa (Jong Sumatranen Bond). Dalam konfigurasi baru pemimpin nasional sudah dengan tegas membebaskan diri dari dua hal yakni tidak terikat dengan Belanda (meskipun Indo) dan tidak berhaluan agama (memisahkan diri campur agama dalam politik nasional). Dalam hal ini agama adalah satu hal (urusan pribadi individu dengan tuhannya) dan nasional Indonesia adalah hal lain (urusan bersama semua orang Indonesia).


De locomotief, 21-01-1926: ‘Sebuah ordonansi bahwa di wilayah residensi Yogyakarta, hak untuk berkumpul diberikan kepada: I. perkumpulan pemuda, sebelumnya dikenal sebagai ‘Sarekat Pemoeda’ atau ‘Organisatie Pemoeda Indonesia (OPI), Organisasi Pramuka Indonesia (IPO), atau Organisasi Pemoeda (Internasional) Indonesia (IPO)’. VIII. Organisatie Pemoeda Indonesia (OPI), Organisasi Pramoeka Indonesia (IPO), tunduk pada pembatasan berikut: a. ketentuan pasal 5 dari Dekrit Kerajaan di Buletin Undang-Undang, Perintah, dan Dekrit Hindia Belanda 1919 No. 27 berlaku untuk semua pertemuan yang terbuka untuk umum, serta pertemuan yang diadakan di tempat-tempat yang biasanya dapat diakses oleh umum, selain dari tempat-tempat pertemuan yang disebutkan di bawah. Perintah tidak diizinkan kecuali kepala pemerintah daerah telah memberikan pemberitahuan tentang hal ini setidaknya lima hari sebelumnya, yang menyatakan bahwa, kecuali banding diajukan kepada kepala pemerintah, ia berwenang untuk melarang penyelenggaraan pertemuan tersebut, asalkan ketentuan Pasal 6, 7 dan 7a dipatuhi’.

Gerakan para pemuda (termasuk mahasiswa di Belanda), tampaknya mulai menjadi perhatian Pemerintah Hindia Belanda. Di Belanda, Mohamad Hatta dkk dalam Perhimpoenan Indonesia telah mengubah nama organnya (majalah) Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka. Ini tampaknya paralel di Batavia ketika nama surat kabar Neratja berganti nama menjadi Hindia Poetra (dengan pemimpin redaksi M Thabrani). Perhatian Pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan pemuda pribumi ini dengan menerapkan ordonansi yang baru. Parada Harahap dan kawan-kawan termasuk Tabrani dan WR Soepratman sudah mengklaim diri sebagai bagian yang memperjuangkan Indonesia Raya.


De locomotief, 05-01-1926: ‘Unsur pengakuan dalam gerakan pribumi. Di surat kabar Hindia Baroe mulai Sabtu yang lalu, kami menemukan kata perpisahan dari haji Agoes Salim, yang dengan demikian mengundurkan diri dari kepemimpinan majalah. Apa yang dia katakan bermuara pada fakta bahwa alasan mengundurkan diri karena dia ingin melihat perjuangan kemerdekaan Indonesia dipandu di jalan Islam yang menurutnya tidak bisa dilakukan di surat kabar seperti Hindia Baroe, tidak berdasarkan agama, Anda mendukung agama Islam, memajukan umat melalui agama dan pengetahuan agama tidak mungkin dalam kondisi seperti itu. Kepemimpinan sekarang telah berlalu untuk sementara waktu di tangan Tabrani, yang dalam kata pengantar mengatakan seperti ini: ‘Arah majalah ini sekarang adalah Indonesia, yang cita-citanya akan lebih dikedepankan dari sekarang. Jika arah ini diikuti, kepemimpinan baru berharap bahwa majalah tersebut akan menjadi pendukung besar bagi perkembangan senyum Indonesia Raya. Apa pentingnya program ini? Dia mengatakan bahwa jelas bahwa ide Indonesia Raya sedang berkembang diantara para pemimpin pribumi. Kita mengingat kembali apa yang telah terjadi dalam waktu singkat’.

Mereka yang mengklaim diri nasionalis Indonesia itu telah berada di lingkaran orbit Parada Harahap di Batavia yang sudah sejak lama tidak melihat lagi tujuan kesukuan (daerah) dan agama. Parada Harahap adalah pendukung fanatik Indonesia Raya. Parada Harahap telah mendapat rekan baru Tabrani (Hindia Baroe) dengan memisahkan dirinya Agoes Salim (ke label agama).


Indonesia Raya. Nama Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1850 (usul dari Richard Logan dalam suatu artikelnya). Lalu seorang warga Belanda keturunan Jerman Adolf Bastian mempopulerkan nama Indonesia tersebut di Eropa/Belanda dan Hindia. Di Hindia seorang akademisi Belanda, Cornelis van Vollenhoven mengadopsi nama Indonesia di dalam bukunya Hukum Adat (Het adatrecht van Nederlandsch-Indie) yang diterbitkan pada tahun 1918 dalam tiga jilid (penerbit Brill). Sebagaimana disebut pada tahun 1917 di Belanda nama Indonesia diusulkan dalam Indisch Congres sebagai nama untuk wilayah Hindia Belanda yang kemudian pada tahun 1918 nama kongres telah menjadi Indonesisch Congres. Sejak inilah nama Indonesia diantara orang Indonesia semakin tersebar luas dan dan digunakan untuk nama organisasi, nama usaha dan sebagainya. Bagaimana dengan terminologi ‘raya’? Raja (besar) dibedakan dengan Radja (pemimpin). Menurut penulis Eropa menyebut Raja (Rachi) di Taprobana yang juga terdapat dalam peta era Ptolomeus abad ke-2 (lihat Leydse courant, 05-05-1828). Para penulis menduga pulau Taprobana adalah Sumatra atau Kalimantan. Nama-nama geografis Raja (baca: Raya) banyak ditemukan di Sumatra bagian utara seperti gunung Loeboe Raja di Angkola, Tapanoeli (Padang Sidempoean), pulau Raja di dekat Singkil, sungai Kroeeng Raja di Atjeh dan nama kampong Raja di Simaloengoen. Nama Raja (Raya) sebagai nama geografis juga banyak ditemukan di Kalimantan seperti Soengai Raja di pantai barat KalimantanPalangka Raya ibu kota Provinsi Kalimantan Tengah; Gunung Raya (Gunung Bukit Raya) gunung tertinggi di Kalimantan yang berada di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah; Murung Raya salah satu kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah; Menthobi Raya sebuah desa di Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah; Muroi Raya sebuah desa di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah. Kata ‘raja’ (raya) inilah yang kemudian diketahui seperti Hari Raja dan sebagainya yang kemudian Indonesia Raja. Fakta bahwa tidak ditemukan nama geografis Raja di pulau Jawa. Parada Harahap lahir di kampong Pargaroetan di lereng gunung Loeboe Raja, Angkola (Akkola). Untuk sekadar menambah disini: Pada peta Ptolomeus (abad ke-2) di identifikasi nama Tacola di pantai barat Sumatra bagian utara. Apakah Tacola tersebut adalah Batang Angkola, Batak Angkola atau Takkolam dalam prasasti Tanjore (1030)?

Sebelumnya Parada Harahap telah menemukan kawan seperjuangan dengan hadirnya WR Soepratman di sekitarnya. Sebagaimana diketahui WR Soepratman keluar dari surat kabar Kaoem Kita di Bandoeng karena masuknya (kembali) Abdoel Moeis yang membawa misi Islam (Abdoel Moeis menggantikan WR Soepratman). WR Soepratman sendiri di Batavia yang menjadi redaktur kantor berita Alpena (milik Parada Harahap) tinggal di sebuah pavilium rumah Parada Harahap. Persiapan kongres pemuda yang pertama sudah mulai dimatangkan.


De locomotief, 25-03-1926: ‘Kongres pemuda Indonesia. Selain yang telah disebutkan, mengenai rencana untuk mengadakan Kongres pemuda Indonesia di Batavia, dimana Tabrani DI, pemimpin redaksi Hindia Baroe, sebagai ketua panitia persiapan, kami sekarang dapat mengatakan informasi berikut: Minggu lalu diadakan pertemuan oleh pimpinan berbagai asosiasi pemuda, antara lain Jong-Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon. Jong-Mmahassa, Jong Batak Bond, Sekar Roekoen (Ikatan Moeda Soenda). untuk pembahasan lebih lanjut mengenai rencana ini. Disini telah ditentukan bahwa Kongres Pemuda pertama akan diadakan di Batavia dari tanggal 30 April, 1 Mei dan 2 Mei. Sebuah rancangan agenda telah disiapkan dalam persiapan, tetapi belum disetujui secara resmi. Sementara masih menunggu jawaban dari asosiasi pemuda lain dan juga dari Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Pertama-tama akan dibahas Pemikiran Besar Indonesia, kedudukan perempuan dalam masyarakat Indonesia modern, dll. Sebagai pembicara sudah terdaftar mahasiswa dari Stovia, AMS Jogja dan Bandoeng dan mahasiswa dari perguruan tinggi di Batavia dan Bandoeng’. Persiapan kongres pemuda sudah benar-benar matang dan siap dilaksanakan (lihat De Indische courant, 29-04-1926).

Kongres pemuda pada tanggal 30 (hari Jumat) dibuka yang diadakan di gedung Loge Freemason atau Lux Orientes (tidak jauh dari kantor surat kabar Bintang Hindia dan kantor berita Alpena) yang turut dihadiri berbagai organisasi pemuda (lihat De locomotief, 01-05-1926). Dalam pembukaan ini pernyataan kepatuhan dari asosiasi yang diwakili dan lainnya dibacakan; Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Asosiasi Pemuda Teosofis, Ambonsche Studeerenden, Jong Minabassa, Jong Islamietenbocd, Jong Batak, Sarikat Minahasa, Boedi Oetomo Afdeeling Batavia, Pelajar Indonesia (Sekar Roekoen), Darmo, Ali Tirtosoewirjo, Prawira dan Ny. Koesoema Sumantri; sementara itu divisi Batavia Mohammadjjah dan Jong-Java serta Pasoendaa tidak terwakili (tetapi terwakili oleh kehadiran Boedi Oetomo Afdeeling Batavia dan Sekar Roekoen).


Topik-topik yang dipresentasikan dalam kongres ini antara lain persatuan Indonesia, masa depan perempuan, bahasa dan sastra serta agama dalam gerakan. Beberapa kesimpulan persatuan Indonesia, usualan bahasa Melayu (lingua franca) sebagai bahasa persatuan Indonesia, kemajuan perempuan tanpa meninggalkan budaya Indonesia dan masalah agama harus berada di luar pembicaraam kongres (lihat De locomotief, 06-05-1926).

Bagaimana hasil-hasil kongres pemuda pada akhir bulan April 1926 tidak terinformasikan secara luas di surat kabar. Mengapa? Yang terinformasikan kemudian di Batavia adalah bahwa Parada Harahap menerbitkan surat kabar baru (dengan nama Bintang Timoer). Surat kabar ini akan menjadi surat kabar harian pertama dalam pers pribumi. Tidak hanya itu. Parada Harahap juga menerbitkan buku barunya. Dalam hal ini Parada Harahap dapat dikatakan jurnalis pribumi yang memiliki portofolio tertinggi di Batavia (boleh jadi di seluruh Hindia Belanda).


Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 12-07-1926: ‘Harian Melayu Baru. Surat kabar Cina-Melayu mengumumkan penerbitan harian Melayu baru yang akan segera terbit, yang akan dipimpin oleh Bapak Parada Harahap, editor mingguan bergambar Melayu "Bintang Hindia." Dalam mingguan ini, Bapak PH telah berulang kali mengimbau rekan-rekannya untuk tidak tertinggal dari kelompok masyarakat lain dalam hal jurnalisme. Beliau dengan tepat menunjukkan fakta yang aneh dan tidak menyenangkan bahwa di Hindia Belanda, atau Indonesia, tidak ada satu pun harian Indonesia yang sepenuhnya dapat bersaing dengan terbitan Tionghoa dan Eropa, bahkan di Batavia, ibu kota nusantara. Kami mendoakan kesuksesan bagi para pengembang rencana ini dan berharap mereka akan melanjutkannya. Masyarakat Hindia tentu membutuhkan surat kabar harian yang baik dan dikelola dengan baik di bawah manajemen dan kepemilikan Hindia’. De locomotief, 15-07-1926: ‘Surat kabar harian Malayu. Mulai bulan September, sebuah surat kabar harian Melayu akan diterbitkan di Batavia, berjudul "Bintang Timoer", di bawah editor Bapak Parada Harahap, pemimpin redaksi majalah mingguan bergambar "Bintang Hindia". De locomotief, 16-10-1926: ‘Parada Harahap, buku berjudul "Dari Pantai kepantai: Perdjalanan ke Sumatra”. Penerbit: Mij. Bintang Hindia, Weltevreden. Buku perjalanan jurnalistiknya ke Sumatra dan Semenanjung dan dilengkapi foto-foto yang bagus. Ia menulis banyak informasi menarik, dan ia menulisnya dengan gaya yang fasih dan menarik’.

Deskripsi dan interpretasi tentang kongres pemuda tahun 1926 dan hasil-hasilnya disarikan oleh Mohamad Amir dalam suatu artikel yang dimuat dalam majalah De opbouw; democratisch tijdschrift voor Nederland en Indie, jrg 10, 1927) dengan judul Sekitar Kongres Pemuda Indonesia. Paragraf pertama dimulai: Dari tanggal 1 hingga 3 Mei 1926, sebuah kongres yang sangat menarik diselenggarakan di Batavia oleh perkumpulan-perkumpulan pemuda pribumi, bertajuk "kongres pemuda Indonesia pertama" (het eerste Indonesische jeugdcongres). Kini setelah kami memiliki risalah presentasi dan rencana untuk segera menyelenggarakan kongres kedua, kami merasa sudah saatnya untuk menarik perhatian para pembaca pada fakta ini. Dalam artikel kami tentang "Kebangkitan Kebudayaan di Indonesia" di majalah ini kami menyebutkan keberadaan "gerakan pemuda" yang idealis di Timur”.

 

Artikel ini mengambil Sebagian dari laporang kongres dan artikel ini memulainya dengan deskripsi latar belakang organisasi-organisasi kepemudan. Saat ini rata-rata mahasiswa jarang, bahkan mungkin tidak pernah, bertemu keluarga Eropa yang baik, sementara lingkungan asli salah memahami mereka, mencabut mereka, atau bahkan merendahkan mereka: kampung-kampung Kepoe, Kemajoran, Kebonsirih, untuk tetap bertahan di Batavia, menyembunyikan dunia suka duka mahasiswa. Gerakan pemuda mempertahankan tingkat kontak tertentu dengan para tetua. Dukungan finansial diberikan oleh yang terakhir, tetapi jurang moral dan intelektual yang lebar menganga di antara mereka. Kejahatan populer yang diperangi kaum muda, seperti delusi rasial, provinsialisme, poligami, pernikahan paksa... dilestarikan oleh para tetua. Pengaruh para mahasiswa cukup besar ketika mereka kembali ke pulau masing-masing untuk liburan. Mereka tidak lagi merasa nyaman di lingkungan mereka, mereka melihat pelecehan, kehilangan cita-cita, dan mengalami banyak konflik dengan keluarga mereka, misalnya, terkait pernikahan. Namun, mereka membawa peradaban baru dari Barat ke pedalaman, bentuk-bentuk baru interaksi sosial, cita-cita keluarga, benda, buku, cerita, dan pengetahuan...Mengenai perkumpulan-perkumpulan pemuda yang muncul di bawah pengaruh komunis, seperti Organisasi Pemoeda Indonesia, Organisasi Pramuka Indonesia, dan Organisasi Pemuda Internasional Indonesia, yang juga dikenal sebagai Sarekat Moeda, Barisan Moeda…Upaya yang dilakukan enam tahun lalu oleh mendiang Dr. M. Basoeki dan kami untuk membentuk federasi antar-perkumpulan pemuda utama demi memajukan kepentingan bersama Indonesia gagal. Para pemuda, seperti para tetua, menginginkan "persatuan terpisah". Slogan pemersatu itu tidak ada. Slogan itu akan datang. Dalam beberapa tahun terakhir, bentuk "nasionalisme" yang agresif telah berkobar di Jepang, Tiongkok, Filipina, India, dan Mesir—singkatnya, di antara semua ras kulit berwarna—dengan kecenderungan anti-Eropa dan... materialistis…Kita sedang memberantas komunis ilegal di sini—terlibat dalam politik praktis; mereka hanya berkutat pada refleksi teoretis di majalah atau pertemuan. Ketenangan ini sangat kontras dengan radikalisme mahasiswa Indonesia di Belanda…jalannya Kongres pertama. Ketuanya adalah Bapak Tabrani, anggota Jong Java dan saat itu pemimpin redaksi Hindia Baroe...Intisari dari seluruh kongres dapat didengar dalam satu kalimat ini: "Kita semua, orang Jawa, Sumatra, Minahasa, Kalimantan, dan lainnya, telah dibentuk oleh sejarah menjadi manusia yang harus saling membantu jika kita ingin mencapai apa yang kita semua perjuangkan, yaitu kemerdekaan Indonesia, Tanah Air kita tercinta" (hlm. 3). Setelah memberikan gambaran singkat tentang pembentukan gerakan pemuda, beliau menutup pidatonya dengan mengungkapkan harapan yang kuat "agar kongres ini dapat menjadi dukungan bagi generasi muda Indonesia, yang akan segera terpanggil untuk bekerja, berkarya, berjuang, dan mati demi kemerdekaan Negara dan Rakyat kita. Rakyat Indonesia dari seluruh kepulauan di nusantara, bersatulah." Para delegasi dari perkumpulan Jong-Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, Jong Batak, Jong Theosofen Bond, Jong Ambon, Studieerenden-Vereeniging Minahassa, Studieclub Indonesia, Boedi Oetomo, dan Mohammadija kemudian menyampaikan simpati mereka terhadap Kongres Pemuda pertama ini. Soemarto kemudian membahas permasalahan terkini tentang "gagasan persatuan Indonesia", yang menurutnya, "pertama dan terutama merupakan gagasan politik" (hlm. 13). Isu inti pembicara adalah "bukan apakah pembentukan bangsa Indonesia dimungkinkan, melainkan apakah diinginkan dan perlu bagi kita untuk membentuk persatuan" (hlm. 15). Ia kemudian menyoroti asal-usul gerakan pribumi, termasuk gerakan pemuda. Kesimpulannya adalah: "tidak ada organisasi yang pernah mengingkari perlunya kerja sama dan persatuan" (hlm. 23). Pembicara kemudian menjawab pertanyaan apakah persatuan Indonesia mungkin terwujud. "Tentu saja, karena kita sudah memiliki landasan bersama, yaitu bahwa kita semua berada di bawah kekuasaan Belanda. Tidak ada keberatan untuk membangun struktur yang terpadu atas dasar ini." (hlm. 23). Sikap terhadap agama harus netral. "Kita tidak bebas secara politik, bukan secara agama." Sebagai langkah praktis, beliau merekomendasikan "pembentukan perkumpulan Jong Indonesia", bukan federasi perkumpulan yang sudah ada, karena hal ini akan melemahkan rasa kebersamaan, melainkan penggabungan. Tujuannya kemudian adalah "menghilangkan ketiadaan kebebasan bersama yang dimiliki Indonesia." (hlm. 25). Pembicara ini juga menutup pidatonya dengan seruan: "Jong Indonesiers”, maju menuju persatuan, maju menuju “Indonesia Merdika!". Beberapa orang bersimpati dengan usulan perkumpulan pemuda nasionalis tersebut. Mereka secara intuitif merasa bahwa kebahagiaan rakyat Indonesia bergantung pada sejauh mana putra-putri mereka dapat mewujudkan persatuan. Tentu saja, ada secercah harapan— Diskusi masih menyisakan keraguan dan perpecahan. Keraguan, apakah politik dapat dikaitkan dengan tujuan Jong Indonesia. Delegasi Jong Jawa (perkumpulan pemuda terbesar) menentang hal ini. Perpecahan, bahkan sudah terjadi dalam pemilihan agen pengikat; akankah nasionalisme menjadi sebuah penghinaan, atau dapatkah dan haruskah agama, dalam hal ini Islam, memiliki suara? Para delegasi Ikatan Pemuda Islam dan Mohammadija menggempur landasan terakhir ini, mungkinkah sebaliknya? Ciri khas dari ketidakpercayaan terhadap kekuatan agama yang terbukti keliru adalah kekhawatiran yang diungkapkan oleh beberapa orang bahwa perkumpulan pemuda yang diusulkan akan bersifat teosofis... Selain isu persatuan, dewan kongres juga telah menempatkan isu sosial terkini lainnya dari masyarakat Indonesia dalam agenda, yaitu "posisi perempuan dalam masyarakat Indonesia." Pembangunan dalam pengertian Barat menyebabkan banyak anak perempuan memberontak terhadap ikatan adat dan tradisi yang terlalu membatasi. Namun, kesadaran belum begitu luas, dan jumlah perempuan terpelajar belum begitu besar, sehingga sikap bersama yang tegas dan menentang adat yang mahakuasa dapat diharapkan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Ketua menyampaikan seruan yang berapi-api kepada tekad "kaum yang lebih lemah". Kemudian, Bahder Djohan, seorang dokter, merumuskan tujuan perjuangan: "perempuan Indonesia harus berdiri di samping laki-laki, demi Negara dan Rakyat" (hlm. 30). Kemudian, seorang guru Minahasa, Nona S. Adam, naik ke panggung. Ia mengamati adanya dorongan untuk kebebasan dan hak yang lebih besar di bawah pengaruh Barat, tetapi memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dan meniru Barat tanpa kritis. "Prosesnya harus berjalan perlahan, tidak peduli seberapa keras seseorang berusaha mencapainya." mendambakan lebih banyak hak. Jadi kita punya waktu. Mari kita ambil semua yang kita bisa dari Barat, tetapi yang terpenting, mari kita lestarikan kebaikan yang kita miliki dalam adat istiadat nasional kita.” (hlm. 40). Ia kemudian menggambarkan perempuan Menado, yang dipengaruhi oleh misi tersebut. “Ia setara dengan laki-laki. Di Minahasa, sistem pengasuhan anak berlaku” (hlm. 41). Ketika anak laki-laki dan perempuan bersekolah, ada “dorongan, baik laki-laki maupun perempuan, untuk mengadopsi segala sesuatu yang berasal dan tampak Eropa, dan orang-orang mulai malu dengan adat istiadat nasional yang lama.” (hlm. 41). Setelah “peniruan yang konyol” ini, gadis Minahasa “berkembang melampaui kondisi semi-Eropa, menjadi sangat dekat dengan menjadi perempuan Eropa sejati dalam perkembangan dan gagasan, dan mulai memberikan bahasa nasional tempatnya yang semestinya.”. Setelah Djaksodipoero menyampaikan tentang hukum adat dari Solo, yang disebut "kapak loemoeh" (hak perempuan untuk menggugat cerai hanya karena tidak ingin lagi hidup bersama suaminya), perdebatan sengit pun terjadi. Penampilan Ibu Koesoema Soemantri patut mendapat perhatian khusus. Beliau dengan ringkas menegaskan bahwa "putri-putri Indonesia tidak boleh tertinggal dari saudara-saudaranya dalam perjuangan nasional kita." Dua presentasi penting lainnya disampaikan. Penyair muda dan berbakat, Mohamad Jamin, yang memperkenalkan bentuk soneta ke dalam sastra Melayu enam tahun lalu dan yang himnenya "Tanah Air" merupakan salah satu puisi terindah akhir-akhir ini, mengajukan permohonan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia di masa depan, sebuah peran yang hampir bulat diharapkan untuk lingua franca ini. Seperti biasa, presentasinya memikat dalam bentuk dan kaya akan isi: beliau memandu hadirin melalui taman sastra Jawa dan Melayu yang rimbun. Pidatonya tak diragukan lagi menjadi salah satu sorotan utama konferensi ini. Setelah itu, Pinontoan (Sulawesi Muda) berbicara tentang perlunya toleransi beragama. Meskipun masyarakat Indonesia tidak mengalami konflik seperti yang terjadi sehari-hari di India antara umat Hindu dan Muslim, peringatan semacam itu tampaknya tidak berlebihan. Meningkatnya aktivitas misionaris, ditambah dengan kesadaran diri umat Muslim yang berlebihan, dapatkah, bagaimanapun juga, menyebabkan bentrokan yang tidak diinginkan?...Maka, kongres pemuda pertama ini telah berlalu, di mana kita tentu saja mendengar beberapa suara baru yang segar. Ungkapan-ungkapan tersebut mungkin seringkali terlalu keras atau berbobot, tetapi satu... Kongres ini menunjukkan kemenangan semangat komunitas atas kesempitan pemikiran daerah. Apakah persatuan itu akan terwujud bergantung pada bagaimana ia dibangun. Namun, jika para Jong Indonesia tahu bagaimana memanfaatkan berbagai ikatan positif, seperti kesamaan struktur internal, keturunan, sejarah, kepentingan sosial, dan sebagainya, maka persatuan dapat langgeng dan bermanfaat. Pada tanggal 30 Desember 1925, Kongres Jawa Muda Bandung menetapkan tujuan berikut: "Jawa Muda bertujuan untuk mempersiapkan anggotanya agar dapat berkontribusi pada pembentukan Jawa Raya di masa depan dan untuk memupuk rasa solidaritas di antara semua kelompok penduduk asli di Indonesia, dengan tujuan mencapai “Negara Indonesia yang merdeka.” Utrecht, 24 April 1927. M Amir.

Dari risalah hasil kongres pemuda Indonesia yang pertama ini yang penting digarisbawahi adalah adanya semangat para ‘kaoem moeda’ untuk bersatu dalam suatu persatuan. Persatuan yang diinginkan tersebut adalah penggabungan (fusi) dan bukan bersifat federasi dalam wujud Jong Indonesia (Pemuda Indonesia). Dalam konteks ini diusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan (lingua franca).


Latar belakang penyelenggaraan kongres, banyak-banyak masalah yang dihadapi penduduk Indonesia, seperti pendidikan, peran perempuan, ekonomi, budaya Barat versus tradisi, perbedaan agama dan lainnya, namun tetap berada di dalam bingkai yang sama: penjajahan. Cita-cita yang sudah terungkap dalam kongres adalah mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan cinta tanah air. Namun demikian, tantangan yang perlu diselesaikan masih ada, bahkan semisal Jong Java (bagian terbesar pemuda Indonesia) masih ragu-ragu dalam mewujudkan persatuan yang seutuhnya ke bentuk Jong Indonesia. Catatan: Gerakan pemuda di Indonesia ini (baca: Batavia) dalam bentuk kongres seiring seperjalanan dengan gerakan mahasiswa Indonesia di Belanda. Sebagaimana diketahui di Belanda Indische Vereeniging Namanya telah menjadi Perhimpoenan Indonesia dan organnya dari nama majalah Hindia Poetra menjadi Indonesia Merdeka.

Pasca kongres pemuda, Tabrani kemudian dipanggil (lihat De Indische courant, 28-05-1926). Disebutkan bahwa Tabrani, ketua kongres pemuda, dipanggil ke Penasihat Urusan Pribumi sebagai tanggapan atas pernyataan yang agak bising selama kongres itu. Tampaknya ini adalah cara baru untuk menangani pelanggaran bicara. Akan lebih baik jika pelanggaran berbicara selalu ditangani oleh seorang ahli di bidang urusan Pribumi. Ini sering mencegah banyak kesalahpahaman. Sementara itu, prosedur dewan pertanahan (Landraad) yang panjang dan seringkali tidak membuahkan hasil dapat diselamatkan. Namun tidak bagaimana hasilnya tidak diketahui. Sementara itu Tabrani masih memiliki permasalahan sendiri di internal surat kabar Hindia Baroe.


Tabrani yang dulu anggota Jong Java sebenarnya hanya sebagai kecil anggota Jong Java yang menyetujui sepak terjang Tabrani. Sebagian besar lebih suka dengan cara yang biasa-biasa saja. Hal itulah mengapa Tabrani (yang berasal dari Madura) sangat jarang namanya dihubungkan dengan Jong Java maupun Boedi Oetomo. Hal itu juga nantinya yang dialami oleh Dr Soetomo dan Ir Soekarno. Di dalam internal Jong Java dan Boedi Oetomo ada sebutan Trawant Tabrani, tidak hanya Tabrani yang tidak diikuti tetapi juga  orang-orang yang diindikasikan antek Tabrani. Sementara itu, surat kabar Hindia Baroe yang dipimpin Soetadi dengan pimpinan redaksinya Tabrani sedang masalah keuangan. Satu permasalahan besar Hindia Baroe adalah tidak memiliki percetakan sendiri yang sangat tergantung dari luar yang menyebabkan biaya cetak yang terus naik. Ini berbeda dengan NV Bintang Hindia pimpinan Parada Harahap yang telah memiliki percetakan sendiri. Soetadi mulai angkat tangan tidak bisa mengatakan apa, apakah Hindia Baroe ditutup atau tidak. Yang jelas kini Hindia Baroe tidak beralamat di alamat lamanya lagi, tetapi sudah berada di alamat sementara di alamat rumah Tabrani di Djohar (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 10-05-1926). Tampaknya setelah ini tidak pernah diketahui lagi kabar Hindia Baroe.

Demikianlah kongres pemuda pertama Indonesia telah berakhir. Seperti disebut di atas, satu hal yang menjadi pertanyaan adalah apakah nama kongres pemuda yang dilakukan? Apakah ‘Kongres Pemoeda’? Apakah ‘Kongres Pemoeda Indonesia’? Fakta bahwa, seperti disebut di atas, sudah ada nama organisasi pemuda menggunakan terminologi ‘pemoeda’ seperti Partij Pemoeda di Djogja; perkumpulan "Perserikatan Pemoeda Lampoeng" dan Organisasi Pemoeda Indonesia (OPI) yang berafiliasi dengan komunis.


Fakta bahwa seperti disebut di atas, organisaasi pemuda yang menghadiri kongres tidak ada nama organisasi yang menggunakan nama ‘pemoeda’. Yang hadir adalah Jong Java, Jong Sumateranen Bond, Asosiasi pemuda Teosofis, Ambonsche Studeerenden, Jong Minabassa, Jong Islamietenbocd, Jong Batak, Sarikat Minahasa, Boedi Oetomo Afdeeling Batavia, dan Sekar Roekoen.

Terminologi kongres diserap dari bahasa asing (dalam hal ini bahasa Belanda: congres; bedakan bahasa Inggris: congress). Terminologi ‘pemoeda’ yang merujuk pada kata dasar ‘moeda’ juga terbilang baru (belum ditemukan dalam kamus-kamus). Suatu terminologi yang terbentuk dari semakin menguatnya terminoogi ‘kaoem moeda’ (sudah ditemukan dalam kamus yang diterbitkan tahun 1900. Dalam hal ini pada kata dasar ‘moeda’ disisipi imbuhan ‘pe’, seperti halnya ‘pedagang’ dan ‘peladjar’.


Nama-nama organisasi pemuda menggunakan nama ‘pemoeda’, antara lain: Organisastie Pemoeda Indonesia (OPI) yang kerap dikaitkan dengan komunis (lihat antara lain lihat kembali API, 16-22 Februari 1926, Nos. 37-42) (lihat Overzicht van de Inlandsche en Maleisisch-Chineesche pers, 1926, No. 9, 26-02-1926). Sarekat Pemoeda (jeugd organisatie der PKI) (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 29-12-1926). Namun demikian penggunaan terminologi ‘pemoeda’ semakin meluas: Pemoeda Medan dalam pemberitaan Juli 1926; Pemoeda Islam di Laboehan Roekoe (Agustus 1926); Pemoeda Perintis Djalan (De Jonge Pioniers) di Padang (Maret 1927).

Kongres pemuda telah lama berlalu. Tabrani tidak berada lagi di surat kabar Hindia Baroe. Setelah begitu lama baru diketahui keberadaan Tabrani (lihat De locomotief, 25-01-1927). Disebutkan Panitia Kongres Jong Indonesia di Weltevreden, yang diketuai oleh Tabrani, mantan pemimpin redaksi harian berbahasa Melayu Hindia Baroe, sibuk membahas Kongres Pemuda kedua, yang rencananya akan diadakan pada awal tahun ajaran baru. Belum ada yang diketahui tentang sifat pokok bahasan yang akan dibahas dalam kongres itu. Tabrani diketahui akan berangkat ke Eropa. Lalu bagaimana dengan Parada Harahap? Parada Harahap mulai memasuki organisasi senior (Sumatranen Bond).


De Indische courant, 10-02-1927: ‘Sumatranen Bond. Kami menerima surat dari Weltevreden pada tanggal 7 bulan ini: Minggu lalu, sebuah pertemuan berbagai warga Sumatra diadakan di Batavia di rumah Bapak Soetan Mohamad Zain, mantan anggota Volksraad (Dewan Rakyat) di Weltevreden. Hampir seluruh wilayah Sumatra diwakili oleh warganya masing-masing. Pada pertemuan tersebut, kami bertemu, antara lain, tokoh-tokoh Sumatra ternama dari Minangkabau, Tapanuli, Palembang, Lampung, dan Benkoelen. Perwakilan dari Atjeh dan Oost Sumatra (Pantai Timur Sumatra) tidak dapat hadir karena keadaan yang tidak terduga. Pukul 09.00, Bapak Soetan Mohamad Zain membuka pertemuan, dan setelah menyambut para hadirin, pembicara menjelaskan tujuan pertemuan. Dewan Rakyat. Tanpa bermaksud meremehkan mereka yang telah terpilih menjadi anggota Dewan Rakyat, Ketua Dewan menyatakan bahwa hasil pemilihan umum terakhir tidak akan memenuhi harapan Dewan jika badan ini tidak mengikutsertakan seseorang yang, melalui pengalaman dan keahlian bertahun-tahun, telah memperoleh otoritas dan popularitas, dan yang akan menjadi orang yang ideal untuk bertindak sebagai juru bicara Sumatra di Dewan Rakyat. Menanggapi hal tersebut, panitia sementara, yang terdiri dari Bapak Zain, Parada Harahap, dan Bapak Noer Iskacdar, meyakini bahwa Dr Rivai adalah orang tersebut dan oleh karena itu mengusulkan untuk mencalonkannya sebagai anggota Dewan Rakyat. Menurut surat yang diterima dari Dr Rivai oleh seorang teman, Setelah mendengarkan pendapat berbagai peserta, diputuskan untuk mengambil tindakan terkait masalah ini. Bapak Zain juga mengumumkan bahwa Ikatan Dokter Hindia juga akan meluncurkan kampanye untuk tujuan yang sama. Pada kesempatan ini, Sumatranen Bond, yang sebagian telah bubar karena berbagai perubahan dalam pengurusnya, termasuk pergantian ketuanya, Patih Datoek Toemenggoerg, dihidupkan kembali. Berikut ini adalah anggota pengurus utama: Ketua: Soetan Mohamad Zain (Minangkabau). Sekretaris: Parada Harahap (Tapanoeli). Sekretaris Kedua: M. Noer Iskandar (Minangkabau). Bendahara: Abdoel Hamid (Tapanoeli). Komisioner: M. Sjahriar (Minangkabau), MA Mohamad (Palembang), Boerhannoeddin (Lampong), Dr Joenoes (Benkoelen), dan dua anggota lainnya masing-masing juga hadir. Atjeh dan Pesisir Timur Sumatra akan diminta untuk bergabung dengan pengurus. Pertemuan publik berikutnya akan diadakan pada hari Minggu, tanggal 13 bulan ini, di Gedung Logegebow Weltevreden. Jonga Sumatranenbond dan Batakschbond, melalui para ketuanya, menyatakan dukungan mereka, menyambut baik pembentukan kembali Sumatranen Bond dengan antusiasme yang tak terselubung. Rapat tersebut juga mengungkapkan harapan agar cabang-cabang Serikat yang ada di Padang, Bandung, dan Surabaya pada akhirnya akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendukung aksi ini. Karena tidak ada agenda lain, setelah mengucapkan terima kasih kepada para peserta atas minat mereka, ketua rapat menutup rapat pada pukul 12.00 siang’.

Persiapan kongres pemuda terus dimatangkan. Pokok-pokok yang akan dibahas dalam kongres sudah ditetapkan. Susunan kepanitiaan kongres juga sudah terpilih yang mana sebagai ketua adalah Bahder Djohan (mahasiswa Stoia, semi-dokter) dan sekretaris Wahab (Stovia) serta bendahara Nelwan (Stovia). Para anggota antara lain P Pinontoan (Stovia); J Toule Soulehuwij (RHS); Diapari Siregar (Stovia); GML Tobing (Stovia); Gindo Siregar (Stovia); Abdullah Sjoekoer (RHS) dan Tabrani (Jurnalis).


De locomotief, 10-03-1927: ‘Kongres Pemuda Indonesia. Jumat sore lalu, tanggal 4 ini, Komite Kongres Jong Indonesia bertemu di Weltevreden. Hidangan utama diskusi adalah persiapan Kongres Pemuda kedua dan pemilihan panitia. Diputuskan untuk mengadakan Kongres Pemuda kedua pada bulan Agustus. Dari pokok-pokok yang akan dibahas, kita perhatikan: 1. Gagasan Indonesia Raya dan penjabarannya. 2. Arti penting pers dalam pembangunan nasional Indonesia 3. Emansipasi wanita Indonesia. 4. Masalah emigrasi. 5. Kesehatan. 6. Signifikansi internasional Indonesia. 7. Wajib belajar. 8 Arti penting olahraga bagi ketahanan fisik bangsa Indonesia. Berbeda dengan kongres pertama, kali ini akan diselenggarakan berbagai kegiatan seni dan  kompetisi olahraga juga tidak akan dilupakan. Pemilihan panitia sementara sehubungan dengan keberangkatan awal Tabrani ke Eropa menghasilkan hasil sebagai berikut: Ketua Bahder Djohan (Semi-dokter), wakil ketua Ms. Soetji Soemarni (guru), sekretaris 1 Wahab (Stovia), sekretaris 2 Tirtawinata (RHS), bendahara 1 Nelwan (Stovia), bendahara 2 Louhanapessij (Normaal Cursus). Anggota: Ny. S. Adam (Normaal Cursus); M Soepit (RHS); P. Pinontoan (Stovia); J. Toule Soulehuwij (RHS); Darwin (Stovia); Diapari Siregar (Stovia); GM L Tobing (Stovia); Gindo Siregar (Stovia); TH Pangemanan; Abdullah Sjoekoer (RHS) dan Tabrani (Jurnalis). Tabrani mengatakan dalam pidato perpisahan singkatnya antara lain bahwa Kongres Jong Indonesia harus menjadi sumber energi yang darinya organisasi-organisasi pemuda yang ada dan yang akan didirikan dapat menarik kekuatan mereka dalam mewujudkan gagasan Indonesia tentang persatuan. Pukul 7 malam ketua baru menutup rapat, setelah mengucapkan terima kasih kepada Tabrani atas nama panitia yang baru dibentuk atas segala upaya yang telah dilakukan oleh promotor Kongres Pemuda Indonesia pertama ini dengan penuh semangat menyebarkan gagasan Indonesia tentang kesatuan’.

Pada saat menjelang kongres pemuda kedua inilah nama Indonesia digunakan. Dalam pers di Belanda juga disebut demikian (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 23-04-1927). Disebutkan Het tweede jong-Indonesisch congres. Het comité voor het Jong Indonesisch Congres te Weltevreden heeft besloten om het tweede congres in den loop van de maand Augustus te houden. Namun penggunaan terminologi ‘pemoeda’ belum diberlakukan (masih menggunakan terminologi ‘jong’).


Ini mirip dengan penamaan organisasi Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Pada saat didirikan tahun 1908 diberi nama Indische Vereeniging (Perhimpoenan Hindia). Pada tahun 1922 Dr Soetomo dkk mengubah nama Indische Vereeniging menjadi Indonesisch Vereeniging. Oleh karena masih berbau Belanda, pada tahun 1925 Mohamad Hatta dkk mengubah sepenuhnya nama Indische Vereeniging menjadi Perhimpoenan Indonesia. Hal yang sama juga dengan nama Indische Congres pada tahun 1917 di Belanda (yang dihadiri berbagai asosiasi mahasiswa Belanda, Cina dan pribumi). Pada saat kongres diusulkan pihak Indische Vereeniging untuk menggantikan nama Indische menjadi nama Indonesia. Usulan diterima. Pada kongres Indische Congres berikutnya pada tahun 1918 nama kongres sudah disebut Indonesisch Congres (tentu saja masih menggunakan aksen/bahasa Belanda). Hal serupa ini juga nanti pada nama organisasi Jong Indonesie di Bandoeng.

Sumatranen Bond didirikan pada tahun 1918. Lalu kemudian terbentuk Bataksch Bond pada tahun 1919. Pada bulan Februari 1927, Parada Harahap mantan ketua Jong Sumatranen Bond (1919-1922) menghidupkan kembali Sumatranen Bond yang sempat mati suri cukup lama. Kini, Sumatranen Bond dalam jalur yang kuat.


Bataviaasch nieuwsblad, 24-05-1927: ‘Sumatranen Bond. Pada Sabtu malam, 21 Desember, Asosiasi Sumatra mengadakan pertemuan publik pertamanya di Loji Freemason. Di antara yang hadir adalah beberapa anggota Volksraad, Penasihat Desentralisasi, dan perwakilan dari Departemen Urusan Administrasi Daerah Luar dan Kantor Urusan Adat. Pukul 20.30, ketua, Bapak St. Mohamad Zain, membuka pertemuan. Beliau menyampaikan kekecewaannya yang mendalam karena tidak semua anggota Volksraad dari Sumatra hadir. Beliau mengenang pendirian, perkembangan, dan status asosiasi saat ini. Organisasi ini didirikan pada tahun 1918 atas prakarsa beberapa asosiasi lokal di Padang. Tujuan utamanya adalah agar Bapak Abdoel Moeis dapat menduduki kursi di Volksraad. Pengurus utama, yang berkedudukan di Batavia, untuk pertama kalinya bergabung dengan Dr Rivai, HA Salim, Datoek Toemenggoeng, Abdoel Moeis, dan St Mohamad Zain. Perlahan tapi pasti, perkumpulan itu menyusut, dan selama pemerintahan Gubernur Jenderal sebelumnya, Liga Sumatra tidak lagi terdengar. Namun, hal ini berubah dengan kedatangan Gubernur Jenderal saat ini. Sebuah dewan baru dipilih, dan sekarang, menurut Tuan Zain, dapat dikatakan bahwa Liga Sumatra, seolah-olah, telah terlahir kembali. Pembicara menjelaskan tujuan dan aspirasi perkumpulan secara rinci. Perkumpulan itu netral dalam hal agama. Baik aksi politik maupun sosial ada dalam agendanya. Gagasan Indonesia Raya juga dipatuhi. Dia kemudian memberikan kesempatan kepada Tuan St. Pamoentjak, yang membahas situasi di Pantai Barat Sumatra secara rinci. Menurutnya, penyebab kerusuhan itu adalah: konflik antara tua dan muda; cara rakyat diperintah (demokrasi palsu); metode pemungutan pajak; dan apa yang disebut sistem paspor. Komunis memainkan peran kecil. Dengan dihapuskannya sistem mutakat (musyawarah dengan penduduk mengenai hal-hal penting), penduduk merasa diabaikan dan mencari perlindungan kepada kaum komunis. Ketika pemerintah mengambil keputusan, hanya para penghulu yang didengar, yang pada kenyataannya bukan lagi pemimpin rakyat. Kemudian, secara berurutan, Dr. Joenoes, Tjik Nang, Boerhanoedin, Parada Harahap, dan Boesthami naik podium, membahas pelanggaran di wilayah Bengkoelen, Palembang, Kabupaten Lampong, Tapanoeli, dan Fort de Koek serta sekitarnya. Semua orang menyayangkan komposisi komisi penyelidikan yang dibentuk pemerintah yang berat sebelah. Tidak ada anggota penduduk yang ditunjuk. Seperti pembicara pertama, mereka percaya bahwa akar penyebab kerusuhan bukanlah hasutan komunis, tetapi fakta bahwa penduduk tidak diperintah secara demokratis, sebagaimana seharusnya di bawah lembaga adat asli. Rapat ditunda sekitar pukul 12.00 dan dibuka kembali pada Minggu pagi. Setelah ringkasan singkat dari proses rapat sebelumnya, ketua membuka rapat pada pukul 09.30 dan langsung memberikan kesempatan kepada Bapak Iskandar, yang antara lain membahas petisi yang ditandatangani oleh sekitar 70 warga Minangkabau. Menurut pembicara, niat dan maksud para penandatangan ini tidak lain adalah untuk memperkuat dan memperbaiki posisi mereka, dengan mengorbankan kepentingan rakyat. Bapak Zain kemudian menyampaikan pidatonya. Beliau menyatakan keyakinannya bahwa penyebab kerusuhan ini sebagian besar disebabkan oleh kebijakan Gubernur sebelumnya dan hasutan komunis. Rata-rata orang Sumatera tidak menerima ajaran Lenin. Jika tidak ada alasan lain, rakyat tidak akan mudah tergoda untuk melakukan kerusuhan. Sebagai cara untuk mendapatkan kembali kepercayaan rakyat, beliau menyebutkan: penurunan pajak; peningkatan penerimaan pajak; pembentukan dewan yang berbasis demokrasi; dan pengaturan sistem kehutanan yang lebih baik. Tujuh orang memanfaatkan kesempatan untuk berbicara, menyatakan simpati mereka terhadap tujuan dan aspirasi perkumpulan. Setelah berdiskusi, usulan-usulan berikut diadopsi, yang intinya adalah keinginan dan kebutuhan untuk: membentuk dewan-dewan yang berbasis demokrasi (Dewan Marga, Dewan Negari, Dewan Koeria, dewan-dewan sub-departemen, dll.) dan mempertahankan sistem Demang. Rapat ditutup pukul 14.15’. S.P. juga meminta kami untuk memasukkan hal-hal berikut: Bahwa S.B. adalah perkumpulan orang-orang Sumatera yang tinggal di sini dan dipimpin oleh orang-orang berpendidikan dan berkedudukan tinggi, dan sebagian besar anggotanya adalah pekerja kantoran, sehingga sulit untuk mengidentifikasi perkumpulan ini dengan perkumpulan rakyat biasa, dan di mana, akhirnya, agendanya mencantumkan topik-topik penting. Tentu saja kita berharap para anggota Volksraad (Dewan Rakyat) Sumatra hadir. Namun, apa yang terjadi? Bapak Mr Toedoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia menghadiri seluruh rapat, Bapak Nja Arif berupaya hadir pada hari Sabtu, dan Bapak Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon serta Bapak Mochtar menghadiri rapat hari Minggu, sementara tokoh-tokoh kunci, terutama HH Datoek Kajo dan Alimoesa Harahap, tampak jelas tidak hadir sama sekali. Apa penyebab ketidakpedulian ini? Bagaimanapun, sikap ini langsung menimbulkan kemarahan di antara para anggota perkumpulan tersebut, terutama karena banyak pejabat lain yang kemudian menyatakan minat mereka untuk menghadiri rapat tersebut. Saya sungguh berharap agar insiden ini merupakan insiden yang terisolasi, dan agar Datoek Kajo dan Ali Moesa Harahap menyadari bahwa, sebagai wakil rakyat mereka di Dewan Rakyat, mereka hanya akan diuntungkan jika bekerja sama dengan perkumpulan seperti SB’. Catatan: Jumlah anggota Volksraad dari pulau Sumatra untuk golongan pribumi sebanyak 6 orang: Jahja Datoek Kajo (dapil Midden Sumatra), Alimoesa Harahap (dapil Nooed Sumatra); Nja Arif (dapil Atjeh); Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (dapil Oost Sumatra); Mochtar bin Praboe (dapil Zuid Sumatra); Mr Toedoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (golongan Pendidikan). Tiga diantara enam anggota dewan pusat Dr Alimoesa Harahap; Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon; Mr Toedoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia sama-sama kelahiran Padang Sidempoean. Provinciale Overijsselsche en Zwolsche courant, 29-08-1927: ‘Reformasi administrasi dan Liga Sumatra. Pada bulan Juli tahun ini, sebuah pertemuan Liga Sumatra yang dihadiri banyak orang diadakan di Weltevreden untuk membahas apakah Jambi harus dimasukkan ke dalam wilayah Palembang atau ke dalam pemerintahan Minangkabau. Tjik Nang, menginginkan Jambi dimasukkan ke dalam wilayah Palembang Zuid Sumatra, berdasarkan pertimbangan berikut: 1. Etnologi. Orang Jambi merasa memiliki hubungan dengan orang Palembang, yang telah tinggal di wilayah yang sama selama berabad-abad. Selama bertahun-tahun, hubungan ini semakin kuat karena perdagangan dan perkawinan antar suku bangsa ini. 2. Letak geografis dan komunikasi. Karena kedua wilayah tersebut hanya dipisahkan oleh pegunungan yang sangat rendah, jalan dapat dibangun tanpa memerlukan banyak pengorbanan lahan. Selain itu, sistem sungai yang sedemikian rupa sehingga koneksi air memudahkan komunikasi. Bapak Soetan Pamoentjak kemudian berbicara. Pembicara ini menganggap dimasukkannya Jambi ke Pantai Barat Sumatra sepenuhnya dibenarkan berdasarkan situasi ekonomi Jambi, yang memiliki banyak kesamaan dengan inti pemerintahan Minangkabau. Minangkabau, katanya, akan kekurangan lahan untuk populasinya yang terus bertambah dalam waktu dekat. Oleh karena itu, ia harus mencari ekspansi ke arah timur, yaitu ke Jambi, yang kebetulan, melalui mana produk-produk pusat Minangkabau juga melewati jalan mereka ke Singapura. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak orang Minangkabau telah memilih Jambi sebagai tempat tinggal mereka, sehubungan dengan perdagangan mereka dengan Hindia Belanda. Dalam debat berikutnya, Bapak Parada Harahap mencatat bahwa karakteristik penduduk juga harus dipertimbangkan, seperti halnya Tapanoeli dan Pantai Timur Sumatra. Pemerintah menggabungkan kedua wilayah ini antara lain karena 80 persen penduduk negara-negara dataran rendah tersebut terdiri dari orang-orang yang disebut Karobatak. Ketua rapat menutup rapat dengan mengumumkan bahwa saran awal akan disampaikan kepada pemerintah dan Dewan Rakyat’

Pada tahun 1927 ini Parada Harahap, sekretaris Sumatranen Bond kembali membuat gebrakan baru. Sebelumnya menghidupkan kembali Sumatranen Bond, kini Parada Harahap menginisiasi ke arah persatuan diantara organisasi-organisasi kebangsaan yang ada di Batavia. Pada bulan September 1927 dibentuk suatu komite bersifat nasional dimana Mohammad Hoesni Thamrin didaulat menjadi ketua dan tentu saja Parada Harahap sebagai penggagas diposisikan sebagai sekretaris.


De koerier, 27-09-1927: ‘Aneta memberi tahu kita: Pada malam tanggal 25 September, berbagai pemimpin Masyarakat Adat di Batavia bertemu di rumah Tuan Djajadiningrat di Weltevreden. Selain Bapak Djajadiningrat, hadir pula: Soejono (delegasi Dewan Rakyat), Dr. Kayadoe (Sarekat Ambon), F. Laoh (Persatoean Minahassa), H. Moh. Zaïn dan Parada Harahap (Sumatranen Bond), Soebrata (wakil anggota Dewan Provinsi), R. Poeradiredja dan R. Soeriadiredja (Pasoendan), dan Thamrin (Kaoem Bstawi), untuk membahas rencana amandemen Konstitusi Hindia Belanda terkait perluasan jumlah kursi Pribumi di Dewan Rakyat. Diputuskan untuk membentuk sebuah panitia yang terdiri dari para pemimpin berbagai Perkumpulan Pribumi, dengan Bapak Thamrin dan Parada Harahap sebagai ketua dan sekretaris. Rapat umum bersama akan diselenggarakan pada tanggal 15 Oktober oleh Asosiasi Boedi Oetomo, Pasoendan, Kaoem B-tawi, Sumatranenbond, Persatoean Minahassa, Sarekat Ambon, dan NIB (Perserikatan Nasional Indonesia=PNI di Bandoeng), dan berbagai pembicara akan menyatakan dukungan mereka terhadap rencana pemerintah’. Catatan: Soetan Casajangan dan Husein Djajadiningrat adalah senior para mahasiswa Indonesia, keduanya adalah angkatan pertama di Indische Vereeniging di Belanda. Pada awal pendirian tahun 1908 Soetan Casajangan sebagai Ketua dan Husein Djajadiningrat sebagai sekretaris. Soetan Casajangan menyelesaikan studi menjadi sarjana tahun 1910 dan Husein Djajadiningrat meraih PhD tahun 1913. Mohammad Hoesni Thamrin dan Parada Harahap adalah sama-sama pengusaha. Usaha MH Thamrin bergerak di bidang perdagangan dan industri pengolahan di Batavia. Sedangkan Parada Harahap pengusaha di bidang media dan percetakan. Parada Harahap adalah ketua pengusaha di Batavia (semacam Kadin pada masa ini). Mr. Husein Djajadiningrat, PhD saat itu adalah salah satu dosen di Rechthoogeschool di Batavia.

Singkatnya, rencana kongres pemuda kedua tidak terlaksana hingga waktu yang diperkirakan sebelumnya. Mohamad Thabrani sudah berangkat ke luar negeri dan Bahder Djohan tengah sibuk menjelang ujian terakhirnya di Stovia. Dalam konteks inilah kemudian terbentuk organisasi pemuda yang baru Jong Indonesie. Ide ini sudah muncul dalam kongres pemuda pertama tahun 1926.


De Indische courant, 01-11-1927: ‘Djokja. Koresponden kami di sana melaporkan. "Jong Indonesie".  Pada Minggu pagi di Djokja, rapat pembentukan perkumpulan baru "Jong Indonesie" diadakan di perkumpulan adat "Handeprojo". Sekitar 150 orang, termasuk beberapa perempuan, menghadiri rapat tersebut. Polisi juga hadir. Delegasi dikirim oleh PNI, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond dan SIAP. Berturut-turut berbicara adalah Bapak Samidi Mangoensarkoro, Bapak Winoho, Bapak Soegeng, Bapak Soejoedi, dan Bapak Sam. Sebagian besar pembicara ini ingin menggunakan bahasa Melayu, bukan bahasa Belanda, sebagai bahasa utama, karena menurut mereka, hal ini lebih sesuai dengan landasan nasionalis perkumpulan yang akan didirikan. Akhirnya, cabang Djokja dari perkumpulan "Jong Indonesie" didirikan, setelah itu pengurus sementara mengundurkan diri dan anggota pengurus diangkat dalam rapat tertutup. Sekitar 51 orang terdaftar sebagai anggota perkumpulan baru tersebut. Iuran bulanan untuk anggota biasa dan anggota asosiasi masing-masing adalah 35 dan 50 sen. Jadi, kita punya perkumpulan adat baru lagi’.

Lantas mengapa Jong Indonesie didirikan di Djogjakarta pada tahun 1927? Dari namanya yang menggunakan nama Indonesia sudah barang tentu sifatnya nasional (multi-etnik). Fakta bahwa dewan pusat Boedi Oetomo berada di Djogjakarta. Sebagaimana diketahui Boedi Oetomo bersifat kedaerahan yang di dalam statutanya hanya pada ruang lingkup (orang) Jawa dan Madoera. Sayap pemuda Boedi Oetomo yakni Jong Java, centrumnya di Djogja juga. Lalu mengapa Jong Indonesie didirikan di Djogjakarta? Satu yang jelas Jong Indonesia adalah salah satu rekomendasi di dalam kongres pemuda Indonesia pertama tahun 1926.


Pada tahun 1914 Dr Soetomo baru selesai bertugas di Deli yang berkedudukan di Tandjoeng Morawa. Sesampai di Batavia ‘kekesalannya’ terhadap Boedi Oetomo yang notabene juga lahir semasa Raden Soetomo dkk studi di Stovia tahun 1908. Seperti disebut di atas, dalam kongres Boedi Oetomo di Jogja pada bulan September 1908 golongan senior (Soediro Hoesodo, dkk) menggkooptasi Boedi Oetomo, yang kemudian statunyanya sejak itu hanya untuk di Jawa dan Madoera. ‘Kekesalannya’ terhadap Boedi Oetomo menyebabkan Dr Soetomo meminta Boedi Oetomo afdeeling Batavia diadakan rapat massa. Ketua Boedi Oetomo afdeeling Batavia adalah Dr Sardjito (adik kelasnya di Stovia). Pembicara utama dalam rapat massa itu adalah Dr Soetomo sendiri. Dr Soetomo dalam pidatonya untuk meminta perhatian: ‘Banyak kuli asal Jawa di perkebunan di Deli, mereka sangat lemah dan sangat menderita atas perlakuan para planter. Kita tidak bisa hidup sendiri lagi. Banyak orang Tapanoeli yang pintar-pintar di berbagai tempat. Tentu saja Dr Soetomo mengatahui betul orang Tapanoeli yang mendirikan organisasi kebangsaan pertama di Padang (Medan Perdamaian) pada tahun 1900, organisasi kebangsaan Sarekat Tapanoeli di Medan tahun 1907 dan tentu saja organisasi Indische ereeniging di Belanda tahun 1908. Dr Soetomo tentu saja menginginkan Boedi Oetomo agar menjadi organisasi yang lebih terbuka dan melihat kepentingan nasional (daripada daerah sendiri). Setelah beberapa waktu kemudian, Dr Soetomo pada tahun 1919 mendepat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda. Dr Soetomo sudah barang tentu langsung menjadi bagian dari Indisch Vereeniging (organisasi bersifat nasional). Pada tahun 1921 Dr Soetomo menjadi ketua. Pada saat kepengurusan ini nama Indisch Vereeniging diubah menjadi Indonesisch Vereeniging. Pada tahun 1924 setelah lulus, Dr Soetomo kembali ke tanah air yang kemudian mendirikan studie-club di Soerabaja dengan nama Indonesia Studie-club. Klub studi di Soerabaja inilah yang kemudian membentuk organisasi kebangsan yang diberi nama Persatoean Bangsa Indonesia (PBI) dimana Dr Soetomo menjadi ketuanya. Soeloeh Rajat Indonesia adalah nama majalah mingguan Klub Studi di Surabaya.

Dr Soetomo (salah satu pendiri) sudah lama tidak berafiliasi (langsung) dengan Boedi Oetomo. Lebih-lebih setelah menjadi ketua Indisch Vereeniging di Belanda (sejak 1921) dan mendirikan Studie-club Indonesia di Soerabaja pada tahun 1924. Lalu kemudian nama-nama yang coba menjauh dari Jong Java adalah Raden Soekarno dan Mohamad Thabrani di Bandoeng. Pada tahun 1926 Mohamad Thabrani menjadi ketua kongres pemuda (nasional) di Batavia. Ir Soekarno kemudian di Bandoeng bersama kawan-kawan mendirikan organisasi kebangsaan yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Dalam kongres pertama PPPKI yang diadakan di Bandoeng bulan November 1927, PPPKI diformalkan dengan mengangkat pengurus yang dipimpin oleh Ir Anwari (PNI).


Mr Soepomo, PhD setelah selesai studi di Belanda dalam bidang hukum pulang ke tanah air (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 30-08-1927). Mr. Dr. Soepomo (baca: Mr. Soepomo, PhD ditempatkan di Djogjakarta. Diantara waktunya, Mr. Soepomo, PhD diberitakan mengisi kekosongan sekretaris administrasi pusat asosiasi Boedi Oetomo, yang fungsinya sebelumnya diisi oleh Adipoetranto (lihat De Indische courant, 13-12-1927). Seperti disebut di atas, saat inilah di Djogjakarta terbentuk organisasi pemuda yang diberi nama Jong Indonesie (lihat kembali De Indische courant, 01-11-1927). Lalu apakah Mr Soepomo, PhD terkait dengan pendirian Jong Indonesie di Jogjakarta? Boleh jadi karena rekan-rekannya seperti di Soerabaja Dr Soetomo telah mendirikan Studie-club Indonesia dan Ir Soekarno di Bandoeng mendirikkan organisasi kebangsaan Perhimpoenan Nasional Indonesia. Dalam hal ini boleh jadi ‘orang dalam’ Boedi Oetomo (Mr Soepomo) coba mencairkan Boedi Oetomo yang selama ini kukuh berjuang untuk dirinya sendiri. Namun boleh jadi Ir Soekarno dkk dari Bandoeng yang menginisiasi pendirian Jong Indonesie di Djogjakarta dan Mr Soepomo hanya menutup mata dengan jari tangan terbuka.

Sebelum terbentuknya Jong Indonesia, organisasi kepemudaan yang cabangnya luas adalah Jong Java dan Jong Sumatranen Bond. Kedua organisasi ini dalam kegiatannya juga terbilang aktif. Sebagaimana diketahui Jong Sumatranen Bond didirikan di Batavia pada akhir tahun 1917. Pada bulan November ini Parada Harahap dari Bintang Timoer perang urat saraf (perang opini) dengan KW Wijbran dari pers Belanda (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 08-11-1927). KW menyatakan bahwa Indonesia adalah warisan leluhur mereka, dan Parada Harahap dari Bintang Timoer memprotes keras hal ini: 'Indonesia bukan warisan nenek moyangmu'.


De Indische courant, 19-12-1927: ‘Persatuan Muda Sumatra. Kami mendapat informasi: Peringatan sepuluh tahun Jong Sumatranen Bond cabang Soerabaya telah dirayakan secara tertutup pada Sabtu malam di gedung Klub Studi Indonesia. Di antara sekitar empat puluh peserta terdapat Dr Saaf dan Dr. Kamaroedin, perwakilan dari Jong Java, Jong Islamieten Bond, Jong Indie, Jong Indonesia dan beberapa perempuan Sumatra. Ketua membuka acara dengan pengantar singkat tentang gerakan pemuda secara umum dan kontribusi besar yang telah diberikan oleh Dr Satiman Wirjosandjojo. Tepat sepuluh tahun yang lalu, nama asli "Persatoean Anak Sumatra" diubah menjadi Jong Sumatranen Bond atas usulan Ir Fournier. Pembicara kemudian memberikan penghormatan kepada para pemimpin JSB, seperti Tengkoe Mansoer, Amir, Mohamad Hatta, dan Bahder Djohan. Persatuan ini berkembang pesat di bawah kepemimpinan trio Bahder Djohan, Diapari Siregar, dan Abdul Gafar, dan secara total memiliki sekitar delapan cabang. Serikat ini menderita kerugian besar akibat pemisahan diri orang Batak, yang kemudian mendirikan perkumpulan sendiri pada akhir tahun 1925 dengan nama Jong-Batak-bond. Perkumpulan ini kini berdiri sangat berseberangan dengan JSB, sama sekali mengabaikan kepentingan orang-orang Sumatera lainnya. Apa penyebabnya, dan siapa yang harus disalahkan? Sebagai orang luar, atau setidaknya bukan orang Batavia, pembicara tidak mampu menjawab pertanyaan ini dan menyimpulkan dengan bertanya apakah orang-orang yang keras kepala itu tidak mampu memaafkan dan melupakan, dan apakah seorang Kristus dan seorang Muhammad telah hidup di bumi dengan sia-sia. Sejarah JSB, cabang Surabaya, telah menjadi salah satu sejarah yang penuh penderitaan. Bertransformasi dari sebuah kelompok keanggotaan (beranggotakan empat orang) menjadi sebuah cabang, awalnya, seperti biasa, dengan aktivitas yang tak terbatas di bawah manajemennya masing-masing, hanya untuk kemudian tenggelam lagi dan lagi ke dalam stagnasi total. Kini, setelah 10 tahun, situasi JSB tampaknya tidak menguntungkan, baik untuk cabang utama di Batavia maupun cabang-cabang lainnya. Dalam konteks ini, pembicara mengutip perkataan mantan ketua pengurus, Bahder Djohan: "Orang Sumatra, di atas segalanya, adalah seorang individualis yang membumi: ia bukanlah orang Jawa yang mudah bergaul yang mencari kekuatan dalam komunitas dan membaur dengan masyarakat, tetapi di dalam hatinya bersemayam kesepian yang juga bersemayam di hutan-hutan sunyi dan pegunungan liar di negerinya yang jarang penduduknya. Ia terutama memikirkan dirinya sendiri. Dan naluri mempertahankan diri yang berkembang kuat membuatnya curiga, dingin, dan acuh tak acuh terhadap ketiadaan yang telah dipaksakan kepadanya dan yang di dalamnya ia melihat ancaman terhadap kebebasan pribadinya." Meskipun demikian, pengurus cabang Surabaya yang baru mendambakan masa depan yang lebih baik bagi J.S.B. dan bahwa mereka akan dapat terus bermanfaat bagi para mahasiswa muda Sumatra di tahun-tahun mendatang. Terakhir, pembicara menjelaskan posisi J.S.B. tentang "gagasan persatuan Indonesia." Perkumpulan kami tidak akan disebut J.S.B. jika tidak menanggapi seruan ini, dan melalui federasi, kami akan berjuang bersama perkumpulan-perkumpulan saudara kami untuk mewujudkan gagasan persatuan Indonesia, demikianlah simpulan pidato pembukaan pembicara, demikianlah simpulan pidato pembukaan sang pembicara. Setelah ucapan selamat yang tulus dari para delegasi dari berbagai perkumpulan pemuda, Bapak Abdoe1 Rivai memberikan kuliah singkat tentang "Kondisi Ekonomi" di Pantai Barat Sumatra. Beliau secara khusus berbicara tentang pertanian, industri, dan perdagangan skala kecil, yang sedang mengalami pukulan berat dari perusahaan-perusahaan besar. Perjuangan hidup menjadi semakin sulit bagi masyarakat kecil ini, dan banyak di antara mereka terpaksa mencari nafkah di luar negeri. Pembicara menutup pidatonya dengan menyatakan bahwa masyarakat Sumatra memiliki peluang besar untuk meringankan beban hidup mereka. Hidangan ringan disajikan selama istirahat. Setelah itu, Bapak Zainoe1 Mochtar memberikan kuliah tentang "Tanah dan Masyarakat Minangkabau," yang membahas sejarah, adat istiadat, dan kedudukan perempuan Minangkabau dalam kaitannya dengan matriarki. Pada pukul 11.00 WIB, Ketua kembali mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan perhatian para hadirin, kemudian menyatakan bahwa sesi resmi telah selesai’.

Setelah terbentuk Jong Indonesie di Bandoeng dan di Jogjakarta, dalam perkembangannya terinformasikan Jong Indonesie akan menyelenggarakan kongres (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 10-11-1927). Disebutkan perkumpulan "Jong Indonesie" akan menyelenggarakan kongres tahunannya di Bandung selama libur Natal ini. Dalam hal ini Jong Indonesie adalah sayap pemuda dari Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) yang dewannya berkedudukan di Bandoeng.


De Sumatra post, 30-12-1927: ‘Federasi. Minggu lalu pertemuan pribadi Sabtu dan Minggu diadakan di Bandoeng di bawah naungan Panitia Pembentukan Federasi Organisasi Kebangsaan. Sebuah laporan telah dikirim ke Sin Po tentang diskusi tersebut, dari mana kami secara singkat memperoleh yang berikut ini. Pertemuan pada Sabtu malam itu diadakan di gedung sekolah Taman Siswa di Poengkoerweg. Hadir: PNI diwakili oleh Ir. Soekarno dan Ishaq; PSI diwakili oleh Dr Soekiman dan Shahbudin Latief; BO diwakili RMAA Koesoemo Oetojo dan Soetopo Wonobojo; Pasoendan diwakili oleh Oto Koesoemasubrata dan Soetisma Sendjaja; Soematranen Bond diwakili oleh Parada Harahap dan Dachlan Abdoellah; Kaoem Betawi diwakili oleh Hoesni Thamrin; Klub Studi Indonesia Soerabaja diwakili oleh Soejono, Soenarjo, Gondo Koesoemo dan Soeadjoto.  

PerserikatanNasional Indonesia (PNI) terus berupaya untuk melebarkan sayap ke berbagai tempat, seperti Batavia, Djogjakarta, Pekalongan, Soerabaja dan lainnya. Bataviaasch nieuwsblad, 02-12-1927: ‘Minggu pagi pukul sembilan, Perserikatan Nasional Indonesia Afdeeling Jacatra mengadakan rapat propaganda publik di Cinema Palace di Krekot (tidak jauh dari kantor surat kabar Bintang Timoer). Pembicara adalah Ir. Soekarno, Mr. Boediarto dan Mr. Sartono’. Tentu saja Parada Harahap hadir. Hal ini karena Ir Soekarno semakin kerap mengirim artikel ke surat kabar Bintang Timoer.


Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) lahir 4 Juli 1927 (yang juga hari kemerdekaan Amerika) dan Jong Indonesia (yang kini disebut Pemoeda Indonesia, didirikan 20 Februari 1927) telah semakin luas dan semakin kuat. Nama Indonesia di organisasi kebangsaan dan sayap pemudanya tersebut semakin memperkuat positioningnya dalam waktu singkat. Anak lebih dahulu lahir dari bapak, seperti halnya Jong Sumatranen Bond lahir lebih dahulu (akhir tahun 1917) dan induknya Sumatranen Bond dibentuk tahun 1918.

Sementara itu, komite persatuan (MH Thamrin sebagai ketua dan Parada Harahap sebagai sekretaris-bendahara) yang dibentuk pada bulan September di Weltevreden, telah berujung dengan estafet sekarang berada di Bandoeng (terbentuknya federasi organisasi kebangsaan Indonesia: PPPKI).


De Sumatra post, 30-12-1927: ‘Politik Pribumi. Federasi. Sehubungan dengan telegram yang relevan, kami mengutip pernyataan berikut dari Crt: Sabtu dan Minggu lalu, di Bandung, di bawah naungan Panitia Pembentukan Asosiasi Politik, telah diadakan pertemuan tertutup. Laporan mengenai diskusi tersebut telah dikirimkan kepada Sin Po, dan dari sana kami kutip secara singkat pernyataan berikut. Pertemuan pada Sabtu malam diadakan di gedung Sekolah Taman Slawo di Poengkoerweg. Yang hadir adalah: PNI, diwakili oleh Bapak Ir. Soekarno dan Bapak Ishaq; PSI, diwakili oleh Bapak Dr. Soekiman dan Sjahboedin Latif; BO, diwakili oleh Bapak R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo dan Soetopo Wonobojo; Dari Pasoedan, diwakili oleh Bapak Oto Koesoemasoebrata dan Soetisma Seudjaja; dari Soematranen Bond, oleh Bapak Parada Harahap dan Dachlan Abdoellah; dari Kaoem Betawi, Bapak Hoesni Thamrin; dari Klub Studi Indonesia, oleh Bapak Soejono, Soenarjo, Gondo Koesoemo, dan Soeadjoto. Turut hadir dalam pertemuan-pertemuan tersebut, tanpa afiliasi partai apa pun, adalah Bapak Soeroso, Soetadi, Bapak Boediarto, Bapak Soejardi, Bapak Sartono, Dr. Soerono, Panoedjoe Darmobroto, dan Ir. Soekarno. Sukarno membuka diskusi dengan menguraikan tujuan dan makna federasi perkumpulan-perkumpulan politik. Akhirnya, usulan-usulan yang diajukan oleh pengurus P.N.I. Rancangan anggaran dasar Federasi yang diusulkan diadopsi melalui pemungutan suara umum. "Persarikatan Partij Politiek Indonesia" (PPPI) kemudian dianggap terbentuk, dan semua perkumpulan yang terwakili bergabung dengan Federasi sebagai anggota. Rapat tersebut meminta Yang Terhormat Soekarno untuk menjabat sebagai ketua selama pemilihan pengurus. Akan tetapi, karena komitmen lain, beliau tidak dapat menerima tawaran ini, sehingga Tuan Ishaq terpilih sebagai ketua. Tuan Dr. Samsi diangkat sebagai sekretaris. Rapat tertutup dilanjutkan pada Minggu pagi. Tuan Soebrata tidak hadir, dan kembali ke Batavia. Perwakilan pengurus utama PSI., Tuan Dr. Soekiman van Solo, menguraikan rencananya untuk menerbitkan publikasi terpisah untuk Federasi. Usulan tersebut diterima, dan sebuah komite ditunjuk untuk tujuan ini, yang terdiri dari Tuan Parada Harahap dan Tuan Sartono, yang harus mengembangkan rencana pendirian umum, yang harus diserahkan kepada pengurus dalam waktu satu bulan, sementara badan tersebut akan hadir di Batavia. Para anggota Dewan Masyarakat Adat akan diminta untuk menawarkan dukungan dan kerja sama mereka. Rapat tersebut menyatakan simpatinya kepada Dokter Tjipto Mangoenkosoemo, yang sedang ditahan di Banda. Komite Penasihat mengeluarkan manifesto berikut, yang ditujukan kepada asosiasi Indonesia: Sebagaimana diketahui, gerakan Indonesia saat ini berada pada tahap penting. Kejelasan mulai muncul di antara barisan. Apa yang dulunya kacau kini semakin nyata. Stabilitas sejati terletak pada Persatuan Nasional kita! Peristiwa politik terkini, jika memungkinkan, telah memperjelas bahwa di antara barisan gerakan Indonesia, kebutuhan akan aksi persatuan masih belum sepenuhnya disadari dan diungkapkan. Bahkan hingga saat ini, perwujudan solidaritas Indonesia harus dianggap sebagai kebijaksanaan politik tertinggi. Justru kesadaran yang menyentuh hati inilah—bahwa kurangnya kesatuan tujuan yang dirasakan dengan baik hanya dapat melumpuhkan aksi bersama—yang telah mendorong sejumlah partai politik Indonesia untuk mencapai persatuan yang lebih erat. Tugas mendesak adalah menciptakan suatu bentuk di mana kegiatan berbagai partai Indonesia dapat dikonsolidasikan menjadi satu gerakan tunggal yang kuat bagi bangsa Indonesia. Sebagai hasil dari upaya ini, Perhimpunan Perhimpunan-Perhimpunan Politiek Kebangsaan Indonesia (PPPPKI) yang baru didirikan kini dapat ditawarkan kepada rakyat Indonesia sebagai bentuk solidaritas politik yang tepat. Partai-partai politik yang memprakarsai langkah ini dengan tegas berharap agar seluruh partai politik Indonesia lainnya tidak ragu lagi untuk menunjukkan komitmen serius mereka dalam mewujudkan solidaritas Indonesia dengan bergabung dalam Federasi yang baru dibentuk ini. Terwujudnya Kemerdekaan Nasional bergantung langsung pada transformasi nyata perpecahan yang ada menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Rakyat Indonesia! Ingatlah momen berdirinya Persatuan, yang menandai tonggak sejarah dalam perjalanan kalian untuk mendapatkan kembali hak-hak kalian. Banyak partai politik kalian, dengan cara mereka sendiri dan secara independen, telah berupaya menyelesaikan permasalahan hidup kalian dengan cara yang paling memuaskan. Namun, kalian merasa persatuan itu kurang; dan itu tidak melayani tujuan kalian. Keberagaman ini harus diakhiri. Dan akhir itu telah tiba. Dimulai oleh partai-partai P.M.I. dan P.S.I., yang pada Kongres di Pekalongan memprakarsai pembentukan Federasi di antara keduanya, pekerjaan ini terus mengembangkan Federasi itu menjadi Federasi yang memiliki semua partai politik nasional, besar maupun kecil, sebagai pilarnya. Rakyat Indonesia! Ingatlah hari 17 Desember 1927, ketika Federasi didirikan di antara hampir semua partai kalian. Menyadari bahwa melalui persatuan mereka akan melayani tujuan nasional bersama, partai-partai kalian saling menjangkau. Pada tanggal itu, P.P.P.K.I. didirikan oleh partai-partai yang disebutkan di bawah ini, dengan kantor pusatnya di Bandung, dan Anggaran Dasarnya juga ditetapkan. Yang telah bergabung dengan Federasi adalah: Perserikatau Nasional Indonesia, Partij Sarikat Islam, Boedi Oetomo, Pasoendan, Sarikat Soematera (Persatuan Sumatera), Klub Studi Indonesia Surabaya, dan Kaoem Betawi. Yang telah terpilih menjadi pengurus sementara Federasi adalah: Tn. Iskad Tjokrohadisoerjo, Dr. Samsi Sastrawidagda, Ketua, dan Sekretaris-Bendahara. Setelah pertemuan pertama, pada tanggal 11 Desember 1927, dibahas kemungkinan pendirian surat kabar harian, yang akan menjadi suara bagi sentimen-sentimen yang ada di dalam P.P.P.K.I. Diputuskan untuk membentuk sebuah panitia guna mempelajari lebih lanjut kemungkinan penerbitan semacam itu. Langkah-langkah persiapan awal ini dapat mengawali periode di mana kalian, partai-partai Indonesia, dapat mengembangkan kegiatan politik kalian menjadi pengembangan kekuatan yang bertujuan. Kalian mungkin secara intuitif memahami bahwa untuk setiap pukulan yang dilayangkan kepada kalian, hanya persatuan yang lebih erat dan kerja sama yang lebih erat yang harus diikuti sebagai satu-satunya tanggapan yang tepat. Situasi saat ini seringkali menggambarkan sikap yang tepat dengan sarkasme yang tajam. Mungkin ini merupakan pertanda baik bagi Anda bahwa tindakan menempatkan salah satu pemimpin terkemuka Indonesia, Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, di pulau terpencil hampir bertepatan dengan hari lahirnya P.P.P.K.I. Rakyat Indonesia! Sangat yakin bahwa hal ini didukung oleh perasaan terdalam Anda, P.P.P.K.I. menggunakan kesempatan ini untuk mengucapkan selamat tinggal sementara kepada Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan "sampai jumpa lagi" setelah kepergiannya yang terpaksa, dengan jaminan bahwa rakyat Indonesia juga akan dapat menghargai pukulan telak ini terhadap nilai sejatinya. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo: Tidak ada pengasingan yang terlalu berat bagi Anda dan keluarga Anda jika dapat membeli solidaritas orang-orang yang Anda tinggalkan. Sekarang, tunjukkan kepada rakyat Indonesia melalui tindakan nyata bahwa putra-putra bangsa Indonesia tidak melakukan pengorbanan terbesar dengan sia-sia’.

Kini sebelum berakhir tahun 1927, federasi organisasi kebangsaan PPPKI telah terbentuk di Bandoeng dengan ketua Iskaq Tjokrohadisoerjo, dan sekretaris Dr. Samsi Sastrawidagda. Dalam pendirian PPPKI ini sebuah komite ditunjuk untuk mendirikan organ PPPKI, yang terdiri dari Tuan Parada Harahap dan Tuan Sartono, yang harus mengembangkan rencana pendirian umum, yang harus diserahkan kepada pengurus dalam waktu satu bulan, yang mana badan tersebut akan hadir di Batavia. Lantas siapa Dr. Samsi Sastrawidagda?


Pada tahun 1911 Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan di Belanda, pendiri Indische Vereeniging lulus sekolah guru mendapat akta guru MO (sarjana pendidikan) tengah mendirikan Studiefond. Pada tahun 1911 ini dalam rapat Boedi Oetomo di Djogja pengurus baru sedang mengalami dilemma: kinerja Boedi Oetomo semakin menurun dari waktu ke waktu, sementara perkumpulan-perkumpulan kecil mulai tumbuh dimana-dimana. Pengurus baru, bupati Karanganjar Menyusun satu program utama dengan dua arah: perluasan pendidikan dengan penerbitan majalah guru dan peningkatan kualitas guru. Oleh karena keterbatasan anggaran, satu orang guru muda, Sjamsi Sastrawidagda, kelahiran Solo yang belum lama lulus dari sekolah guru (kweeekschool) di Djogja dikirim ke Belanda untuk melanjutkan studi keguruan. Di Belanda, Samsi Sastrawidagda menemui Soetan Casajangan, guru bahasa Melayu di sekolah perdagangan (Handelschool) di Haarlem, dengan membawa surat dari ketua Boedi Oetomo (lihat De expres, 04-06-1912). Intinya: Boedi Oetomo memohon kepada Soetan Casajangan untuk membimbing Sjamsi Sastrawidagda. Soetan Casajangan mengelola studifond bersama Abdoel Firman Siregar gelar Mangaradja Soangkoepon (untuk menggalang dana untuk membantu yang kesulitan keuangan bagi pelajar/mahasiswa di Belanda dan pelajar/mahasiswa yang melakukan persiapan di tanah air untuk studi ke Belanda. Dalam perkembangannnya Samsi Sastrawidagda cepat beradaptasi. Pada tahun 1913 Sjamsi Sastrawidagda lulus ujian dengan mendapat akta guru LO (lihat De avondpost, 02-06-1913). Samsi Sastrawidagda adalah orang kedua peribumi yang mendapat akta LO (Soetan Casajangan, lulusan sekolah guru di Padang Sidempoean memperoleh akta LO di Belanda pada tahun 1907). Setelah mengintegrasikan studiefond ke dalam Indisch Vereeniging, pada bulan Juli 1913 Soetan Casajangan kembali ke tanah air (ditempatkan sebagai direktur sekolah guru di Fort de Kock). Samsi Sastrawidagda diusulkan untuk sementara untuk guru bahasa Melayu di sekolah perdagangan mulai tahun ajaran 1913/1914 (lihat De Maasbode, 04-08-1913). Boleh jadi itu karena posisi yang ditinggalkan Soetana Casajangan. Samsi Sastrawidagda oleh Boedi Oetomo diizinkan lanjut studi di Belanda untuk mendapatkan akta guru MO (lihat Het vaderland, 23-09-1913). Samsi Sastrawidagda diangkat kembali untuk satu tahun guru bahasa Melayu (lihat De Maasbode, 13-09-1914). Diangkat kembali untuk satu lagi (lihat De Maasbode, 26-09-1915). Pada saat ini Soetan Casajangan sebagai direktur sekolah guru di Fort de Kock juga menginisiasi organisasi diantara masyarakat dan juga mendirikan surat kabar Poestaha di kampongnya di Padang Sidempoean. Pada tahun 1915 Tadoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia lulus ujian akta LO di Leiden. Sementara itu, Mas Samsi dan Dahlan Abdulah lulus ujian Bahasa Melayu dan etnografi di Den Haag, 27 Desember (lihat Deli courant, 27-12-1915). Dahlan Abdoellah adalah lulus sekolah guru di Fort de Kock. Pada tahun 1916 kembali Sjamsi diangkat guru bahasa Melayu di sekolah perdagangan (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 08-08-1916). Guru bahasa Melayu di sekolah perdagangan tentu saja akan menjadi tertarik dengan studi perdagangan. Samsi Sastrawidagda beralamat di Den Haag lulus ujian akta guru MO di Utrecht (lihat Utrechtsch provinciaal en stedelijk dagblad, 12-09-1916). Setahun berikutnya, tahun 1917 Soetan Goenoeng Moelia lulus ujian guru kepala hoofdacte (MO). Ini mendakan semakain banyak orang pribumi yang sudah bergelar sarjana pendidikan. Soetan Goenong Moelia kembali ke tanah air. Bagaimana dengan Sjamsi? Sjamsi kembali diangkat sebagai guru bahasa Melayu di sekolah perdagangan untuk tahun ajaran 1917/1918 (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 14-08-1917). Berdasarkan resolusi Menteri Koloni, 24 Agustus 1917, Divisi ke-5, No. Pada tanggal 10 Juli, Mas Samsi, alias Sastrawidagda, di Rotterdam, dan Mas Samoed, alias Sastrawardaja, di Den Haag, diserahkan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk dipekerjakan (sementara, sejauh yang bersangkutan) sebagai guru dalam pendidikan Belanda-Indonesia (lihat Nederlandsche staatscourant, 29-08-1917). Mas Samsi Sastrowidagdo telah ditunjuk sebagai asisten guru bahasa Jawa di Leiden (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 21-05-1918). Hal serupa ini juga pernah dilakukan oleh Soetan Casajangan dalam membantu Prof CA van Ophuijsen dalam pengajaran bahasa Melayu di Leiden. Dengan semangat belajar tinggi, lanjut studi ke perguruan tinggi perdagangan. Pada tanggal 28 Juni 1918 di Rotterdam lulus ujian di Nederland Handelshoogeschool dalam bidang ekonomi perdagangan antara lain Mas Samsi (lihat De Maasbode, 29-06-1918). Deli courant, 05-07-1918 memberitakan Mas Samsi Sastrowidjojo lulus ujian kandidat ilmu niaga, dan Raden Panowidjojo Darmobroto lulus sekolah niaga. De Preanger-bode, 05-10-1918 memberitakan Mas Samsi Sastrowidigdo dan Baginda Dahlan Abdoellah telah diangkat sebagai asisten profesor di Universitas Leiden untuk mengajar bahasa Jawa dan Melayu. Di Belanda kembali Baginda Dahlan Abdoellah dan Samsi Sastrawldagda diangkat untuk masa jabatan satu tahun sebagai asisten guru bahasa Malayu dan bahasa Jawa (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 02-10-1919). Rasa nasionalis Sjamsi mulai muncul (lihat Het vaderland, 03-10-1919). Di dalam majalah Hindia Poetra, majalah Indische ereeniging di Belanda, Samsi Sastrawidagda menulis: "Jika kita orang Indonesia lebih rendah daripada orang Eropa, kita akan kalah dari orang Barat di Eropa dalam persaingan, sementara orang Barat kemudian akan kalah dari orang Indonesia di Timur. Marilah kita orang Indonesia mengatakan ini sebagai penghiburan untuk masa depan, yang sangat ingin kita lihat gratis bagi kita. Namun, tidak ada yang diberikan kepada kita, tidak ada yang dicapai tanpa kemenangan. Dan kemenangan itu, yang dicapai semata-mata melalui kekerasan, tidak membawa kita lebih jauh, hanya membawa kita pada kehancuran; lihat apa yang terjadi di negara-negara Barat, di mana demokrasi masih belum cukup berkembang, masih terlalu belum matang untuk pemerintahan sendiri’.  Bagaimana dengan studi Sjamdi di Rotterdam? Pada tahun 1919 di dalam namanya sudah dicantumkan gelar Drs (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-10-1919). De Maasbode, 05-05-1921 di Indisch Genootschap menjadi Sjamsi menjadi anggota pengurus Sjamsi yang dipimpin oleh Prof C van Volienhoven dan juga sebagai anggota pengurus Soetan Casajangan dari pengurus bestuur van Moederland en Koloniën. Sebagaiman diketahui setelah bertugas di sekolah guru Ambon dan menjadi asisten inspektur pribumi di Batavia, Soetan Casajangan pada tahun 1920 mendapat cuti satu tahun ke Eropa/Belanda. Pada saat itulah Soetan Casajangan (senior) bertemu kembali dengan juniornya Sjamsi Sjastrawidagda. Soetan Casajangan diundang kembali oleh Vereeniging Moederland en Kolonien dari tanah air untuk berpidato di hadapan para anggota organisasi pada tanggal 28 Oktober 1920 dengan makalah 19 halaman yang berjudul: 'De associatie-gedachte in de Nederlandsche koloniale politiek (modernisasi dalam politik kolonial Belanda). Forum ini juga dihadiri oleh Sultan Yogyakarta. Soetan Casajangan tetap dengan percaya diri untuk membawakan makalahnya. Berikut beberapa petikan isi pidatonya: Geachte Dames en Heeren! (Dear Ladies and Gentlemen). ....saya berterimakasih kepada Mr. van Rossum, ketua organisasi...yang mengundang dan memberikan kesempatan kembali kepada saya...di hadapan forum ini....pada 28 Maret 1911 (sekitar sepuluh tahun lalu)...saya diberi kesempatan berpidato karena saya dianggap sebagai pelopor pendidikan bagi pribumi...ketika itu saya menekankan perlunya peningkatan pendidikan bagi bangsa saya...(terhadap pidato itu) untungnya orang-orang di negeri Belanda yang respek terhadap pendidikan akhirnya datang ke negeri saya..dan memenuhi kebutuhan pendidikan (yang sangat diperlukan bangsa) pribumi. Gubernur Jenderal dan Direktur Pendidikan telah bekerja keras untuk merealisasikannya…yang membuat ribuan desa dan ratusan sekolah telah membawa perbaikan…termasuk konversi sekolah rakyat menjadi sekolah yang mirip (setaraf) dengan sekolah-sekolah untuk orang Eropa…Sekarang saya ingin berbicara dengan cara yang saya lakukan pada tahun 1911...saya sekarang sebagai penafsir dari keinginan bangsaku..politik etis sudah usang..kami tidak ingin hanya sekadar sedekah (politik etik) dalam pendidikan...tetapi kesetaraan antara coklat dan putih...saya menyadari ini tidak semua menyetujuinya baik oleh bangsa Belanda, bahkan sebagian oleh bangsa saya sendiri...mereka terutama pengusaha paling takut dengan usul kebijakan baru ini...karena dapat merugikan kepentingannya..perlu diingat para intelektual kami tidak bisa tanpa dukungan intelektual bangsa Belanda..organisasi ini saya harap dapat menjembatani perlunya kebijakan baru pendidikan. saya sangat senang hati Vereeniging Moederland en Kolonien dapat mengupayakannya...karena anggota organisasi ini lebih baik tingkat pemahamannya jika dibandingkan dengan Dewan…’. Pada tahun 1921 terinformasikan Mas Samsi Sastrowidigdo dan Baginda Dahlan Abdoellah telah diangkat sebagai asisten profesor di Universitas Leiden untuk mengajar bahasa Jawa dan Melayu (lihat De nieuwe courant, 23-10-1921). Pada tahun 1922 dalam pemilihan dewan, sejumlah aktivis otonomi mendorong para kandidat untuk perubahan undang-undang untuk Zelfbestuur voor Indie, antara lain Dr. HT Colenbrander, profesor di Leiden, Raden Gondokoesoemo di Leiden, Dr GAJ Hazeu profesor di Leiden, Dr JH Kern, profesor di Groningen. Dr JC Koningsberger, mantan ketua Dewan Rakyat Hindia Belanda, di Utrecht, Mohamad Sjaaf, dokter, di Amsterdam, raden Oerip Kartodirdjo, di Scheveningen, Th B Pleyte, mantan Menteri Koloni, di Den Haag. Mas Samsi Sastrawidagda, guru bahasa Jawa, di Leiden, C Snouck Hurgronje, profesor di Leiden, Raden Soetomo, dokter, Ketua Indische Vereeniging, di Amsterdam, HE. Steinmetz, mantan Residen, di Den Haag, C van Vollenhoven, profesor di Leiden. Gondokoesoemo meraih gelar doctor (PhD) dalam bidang hukum di Leiden (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 22-06-1922). RM Koesoemah Atmadja lahir di Poerwakarta dengan judul desertasi ‘De Mohammedaansche vrome stichtingen in Indie’ (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 15-12-1922). Pada tahun 1922 di Leiden Mas Samsi Sastrowidigdo dan Baginda Dahlan Abdoellah sebagai asisten profesor di Universitas Leiden untuk mengajar bahasa Jawa dan Melayu digantikan Mohamad Zain dan Poerbartjaraka (lihat Nieuwe Rotterdamsche Courant, 18-09-1922). Pada tahun 1922 Soetan Casajangan diangkat sebagai direktur sekolah guru Normaal School di Meester Cornelis (kini Jatinegara di Salemba). Dahlan Abdoellah lulus ujian acte MO vóór de Maleische taal en letterkunde (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 28-06-1923). Dahlan Abdoellah kembali ke tanah air. Bagaimana dengan Sjamsi? Yang jelas pada tahun 1923 oleh para aktivis Indisch Vereeniging mengusir Noto Soeroto, mantan ketua Indisch Vereeniging (1913). Mengapa? Yang jelas sejak pengusiran Bapak Noto Soeroto, dan semangat kebebasan nasional menjadi lebih nyata di antara anggota Indisch Vereeniging. Pada tahun ini Raden Soegondo lahir di Rembang dengan desertasi berjudul Vernietiging van Dorpsbesluiten (lihat De Preanger-bode, 22-01-1923). Yang jelas di Nederland Handelhoogeschool di Rotterdam telah diterima Mohamad Hatta (lulus HBS di PHS Batavia tahun 1921 pada jurusan perdagangan) dan langsung berangka ke Belanda. Akhirnya Samsi Widagda lulus ujian sarjana pada tahun 1923 (lihat Arnhemsche courant, 21-03-1923). Sjamsi Widagda belum selesai, belum pulang ke tanah air, masih ingin melanjutkan ke tingkat doktoral untuk meraih gelar doktor. Penerus Sjamsi di bidang studi ekonomi sudah muncul (Mohamad Hatta). Pada tahun 1925 Samsi Widagda dipromosikan doctor (PhD) (lihat De Maasbode, 18-11-1925). Disebutkan Samsi Widagda lahir di Soeracarta dengan desertasi berjudul “De Ontwikleing voor der Handelspolitiek van Japan”. Sebelumnya, Soebroto dengan desertasi berjudul ‘Indonesische Sawah-verpanding’ (De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 25-09-1925). Pada rahun 1925 ini juga Alinoedin Siregar gelar Radja Enda Boemi lahir di Batang Toroe Padang Sidempoean dinyatakan lulus di Universiteit Leiden dan mendapat gelar doctor (PhD) dengan desertasi berjudul: ‘Het grondenrecht in de Bataklanden: Tapanoeli, Simeloengoen en het Karoland’. Apakah Dr Sjamsi segera kembali ke tanah air? Yang jelas Poerbatjaraka meraih gelar doktor (PhD) pada bidang sastra di Universiteit Leiden dengan desertasi berjudul 'Agastya in den Archipel' (lihat Rotterdamsch nieuwsblad, 11-06-1926). Pada bulan Oktober 1926, Dr Sjamsi Sastrawidagda terinformasikan sudah tiba di kampong halaman (lihat De Indische courant, 04-10-1926). Disebutkan di Solo, hari ini, setelah bertahun-tahun menghilang, Dr. Samsi Sastrawidagda tiba di tempat kelahirannya. Pada tahun 1912, setelah menyelesaikan studinya di sekolah guru di Djocja, beliau pergi ke Belanda untuk melanjutkan studi keguruan. Itu berarti Sjamsi Sastrawidagda berada di Belanda selama 14 tahun. Dr. Samsi Sastrawidagda kemudian terinformasikan di Bandoeng (lihat De koerier, 31-05-1927). Disebutkan lembaga pendidikan nasional, Taman Siswo, akan dibuka Sekolah Mulo dan AMS di Bandoeng pada tanggal 6 Juli dengan kurikulum sesuai pemerintah seperti AMS di Djocja. Sosrokartono akan memimpin dan berikut ini juga akan menjadi pengajar: Sjaboedin Latif, Ir. Soekarno, K Karnadidjaja, Ir Anwari, Soenaria, Dr Samsi Sastrawidagda, dan RM Soorjoadipoetro. Sekolah ini akan dikelola setiap hari oleh Dr Sosrokartono, Dr Samsi Sastrawidagda dan RM Soerjoadipoetro. Masih di Bandoeng Dr Sjamsi menjadi anggota panitia pembentukan organisasi kebangsaan (lihat De locomotief, 13-06-1927). Disebutkan sebuah perkumpulan nasional. Kami mengetahui dari Bandung bahwa sebuah panitia baru-baru ini dibentuk di sana, dipimpin oleh Ir Soekarno dan Iskaq, untuk mendirikan Partai Rakyat Nasional. Panitia tersebut juga beranggotakan Bapak Dr. Tjipto, Bapak Boediarto, Bapak Soenarjo, dan Dr Samsi. Panitia tersebut akan menyelenggarakan kongres pendirian sesegera mungkin, yang akan membahas topik-topik ekonomi, politik, dan budaya. Menurut informan kami, Dr Tjipto akan berbicara pada hari pendirian tentang nilai budaya bagi pembangunan Indonesia. Namun, belum diketahui kapan pendirian tersebut akan dilaksanakan. Sebagaimana diketahui Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) didirikan pada tanggal 4 Juli 1927 di Bandoeng. PNI juga sudah didirikan di Jogjakarta (lihat De locomotief, 19-07-1927). Raden Soepomo, lahir di Solo meraih gelar doktor di bidang hukum di Universiteit Leiden tahun 1927 dengan judul desertasi ‘De reorganisatie van 't agrarisch stelsel in het Gewest Soerakarta’ (lihat Het Vaderland: staat- en letterkundig nieuwsblad, 09-07-1927). Pada bulan Agustus 1927 di Bandoeng diadakan pertemuan massa (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 15-08-1927). Disebutkan sebuah pertemuan publik diadakan di Bandung oleh berbagai organisasi "nasionalis" mengenai penggeledahan dan penyitaan rumah-rumah mahasiswa pribumi di Belanda. Ketuanya adalah Ir Sukarno. Ada tiga pembicara, yang juga membahas Liga Melawan Penindasan Kolonial. Selain itu, sebuah komite pendukung dibentuk untuk para mahasiswa, yang dipimpin oleh Dr Samsi di Batavia. Pada bulan September di Bandoeng diadakan pertemuan umum Perserikatan Nasional Indonesia (lihat De locomotief, 26-09-1927). Disebutkan para nasionalis di Bandung. Aneta melaporkan hari ini dari Bandung: Kemarin pagi, sebuah pertemuan umum Perserikatan Nasional Indonesia yang dihadiri banyak orang telah diselenggarakan. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Dr Samsi, yang mengumumkan bahwa organisasi tersebut berkembang pesat dan memiliki cabang hampir di mana-mana. Bapak Iskaq kemudian membahas sejarah gerakan nasionalis Indonesia dan platform partai tersebut. Menurut pembicara, gerakan tersebut mengandalkan kekuatannya sendiri, karena PNI, di bawah struktur ketatanegaraan saat ini, tidak ingin berpartisipasi dalam pemerintahan nasional. Perspektifnya adalah: negara di dalam negara. Pembicara menggunakan Jepang sebagai contoh untuk menunjukkan apa yang dapat dicapai dalam waktu singkat. Ir Sukarno mempertimbangkan tujuan PNI. Pembicara ini mengutuk semua sistem pemerintahan oleh "para penguasa" dan, seperti Bapak Iskaq, tidak menyetujui pendidikan. "Kita tidak punya harapan apa pun dari mereka yang datang ke sini untuk mencari uang, mengisi perut, lalu pergi," kata pembicara. Ia kemudian mengajukan permohonan yang berapi-api agar tidak bekerja sama. Tepuk tangan meriah; tak ada debat’.

Iskaq Tjokrohadisoerjo dan Sartono adalah sama-sama pengacara. Nama Iskak mulai menjadi perhatian Pemerintah Hindia Belanda pada bulan Juni 1926. Ini sehubungan dengan keberadaan studie-club di Bandoeng. Yang mana Iskaq Tjokrohadisoerjo yang dikenal sebagai pengacara turut menghadiri Kongres Boedi Oetomo yang mana Iskaq berbicara dengan mengkritik pemerintah.


Nama Iskaq Tjokrohadisoerjo pertama kali terinformasikan pada tahun 1912 (lihat De expres, 29-05-1912). Disebutkan di Opleidingsschool voor Inlandsche Rechtskundigen di Batavia diadakan ujian transisi. Di tingkat persiapan (voorbereidende afdeeling) dari kelas satuke kelas dua antara lain RP Iskak, yang naik dari kelas dua ke kelas satu di tingkat rechtskundige afdeeiing antara lain: M Besar, R Aroeman, R Hadi, Soetan Zaïnoelarifin dan R Sasra Hoedaja. Naik dari kelas satu ke kelas dua antara lain R Soebroto, R Singgih en R Soewono. Dari kelas dua ke kelas tiga antara lain R Soejoedi. Het eindexamen voor de leerlingen van de derde klasse der rechtskundige afdeeling zal gehouden worden Donderdag, Vrijdag en Zaterdag. Pada tahun 1915 yang berhasil ujian naik dari kelas satu ke kelas dua antara lain Iskak (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 31-05-1915). Dalam perkembangannya sekolah yang sama-sama didirikan dengan sekolah kedokteran hewan Veeartsen di Buitenzorg, diubah Namanya menjadi Rechtschool (di Weltevreden). Pada tahun 1918 Rechtschool diadakan ujian (lihat De Preanger-bode, 22-05-1918). Disebutkan di Rechtschool di Weltevreden lulus ujian di tingkat persiapan yang naik dari kelas dua ke kelas tiga antara lain Soedibjo, Sarip, Emor, Nazief, Sartono dan Moethalib. Pada tahun 1919, Sartono naik dari kelas tiga persiapan ke kelas satu tingkat akademik (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 19-05-1919). Pada tahun 1922 RM Sartono lulus ujian akhir (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-05-1922). Yang juga lulus R Soedibio Dwidjosewojo, Abdoel Moethalib Moro, R Emor Djajadinata, R Sharip dan Mohamad Nazief. RM Sartono ditempatkan di Salatiga (lihat De Preanger-bode, 09-06-1922). RM Sartono tidak menempati di Salatiga, tetapi berangkat ke Belanda (lihat De Preanger-bode, 28-08-1922). Disebutkan kapal ss “Kawi” berangkat dari Priok dengan tujuan akhir Roetterdam pada tangga 30 Agustus. Di dalam manifes kapal antara lain RM Sartono, Ali Nordin, R Djenal Asikin Widjaja Koesoema bersama istri dengan satu anak, Raden Hadi bersama istri dan bayi, Liem Kie In, Mohamad Joesoef Adimodjojo, Raden Notosoebagio bersama istri dan bayi, Raden Soebroto, Raden Soedirman, Soesajito Tirtoprodjo, Soetan Mohamad Zain bersama istri dan empat anak, Raden Koesoemo Soemantri dan Tjhin Tjoeng Djie. Singkatnya, sementara itu, setelah lulus ujian akhir di Opleidingsschool voor Inlandsche Rechtskundigen di Batavia, Iskaq Tjokrohadisoerjo ditempatkan di kantor pengadilan pribumi (Landraad). Lalu bagaimana dengan Iskak? Setelah beberapa tahun kemudian, Iskaq Tjokrohadisoerjo melanjutkan studi ke Belanda. Pada tahun 1925 RP Iskak Tjokrohadisoerjo lulus ujian sarjana hukum dengan gelar Mr di Leiden (lihat De locomotief, 20-07-1925). Sebelumnya terinformasikan RM Sartono lulus ujian kandidat hukum di Leiden (lihat De Tijd: godsdienstig-staatkundig dagblad, 31-01-1925). RP Iskak Tjokrohadisoerjo segera kembali ke tanah air (lihat De Indische courant, 16-09-1925). Disebutkan dilaporkan dari Pekalongan kepada Loc.: Di atas kapal penumpang ss “Johan de Witt” dari perusahaan Belanda dan kapal “Trier dari Nord-Deutscher Lloyd” dari perusahaan Jerman, yang masing-masing berangkat dari Genoa pada tanggal 9 dan 8 September, terdapat pengacara asal Jawa, yaitu RP Notosoebagio, R Hadi, M Soesanto Tirtoprodjo, dan RP Iskak, yang kini sedang dipulangkan setelah menyelesaikan studi mereka di Belanda dan luar negeri. Tiga pengacara pertama termasuk di antara mereka yang dikirim oleh pemerintah dan oleh karena itu akan kembali bertugas di pemerintahan. Ketiga ekspatriat tersebut lulus dengan pujian di Belanda. RP Iskak kuliah dengan biaya sendiri dan kemungkinan besar tidak akan menjadi pegawai negeri, melainkan akan berpraktik hukum sendiri. Tiga lulusan hukum di Jawa lainnya saat ini sedang belajar di luar negeri dan akan segera kembali. Ketiganya adalah R Soebroto, seorang ekspatriat yang sedang mengerjakan disertasi, Sartono, dan Boediarto. Dua yang terakhir ini kuliah sepenuhnya dengan biaya sendiri dan, sekembalinya mereka, akan memperkaya Hindia Belanda dengan dua pengacara’. Dalam hal ini Iskaq Tjokrohadisoerjo yang sudah lulus sarjana hukum di Belanda tahun 1925 segera pulang ke tanah air, sementara Sartono masih sedang menyelesaikan studinya di Belanda. Di tanah air, dimana Iskaq Tjokrohadisoerjo tinggal dan bekerja dimana tidak terinformasikan. Pada awal tahun 1926 RM Sartono lulus ujian sarjana hukum dengan gelar Mr (lihat Haagsche courant, 23-01-1926). RM Sartono segera kembali ke tanah air (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-02-1926). Disebutkan kapal Norddeutschen Lloyd, ex Hamburg tanggal 9 Januari dan tiba di Singapore tanggal 19 Februari dan akan merapat di Priok tanggal 21 Februari (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 11-02-1926). Dalam manifes kapal hampir semua orang Jerman tetapi terdapat nama Raden Mas Sartono dan Raden Wirjono Koesoemo.
 

Pada bulan Maret 1926, Iskaq Tjokrohadisoerjo terinformasikan sebagai salah satu pembicara dalam rapat tahunan Boedi Oetomo yang diselenggarakan di Soerakarta. Dalam rapat ini banyak isu yang akan di bahas. Iskaq Tjokrohadisoerjo akan membahas tugas para pemuda bersama Soedjadi, Dr Goenawan Mangosnkoesoemo dan Dr Satiman Wirjosandjojo. Dr Goenawan Mangoenkoesoemo pernah menjadi ketua Indische Vereeniging di Belanda (1918). Dr Satiman Wirjosandjojo lulusan Stovia adalah ketua Jong Java pertama (1915).


De locomotief, 23-03-1926: ‘Rapat Tahunan Boedi-Oetomo. Agenda rapat tahunan "Boedi-Oetomo", yang dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir pada tanggal 5 April 1926, yang akan diselenggarakan di perkumpulan "Habiprojo" di Soerakarta, adalah sebagai berikut: (1). Jumat malam, tanggal 2 April, mulai pukul 21.00. 1. Sambutan ketua panitia penyambutan dan ketua pengurus utama. 2. Desa Jawa. Nasihat awal yang dirangkum oleh RMAA Koesoemo Oetojo: 3. Tugas para pemuda oleh Soedjadi, Dr Goenawan Mangosnkoesoemo, Dr. Satiman Wirjosandjojo, dan Iskak Tjokrohadisoerjo, (2). Sabtu pagi, 3 April, diawali dengan Tanya Jawab 1. Reformasi dan pembangunan desa dan masyarakat, oleh R Gondokoesomo dan RM Oetarjo. 2. Pembahasan usulan dari berbagai subdivisi. (3). Sabtu malam, 4 April, mulai pukul 09.00. 1. "Reformasi administrasi". Pendahuluan oleh R Slamet. 2. Rapat tertutup. (4). Minggu pagi, 4 April, diawali dengan Tanya Jawab. 1. Peluang ekonomi bagi masyarakat Jawa, oleh RMAA Koesoemo Oetoyo, mantan bupati Jawa, dan RM Oetarjo. 2. Melanjutkan pembahasan usulan. 3. Rapat tertutup. (5). Minggu malam, 4 April, mulai pukul 20.00. 1. Pertemuan perwakilan sub-departemen dengan ketua pengurus, mulai pukul 20.00. 2. Pertunjukan wayang kulit pukul 21.00’.

Pada awal tahun 1926 terinformasikan di Belanda bahwa nama Indische Vereeniging telah dibah namanya oleh pengurus baru dengan nama Perhimpoenan Indonesia. Yang teripilih menjadi ketua baru Perhimpoenan Indonesia adalaj Mohamad Hatta dengan sekretaris Abdoel Madjid dan bendahara Aboetari.


De Indische courant, 03-04-1926: ‘Lulusan Indonesia. Berita diterima dari Den Haag bahwa pada rapat Perhimpunan Indonesia tanggal 17 Januari, pengurus lama perhimpunan mengundurkan diri dan terpilihlah pengurus baru, yang terdiri dari Mohamad Hatta, ketua; Abdoel Madjid, sekretaris; Aboetari, bendahara; Darsono dan Soenario, komisaris. Baru-baru ini, M Teko, RG Iskandar, dan H Soebiarto lulus ujian kandidat di Sekolah Tinggi Pertanian Kolonial di Wageningen. Di Belanda dibentuk komite yang misinya adalah memberikan dukungan kepada warga negara Indonesia yang baru tiba di Belanda, terdiri dari Nazir Pamoentjak, M Aboetari, Achmad Mochtar Lubis, dan M Moerman’.

Sementara itu di tanah air, terinformasikan lulus dengan gelar insinyur di sekolah tinggi teknik (THS) Bandoeng, yakni Soekarno, M Anwari, JAH Ondang dan M Soetedjo. Mereka berempat adalah pribumi pertama yang lulus di THS Bandoeng.


De Indische courant, 07-05-1926: ‘Di THS Bandoeng yang lulus dan meraih gelar insinyur diantaranya Soekarno, M Anwari, JAH Ondang dan M Soetedjo. Mereka yang lulus tahun ini adalah alumni pribumi pertama Technische Hoogeschool te Bandoeng. Pada bulan-bulan ini juga dilaporkan mahasiswa yang lulus di sekolah tinggi lainnya. Di sekolah kedokteran Stovia yang lulus ujian akhir diantaranya Diapari Siregar (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 14-05-1926). Di Buitenzorg di Veeartsenschool yang berhasil menerima gelar dokter hewan diantaranya Anwar Nasoetion (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 26-05-1926). Di Utrecht seorang wanita muda bernama Ida Loemongga berhasil meraih gelar dokter (1926). Ida Loemongga (Nasution) adalah perempuan Indonesia pertama yang kuliah di Belanda. 

Ir Soetedjo diangkat pemerintah dan ditempatkan di pemerintah daerah di Pekalongan. Bagaimana dengan Soekarno dan Anwari?  Ir Anwari dan Ir Soekarno lebih memilih bekerja sebagai swasta yang keduanya mendirikan firma arsitek di Bandoeng.


Sejauh ini pribumi yang telah meraih gelar insinyur di Delft Belanda adalah KJ Leatemia dari Saparoea, dan R Sarengat dari Karanganjar lulus insinyur sipil di Delft tahun 1920 (lihat De standard, 09-07-1920). Pada tahun 1922 di Universiteit te Delf lulus ujian dan meraih sarjana di bidang teknik kimia yakni Ir Soerachman. Pada tahun 1925 RM Sarsito lulus ujian akhir di Delft dan mendapat gelar insinyur sipil (lihat De standard, 27-03-1925). 

Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo yang turut mengkritisi pemerintah dalam rapat tahunan Boedi Oetomo di Soerakarta pada awal bulan April 1926 menjadi salah satu nama yang menjadi target Pemerintah Hindia Belanda. Selain Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo pengacara dan advokat di Bandoeng yang juga menjadi ketua Klub Studi Indonesia di Bandoeng, nama-nama lainnya yang disebut adalah Dr Soetomo dokter di CBZ di Soerabaja (yang juga menjadi ketua klub studi Indonesia di Soerabaja).

 

De tribune: soc. dem. Weekblad, 02-06-1926: ‘Penganiayaan terhadap kaum intelektual. Mereka yang berkuasa di Indonesia kini, untuk pertama kalinya, mengadili kaum intelektual "mapan". Banyak pelanggaran bicara tercatat pada kongres Boedi Oetomo terakhir. Ind. Crt. memberikan daftar berikut: Slamet, ketua dewan utama, instruktur teknis di pegadaian, dan anggota dewan kota Semarang, karena mengkritik reformasi pemerintah. Bapak Soejoeti, anggota dewan utama, pengacara dan advokat di Djokja, atas kesimpulannya yang tajam bahwa pemuda adat harus menghindari layanan pemerintah; Bapak Iskak, pengacara dan advokat di Bandung, ketua Klub Studi Indonesia di sana, karena alasan yang sama dengan pembicara sebelumnya; Dr Satiman, dokter di Bangil, atas kritiknya yang sangat tajam terhadap pemerintah dan kebijakannya; Dr Soetomo, dokter di CBZ di Soerabaja, atas pemikirannya tentang kerja sama’. 

Lalu bagaimana dengan Ir Soekarno? Satu yang jelas, pemerintah mulai menaruh ketidak percayaan terhadap studie-club yang dibentuk para intelektual pribumi (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 18-01-1927). Disebutkan Dr Soetomo ini harus dipandang dengan ketidakpercayaan terhadap Klub Studi. Lebih lanjut disebut bahwa nama-nama Singgih (Mr), Semaoen, Tan Malaka, Moeso, Alimin, Soebakat, dan Dr. Soetomo. Iskak menjadi ancaman. Oleh karena itu, kekuatan yang diperlukan harus diambil terhadap para "Striber" di negeri ini, demi kepentingan rekan-rekan mereka sendiri, dan oleh karena itu gerakan Klub Studi ini harus diawasi dengan ketat. Apakah Ir Soekarno masih hati-hati alias wait en see?


De nieuwe vorstenlanden, 17-06-1926: ‘Pengacara di Bawah Pengawasan. Redaktur AID. di Batavia melaporkan: Ada tiga pengacara di Bandung yang tampaknya mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Kasus ini dimuat di surat kabar harian "Sin Po", yang darinya kami mengutip informasi berikut: Tuan R Wirjonokoesoemo telah mengajukan permohonan untuk bergabung dengan pemerintah, tetapi permohonan tersebut tidak dikabulkan karena pria yang dimaksud sebelumnya adalah komisaris Vereeniging Indonesia Merdika [yang terkenal]. Ia telah diangkat sebagai pengacara dan advokat di Mahkamah Agung dan bekerja sama dengan Tuan Iskaq Tjokrohidisoerjo, yang telah menetap di Bandung. Lebih lanjut, seorang pengacara pihak ketiga, Tuan RM Sartono, belum mendapatkan keputusan atas permohonan pengangkatannya sebagai pengacara dan advokat. Sartono, yang telah bekerja sama dengan Tuan Iskaq, sebelumnya adalah sekretaris Perhimpunan Indonesia. Sungguh aneh seorang nasionalis menghadapi hambatan di negerinya sendiri! menurut harian berbahasa Mandarin tersebut. Dalam artikel lain, surat kabar yang sama menulis bahwa Tuan Iskaq memprotes surat-surat pro-Jerman. Beberapa surat dari "saudara-saudara" di Belanda ditahan selama sebulan, dan yang lainnya juga mengalami nasib yang sama. Jaksa Agung merasa senang, tetapi diharapkan Tuan Iskaq tidak akan menoleransi metode ilegal ini, kata surat kabar tersebut. Sejauh ini, publikasi yang ada menunjukkan bahwa Bandung memiliki tiga ahli hukum yang sebelumnya membantu aksi di Belanda, yang berpuncak pada penerbitan Buku Kenangan Indonesia yang terkenal. Sebagaimana diketahui, saat ini terdapat peraturan ketat mengenai impor literatur asing. Oleh karena itu, kemungkinan besar Tuan Iskaq menerima dokumen-dokumen yang sedemikian rupa sehingga orang mungkin mencurigai bahwa mereka berurusan dengan literatur berbahaya. Lebih lanjut, mungkin bermanfaat bagi pemerintah untuk mengetahui apa yang sedang dipikirkan oleh para pemuda pemarah ini. Lebih lanjut, fakta bahwa ia ditolak untuk mendapatkan posisi di dinas nasional untuk salah satu bidang seni yang disebutkan di atas kemungkinan besar merupakan kesalahan orang tersebut sendiri. Lebih lanjut, menurut pernyataannya sendiri, pengacara ini meminta posisi tersebut semata-mata demi keluarganya. Oleh karena itu, beliau tidak akan terlalu kecewa ketika permintaannya ditolak. Kami juga mengetahui bahwa Bapak Iskaq memang telah mengajukan protes langsung kepada Jaksa Agung dan telah menerima tanggapan atas protesnya. Sayangnya, kami tidak dapat mengakses korespondensi ini’. De Indische courant, 05-07-1926: ‘Mahasiswa Indonesia. Kami memahami bahwa sebuah surat edaran saat ini beredar di beberapa tempat di Jawa, berasal dari Bandung, yang diterbitkan oleh Tuan B dan Tuan S dan ditandatangani "dibacakan" oleh Tuan R.M. Sartono di sana, yang meminta bantuan keuangan bagi mahasiswa Indonesia yang belajar di Belanda dan tidak memiliki sarana. Surat edaran tersebut berbunyi: Laporan telah sampai kepada kami dari berbagai sumber yang menyoroti keadaan yang dihadapi rekan-rekan mahasiswa kami di Eropa. Jauh dari tanah kelahiran mereka, hampir tanpa dukungan materi, mereka harus berusaha keras untuk memperoleh pengetahuan yang sangat dibutuhkan bagi negara-negara ini. Karena kami menyadari bahwa keberhasilan upaya mereka juga secara tidak langsung sangat penting bagi kami, kami merasa perlu untuk memohon kemurahan hati Anda. Setiap sumbangan, sekecil apa pun, akan kami terima dengan senang hati. Tuan RM Sartono di Bandung, Regentsweg No. 22, siap memberikan informasi apa pun dan juga akan memastikan penyaluran dana selanjutnya. Kami yakin bahwa permohonan kami untuk kemanusiaan Anda, dll., tidak sia-sia. Hormat kami, Sartono, B (dan) S’. Catatan: Siapa berisinial B (?) dan S (Soekarno?). Dalam perkembangannya diberitakan RM Sartono diangkat menjadi pengacara dan advocat (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 19-07-1926). Disebutkan diangkat sebagai pengacara dan jaksa (advocaat en procureur) di bawah Mahkamah Agung (het Hooggerechtshof) Raden Mas Sartono di Bandoeng.
 

Seperti disebut di atas, di Bandoeng pada tahun 1926 Ir Soekarno dkk membentuk klub studi yang diberi nama Algemene Studieclub. Konon, klub studi ini dibentuk karena klub studi Indonesia di Soerabaja (didirikan tahun 1924). Dalam hal ini, meski belum lulus, Putuhena menjadi ketua pertama Algemene Stidieclub (yang mana sebagai sekretaris adalah Ir Soekarno). Dalam konteks inilah kemudian diduga Mr Iskak seorang pengacara di Bandoeng menjadi bagian dari studi-club Bandoeng.


De locomotief, 25-08-1926: ‘Mr Singgih di Bandung. Sebagaimana telah dilaporkan melalui telegram, Bapak Singgih berbicara di Bandung Minggu lalu. Beberapa penutur asli telah mempersiapkan kuliah ini. Pertemuan umum tersebut didahului oleh pertemuan tertutup, yang hanya memperbolehkan perwakilan dari asosiasi terkait dan tamu undangan. Mengenai hal-hal yang dibahas di sana, kami mengetahui hal-hal berikut: Pertemuan pendahuluan dijadwalkan pada Sabtu sore pukul 20.00. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Sabirin, tetapi tepat setelah dibuka, pertemuan tersebut diinterupsi oleh seorang polisi yang datang dan mendapati beberapa pemimpin komunis hadir, yaitu Soepradja, Sanoesi, Koesni, dan Goenawan dari PKI. Polisi tersebut mengumumkan bahwa mereka telah diinstruksikan untuk tidak memberikan izin kepada siapa pun yang berhaluan komunis untuk menghadiri pertemuan tertutup ini. Setelah berdiskusi sejenak, diputuskan untuk menunda pertemuan hingga pukul 19.00, yang kemudian diputuskan. Dalam pertemuan tertutup yang dibuka pukul 19.00, menjadi jelas bahwa para komunis tersebut, meskipun bukan sebagai perwakilan PKI, diizinkan untuk menghadiri pertemuan tertutup tersebut secara langsung. Dalam rapat tersebut, diputuskan bahwa rapat umum pada Minggu pagi akan dipimpin oleh Soepradja, seorang komunis, meskipun bukan dalam kapasitasnya sebagai pemimpin PKI. Jika polisi berkeberatan, salah satu dari Bapak Sartono atau Bapak Ischak akan mengambil alih presidium. Sebagaimana diketahui, polisi tentu saja merasa perlu untuk berkeberatan, setelah itu Mr Sartono mengambil alih pimpinan rapat umum. Setelah pidato Bapak Singgih pada rapat Minggu pagi, empat orang komunis berdebat mengenai penyusunan program yang akan menunjukkan jalan menuju persatuan Indonesia. Para pendebat komunis ini adalah Moh. Sanoesi, Somoprawiro, Soepradja, dan Koesno, serta jurnalis Soeharjo. Terakhir, disebutkan juga bahwa rapat menyetujui mosi yang menyatakan penyesalan rapat atas penolakan Soepradja, seorang komunis, untuk menjadi ketua oleh polisi. Mr Singgih kemudian berbicara tanpa perdebatan mengenai "Kerja Sama dan Non-Kerja Sama."

Nama Indonesia sudah sejak 1917 meluas diantara orang pribumi (baca: orang Indonesia) setelah nama Kongres Hindia di Belanda diadopsi nama Indonesia menjadi Kongres Indonesia. Pada tahun 1918 Dr Ratoelangi dkk di Bandoeng mendirikan asuransi pribumi dengan menggunakan nama Indonesia. Pada tahun 1922 Dr Soetomo dkk mengubah nama Indische dalam nama Indische Vereeniging dengan nama Indonesia (Indonesia Vereeniging). Pada tahun 1922 di Volksraad diusulkan nama Indonesia, namun kalah dalam voting. Pada tahun 1924 Dr Soetomo setelah selsai studi kembali ke tanah air dan mendirikan klub studi di Soerabaja dengan nama Indonesia Clubstudie. Pada akhir tahun 1925 Mohamad Hatta dkk di Belanda memperbarui lagi nama Indische Vereeniging dengan nama yang penuhnya Indonesia dengan nama Perhimpoenan Indonesia. Kini, nama Indonesia mulai dikibarkan di Bandoeng.


Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 03-09-1926: ‘Persatuan Hindia. Menurut Ind. Tel. sebuah komite dengan nama Persatoean Indonesia dibentuk di Bandung, yang terdiri dari anggota dewan dari dua belas perkumpulan pribumi dan perorangan. Sebuah dewan kemudian dipilih, yang terdiri dari Mr Sartono, ketua; Soepardjo, wakil ketua; Sjahboedin Latif, sekretaris; Ir. Soekarno, juga sekretaris; dan Oesman, bendahara. Komite eksekutif (dewan harian) terdiri dari Mr Sartono dan Ir Sukarno’. De nieuwe vorstenlanden, 13-12-1926: ‘Kerusuhan Komunis. (AID) Di bawah pengawasan polisi. Surat kabar berbahasa Mandarin melaporkan bahwa pengurus Klub Studi Umum di Bandung, yang terdiri dari Ir Darmawan (Mangoenkoesoemo), Soekarno, dan Anwari, serta tiga orang lain yang kurang dikenal, berada di bawah pengawasan polisi sehubungan dengan kerusuhan komunis. Lebih lanjut dilaporkan bahwa pengacara pribumi Bandung, Mr Sartono dan Soenarjo, juga ditempatkan di bawah pengawasan polisi untuk mengantisipasi gangguan keamanan dan ketertiban. (Warga Midden-Priangan dengan tegas membantah hal ini. Red. AID)’. De locomotief, 24-01-1927: ‘Komunis untuk Boven-Digoel. Aneta melaporkan dari Bandung hari ini bahwa pihak berwenang kemarin memberikan kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal kepada para komunis yang ditahan. Para intelektual pribumi non-komunis hadir. Bapak Tjipto menawarkan diri untuk bertindak sebagai asisten petugas medis, dan Bapak Sartono sebagai penasihat hukum di Boven-Digoel. Salah satu koresponden kami di Bandung melaporkan hari ini bahwa pagi ini, sekitar 25 komunis dan keluarga mereka (sepuluh orang yang ditahan) diangkut dari Bandung ke Cimahi dengan truk militer di bawah pengawalan militer. Di Cimahi, kereta api menuju Batavia telah siap. Untuk sementara, para komunis akan menuju penjara Glodok. Mereka akan menunggu di sana hingga tersedia kapal menuju Boven-Digoel. Perjalanan kemudian akan dilanjutkan sementara ke Ambon’.

Parada Harahap seorang nasionalis yang terbilang anti terhadap komunis (lihat antara lain De nieuwe vorstenlanden, 08-01-1927). Seperti disebut di atas, Parada Harahap memiliki andil dalam penyelenggaraan kongres pemuda nasional tahun 1926 di Weltevreden. Dalam kasus Dr Tjipto dan Mr Sartono, Parada Harahap, pemimpin surat kabar Bintang Timoer di Batavia mencoba membersihkan nama Dr Tjipto dan Mr Sartono dari pembicaraan umum atas tawaran mereka terhadap bantuan kepada para aktiviis komunis yang dikirim ke Boven Digoel.


Bataviaasch nieuwsblad, 31-01-1927: ‘Sebuah "Demonstrasi Politik". Tinjauan Umum Pers Pribumi dan Cina-Tionghoa" resmi memuat artikel dari surat kabar Bintang Timoer, yang menafsirkan tawaran Tn. Tjipto (dikenal sebagai "nasionalis Indonesia yang hebat") dan Tn. Sartono untuk pergi ke Boven Digoel sebagai sebuah demonstrasi politik. Bagi mereka yang belum berpengalaman dalam politik, ditambahkan bahwa mereka bermaksud untuk menunjukkan bahwa seseorang tidak boleh menentang pergi ke Nieuw Guenia. Hal ini dinyatakan kembali dengan kata-kata yang berbeda, tetapi dalam upayanya untuk menggambarkan "demonstrasi politik" sebagai sesuatu yang signifikan, surat kabar Bintang Timoer menambahkan: "Tn. Tjipto dan Tn. Sartono tahu sebelumnya bahwa tawaran mereka tidak akan dipenuhi, namun mereka tetap memintanya." Tentu saja, ada juga orang-orang yang melihat demonstrasi politik dari sudut pandang ini dan menganggapnya sangat murahan dan sangat minim unsur politik!’.

Parada Harahap mantan ketua Jong Sumatranen Bond Tapanoeli (1919-1922) berinisiatif untuk menggalang kembali semangat berkumpul orang Sumatra. Boleh jadi karena sudah banyak organisasi kebangsaan Indonesia yang tetap aktif dan terus berkembang seperti Boedi Oetomo, Bataksch Bond dan kini organisasi kebangsaan yang baru Perserikatan Nasional Indonesia (Partai Nasional Indonesia) di Bandoeng. Parada Harahap tampaknya memiliki visi sendiri.


De Indische courant, 10-02-1927: ‘Serikat Sumatra. Kami menerima surat dari Weltevreden pada tanggal 7 bulan ini: Minggu lalu, sebuah pertemuan berbagai warga Sumatra diadakan di Batavia di rumah Bapak Soetan Mohamad Zain, mantan anggota Dewan Rakyat di Weltevreden. Hampir seluruh wilayah Sumatra diwakili oleh warganya masing-masing. Pada pertemuan tersebut, kami bertemu, antara lain, tokoh-tokoh Sumatra ternama dari Minangkabau, Tapanuli, Palembang, Lampung, dan Benkoelen. Perwakilan dari A'jeh dan Pantai Timur Sumatra tidak dapat hadir karena keadaan yang tidak terduga. Pada kesempatan ini, Sumatranen Bond dihidupkan kembali. Berikut ini adalah anggota pengurus utama: Ketua: Soetan Mohhamad Zain (Minangkabau). Sekretaris: Parada Harahap (Tapanoeli), Bendahara: Hamid (Tapanoeli). Atjeh dan Pesisir Timur Sumatra akan diminta untuk bergabung dengan pengurus. Jong Sumatranen Bond dan Bataksch Bond melalui para ketuanya, menyatakan dukungan mereka, menyambut baik pembentukan kembali Sumatranen Bond dengan antusiasme yang tak terselubung. Rapat tersebut juga mengungkapkan harapan agar cabang-cabang Serikat yang ada di Padang, Bandung, dan Surabaya pada akhirnya akan berupaya semaksimal mungkin untuk mendukung aksi ini’.

Dalam perkembangan di Bandoeng Algemene Studieclub membentuk organ (media) sendiri yang dibentuk di Bandoeng diberi nama Indonesia Moeda. Tim editor majalah Indonesia Moeda adalah Putuhena (kandidat insinyur) sebagai presiden sementara, Ir Soekarno, Ir Anwari, Sjamsoeddin dan K Karnadidjaja sebagai anggota. Dalam edisi pertama Indonesia Moeda terdapat artikel dari Dr Tjipto Mangoenkosoemo (lihat Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 01-02-1927). Dalam perkembangannya, Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo terinformasikan sudah berada di Batavia.


Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 10-02-1927: ‘Seorang anggota terhormat dari klub studie di Bandoeng kini telah menetap di Batavia, di lingkungan yang kurang dikenal, sebagai pengacara dan advokat. Nama pria itu adalah Tuan Iskak. Bukankah dia tanpa pamrih menawarkan diri untuk membela para terdakwa dalam kerusuhan itu? Kami memberi mereka hak penuh untuk mengadvokasi arah politik, tetapi kami juga menuntut hak untuk mengisyaratkan arah tersebut. Namun, kami ingin menyarankan kehati-hatian di sini, agar para intelektual lain dalam komunitas adat tidak disebutkan dalam kalimat yang sama dengan orang-orang yang disebutkan di atas’.

Dalam pertemuan Algemene Studieclub.tanggal 20 Februari dilakukan sesuai AD/ART untuk pemilihan pengurus baru. Pemilihan pengurus berjalan lancar. Dalam pertemuan itu diputuskan yang menjadi ketua baru adalah Ir Anwari Parinduri (untuk menggantikan Putuhena). Sementara Ir Soekarno masih tetap pada posisinya sebagai sekretaris (lihat De Indische courant, 23-02-1927).


Mengapa diganti? Boleh jadi Putuhena tengah memasuki ujian akhir. Putuhena berhasil studi dan mendapat gelar insinyur teknik di Technische Hoogeschool (THS) Bandoeng pada bulan Mei 1927 (lihat De locomotief, 05-05-1927). Dalam hal ini yang menjadi ketua pertama Algemene Studieclub adalah Putuhena dan yang kedua dijabat oleh Ir Anwari. Yang lulus ujian akhir bersama Putuhena antara lain Hoedioro, Koesoemaningrat, Marsito, GM Noor dan Soetoto. Dalam hal ini Putuhena yang masuk tahun 1923 lulus tepat waktu (empat tahun). Soekarno dan Anwari masuk di THS pada tahun 1921.

Singkatnya, setelah nama Iskaq Tjokrohadisoerjo menjadi perhatian kritis pemerintah, pada bulan Juni 1927, Iskaq Tjokrohadisoerjo berkolaborasi dengan Ir Soekarno di Bandoeng (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 24-06-1927). Disebutkan Aneta mengetahui bahwa sebuah "panitia persiapan kongres nasionalis" di Bandung telah dibentuk. Promotor utamanya adalah Ir Soekarno dan Iskaq Tjokrohadisoerjo.


Dalam kongres nasional di Bandoeng ini, studi klub Algemene Stidieclub ditingkatkan menjadi organisasi kebangsaan yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Seperti disebut di atas, sebagai saya pemuda PNI dibentuk di Bandoeng organisasi pemuda yang diberi nama Jong Indonesia, namun dalam perkembangannya diubah dengan nama baru menjadi Pemoeda Indonesia. Nama Indonesia Moeda sendiri sudah menjadi nama organ PNI. Gerakan nama Indonesi sudah lebih dahulu dilakukan di organisasi pemuda Sumatra, Jong Sumatranen Bond dengan nama baru Pemoeda Sumatra.

Pada bulan Desember 1927 seiring dengan terbentuknya PPPKI, organisasi kebangsaan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) diubah platformnya menjadi partai dengan nama baru Partai Nasional Indonesia (PNI). Seperti disebut di atas, yang menjadi ketua PPPKI adalah Mr Iskaq Tjokrohadisoerjo dengan sekretaris Drs Sjamsi Sastrawidagda, PhD.


Seperti kita lihat nanti, nama Indonesia Moeda kemudian menjadi nama tunggal organisasi kepemudaan di Indonesia sebagai tindak lanjut hasil Kongres Pemuda 1928. Dalam hal ini nama Jong Indonesia, Pemoeda Indonesia dan Indonesia Moeda adalah satu kesatuan dalam unit organisi dalam orbit (lingkaran) nasional.

Tunggu deskripsi lengkapnya

Sejarah Kongres Pemuda di Indonesia dari Dulu hingga Kini ke Masa: 1926, 1927, 1928, 1950 dan 1953

Terminologi ‘pemoeda’ untuk nama organisasi pemuda saat kongres pemuda tahun 1926 bukanlah nama yang ‘aman’ dan ‘nyaman’. Nama tersebut sebenarnya asli Indonesia (dibandingkan dengan penggunaan terminologi ‘jong’). Namun seperti disebut di atas, dalam perkembangannya penggunaan terminologi ‘pemoeda’ semakin banyak dan semakin meluas.


De locomotief, 29-12-1927: ‘"Jong Indonesie. Kami menerima surat dari Bandung: Rapat umum kedua Kongres "Jong Indonesie" diadakan pada hari Selasa. Jumlah peserta tidak sebanyak hari sebelumnya. Bapak Gobee, penasihat Urusan Dalam Negeri, kembali hadir. Sekitar pukul 09.30, rapat dibuka oleh ketua dewan, mahasiswa Soegiono, dengan pidato sambutan seperti biasa. Laporan sekretaris asosiasi dan bendahara dibahas, setelah itu dibahas tentang penggabungan dan tujuannya. Departemen Batavia, mengenai asosiasi dan penyatuan, mengusulkan agar posisi JI diserahkan kepada kebijaksanaan perkumpulan pemuda lainnya dan PPPI. Cabang Bandung membahas bahasa Melayu dan perubahan nama. Mereka merasa aneh bahwa setiap pembicara yang naik podium, sebelum berbicara, terlebih dahulu meminta maaf atas keterbatasan pengetahuan mereka tentang bahasa Melayu. Ada pula anak-anak muda yang sama sekali tidak mengenal bahasa Melayu, karena sejak kecil mereka hanya diajari bahasa Belanda hingga usia 15 tahun. Sementara diskusi ini berlangsung, sebuah rangkaian bunga merah dibawa masuk. Ketika rangkaian bunga ini diletakkan di tempat terhormat, ketua menyampaikan rasa terima kasihnya kepada pemberi, tetapi menyesal karena tidak tahu siapa pemberinya, karena kartu itu hanya bertuliskan "NN" (Hore dan tepuk tangan). Setelah itu, dibahas situasi berbagai cabang. Perdebatan sengit juga terjadi mengenai perubahan nama. Setelah pemungutan suara, perkumpulan tersebut berganti nama menjadi "Pemoeda Indonesia". Ketua menutup rapat sekitar pukul satu. Namun, sebelum mereka berpisah, ketua memberi tahu hadirin bahwa "saudara kita" Dr. Tjipto akan segera berangkat ke Banda. Hadirin diminta untuk berdiri dari tempat duduk dan berdiam diri sejenak, sebuah permintaan yang dituruti. Sambil menyanyikan "Hidup Pemoeda Indonesia" dan "Hidup Dr. Tjipto", hadirin meninggalkan aula’.

Dari Kongres Jong Indonesia di Bandoeng secara jelas menganggap sangat penting tentang soal isu penyatuan dan soal isu perubahan nama bahasa persatuan. Seperti disebut di atas, perdirian Jong Indonesia adalah refleksi hasil dari kongres pemuda Indonesia pertama tahun 1926. Yang di dalam kongres juga merekomendasi ke arah persatuan yang utuh dalam wujud penggabungan organisasi-organisasi dan pentingnya bahasa persatuan (bahasa Melayu). Dalam Kongres Jong Indonesia di Bandoeng ini tidak hanya menyoal tentang perubahan nama Jong Indonesia menjadi Pemoeda Indonesia, juga secara khusus dibahas tentang isu penyatuan (oleh JI/PI afdeeling Batavia) dan isu perubahan nama bahasa persatuan (afdeeling Bandoeng). Tampaknya tentang perubahan nama bahasa persatuan menjadi perhatian umum.


Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-02-1928: ‘Kronik. Bahasa Indonesia. Akhir-akhir ini kaum nasionalis banyak berbicara dan menulis tentang gagasan persatuan. Pembentukan pusat persatuan, yang di dalamnya semua organisasi nasionalis, dari Sarekat Islam hingga Boedi Oetomo (Boedi (yang bahkan memiliki anggaran dasar untuk orang kulit putih), telah memberikan bentuk baru pada gagasan persatuan. Memang benar bahwa beberapa organisasi pribumi telah mengeluh bahwa pusat yang didirikan di Bandoeng adalah urusan pribadi para pemimpin saja, tetapi secara umum pembentukan ikatan yang lebih kuat antara semua asosiasi rakyat yang besar ini tampaknya dianggap sebagai kemenangan penting dari gagasan persatuan - gagasan tentang keberadaan persatuan Indonesia, yang dalam kekuatan sistem pendidikan harus diperhatikan. Sekarang masalah lain harus dipecahkan. Bahkan, selama ini, di kalangan nasionalis intelektual dari berbagai ras — misalnya, Batak, Jawa, Ambon, dan Madura — bahasa yang umum adalah bahasa Belanda. Bagaimanapun, bahasa inilah yang, sebagai bahasa pengantar, memperkenalkan prinsip-prinsip pengetahuan Barat di sekolah Belanda-Indonesia, kemudian lebih jauh menginisiasi pengetahuan Barat itu di HBS atau AMS, dan kemudian, bagi yang istimewa, membuka ruang-ruang ilmu pengetahuan Barat di universitas. Namun, sekarang, penolakan terhadap penggunaan bahasa Belanda tampaknya mulai muncul, terutama di kalangan pemuda — di kalangan Jong Java, Jong Islamietenbond, dan organisasi pemuda terkini Pemoeda Indonesia (PI). Jadi, dalam hal ini, ada konflik dengan cita-cita nasionalis mereka. Alih-alih bahasa Belanda, bahasa Indonesia harus dipilih, yang akan menjadi bahasa Indonesia — Bahasa Indonesia. Dan karena tidak ada satu bahasa pun yang digunakan oleh semua orang Indonesia, orang ingin menunjuk bahasa yang paling luas untuk tujuan ini — dan ini adalah lingua franca pasar, pelabuhan, dan jalan raya — bahasa Melayu. Bukan bahasa Melayu "asli", seperti yang dilestarikan di kepulauan kita dalam bentuk paling murni di Minangkabau di Padangsche Bovenlanden, tetapi bahasa Melayu sehari-hari. Bahasa Melayu yang digunakan oleh pedagang Cina dan Arab serta kusir Makassar, pemandu Bali, pendayung perahu Dayak, dan pembantu rumah tangga Jawa. Bahasa Melayu sehari-hari ini. yang sebelumnya dapat digunakan oleh orang Hindia yang lebih terpelajar dengan cukup fasih — kosakatanya biasanya lebih banyak daripada orang Eropa, yang juga menggunakan bahasa ini — makin tidak digunakan lagi: bahasa itu telah digantikan oleh bahasa Belanda. Belum lama ini terjadi pada suatu pertemuan besar pribumi bahwa seorang Jawa harus melanjutkan pidato yang dimulai dalam bahasa Melayu dalam bahasa Belanda. karena perbendaharaan kata Melayu-nya kurang memadai. Oleh karena itu, kursus-kursus dan kolom-kolom majalah sekarang dibuka untuk mengajarkan bahasa Melayu sosial ini secara lebih menyeluruh kepada kaum muda. Dan bahasa Melayu ini selanjutnya harus disebut Bahasa Indonesia mulai sekarang. Dikatakan. untuk menghindari kebingungan dengan bahasa orang Melayu, memang, orang dapat berasumsi, untuk menjaga kepekaan yang bersifat nasionalistis yang lebih sempit: bagaimanapun juga, tampaknya orang Melayu menetapkan nada dalam persatuan nasional Indonesia. Praktik harus membuktikan apakah usaha untuk mengganti bahasa Belanda dengan bahasa Melayu dalam lalu lintas rasial intelektual dapat diwujudkan. Bagaimanapun juga itu akan menjadi bahasa Melayu, diselingi dengan bahasa Belanda, karena bagaimanapun juga banyak konsep, yang oleh orang Barat dibawa ke Timur, tidak dapat direpresentasikan dalam bahasa Melayu asli. Itu tampaknya bukan kemajuan. Bahwa orang-orang Hindia menghargai bahasa mereka sendiri dan, misalnya, mendukung penggunaannya di dewan-dewan (raads) kabupaten, berusaha untuk melengkapi bahasa mereka sejauh perluasan wilayah konseptual menuntut hal ini, tentu saja terhormat. Penggantian bahasa Barat yang kaya dengan bahasa Timur yang miskin dan rusak seperti bahasa Melayu interpersonal (kita tidak berbicara tentang "Melayu") mungkin dapat memberikan kepuasan di kalangan tertentu, para penggunanya akan merugikan diri mereka sendiri karenanya’. Catatan: Artikel tersebut juga dilansir De Indische courant (20-03-1928)

Artikel yang dimuat di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-02-1928 (tanpa nama penulis; sangat mungkin para redaktur) tampaknya telah meninjau dinamika perkembangan terakhir di Hindia soal persatuan (termasuk Pemoeda Indonesia yang menjadi sayap pemuda Partai Nasional Indonesia=PNI) dan munculnya gerakan anti bahasa Belanda. Dalam hal ini dapat diperhatikan apa yang menjadi usulan bahasa persatuan yang terinformasikan di dalam kongres pemoeda tahun 1926. Boleh jadi perubahan nama bahasa tersebut mengacu pada penggunaan bahasa Melayu Pasar (yang berbeda dengan bahasa Melayu di wilayah orang Melayu) diberi nama bahasa Indonesia dengan nama tunggal ‘Bahasa Indonesia’.


Artikel yang dimuat di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant, 09-02-1928 seakan menjembatani tentang apa yang belum lama berkembang dengan kemungkinan apa yang akan ditetapkan kemudian. Kongres pemuda Indonesia pertama tahun 1926 telah merekomendasi bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, Dalam kongres Jong Indonesia menganggap perlu dibahas tentang perubahan nama bahasa tersebut. Seperti kita lihat nanti dalam kongres pemuda berikutnya diadopsi dengan nama Bahasa Indonesia.

Jong Indonesia (kemudian menjadi Pemoeda Indonesia) pada dasarnya adalah, di satu pihak merupakan rekomendasi kongres pemuda pertama tahun 1926, dan di pihak lain merupakan perwujudan dari terbentuknya organisasi kebangsaan Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) di Bandoeng yang kemudian membentuk sayap pemuda dengan nama Jong Indonesia. Dengan kata lain terbentuknya Jong Indonesia yang seutuhnya, yang merupakan gabungan dari organisasi-organisasi pemuda yang ada, belum terbentu. Oleh karena itu Jong Indonesia di Bandoeng harus dilihat sebagai bagian dari PNI.   


Seperti disebut di atas, pada bulan September 1927 di Weltevreden diadakan rapat organisasi-organisasi kebangsaan Indonesia (lihat Bataviaasch nieuwsblad, 26-09-1927). Dalam rapat ini diputuskan untuk mendirikan organisasi yang terdiri dari para pemimpin dari berbagai serikat pribumi, dengan ketua komite adalah MH Thamrin dan sekretaris Parada Harahap. Serikat yang hadir adalah Boedi Oetomo (baca; Boedi Oetomo afdeeling Batavia), Pasoendan, Kaoem Betawi, Sumatranenbond, Persatoean Minahasa, Sarekat Amboncher dan NIB (Perserikatan Nasional Indonesia). Dalam rapat ini juga dihadiri oleh Ir Soekarno dari Bandoeng. Pasca rapat inilah kemudian terinformasikan Ir Soekarno dan kawan di Bandoeng membentuk organisasi kebangsaan yang baru yang diberi nama Perserikatan Nasional Indonesia (PNI). Dalam kaitannya dengan kongres PNI di Bandoeng pada bulan November terinformasikan telah terbentuk Jong Indonesia di Bandoeng dan Jong Indonesia di Jogjakarta.  

Kongres pemuda Indonesia pertama pada tahun 1926 telah menjadi awal munculnya persatuan diantara organisasi-organisasi kebangsaan Indonesia. Dalam hal ini golongan ‘kaoem moeda’ telah mengambil inisitif terlebih dahulu. Inisiatif ini karena sudah terbentuk lama hubungan ‘moeda’ atau ‘modern’ semangat baru atau moder versus ‘toea’ atau ‘koeno’ semangat lama (tradisi). Bertransformasi golongan ‘toea’ atau senior ke pembentukan federasi, tentu saja diantara golongan senior terdapat tokoh-tokoh yang masih terbilang muda dan cosmopolitan seperti Parada Harahap (Sumatranen Bond), Ir. Anwari dan Ir Soekarno (studie-club Bandoeng) dan Dr Soetomo (studie-club Soerabaja) dan lainnya. Singkatnya antara golongan ‘moeda’ dan golongan ‘toea’ beringsut saling mendekati. Antara golongan ‘moeda’ dan golong ‘toea’ kesenjangannya makin sempit.


Pada saat kongres PNI di Bandoeng pada bulan November 1927, juga dilakukan rapat satu kamar tentang usulan Weltevrden tentang perluanya pembentukan federasi organisasi kebangsaan Indonesia (PPPKI). Parada Harahap mewakili Sumatranen Bond hadir di Bandoeng. Dalam rapat di Bandoeng ini sudah diagendakan kongres pertama PPPKI yang akan diadakan di Soerabaja pada bulan September 1928 yang menjadi salah satu tugas utama ketua Iskaq (ketua PPPKI).

Golongan ‘moeda’ dan golongan ‘toea’ sudah tampak saling kejar-kejaran dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia dan cinta tanah air (Indonesia). PPPKI sudah menggunakan nama Indonesia, sebagaimana juga PNI dan tentu saja Jong Indonesia (yang sudah mulai meluas seperti di Djogjakarta dan Soerabaja). Semua itu karena terjadinya eskalasi internasional baik pemuda Indonesia di Hindia maupun mahasiswa Indonesia di Belanda. Perjuangan Indonesia tengah berlangsung, suatu pesaing baru (pesaing tungggal) penjajahan Belanda di Indonesia.


De Sumatra post, 16-02-1928: ‘Partai Nasional Indonesia. Dari Surabaya, seorang koresponden Loc. menulis pada tanggal 5 bulan ini: Minggu lalu, sebuah pertemuan umum diadakan di gedung klub studi Indonesia di sini oleh cabang PNI yang baru didirikan, yang dihadiri oleh sekitar 1.000 orang. Sejumlah besar orang berbicara, termasuk seorang perempuan: Soekarno dari Bandung, Ir. Anwari, dan Dr. Soetomo. Ir. Soekarno membahas tujuan dan aspirasi Partai Nasional Indonesia, sementara Ir. Anwari memberikan tinjauan politik, dimulai dengan gerakan pribumi pertama pada tahun 1908 (diwujudkan dalam Boedi Oetomo), Sarekat Islam pada tahun 1911, kemudian PKI, dan sekarang PNI. Singkatnya, pembicara ingin menunjukkan bahwa "penduduk Pribumi mendambakan kemerdekaan, terlepas dari reaksi yang ada." Woro Soekija berbicara tentang posisi perempuan dan mendesak para perempuan yang hadir untuk mendukung suami mereka dalam "gerakan menuju kemerdekaan." Dr. Soetomo menjelaskan situasi ekonomi gerakan Pribumi, mendorong berbagai kelompok pekerja Pribumi untuk berorganisasi menjadi serikat pekerja tidak hanya untuk meningkatkan posisi mereka tetapi juga untuk mengabdi kepada negara dan rakyatnya’.

Kongres pemuda pertama tahun 1926 sudah lama berlalu. Rencana kongres pemuda pada tahun 1927 tampaknya telah gagal direalisasikan. Amanat dari kongres pemuda tahun 1926 untuk membentuk persatuan diantara pemuda, mulai direalisasikan pada tahun 1928. Federasi organisasi pemuda sudah dibentuk.


Nieuwe Rotterdamsche Courant, 12-03-1928: ‘Indonesische jeugdvereenigingen (Ikatan Pemuda Indonesia). Pengurus berbagai organisasi pemuda, yaitu Poetri-Indonesia, Dameskring (Lingkaran Wanita), Jong-Islamietenbond (Persatuan Pemuda Islam), Pemoeda-Indonesia, Jong-Java (Persatuan Pemuda Jawa), dan Jong-Sumatraenbond (Persatuan Pemuda Sumatra), telah membentuk sebuah centraal bestuur (dewan pusat). Para pengurus harian dari perkumpulan-perkumpulan tersebut akan bertugas di dewan ini. Tujuannya, sebagaimana yang kita baca dalam AID, adalah untuk mencapai kerja sama yang lebih intensif, yang selama ini hanya sebatas teori. Pemusatan ini semata-mata berkaitan dengan kepentingan umum pemuda, sehingga anggaran dasar dan peraturan internal organisasi pemuda tidak diganggu gugat. Olahraga dan seni diprioritaskan, sementara isu-isu politik dan agama dihindari. Dewan pusat, antara lain, telah mendirikan kursus Bahasa Melayu bersama. Bachtiar Effendi telah terpilih sebagai ketua. De Indische courant, 02-04-1928: ‘Organisasi Kepemudaan. Soerabaja. Pada hari Minggu, 1 April, konferensi kedua diselenggarakan di gedung Klub Studi di sini, yang diselenggarakan oleh perkumpulan mahasiswa "Pemoeda Indonesia". Sebagaimana diketahui, sebuah pertemuan diadakan pada tanggal 4 Maret atas inisiatif perkumpulan yang sama untuk membahas kemungkinan pembentukan badan pusat, yang akan bertugas mempererat hubungan antar perkumpulan pemuda yang ada di kota ini. Keputusan belum dapat diambil saat itu, karena para perwakilan yang hadir ingin membahas masalah ini terlebih dahulu dengan perkumpulan masing-masing. Para perwakilan yang hadir kemarin menyatakan persetujuan mereka terhadap rencana yang digagas oleh "Pemoeda Indonesia", sehingga pembentukan badan pusat dapat dilanjutkan. Berikut ini adalah nama-nama yang telah bergabung dengan badan tersebut: Pemoeda Indonesia, Ikatan Muda Sumatra, Ikatan Muda Jawa, dan Ikatan Muda Islam. Diputuskan untuk mengadakan pertemuan terbuka pada tanggal 28 bulan ini. De Indische courant, 25-04-1928: ‘Badan Pusat. Organisasi Pemuda Adat. Menindaklanjuti pesan kami kemarin, kami mengetahui bahwa Badan Pusat Organisasi Pemuda Adat, yang mencakup berbagai perkumpulan pemuda seperti "Jong-Java", "Pemoeda Indonesia", "Jong-Sumatranen-Bond", "J.I.B.", dan lainnya, akan mengadakan pertemuan terbuka Sabtu malam ini, tanggal 28 bulan ini, di gedung Klub Studi. Ini akan menjadi pertemuan terbuka pertama dari organisasi yang baru saja didirikan ini. Beberapa ceramah akan disampaikan malam itu’.

Sementara itu, PNI telah menjadi motor utama penggerak ke arah persatuan Indonesia. Organisasi kebangsaan (partai) PNI yang telah menggunakan nama Indonesia, tentu saja sudah menjadi tanggungjawabnya dalam urusan persatuan dan kesatuan. Sementara itu PPPKI juga berada di mana-mana, di setiap kesempatan kongres organisasi-organisasi kebangsaan Indonesia. Lantas bagaimana dengan persatuan pada tingkat pemuda?


De Indische courant, 29-05-1928: ‘Kongres P.N.I. Sangat menarik. Pada hari Senin, tanggal 28 bulan ini, kongres pertama P.N.I. (Partai Nasionalis Indonesia) dimulai di kota Soerabaja. Sebagaimana telah dipublikasikan sebelumnya di majalah kami, partai muda ini, di jajaran perkumpulan politik pribumi, baru saja memulai debutnya; partai ini telah menyelenggarakan kongres pertamanya. Gagasan persatuan Indonesia kembali digalakkan dengan penuh semangat dan antusias. Perlu dicatat bahwa beberapa bulan yang lalu, partai yang sama juga mengadakan rapat propaganda di sini. Rupanya, Surabaya dipilih sebagai titik strategis untuk mengembangkan kegiatan partai tersebut. Perlu dicatat di sini bahwa pengurus cabang Surabaya telah diduduki oleh Ir. Anwari dari Bandung, yang kemungkinan besar akan menetap di sini. Dua rapat umum lagi akan diadakan: malam ini dan besok pagi. Kemudian, Bapak Iskaq dan Bapak Soenarjo masing-masing akan berbicara tentang iuran yang sangat tinggi dan hak berserikat, berkumpul, dan pers. Laporan singkat rapat umum pertama disajikan di bawah ini. Sangat menarik: Di Teater Stadstuin, tempat pertemuan umum diadakan kemarin, terdapat kerumunan yang penuh sesak dari para pihak yang berminat. Di antara mereka yang hadir, kami mencatat: bupati Soerabaja, Datoek Toemenggoeng dari Kantor Urusan Pribumi di Batavia, dan banyak pejabat administrasi dan kepolisian. Pers, terutama pers Melayu, terwakili dengan baik. Pembukaan. Ir. Anwari, atas nama panitia kongres dan P.N.I. cabang Soerabaia, menyambut hangat semua orang dan menyerahkan kepemimpinan kongres kepada dewan utama, setelah itu Ir. Soekarno, atas nama kongres, mengucapkan terima kasih kepada mereka yang hadir atas minat mereka. Ir. Sukarno menyebutnya sebagai pertanda baik bahwa, selama kongres P.S.I. di Pekalongan, kolaborasi antara partai ini dan asosiasi lain, seperti Partai Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Pasoendan, dll., diresmikan. Ia mendesak penyatuan semua asosiasi politik pribumi dan kemudian memberikan kesempatan kepada organisasi lain untuk menyampaikan pidato di P.N.I. Selamat. Bapak AM Sangadji, atas nama pengurus P.S.I., mengucapkan selamat kepada Partij Nasionalis Indonesia pada kongres pertama ini dan mengingat kembali rencana penyatuan yang dibahas di Pekalongan selama kongres P.S.I. Bapak Zaina1, atas nama pengurus Sarekat Madoera, memuji pengurus P.N.I. Soekono mengucapkan selamat kepada P.N.I. atas nama Klub Studi Surabaya. P.P.P.K.I., federasi semua partai politik pribumi, diwakili oleh Dr. Soetomo, yang mengucapkan selamat kepada P.N.I. pada kongres pertamanya. P.N.I. menawarkan tempat bagi semua orang—Muslim dan Kristen, orang Sumatra, orang Timor, orang Sunda, dan orang Jawa—yang ingin berorganisasi dan yang belum berorganisasi. Dr. Soetomo menghimbau penduduk Surabaya untuk mendukung organisasi baru ini dengan sebaik-baiknya. Ir. Soekiman kemudian membacakan beberapa telegram masuk, termasuk dari Dr. Soekiman di Djokja, dari ketua P.N.I. di Oeloe-Siaoe, dan dari pengurus Boedi-Oetomo, yang berisi ucapan selamat. Panitia Pendoedoek Soerabaja mengirimkan karangan bunga kepada kongres. Ketika Ir. Soekarno naik panggung untuk menyampaikan Deklarasi Pokok-Pokok PNI, Dr. Samsi Sastrowidigdho mengambil alih pimpinan rapat darinya. Karena kelebihan salinan, kami akan menerbitkan sisa laporan ini Rabu depan’.

Diantara dua organisasi kepemudaan, antara Jong Java dan Jong Sumatranen Bond sudah kerap berinteraksi. Kebetulan kedua organisasi ini memiliki basis keanggotaan yang banyak, paling tidak di Batavia. Tanpa mengabaikan organisasi kepemudaan lainnya, Jong Java dan Jong Sumatranen Bond telah memainkan peran penting dalam menuju persatuan pemuda. Lalu pada secara intens gilirannya menyusul Jong Indonesia. Tiga organisasi kepemudaan ini akan berperan penting dalam terbentuknya persatuan Indonesia. Jong Indonesia menjadi inisiator pembentukan federasi organisasi kepemudaan seperti halnya yang telah terbentuk PPPKI.


De Indische courant, 02-05-1928: ‘Rapat Umum. Organisasi pemuda adat. Sabtu malam yang lalu, Badan Pusat (Centraal Lichaam) Organisasi Pemuda Adat yang berdiri di kota ini mengadakan rapat umum yang telah kami umumkan di gedung Klub Studi di Boeboetan. Ketua membuka rapat pukul 20.45 dengan sambutan khas kepada sekitar 300 peserta. Beliau mencatat bahwa tujuan rapat ini adalah untuk memperkenalkan esensi federasi perkumpulan pemuda lokal yang baru dibentuk kepada dunia luar. Gagasan untuk mempersatukan pemuda Indonesia bukanlah hal baru lagi. Dr. Satiman memberikan dorongan awal, tetapi upayanya untuk menciptakan sebuah perkumpulan di mana semua orang Indonesia, tanpa memandang kebangsaan atau agama, dapat menjadi anggota, gagal. Beliau mengirimkan surat edaran ke provinsi-provinsi, tetapi tidak menerima pernyataan dukungan. Pembicara kemudian mengutip kata-kata dari tokoh-tokoh terkenal di bidang perkumpulan, yang menunjukkan bahwa gagasan federasi telah dianjurkan sejak tahun 1918. Namun, benih itu ditabur di tanah yang tandus. Pembicara menganggap tahun 1926 sebagai tahun pertama di mana para pendukung persatuan di antara semua kelompok Indonesia dapat berharap untuk mewujudkan cita-cita mereka. Pada tahun itu, kongres pemuda Indonesia pertama diadakan. Selanjutnya, pada tahun 1928, P.P.P.J. didirikan dengan tujuan menyatukan semua perkumpulan pemuda mahasiswa menjadi satu federasi. Pada tahun yang sama, Permoeda Indonesia lahir. Dan sekarang, lanjut pembicara, gagasan untuk mendirikan sebuah federasi di kota ini semakin digulirkan. Ini merupakan langkah maju dalam perjalanan menuju persatuan di antara perkumpulan pemuda. Pembicara meminta dukungan dari mereka yang hadir. Atas nama Jong Java, Moorsito menyampaikan pidatonya kepada para pendukung Badan Pusat. Sebagai anggota tetap J.J., beliau dapat berhubungan dengan orang Indonesia lainnya. Beliau mengatakan bahwa J.J. juga mengemukakan gagasan tentang sebuah federasi. Namun, beliau kini telah dibebaskan dari tugas ini karena P.I. telah mengambil inisiatif. Pembicara berharap agar CL akan memperjuangkan tujuan mulia ini. Achmad Soemadi dari "Pemoeda Indonesia" mengapresiasi pembentukan CL. Pembicara mengatakan bahwa ini menandai tonggak sejarah dalam perjalanan menuju persatuan. Djauharsjah Jenie dari Jomg Sumatranen Bond bersimpati dengan PI, yang berani membentuk federasi. Setelah banyak berdiskusi dan menulis, perempuan muda ini akhirnya lahir. Roeslan Wongsokoes dari P.N.I. mengatakan bahwa malam ini adalah peristiwa istimewa. Kita dapat menyaksikan persatuan bangsa Indonesia. Para pemuda harus belajar dengan baik di sekolah agar dapat menguasai apa yang mereka perjuangkan. Yang terpenting, para pemuda harus sabar. Katasoebrata dari Rumah Perempuan mengatakan bahwa para pemuda yang sekarang bersatu semuanya adalah mahasiswa. Mengapa mereka yang bukan mahasiswa tidak dapat bergabung dengan perkumpulan? Dari sini, pembicara dapat menyimpulkan bahwa persatuan belum terbentuk. Lagipula, mayoritas anak muda Indonesia tidak semuanya lulusan sekolah menengah, sehingga mereka tidak bisa berbahasa Belanda. Pembicara berharap agar majelis pemuda yang ada saat ini dapat memperluas kegiatannya. Sangadji mengatakan bahwa beliau tidak berbicara di sini sebagai perwakilan dari perkumpulan mana pun, melainkan atas namanya sendiri. Pembicara memberikan penghormatan kepada para pendukung CL atas inisiatif mereka. Dari pidato-pidato pembicara sebelumnya, beliau dapat menyimpulkan bahwa kebanyakan dari mereka adalah pendukung persatuan. Siti Rahajoe memperjuangkan hak-hak perempuan. Saat ini, gerakan perempuan di negeri ini masih dalam tahap awal. Perempuan belum begitu terbuka terhadap cita-cita baru. Mereka masih terlalu terikat oleh tugas, adat istiadat lama, dan sebagainya. Mereka belum memiliki kebebasan yang sangat dibutuhkan. Gerakan perempuan di sini masih terlalu dipengaruhi oleh laki-laki. Karena itu, belum ada gerakan perempuan yang murni. Cita-cita mendiang RA Kartini belum terwujud. Perempuan adalah pendidik kaum muda, yang harus memimpin negeri ini ke depan. Soerowijono dari Jong Islamieten Bond menjelaskan posisi partainya mengenai gagasan persatuan. Beliau menyatakan bahwa beliau tidak berniat mempromosikan J.I.B. Beliau membantah anggapan bahwa Jong Islamieten Bond menyimpan "fanatisme". Beliau lebih lanjut menyatakan bahwa J.I.B. akan selalu ingin berpartisipasi dalam perjuangan, melalui cara-cara yang wajar, untuk membangun Indonesia Raya. Agama memberi mereka posisi yang kuat. Ketua kemudian mengucapkan terima kasih kepada para pembicara. Rapat ditutup pada pukul sebelas kurang seperempat’. 

Sementara Gerakan pembentukan federasi di tingkat pemuda, federasi organisasi kebangsaan Indonesia (PPPKI) sudah semakin dekat dengan penyelengaraan Kongres PPPKI. Hingga saat ini organisasi kebangsaan Sarekat Ambon dan Perserikatan Minahassa, belum memberikan pengumuman positif mengenai afiliasi mereka dengan PPPKI.

 

De Indische courant, 12-07-1928: ‘Kongres PPPKI. Persiapan. Telah diberitahukan: Sebagaimana diketahui, sebuah panitia Perajaan telah dibentuk dari Klub Studi di Soerabaja, yang bertugas menyelenggarakan Kongres P.P.P.K.I. pertama secara meriah. Awalnya, rencananya bertepatan dengan hari kedua antarpulau Klub Studi Indonesia, agar dapat dipublikasikan dengan lebih baik. Namun, karena Kongres P.N.I. (Partai Nasionalis Indonesia) pertama yang diselenggarakan di sini Juni lalu, beberapa penyelenggara menganggap waktu persiapan tidak mencukupi, sehingga Kongres P.P.P.K.I. ditunda hingga akhir Agustus; sekarang akan diselenggarakan dari tanggal 31 Agustus hingga 3 September. Sementara itu, Klub Studi Indonesia akan merayakan hari keempat antarpulau secara tertutup pada hari Sabtu, tanggal 14 bulan ini. Bukan tidak mungkin akan diadakan pasar malem selama Kongres P.P.P.K.I., bersamaan dengan pameran kerajinan rakyat. Setidaknya, itulah rencana awal Panitia Perajaan, sementara para peserta kongres akan disuguhi malam kesenian Indonesia, yang menampilkan permainan-permainan seni khas dari seluruh nusantara. Pramuka adat Surabaya akan dilibatkan untuk memeriahkan acara tersebut. Mengenai program kongres itu sendiri, belum ada yang dapat diumumkan, karena rekomendasi awal belum diterima. Kecuali Sarekat Ambon dan Perserikatan Minahassa, semua perkumpulan adat kemungkinan akan diwakili dalam kongres tersebut. Diketahui bahwa pengurus dari perkumpulan-perkumpulan tersebut belum memberikan pengumuman positif mengenai afiliasi mereka dengan P.P.P.K.I’.

Setelah pembentukannya bulan September 1927, kongres pertama PPPKI akan diselenggarakan di Soerabaja dari tanggal 31 Agustus hingga 3 September 1928. Panitia kongres terdiri dari Bapak N Gondhokoesoemo sebagai ketua dan Ir Anwari sebagai sekretaris. Sebagaimana disebut di atas, Ir Anwari adalah ketua PNI cabang Soerabaja.

 

De locomotief, 31-07-1928: ’Kongres pertama P.P.P.K.I. Seorang koresponden dari Surabaya menulis: Sebagaimana diketahui, kongres pertama Persatoean Permoefakatan Politiek Kebangsaan di Indonesia akan diselenggarakan dari tanggal 30 Agustus hingga 2 September di Soerbaja. Panitia kongres yang baru dibentuk terdiri dari Bapak N Gondhokoesoemo sebagai ketua, Ir. Anwari sebagai sekretaris, dibantu oleh beberapa perwakilan dari asosiasi-asosiasi lokal. Pada rapat terakhir panitia kongres, yang dihadiri oleh Ir. Soekarno dari Bandung dan Bapak Soejoedi dari Jogja, ditetapkan program sebagai berikut: Kamis, 30 Agustus. Pada malam harinya, akan diadakan pertemuan terbuka di Perkumpulan Pelajar Indonesia di Boeboetan. a. Akan diadakan diskusi mengenai posisi P.P.P.K.I. b. Perwakilan dari asosiasi politik yang hadir akan diundang untuk menyampaikan pendapat mereka mengenai P.P.P.K.I. Jumat, 31 Agustus: Rapat tertutup pagi hari di gedung Studie Club. Agenda: a. Pembahasan internal. b. Pendidikan nasional. Jumat, 31 Agustus: Rapat umum, di mana pendidikan nasional akan dibahas. Dr. Sosrokartono dari Bandung akan memperkenalkan topik ini. Sabtu, 1 September: Rapat tertutup pagi hari. Agenda: a. Masalah ekonomi. b. Pemilihan pengurus. Sabtu malam, 1 September: Malam seni di Teater Taman Kota oleh organisasi pemuda setempat. Minggu pagi, 2 September: Rapat umum di Teater Taman Kota. Agenda: a. Masalah ekonomi. b. Penutupan kongres oleh ketua baru. Sabtu sore, para peserta kongres akan berkeliling kota, mengunjungi klinik rawat jalan Moehammadijah, Institut Taman Siswo, dll. Minggu malam, makan malam untuk tamu undangan di gedung Studie Club’. 

Sementara itu terinformasikan bahwa Jong Sumatranen Bond menyelenggarakan kongres peda tanggal 12 Agustus 1928. Dalam kongres ini nama Jong Sumatra yang menjadi nama majalah Jong Sumatranen Bond diubah menjadi (majalah) Pemoeda Soematra. Bagaimana dengan nama Jong Sumatranen Bond sendiri? Sebagaimana diketahui Jong Indonesia pada bulan November 1927 di Bandoeng dalam kongresnya telah mengubah nama (organisasi) Jong Indonesia menjadi (organisasi) Pemoeda Indonesia. Ini mengindikasikan Jong Sumatranen Bond telah mengikuti sebagian langkah yang dilakukan Jong Indonesia yakni menghilangkan unsur Belanda pada semua elemen organisasi (menjadi unsur Indonesia).


Nieuwe Rotterdamsche Courant, 24-10-1928: ‘Sesuai dengan keputusan kongres tanggal 12 Agustus 1928, nama Jong-Sumatra dari organ Jong-Sumatranen Bond telah diubah menjadi Pemoeda Soematera. Majalah ini sekarang dicetak oleh Mij Fadjar Asia. Kepemimpinan dan administrasi dipimpin oleh Sjahrial dari Stovia dan Adnan dari AM S di Weltevreden. Komite redaksi (Sjahrial dan Adenan) melaporkan bahwa "tahun asosiasi yang baru telah dimulai dengan buruk: penerbitan terbitan bulanan tidak dapat dilanjutkan karena kekurangan dana. Karena alasan yang sama, majalah bulanan reguler tidak dapat terbit untuk sementara waktu. Komite mempertanyakan apakah Jong Sumatranen Bond kekurangan kapasitas. Para editor menganggap "Pemoeda Soematra" sebagai pengganti yang baik untuk nama "Jong-Sumatra" yang "tidak Indonesia"; merujuk pada takhayul bahwa seseorang harus memberi anak nama yang berbeda jika ia terus-menerus diganggu penyakit - fraksi tersebut percaya bahwa, terlepas dari janji kesehatan yang buruk, seseorang harus tetap dibimbing oleh patriotismenya yang tinggi, untuk mengubah anak kecil yang sakit menjadi anak laki-laki yang kuat yang dapat bertahan dengan baik dan... kawan-kawan akan mampu menegakkan rasa hormat. Dalam "pengumuman dewan utama", susunan dewan utama yang baru diumumkan, serta keputusan dewan utama untuk bekerja sama dalam persiapan Konferensi Nasional Indonesia di Batavia. Dalam pidato pembukaan, dewan utama menjelaskan situasi di dalam perkumpulan: mereka memperingatkan terhadap perselisihan internal dan terhadap "kedaerahan"; selama hal ini ada, Perkumpulan Jong Sumatra sangatlah diperlukan. Peristiwa di luar dan di sekitar asosiasi juga menunjukkan pengaruhnya di J.S.B. Yayasan-yayasan lama secara bertahap harus mengalami perubahan sehubungan dengan hal ini; di lubuk hati pengurus utama, hal-hal ini telah dipertimbangkan: namun, kita harus bertindak hati-hati dan hanya boleh menerapkan perubahan ketika waktunya tepat. Asosiasi ini memperjuangkan persatuan Indonesia dengan asosiasi-asosiasi nasionalis yang lebih kecil. 

Kongres pertama PPPKI yang diselenggarakan di Soerabaja sesuai waktu yang direncanakan yakni dimulai pada tanggal 31 Agustus 1928 (lihat De locomotief, 01-09-1928). Disebutkan Kongres P.P.P.K.I (Persatoean Permoefakatan Politiek Kebangsaan Indonesia). telah dibuka di kota Soerabaja. Dua ribu orang hadir. Ketua kongres adalah Bapak Iskaq. Hadir pula Bapak E. Gobée, penasehat pelaksana urusan adat, dan Bapak CO van der Plas, seorang pejabat di kantor penasehat pelaksana urusan adat, dan Ali Sastroamidjojo, seorang mahasiswa "Indonesia" yang telah dibebaskan, yang terakhir berbicara. Parada Harahap berbicara atas nama "Sarikat Sumatra", yang menyatakan keinginannya untuk bekerja sama dengan orang Jawa. Utusan dari "Sarekat Arabon" pertama-tama meminta studi yang lebih rinci tentang tujuan organisasi tersebut. Bapak Parada Harahap, juga menyayangkan sikap pasif rekan-rekan senegaranya dari Minahasa dan Ambon (lihat De Indische courant, 01-09-1928). Bagaimana rangkaian kegiatan kongres PPPKI berikutnya disarikan oleh surat kabar De Indische courant yang terbit di Soerabaja.

 

De Indische courant, 03-09-1928: ‘Kongres P.P.P.K.I. Rapat umum hari kedua. Kami menerima surat: Rapat umum kedua kongres tersebut berlangsung di Teater Stadstuin di sini pada Jumat malam, 31 Agustus, dihadiri sekitar 1.500 orang. Lebih banyak perwakilan dari berbagai asosiasi yang hadir dibandingkan pada hari pertama. Di antara yang hadir adalah Bapak Gobée dan Bapak Van der Plas dari Kantor Urusan Adat, pejabat kepolisian, dan banyak intelektual adat. Pukul 09.00, Ketua P.P.P.K.I., Iskaq, membuka rapat dengan menyambut semua yang hadir. Beliau secara singkat memperkenalkan pembicara malam itu, Bapak Ki Hadjar Dewontoro dan Bapak R. Soekaris. Karena rapat tertutup tersebut mengungkapkan bahwa rekomendasi awal dari kedua Bapak tersebut sebagian besar sama, Bapak R. Soekaris hanya akan memberikan pengamatan tambahan atas presentasi yang akan disampaikan oleh pembicara pertama. Pendidikan Nasional. Bapak Ki Hadjar Dewontoro mengawali pidatonya dengan mencatat bahwa upaya pemenuhan pendidikan nasional oleh penduduk asli semata-mata didorong oleh minimnya kesempatan pendidikan bagi penduduk asli, dan belum mempertimbangkan kehidupan sosial budaya penduduk dalam penyelenggaraan pendidikan. Karena pemerintah tidak semata-mata bertanggung jawab atas kebutuhan dan tuntutan penduduk asli, pemerintah tidak mungkin dapat melayani kepentingan penduduk asli, khususnya di bidang pendidikan, sesuai kebutuhan dan keinginan mereka. Pembicara mengkritik ketidaklengkapan pendidikan dasar di sekolah-sekolah pribumi tingkat dua dan di sekolah yang lebih tinggi swasta. Keterkaitan dengan pendidikan lanjutan bagi lulusan sekolah-sekolah tersebut masih menjadi isu yang pelik. Setiap tahun, reformasi baru diperkenalkan dalam sistem pendidikan, yang dengan jelas menunjukkan bahwa masih belum ada sistem yang mapan untuk pendidikan pribumi di negeri ini. Pembicara mengusulkan pembentukan komite aksi dan subkomite penelitian, yang akan mengadvokasi nasionalisasi pendidikan pribumi, dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia bagi komite-komite tersebut dalam pendidikan Barat. Salah satu dari sekian banyak reformasi pendidikan yang ingin direkomendasikan oleh pembicara dalam pertemuan tersebut adalah metode baru yang muncul dalam beberapa tahun terakhir, yaitu metode Montessori, yang berfokus pada kebebasan berpikir dan bertindak anak. Pembicara memperingatkan agar tidak menerima subsidi, karena hal ini akan mengikat kedua tangan dan kaki pemberi subsidi. Pendidikan nasional harus dicapai melalui upaya sendiri dan juga dipertahankan melalui sumber daya sendiri. Oleh karena itu, P.P.P.K.I. membentuk dana dukungan untuk mensubsidi sekolah-sekolah nasional dan membangun sistem beasiswa. Yang terpenting, metode kerja pendidikan internasional harus dibuat mudah dan terjangkau. Pembicara juga menganjurkan pengenalan sekolah berasrama, karena hal ini akan memfasilitasi kontak antara guru dan siswa, yang akan bermanfaat bagi pendidikan. Dalam konteks ini, pembicara merujuk pada apa yang disebut sistem pondok. Pembicara menyebut pembentukan sekolah penghubung sebagai perkembangan yang disambut baik, karena lembaga-lembaga ini tidak hanya murah tetapi juga terbukti memberikan hasil yang baik. H.I.S. menyebut pembicara sebagai ancaman bagi eksistensi nasional karena memiliki efek denasionalisasi. Dalam konteks ini, pembicara secara ekstensif mengutip hasil yang dicapai di sekolah Taman-Siswo, yang dapat menjadi pedoman bagi investigasi komite. Bapak Soekaris menginginkan pendidikan nasional tidak hanya memberikan informasi, tetapi juga mengembangkan kesadaran nasional. Pendidikan harus berorientasi pada gagasan persatuan Indonesia. Selanjutnya, Bapak Soewijono dan Bapak Soedjono berbicara, dan pra-pembimbing menanggapi. Pertemuan ini ditutup pada siang hari, dengan pengumuman bahwa pertemuan publik berikutnya akan berlangsung pada Minggu pagi di Teater Stadstuin. Seni berlangsung. Pada Sabtu malam, para peserta kongres ditawari malam seni di Teater Stadstuin, beberapa di antaranya telah kami sebutkan. Pertemuan publik ketiga. Pertemuan publik ketiga berlangsung pada Minggu pagi, 2 September, juga di Teater Stadstuin. Pada pertemuan ini, masalah ekonomi dibahas oleh Bapak Dr. Samsi, Bapak Tjokroaminoto, dan Bapak Singgih. Kita akan membahas topik-topik ini lebih lanjut. Selain Bapak Gobée dan Bapak Van der Plas, yang hadir pada pertemuan-pertemuan publik sebelumnya, kami mencatat anggota Dewan Rakyat JE Stokvis, Koesoemo Oetoyo, Soeroso, dan Soetadi. Bapak Stokvis, atas nama I.S.D.P., menyampaikan penghormatan dan kebanggaan kepada P.P.P.K.I., yang beliau sebut sebagai "front cokelat". Mosi. Dalam rapat tertutup P.P.P.KI. di gedung Klub Studi pada Sabtu pagi, 1 September, sebuah mosi disahkan, yang bunyinya kira-kira sebagai berikut: Rapat P.P.P.K.I. Surabaya di gedung Klub Studi (Boeboetan 4) pada hari Sabtu, 1 September 1928, dengan mempertimbangkan bahwa persatuan dalam gerakan rakyat nasional saat ini sangat penting dan serius bagi setiap tindakan dan gerakan nasional di Indonesia yang darinya hasil terbaik dapat diharapkan, dan untuk mencegah bahaya yang dapat mengakibatkan disintegrasi persatuan Indonesia, mengusulkan mosi berikut: 1. Dalam propaganda apa pun oleh berbagai partai politik P.P.P.K.I., setiap anggota harus menahan diri dari menggunakan kata-kata yang dapat menyinggung perkumpulan lain, dan tidak boleh mengungkapkan kritik yang tidak pantas terhadap partai-partai lain di P.P.P.K.I. 2. Setiap perselisihan akan diselesaikan dengan penyelesaian secara damai. Pemilihan Pengurus. Dalam rapat tertutup hari Sabtu, pengurus baru P.P.P.K.I. terpilih. Hasilnya adalah sebagai berikut: Dr. Raden Soetomo, ketua, dan Ir. Anwari, sekretaris-bendahara. Makan malam konferensi. Tadi malam, makan malam konferensi diadakan di gedung Klub Studi, dipandu oleh Poetri Boedi Sedjati. Acara tersebut berlangsung meriah. Berbagai perwakilan partai menyampaikan pidato. Beberapa peserta konferensi telah meninggalkan ruangan, dan peserta yang tersisa akan kembali ke lokasi masing-masing pagi ini’.

Dalam kongres PPPKI hari kedua sejumlah pembicara diahadirkan. Yang pertama adalah Ki Hadjar Dewantara, Dr. Samsi, Tjokroaminoto, dan Mr Singgih Soewijono dan Soedjono. Pada hari kedua ini dilakuka rapat tertutup untuk pemilihan pengurus. Pengurus baru P.P.P.K.I. terpilih adalah Dr. Raden Soetomo, ketua, dan Ir. Anwari, sekretaris-bendahara. Dengan demikian Dr Soetomo menggantikan Iskaq. Pada hari ketiga Dr. Samsi kembali diberi kesempatan untuk berbicara dalam bidang ekonomi.


De Indische courant, 04-09-1928: ‘Rapat umum ketiga. Kongres PPPKI. Kami diberitahu: Dalam rapat tertutup pertama, P.P.P.K.I. membentuk panitia untuk memajukan dan membangun pendidikan nasional. Panitia ini diberi mandat untuk mengkaji kemungkinan-kemungkinan perluasan pendidikan nasional dan melaporkan temuannya kepada P.P.P.K.I. pada waktunya. Kajian ini tidak hanya akan mencakup isu-isu mengenai pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, tetapi juga pembentukan dana yayasan. Berikut ini adalah tokoh-tokoh yang bertugas dalam panitia ini: Bapak Singgih dari Boedi-Oetomo, Dr. Soekiman dari Partai Sarekat Islam, dan Bapak Soejoedi dari P.N.I. (Partai Nasional Indonesia). Bidang Ekonomi. Sebagaimana halnya dengan pendidikan nasional, P.P.P.K.I. akan membahas isu pendirian Bank Nasional. Pada rapat tertutup kedua pada hari Sabtu, 1 September, sebuah panitia dibentuk untuk tujuan ini, yang terdiri dari Dr. Soekiman dari P.S. I., Bapak Soejoedi untuk P.N.I., dan Roedjito untuk Boedi-Oetomo. Komite ini diberi kesempatan untuk meminta nasihat ahli jika diperlukan. Sebuah komite studi juga dibentuk untuk mengembangkan program aksi dan, jika diperlukan, untuk menentukan arah masa depan P.P.P.K.I. Komite ini terdiri dari Bapak Tjokroaminoto untuk P.S.I., Bapak Soekarno untuk P.N.I., Bapak Thamrin untuk Kaoem Betawi, dan Bapak Ottosoebrata untuk Pasoendan. Selanjutnya, ketua, Bapak Iskaq, membacakan mosi yang kami sebutkan kemarin. Atas permintaan Dr. Samsi, yang akan menguraikan secara singkat isi nasihat pendahuluannya, beliau diberi kesempatan pertama untuk menjelaskan wawasannya mengenai peluang ekonomi bagi penduduk asli. Kekayaan penduduk asli semata-mata terdiri dari modal "mati", yaitu sawah dan rumah. Siapa pun yang ingin memulai usaha terpaksa meminjam uang dari orang lain dengan suku bunga tinggi. Pendirian Bank Nasional akan menjadi pedang bermata dua. Bank Kebudayaan akan menjadi penopang utama bagi usaha patungan dalam satu badan usaha. Modalnya akan berupa saham, dan badan usaha akan diberikan fasilitas dalam bentuk uang muka. Lebih lanjut, Bank Kebudayaan juga akan bertanggung jawab atas penjualan produk-produk masyarakat adat, dengan hak komisi. Dr Sjamsi yakin bahwa pendekatan ini tidak hanya akan membuahkan hasil, tetapi juga akan memiliki nilai edukasi. Hubungan langsung Bank Kebudayaan dengan pasar umum secara otomatis akan menghilangkan daya beli. Bapak Tjokroaminoto, pembicara kedua, berpendapat bahwa Bank Nasional seharusnya, terutama, mendukung rakyat. Dalam sistem perbankan saat ini, rakyat tidak dapat dilayani karena usaha kecil tidak memiliki kesempatan untuk berkembang. Dalam konteks ini, pembicara mengutip, sebagai contoh konsekuensi dari sistem saat ini, bahwa di Jepang, misalnya, sistem kredit hanya berada di tangan ... dua keluarga. Pembicara memperingatkan mereka yang hadir bahwa pelaksanaan tindakan nasional apa pun tidak dapat dilakukan jika tidak didahului dengan pengorbanan kekuatan dan harta benda. Lebih lanjut, pembicara ini juga menganjurkan pembentukan Bank Nasional. Bapak Singgih, pra-pembimbing ketiga, membahas pengaruh perdagangan ekspor terhadap masyarakat Indonesia, khususnya industri gula. Sektor pertanian di Indonesia sangat bergantung pada faktor-faktor produksi Indonesia: lahan dan tenaga kerja. Angka resmi yang diberikan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa total nilai ekspor produk olahan diperoleh dari sebagian kecil lahan sitaan. Porsi terbesar masih belum dimanfaatkan. Karena kebutuhan akan lahan memang sangat mendesak di sini, terjadi apa yang disebut "kelaparan lahan" di antara penduduk. Hak atas tanah dan pemanfaatannya yang lebih intensif melalui penanaman tanaman semusim sangat penting bagi pertumbuhan penduduk. Pada kongres Boedi-Oetomo, Dr. Radjiman menekankan bahwa terdapat kendala politik dan ekonomi yang menghambat dan menindas petani dalam mengelola lahan mereka. Faktor penghambat terpenting ini berasal dari pertanian skala besar Eropa. Radjiman menguraikan secara ekstensif isu gula, yang menghambat evolusi penduduk asli. Terakhir, Bapak Singgih menekankan pentingnya bagi para petani untuk memahami nilai tanah mereka sendiri dengan menunjukkan keuntungan yang lebih besar yang dapat diperoleh melalui budidaya tanaman ekspor dan komersial. Tenaga kerja pribumi juga harus lebih terorganisir daripada sebelumnya untuk memastikan bahwa untuk meningkatkan taraf hidup. Tugas kaum intelektuallah untuk "menyadarkan" para petani dan buruh upahan Indonesia. "Pembebasan politik berkaitan erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat ini," pungkas Pak Singgih. Kongres berikutnya. Kongres P.P.K.I. berikutnya akan diadakan di Solo. Perkumpulan Boedi-Oetomo kemudian akan menerima...’. 

Setelah Kongres PPPKI di Soerabaja berakhir, para peserta kembali ke tempat masing-masing. Tentu saja para peserta yang bertempat tinggal di Batavia seperti Parada Harahap. Yang kembali ke Bandoeng seperti Iskaq (yang baru berakhir jabatannya sebagai ketua PPKI) dan Ir Soekarno. Parada Harahap di Batavia kembali membuka front dengan pers Belanda.


Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 14-09-1928: ‘Pendapat Seorang Intelektual. Bertujuan untuk amplifikasi. Ikhtisar mingguan pers pribumi dan Melayu-Tionghoa, yang disusun oleh Bureau voor de Volkslectuur (Biro Sastra Populer), tak diragukan lagi bermanfaat, terutama bagi jurnalis Eropa, yang menemukan esensi dari apa yang diungkapkan dalam artikel-artikel panjang di surat kabar pribumi. Ikhtisar terbaru memuat kutipan dari Bintang Timoer, sebuah surat kabar yang dianggap "liberal," dan dari kutipan tersebut, apa yang ditulis tentang "Het Openbaar Gehoor" (Dengar Pendapat Umum) patut mendapat perhatian khusus. Dalam edisi 6 September—setelah kembali dari kongres P.P.P.K.I. di Surabaya, di mana ia mewakili Serikat Sumatra—pemimpin redaksi Parada Harahap menyampaikan pendapat tentang Dengar Pendapat Umum dan kritik yang muncul dari pers Eropa. Ia menggunakan judul: "Kesenjangan Antara Sana dan Sini" Penulis tidak hanya yakin bahwa Gubernur Jenderal telah jauh lebih berhati-hati daripada sebelumnya, dan tampaknya Yang Mulia menghadapi kendala besar, tetapi jelas belum putus asa. Namun di sisi lain, penulis yakin bahwa ketua Dewan Rakyat telah menunjukkan keberanian yang "wajar", yang dengannya Gubernur Jenderal menyatakan persetujuannya. Dari mana penulis apa yang harus disimpulkan dari hal ini adalah misteri bagi kita, karena tidak satu kata atau frasa pun menunjukkan hal ini. Di sini juga, seperti dalam banyak kasus dengan rekan-rekan pribumi kita, keinginan itu pastilah menjadi bapak pemikiran. Namun, kita akan membiarkan masalah ini sebagai hal yang tidak penting sebagaimana adanya, tetapi mengarahkan perhatian kita ke hal lain. Penulis melanjutkan, mengatakan dengan sangat berani: Orang Belanda yang memiliki keberanian untuk menilai penduduk asli dengan cara apa pun secara positif pasti dianggap sebagai musuh oleh orang Sana atau berbahaya bagi kepentingan mereka, dan dalam konteks ini ia menunjuk pada tindakan Dr Blankenstein di Digoel, yang tindakannya dikritik keras oleh sebagian pers Belanda’.

Tidak lama pula setelah Kongres PPPKI di Soerabaja, awal bulan September 1928 ini telah diadakan pertemuan federasi organisasi pemuda (PPPI) di Batavia (lihat De Indische courant, 08-09-1928).  Disebutkan surat kabar Bintang Timoer memberitakan bahwa dalam pertemuan federasi organisasi pemuda diputuskan untuk mengadakan Kongres Pemuda pada bulan Oktober untuk membahas masalah organisasi kepemudaan. Yang mana Panitia Kongres terdiri dari, antara lain: ketua, Soegondo (jur. studie); sekretaris, Mohamad Jamin (jur. studie); bendahara, Amir Sjarifoeddin Harahap (jur. studie).

 

Organisasi pemuda yang tergabung yakni PPPI, federasi organisasi kepemudaan Jong lslamitesbond, Pemoeda Indonesia, Jong Java, Jong Sumateranen bond, Jong Ambon, Jong-Batak dan Kaoem Pemoeda Betawi serta Jong Celebes. Catatan: PPPI adalah singkatan dari Perserikatan Peladjar-Peladjar Indonesia namun adakalanya ditulis Perserikan Pemoeda-Peladjar Indonesia (junior). Pada bulan September ini juga diketahui Soegondo lulus ujian kandidat kedua (lihat Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie, 13-09-1928). Disebutkan di Rechthoogeschool lulus ujian kandidat dua Soegondo. Besar dugaan Soegondo yang lulus ujian kandidat dua. 

Sementara itu, dalam rapat perwakilan pemuda (Pemoeda Indonesia, Jong-Java, Jong-Islamieten Bond, dan Jong-Sumatranen Bond) dipilih pengurus federasi (badan pusat) terdiri dari: ketua, Djauharsjah (Jong Sumatranen Bond), sekretaris Achmad Soemadi (Pemoeda Indonesia), dan bendahara Soeprapto (Jong Islamieten Bond). Nama Centraal Lichaam (Badan Pusat) diubah menjadi “Badan Permoefakatan”.


De Indische courant, 15-09-1928: ‘"Badan Pusat." Dalam rapat perwakilan Pemoeda Indonesia, Jong-Java, Jong-Islamieien Bond, dan Jong-Sumatranen Bond baru-baru ini, rancangan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dibahas, serta pemilihan pengurus baru. Pengurus baru ini terdiri dari: ketua Djauharsjah (Jong Sumatranen Bond), sekretaris Achmad Soemadi (Pemoeda Indonesia), dan bendahara Soeprapto (Jong Islamieten Bond). Salah satu poin penting dalam diskusi ini adalah penggantian nama "Badan Pusat" menjadi "nama Indonesia". Diputuskan bahwa Badan tersebut selanjutnya akan disebut "Badan Permoefakatan" Sulit untuk membicarakan program kerja yang tepat bagi badan yang baru dibentuk ini. Upaya akan dilakukan sesegera mungkin untuk mendirikan sebuah klub mahasiswa Indonesia di kota ini.

Pada saat ini ketua dan sekretaris Jong Sumatranen Bond tidak lagi Bahder Djohan dan Diapari Siregar. Yang menjadi ketua baru Pemoeda Sumatra adalah Mohamad Jamin. Sementara ketua Jong Indonesia (Pemoeda Indonesia) pusat di Bandoeng adalah Soegiono. Ketua Pemoeda Indonesia afdeeling Bandoeng adalah Soetan Sjahrir (lihat De locomotief, 14-03-1928). A Gani sebagai ketua Pemoeda Indonesia di Soerabaja (lihat De Indische courant, 15-10-1928). Jong Java diketuai oleh Koentjoro Poerbopranoto.


Pembentukan komite (panitia) Kongres Pemuda 1928 dipublikasikan oleh surat kabar Bintang Timoer yang dipimpin Parada Harahap yang kemudian dilansir De Indische courant, 08-09-1928. Ini tidak lama setelah kembali ke Batavia dari Kongres PPPKI di Soerabaja. Panitia inti adalah ketua, Soegondo (jur. studie); sekretaris, Mohamad Jamin (jur. studie); bendahara, Amir Sjarifoeddin Harahap (jur. studie). Ketiganya sama-sama mahasiswa Rechthoogeschool Batavia. Apakah ini serba kebetulan? Soegondo adalah ketua PPPI; Mohamad Jamin adalah ketua Pemoeda Sumatra (nama baru Jong Sumatranen Bond); Amir Sjarifoeddin Harahap (Bataksch Bond). Amir Sjarifoeddin Harahap lulusan sekolah menengah di Belanda yang meski masih tingkat pertama di Rechthoogeschool sudah menjadi pemimpin redaksi majalah Jong Batak. Sebagaimana disebut sebelumnya dekan Rechthoogeschool adalah Prof Dr Hoesein Djajadiningrat (yang mana di rumahnya pada bulan September 1927 diadakan pertemuan yang kemudian dibentuk komite pembentukan PPPKI dimana Parada Harahap sebagai sekretaris). Saat ini Parada Harahap masih menjabat sebagai sekretaris Sumatranen Bond. Ini mengingatkan pada kongres pemuda tahun 1926 yang menjadi ketua adalah M Thabrani (ketua jurnalis pribumi/Asia dimana Parada Harahap sebagai komisaris) dan wakil ketua adalah Bahder Djohan (ketua Jong Sumatranen Bond). Ini seakan mengindikasikan dalam penentuan struktur komite Kongres Pemuda 1926 dan Kongres Pemuda 1928 terdapat peran Parada Harahap? Tentu saja peran Parada Harap juga pada golongan senior (cikal bakal PPPKI).

Seperti disebut di atas, Kongres Pemuda akan diadakan pada akhir Oktober 1928. Iini berarti hari penyelenggaran Kongres Pemuda 1928 semakin dekat. Kongres Pemuda akan diadakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di Weltevreden.


Bataviaasch nieuwsblad, 29-10-1928: ‘Kongres Pemuda Indonesia. Sabtu malam di KSB (Katholieken Socialen Bond), Minggu pagi di bioscoop Oost Java, dan Minggu malam di gedung Indonesia-club di Kramat, Kongres Pemuda Indonesia diselenggarakan di kota ini, dihadiri oleh berbagai perkumpulan pemuda adat. Baik Sabtu maupun Minggu malam, beberapa pembicara terlibat dalam kegiatan politik, sehingga mendorong departemen investigasi politik untuk membubarkan mereka. Lebih lanjut, kongres berakhir tanpa insiden.

Sementara Kongres Pemuda berlangsung di Batavia, salah satu cabang Jong Java melakukan pertemuan di Solo. Dalam pertemuan ini cabang Solo akan mengusulkan pada Kongres Jong Java di Dogjakarta pada tanggal 25 Desember yang akan datang untuk turut bergabung dengan federasi organisasi kepemudaan yang telah terbentuk (yang tengah melakukan kongres saat ini).


De Indische courant, 30-10-1928: ‘Pertemuan Jong-Java. Pada Minggu pagi, diadakan pertemuan Jong-Java cabang Solo di perkumpulan Mangkoenagaran. Beberapa diskusi penting terkait kongres yang akan diselenggarakan pada tanggal 25 Desember di Djocja telah dilakukan. Mengenai kemungkinan Jong-Java bergabung dengan perkumpulan pemuda lain seperti PPPI, Jong Sumatranen-Bond, Jong-Batak, dan lain-lain, serta apakah akan menjadi federasi atau merger, pertemuan tersebut memutuskan untuk menggabungkan diri’.

Bagaimana jalannya rangkaian Kongres Pemuda yang diadakan pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 kurang terinformasikan dan sulit diperoleh. Hal ini berbeda dengan Kongres PPPKI sebulan sebelumnya pada akhir bulan September. Hasil-hasil Kongres PPPKI terpublikasikan secara lebih detail dan mudah diperoleh. Sudah barang tentu hasil-hasil dapat dibaca dalam majalah-majalah organisasi kepemudaan atau organisasi kebangsan termasuk organ dari organisasi Pemoeda Indonesia yakni majalah ‘Persatoean Indonesia’.


Nieuwe Rotterdamsche Courant, 20-12-1928: ‘Demi persatuan bangsa. Resolusi-resolusi kongres pemuda. Resolusi-resolusi kongres, yang diselenggarakan oleh perkumpulan-perkumpulan pemuda, tercantum dalam organ PNI, Persatoean Indonesia. Resolusi-resolusi ini meliputi perkumpulan: Jong Java, Pemoeda Sumatra, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Selebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoean Peladjar-Peladjar Indonesia. Resolusi-resolusi ini berbunyi: 1. Kami, putra dan putri Indonesia, mengakui hanya satu tanah air, yaitu Indonesia. 2. Kami, putra dan putri Indonesia, mengakui bahwa kami hanya satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. 3. Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia. Kongres menyatakan keyakinannya bahwa semua perkumpulan nasionalis Indonesia harus menjadikan resolusi-resolusi ini sebagai asas mereka; meyakini bahwa persatuan Indonesia dapat diperkokoh dengan berpegang teguh pada dasar-dasar persatuan itu: a. kemauan; b. asal-usul; c. bahasa; d. hukum adat; dan e. pendidikan dan kepanduan.

Surat kabar yang terbit di Belanda Nieuwe Rotterdamsche courant mempublikasikan hasil Kongres Pemuda pada bulan Oktober dari majalah Persatoean Indonesia. Disebutkan organisasi yang hadir adalah Jong Java, Pemoeda Sumatra, Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten Bond, Jong Bataksbond, Jong Selebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dan Perhimpoean Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI). Sementara saat pembentukan komite kongres pada awal bulan September seperti disebut di atas adalah PPPI, Jong lslamites bond, Pemoeda Indonesia, Jong Java, Jong Sumateranen bond (yang telah berganti nama menjadi Pemoeda Sumatra), Jong Ambon, Jong Batak dan Kaoem Pemoeda Betawi serta Jong Celebes. Dalam hal ini tidak hadir perwakilan Jong Ambon.


Hasil Kongres Pemuda yang dibuat pada tanggal 28 Oktober berupa resolusi-resolusi yang intinya terdiri: 1. Kami, putra dan putri Indonesia, mengakui hanya satu tanah air, yaitu Indonesia. 2. Kami, putra dan putri Indonesia, mengakui bahwa kami hanya satu bangsa, yaitu bangsa Indonesia. 3. Kami, putra dan putri Indonesia, menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu Bahasa Indonesia. Dalam resolusi ini juga menyatakan keyakinan bahwa semua perkumpulan nasionalis Indonesia harus menjadikan resolusi-resolusi ini sebagai asas dan meyakini bahwa persatuan Indonesia dapat diperkokoh dengan berpegang teguh pada dasar-dasar persatuan itu: a. kemauan; b. asal-usul; c. bahasa; d. hukum adat; dan e. pendidikan dan kepanduan. Resolusi-resolusi Kongres Pemuda 1928 kurang lebih sama dengan yang beredar pada masa ini.

Plakat ‘Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia’ yang beredar masa ini, bagaimana itu dapat dikatan asli? Dalam hal ini tidak berbicara tentang wujud fisiknya tetapi apa yang menjadi isinya. Jika judulnya adalah Poetoesan Congres pada baris pertama dan Pemoeda-Pemoeda Indonesia pada baris kedua, cukup masuk akal. Pertama, bahwa plakat harus memiliki judul. Kedua, bahwa penyebutan dan penulisan Poetoesan Congres yang masih menggunakan ejaan (bahasa Belanda) yakni ‘congres’ (bukan ‘kongres’) saat itu terbilang lazim sebagai ‘poetoesan congres’ (lihat antara lain Het Indische volk; weekblad van de Afdeeling Batavia der Soc. Dem. Arbeiderspartij, jrg 13, 1930, No. 14-15). Ketiga, sebutan ‘Pemoeda-Pemoeda Indonesia’ saat itu sudah umum seperti nama organisasi ‘Pemoeda Sumatra’ dan ‘Pemoeda Indonesia’ (yang juga turut dalam kongres tersebut). Dalam hal ini penyebutan/penulisan ‘pemoeda-pemoeda’ saat itu juga lazim (lihat antara lain De locomotief, 19-06-1934). Tidak pernah ditemukan ‘pemoeda-pemoedi’. Untuk sekadar menambahkan penyebutan/penulisan ‘pemoeda-pemoedi’ baru muncul pada perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


Keempat, tentang isi putasan utama, yakni: 1. Kami, poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah satu, tanah Indonesia. 2. Kami, poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe bangsa Indonesia. 3. Kami, poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia, dapat dikatakan valid karena dapat dibandingkan dengan salinan ke dalam bahasa Belanda pada kata “poetra-poetri” sebagai kata “zonen en dochteren” yang dimuat dalam surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant, 20-12-1928. Demikian juga dengan sendirinya [ada bagian penutup poetoesan congress tentang keyakinan pelaksanaannya, juga dapat dikatakan valid.

Dalam plakat tersebut tidak terdapat penyebutan/penulisan Kongres Pemoeda. Faktanya, dari berbagai sumber sejaman yang dapat ditelusuri, tidak pernah terinformasikan. Yang terinformasikan adalah dalam bahasa Belanda yakni ‘jeugdcongres’ yang diartikan sebagai ‘kongres pemuda’. Lantas mengapa demikianj? Fakta bahwa untuk kongres-kongres yang lainnya secara tegas disebutkan/dituliskan seperti Kongres PPPKI, Kongres Pemoeda Indonesia, Kongres Jong Java dan lainnya seperti “Kongres Perserikatan Pegawai Pelaboehan”. Lantas mengapa dengan penyebutan/penulisan Kongres Pemoeda?


Pada saat ini bahasa yang digunakan masih tercampur (dan bahkan saling tertukar) antara bahasa Belanda dengan bahasa Melayu/Bahasa Indonesia seperti ‘Onderwijs Kongres’ (mengapa tidak Kongres Goeroe?); dan tentu saja nama-nama organisasi kepemudaan Indonesia seperti Jong Java dan Jong Islamieten Bond, Jong Indonesia (kemudian diubah menjadi Pemoeda Indonesia) dan Jong Sumatranen Bond (diubah menjadi Pemoeda Sumatra”). Namun perlu disadari penulisan/ejaan dalam bahasa Belanda ‘congres’ dan ‘kongres’ sama-sama eksis seperti ‘kongres der PNI. Namun ‘kongres pemoeda’ yang diadakan di Indonesia pada tahun 1928 selalu ditulis ‘jeugdcongres’ bukan ‘jeugdkongres’.

Meski demikian, tidak disebutkan dalam penulisan ‘kongres pemoeda’ tetapi rangkatan kegiatan kongres pemuda tahun 1928 itu tetap dapat diartikan sebagai ‘kongres pemoeda’ karena merujuk pada ‘jeugdcongres’. Lalu bagaimana dengan terminologi ‘sumpah pemuda’ pada masa kini?


Fakta bahwa di dalam ‘poetoesan congres’ tahun 1928 yang dinyatakan adalah suatu ikrar (pernyatan/pengakuan) sebagaimana dalam frase “Kami, poetra dan poetri Indonesia, mengakoe/mendjoendjoeng “. Dalam konteks ini, tidak ada indikasi tentang suatu ‘sumpah’. Oleh karena itu, ‘poetoesan congres’ hanya mengindikasikan suatu keputusan hasil kongres yang didalamnya terdapat tiga ikrar.

Lantas kapan muncul terminologi ‘sumpah pemuda’? Namun perlu disadari bahwa Kongres Pemuda yang dimaksud dalam hal ini tidak hanya kongres pemuda tahun 1926 dan tahun 1928. Pada tahun 1927 secara organisasi akan diadakan kongres tetapi rencana kongres pada tahun itu tidak dapat direalisasikan. Mengapa? Tidak terinformasi. Yang terinformasikan pada bulan September 1928 akan diadakan kongres pemuda pada bulan Oktober 1928. Dalam konteks ini tentu saja kongres pemuda berikutnya juga telah diadakan (namun tidak terinformasikan). Oleh karena itu, dalam konteks ini pula mengapa sejarah Kongres Pemuda di Indonesia perlu ditulis (ulang)---seperti halnya pada masa ini tentang kegiatan penulisan ulang Sejarah Indonesia. Lalu kapan Kongres Pemuda berikutnya?


Satu yang jelas ‘poetoesan congres’ tahun 1928 tengah diimplementasikan. Salah satu amanat dalam ‘poetoesan congres’ adalah sosialisasi tentang tiga ikrar kepada semua perkumpulan nasionalis Indonesia sebagai asas. Sudah barang tentu itu membutuhkan waktu. Bahkan Jong Ambon tidak hadir dalam kongres. Tentu saja jangan lupa bahwa masih ada organisasi-organisasi kebangsaan (senior) dimana Boedi Oetomo belum bergabung dalam PPPKI. Selain itu, masih banyak organisasi-organisasi lainnya yang relevan yang perlu diterapkan asas tiga ikrar tersebut.

Tunggu deskripsi lengkapnya

 

 

 

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur. Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar