*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini
Baca juga:Sejarah Kota Surabaya (26): Tielman Brothers di Belanda, The Timor Rhythm Brothers di Indonesia;Band Tertua Surabaya
Baca juga:Sejarah Kota Surabaya (26): Tielman Brothers di Belanda, The Timor Rhythm Brothers di Indonesia;Band Tertua Surabaya
Musik Dangdut pada masa ini, musik Indorock
pada tempo doeloe. Musik dangdut adalah musik yang bisa dibedakan dengan musik
gambus dari Arab dan musik ‘Bollywood’ dari India. Demikian juga musik
Indorock, musik yang bisa dibedakan dengan musik rock dari Amerika. Musik
keroncong yang telah populer di Indonesia sejak tahun 1920an kemudian pada
tahun 1940an mendapat nuansa baru dengan masuknya unsur musik Hawaiaan dan
musik rock dari Amerika. Tentu saja belum ada televisi, para musisi Indonesia
mengadopsinya melalui majalah Amerika dan musik Amerika melalui saluran radio
Singapura dan Filipina. Ibarat sayur asem atau sayur lodeh, muncul pecal atau
gado-gado yang khas rasanya.
Transformasi musik Indorock |
Musik ‘asli’ Indorock adalah sebuah
pergumulan para musisi Indonesia. Musik Indorock dibawa ke Belanda, dan kemudian
berkembang di Jerman sebagai musik rock’n roll (Indorock). Musik Indorock kemudian
diadopsi oleh The Beatles dan Rolling Stones dan Elvis Presley di Amerika Serikat.
Musik rock’n roll yang juga berakar dari musik rock Amerika dengan mudah
diterima di Amerika. Bagaimana proses transformasi itu berlangsung tentu masih
menarik untuk diktehaui. Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri
sumber-simber tempo doeloe.
Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah
‘sumber primer’ seperti surat kabar sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku
hanya digunakan sebagai pendukung (pembanding), karena saya anggap buku juga
merupakan hasil kompilasi (analisis) dari sumber-sumber primer. Dalam penulisan
artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi karena sudah disebut di artikel
saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan atau sumber yang sudah
pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya untuk
lebih menekankan saja*.
Indorock, Akar Musik Pop Belanda: Irama Musik Indonesia
Sesuai Di Telinga Jerman
Penyanyi rock’n roll terkenal, Elvis Presley
mengecat rambutnya dengan warna hitam (aslinya pirang) adalah cara untuk meniru
gaya asli para musisi Indorock di Jerman (orang Indo asal Indonesia) yang
berambut hitam misalnya Andy Tielman dan Eddie Chatelin. Masih di Jerman,
ketika Tielman Brothers (empat bersaudara anak-anak Tielman) dan Crazy Rock
(Eddie Chatelin) yang sangat terkenal, memang berambut hitam, sangat dipuji oleh
personel The Beatles (saat itu dua grup Indo sudah masuk rekaman di Jerman
sementara The Beatles masih ngamen). Lalu sengaja tidak sengaja gaya dan cara
bermain musik para grup Indo ini ditiru oleh The Beatles dan The Rolling
Stones. Musik Inggris dan musik Amerika tidak mengenal kasta.
Musik Belanda sangat
diskriminatif. Para musisi asal Indonesia (genre musik Indorock) yang mulai
berkembang di Belanda terusir di Belanda. Para kritikus musik Belanda yang
rasial, seperti Willem Duys dan Mies Bouwman menyebut musik Indorock adalah
musik hutan belantara dan para pemainnya monyet. Lalu muncullah kerusuhan tahun
1958 (antara para musisi Belanda dengan para musisi Indo). Kata-kata sarkas ini
tidak membuat musisi asal Indonesia patah arang, lalu hijrah ke Jerman. Namun
tidak terduga musik Indorock sangat sesuai di telinga orang-orang Jerman. Musik
Indorock berkembang di Jerman yang dimulai dua grup musik The Tielman Brothers
dan The Crazy Rockers. Musik rekaman dua grup musik inilah yang membuat grup
musik Inggris yang masih ngamen (seperti The Beatles) kagum. Celakanya, musik
piringan hitam ini dijual di Belanda. Laris manis diborong oleh gadis-gadis
Belanda. Para musisi Belanda cemburu berat. Sejak inilah muncul musik pop
Belanda yang sejatinya berirama Indorock. Musik tanpa mengenal batas-batas
budaya (musik rock Amerika sendiri diadopsi di Indonesia yang melahirkan musik
Indorock).
Jika kita mendengar musik-musik lawas seperti
Rachmat Kartolo, Koes Bersaudara dan Panbers, musik-musik mereka sekilas tampak
meniru musik-musik Amerika, tetapi sejatinya adalah garis continuum dari para
musisi Indonesia yang banyak berhijrah ke Belanda sejak awal tahun 1950an. Pada
akhir tahun 1940an dan awal tahun 1950an musik pop Indonesia terbagi dalam
kelompok. Pada kelompok pertama adalah musisi asli Indonesia seperti Gordon
Tobing dan Bing Slamet yang membawakan lagu paduan keroncong musik Hawaian,
sementara pada kelompok kedua adalah musisi Indo seperti Tielman Brothers dari
Soerabaja yang mengusung musik paduan musik keroncong dan musik rock Amerika.
Kelompok Indo inilah yang membawa musik Indorock ke Eropa (Belanda dan Jerman).
Sedangkan kelompok Gordon Tobing dan Bing Slamet melahirkan musisi-musisi baru
seperti Rachmat Kartolo (Jakarta), Koes Bersaudara (Jogja) dan Panbers
(Soerabaja). Dalam perkembangannya Rachmat Kartolo seakan tampak meniru Elvis
Presley, padahal sejatinya Elvis Presley yang meniru gaya bermusik pada musisi
Indorock di Jerman.
Kerontjong (1930) |
Eksistensi musik Indorock telah diteliti oleh
seorang ahli musik dari Utrecht, Lutgard Mutsaers. Temuannya adalah bahwa musik
Indorock menjadi landasan lahirnya musik pop Belanda. Lutgard Mutsaers adalah anggota
Asosiasi Internasional untuk Studi Musik Populer.
Sejarah Indorock ini
disajikan oleh Lutgard Mutsaers dalam buku yang berjudul Rockin' Ramona, een
gekleurde kijk op de bakermat van de Nederpop. Buku ini diterbitkan oleh SDU, 's
Gravenhage tahun 1989 (153 halaman). Pada sampul buku potret Andy Tielman
(pimpinan band Tielman Brothers). Andy sendiri bukan yang paling tua dalam
empat bersaudara itu, seperti hanya Benny Panjaitan yang memimpin tiga
saudaranya yang lain. Buku Rockin' Ramona ini boleh dikatakan satu-satunya buku
yang secara teliti mengisahkan kisah awal para musisi Indorock di Belanda.
Dalam buku Rockin 'Ramona penulis membedakan peran band rock Indo dan Maluku.
Temuan Lutgard Mutsaers telah merehabiltasi yang
mana padangan publik selama ini di Belanda menganggap musisi-musisi asal
Indonesia tidak berperan penting. Boleh jadi anggapan ini karena adanya sikap
rasial dari segelintir orang yang menyebut musik Indorock sebagai musik hutan
belantara dan para pemainnya monyet. Namun publik Belanda keliru, karena para
musisi Indorock terus survive di ‘hutan belantara’ Jerman dan mendapat
perhatian yang besar. Dari Jerman album-album Indorock membanjiri toko-toko
musik di Belanda yang sangat digandrungi gadis-gadis Belanda. Penafsiran inilah
yang diplintir di Belanda seakan musisi asal Indonesia tidak punya peran. Lutgard
Mutsaers melihatnya bahwa para musisi-musisi adal Indonesialah yang membentuk
dasar dunia musik pop Belanda.
Gambus (1940) |
Apa yang dilakukan Lutgard Mutsaers bukanlah
hal baru soal kekeliruan orang Belanda dalam menafsirkan dan mencerna musik,
lebih-lebih musik yang aslinya dari Indonesia. Pada tahun 1934 lembaga
pengetahuan di Batavia mengundang seorang peneliti musik Jerman dari
Universitas Wina (Austria) Dr. Karl Halusa hanya karena tidak ada orang Belanda
yang memahami betul musik asli Indonesia padahal Belanda sudah sekian ratus
tahun berada di Indonesia. Dr. Halusa sangat tercengang karena begitu
berwarnanya musik alami Indonesia dengan instrumen musik yang sangat beragam dan
ragam nada-nada yang sangat bervariasi. Tampaknya hanya orang-orang Indo yang
memahami hasil riset Dr. Halusa tersebut. Orang-orang Belanda tetap tidak
peduli, bahkan nyinyir macam Willem Duys dan Mies Bouwman.
Beberapa dasarwarsa sebelum Dr. Karl Halusa, juga seorang
berdarah Jerman yang menghargai musik asli Indonesia. Paul Seelig, seorang
musisi yang banyak berguru di Jerman dan Amerika menemukan musik tradisi
Indonesia (gamelan) dapat dipadukan dengan musik Eropa. Pada tahun 1909
memperkenalkan hasil karyanya yang diberi judul Javaanche Rhapsody.
Setelah sukses para musisi Indorock di Jerman
(dan digandrungi gadis-gadis) Belanda, para musisi Belanda lambat laun
menyadari dan mengadopsi musik Indorock, seperti Rene Nodelijk. Para pembela Willem
Duys dan Mies Bouwman mulai ‘ngeles’ bahwa Willem Duys dan Mies Bouwman tidak
bermaksud untuk menghina tetapi dikatakan bahwa Willem Duys dan Mies Bouwman
hanya kurang suka dengan musik yang berayun (baca: roll) dan yang berisik (baca:
rock).
Tampaknya ketidaksukaan orang-orang Belanda terhadap
musik asli Indonesia tidaklah dalm arti teknis tetapi lebih pada masalah
sosiologis. Orang-orang Belanda di Indonesia tampaknya menganggap musik asli
Indonesia tidak memiliki nuansa musik. Permasalahan ini pernah muncul tahun
1934 ketika orang-orang Indonesia yang juga membayar pajak radio merasa ada
kebijakan diskriminatif dalam soal progam musik di Radio Nirom, Tidak ada musik
asli Indonesia hanya musik Eropa/Amerika yang ada. Lalu muncul suatu semacam
petisi untuk menuntut Radio Nirom agar musik Indonesia mendapat tempat. Para
manajemen Radio Nirom akhirnya terpaksa mengabulkan dengan mencari alasan bahwa
mereka menggangap musik asli Indonesia kurang berterima di telinga orang
Belanda. Oleh karenanya perjuangan para musisi asal Indonesia di Belanda tahun
1950an dan 1960an seakan mengulangi perjuangan yang dilakukan oleh para
pendengar radio di Indonesia pada tahun 1930an.
Orang Indo dan Orang Maluku: Diantara Orang Belanda dan
Orang Indonesia
Karena alasan politik, para orangtua mereka,
anak-anak Indo dan sebagian orang-orang Maluku membawa mereka berpindah ke
Belanda sejak tahun 1949. Dari kelompok migran anak-anak Indo inilah muncul
grup-grup musik Indorock. Namun ternyata orang-orang Maluku dan juga orang Indo
(campuran Eropa/Belanda dan pribumi) kurang berterima diantara orang-orang
Belanda di Belanda. Willem Duys dan Mies Bouwman tampaknya termasuk dalam
kelompok rasial garis keras.
Orang-orang Indo di Belanda tetap dianggap orang asing.
Bahkan keluarga Alex dan Eddie van Halen (yang berdarah Indo) terpaksa harus
merantau ke Amerika Serikat hanya untuk sekadar menyambung hidup. Seperti para
musisi Indorock di Jerman, Alex dan Edie van Halen bisa sukses di Amerika. Daya
juang anak-anak Indo tidak kalah dengan daya juang anak-anak Maluku yang ada di
Belanda. Para musisi asal Indonesia tertolong mencapai kehidupan yang baik
karena genetik musik asli Indonesia.
Orang-orang Indo dan
orang-orang Maluku di Belanda sangat mencintai Indonesia. Boleh jadi itu karena
orang-orang Indo tetap tidak dipandang sebagai orang Belanda. Ada antusiasme
para Indo ini ingin kembali ke Indonesia tetapi mereka merasa sangat banyak
kesulitan. Orang Indonesia juga menganggap mereka bukan (lagi) sebagai orang (asli)
Indonesia.
Orang Maluku adalah asli
Indonesia yang secara politik (karena berpatisipasi dalam KNIL) telah memilih
menjadi warga negara Belanda. Sementara orang Indo adalah orang keturunan yang
berdarah Indonesia (Eropa/Belanda dan Indonesia). Dalam menamai band di antara
dua kelompok sosial ini di Belanda tampak sebagian memiliki nama black untuk
orang Maluku (seperti The Black Cats, The Black Knights atau Black Magic) dan blue
untuk orang Indo (seperti The Blue Eagles dan Blue Diamonds).
Kesulitan orang Indo, berbeda dengan
orang-rang Maluku, orang-orang Indo harus mengubah nama Belanda mereka.
Sementara orang-orang Maluku tetap menggunakan marga mereka di belakang nama.
Orang-orang Indo seakan berada di area yang tidak jelas (tidak mendapat tempat
di negara tujuan dan juga tidak dianggap lagi di negara asal). Bahkan keluarga Alex
dan Eddie van Halen mengakui bahwa di Amerika juga mereka mengalami tindakan
diskriminatif.
Setelah situasi kondusif, para migran (Indo dan Maluku)
banyak yang ingin berkunjung ke Indonesia. Mereka teringat alam yang indah, sawah-sawah
yang cantik dan ngarai-ngarai yang eksotik. Namun antara orang Indo dan orang
Maluku memiliki persepsi yang berbeda tentang kunjungan ke Indonesia. Ketika
orang-orang Belanda menanyakan mereka mau kemana, orang-orang Indo hanya bisa
menjawab mau ke Indonesia untuk berlibur; sementara orang Maluku dengan tegas
menyakan mau pulang kampong (mudik). Dalam hal ini, orang Indo tidak memiliki
kampong baru juga tidak memiliki kampong asal lagi, sementara orang-orang Maluku
merasa masih memiliki kampong halaman.
Musik Indorock setelah mencampai sukses dan
pernah mendominasi musik di Belanda akhirnya memudar lalu hanya terdengar
sayup-sayup. Disamping band-band Inggris macam The Beatles dan The Rolling
Stones yang merontokkan semua grup band Indorock sekitar pertengahan 1960am juga
disebabkan semakin terjadinya polarisasi sosiologis antara orang-orang Belanda
di satu pihak dan orang-orang Indo/Maluku di pihak lain. Musik pop Belanda
mengambil alih estafet dari irama musik Indorock. Singkat kata: Indorock telah
mengawali terbentuknya musik pop Belanda. Musik Indorock kemudian menjadi masa
lalu, masa yang pertama.
Musik Indorock secara perlahan tenggelam, arus gelombang ke
pantai telah terserap pasir. Hingga waktu yang lama kotak pandora itu dibuka
oleh Lutgard Mutsaers dengan temuan bahwa musik Indorock adalah peletak dasar
musik pop Belanda. Tentu saja para pionir musisi Indo dan Maluku itu masih ada yang
masih hidup hingga ini hari paling tidak satu yang penting Eddie Chatelin,
kelahiran Bandoeng, nenek dari Padang. Namun anehnya, pers Belanda hanya bilang
Alex dan Eddie van Halen sebagai salah satu musisi kami yang terkenal di luar
negeri tanpa pernah menyebut dari mana asal-usulnya. Alex dan Eddie van Halen
adalah Indo yang terusir dari Belanda. Memang Alex dan Eddie van Halen lahir di
Amsterdam, tetapi ibunya adalah kelahiran Rangkasbitung dan nenek asli
Poerworedjo.
Musik Keroncong di Indonesia dan Musik Keroncong di
Belanda
Musik Indorock berakar dari musik keroncong
yang dibawa dari Indonesia. Musik Indorock inilah yang kemudian di Belanda
bertransformasi menjadi musik rock’n roll yang kemudian berkembang di Jerman
dan Amerika Serikat. Namun van Halen di Amerika Serikat lebih fokus pada musik
rock Amerika daripada musik rock’n roll ala Indorock.
Meski demikian, Eddie van Halen sangat piawai soal gitar
dengan cara mempopulerkan cara tapping, Jari-jari Eddie van Halen seakan
mengingatkan genetik musik Indonesia masih mengalir di dalam darahnya. Oleh
karena pers Belanda tidak pernah menyebut asal-usulnya, belum lama ini Eddie
van Halen menyebut dirinya seorang Indo, kelahiran Rangkasbitung.
Tentu saja musik keroncong masih hidup di
Indonesia hingga ini hari. Akan tetapi ketika musik Indorock diperkenalkan di
Belanda tahun 1950an, tidaklah dikenal musik keroncong di Belanda. Namun pada
tiga dasawarsa yang lalu musik keroncong hadir di Belanda, paling tidak di
Amsterdam (lihat De Volkskrant, 26-08-1989).
Grup musik keroncong ini menyebut dirinya Kroncong Orkest
Amsterdam. Akan tetapi para musisi keroncong di Amsterdam ini bukan berasal
dari Indonesia, melainkan orang-orang Suriname yang beretnis Jawa. Musik
keconcong ini diperdengarkan secara reguler di radio Surinaamse Radio Bangsa
Jawa. Gagasan ini muncul karena populasi orang Jawa asal Suriname cukup banyak
di Belanda (bahkan melebihi warga Belanda etnik Jawa asal Indonesia). Musik
keroncong di Suriname berasal dari musik keroncong di Indonesia. Ini sehubungan
dengan banyaknya migran etnik Jawa asal Indonesia yang bekerja di Suriname
sejak tahun 1880an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar