*Untuk
melihat semua artikel Sejarah Lombok dalam blog ini Klik Disini
Sejarah zaman kuno di provinsi Nusa Tenggara Barat, paling tidak dapat dibedakan pada dua pulau besar, pulau Sumbawa dan pulau Lombok. Satu tanda-tanda zaman kuno di dua pulau tersebut terdapat di wilayah Bima, pulau Sumbawa yakni prasasti Wadu Tunti. Prasasti ini tentulah penting karena teksnya, meski tidak lengkap karena aus, masih dapat dibaca, tentu saja masih dapat diinterpretasi. Sehubungan dengan nama Bima, tempat ditemukan parasasti, dalam naskah Negarakertagama yang disusun Mpu Prapanca tahun 1365 juga disebut nama Bima dan Lombok (lihat Prof Kern, 1919).
Lantas bagaimana sejarah zaman kuno di provinsi Nusa Tenggara Barat? Tentu saja tidak berdiri sendiri, besar kemungkinan terkait di pulau-pulau sebelah barat (provinsi Bali) dan pulau-pulau sebelah timur (provinsi Nusa Tenggara Timur). Namun posisi pulau Sumbawa tempat ditemukan prasasti menjadi strategis memahami sejarah zaman kuno di kawasan. Lalu apaakah ada hubungan kerajaan-kerajaan di wilayah (pulau) Sumbawa dengan kerajaan-kerajaan besar pada era prasasti dibuat? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.
Prasasti Wadu Tunti di Sumbawa: Kerajaan Majapahit dan Kerajaan Aru
Diantara beberapa temuan zaman kuno di provinsi Nusa Tenggara Barat, khususnya di (pulau) Sumbawa, prasasti Wadu Tunti yang terpenting. Hal itu karena ada teks yang cukup banyak beraksara Jawa Kuno dengan bahasa Jawa Kuno. Itulah keutamaan teks jika hanya sekadar gambar pada prasasti. Penemuan prasasti di Sumbawa, dengan latar berlakang berbagai prasasti di Jawa dan Sumatra, akan memperkuat informasi untuk lebih memahami atau debaliknya dengan prasasti-prasasti yang ditemukan di Flores, di Seko dan di Minahasa.
Prof Kern dalam bukunya yang terbit 1919 yang menyajikan naskah Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca tahun 1365 dan berbagai ulasan dan kesimpulannya paling tidak didapatkan bagaimana gambaran Kerajaan Majaphir tahun 1365 atau sebelumnuya. Dalam hubungan dengan nama di pulaua Lombok dan Sumbawa, Prof Kern menyatukan berbagai tempat yang menjadi mitra persahabatan (perdagangan) Majaphit di dalam satu peta. Pada peta tersebut di pulau Lombok disebut nama Lombok Mirah (Lombok) dan Saksak (Sasak). Sementasi di pulau Sumbawa disebut nama Taliwang, Dompo (Dompu), Bhima, Sanghyang Api (suatu pulau gunung api) dan Sape (Sapi). Sedangkan di sebelah barat Lombok disebut Bali, di sebelah timur Sumbawa disebut Sumba. Dalam hal ini tampaknya nama Sumba lebih awal dikenal dari nama Sumbawa, seperti halnya Solor dan Timor lebih awal dikenal daripada nama Flores. Yang perlu diperhatikan dalam posisi Lombok dan Sumbawa ini di sebelah utara sudah disebut nama Makassar, Bantaeng dan Selayar.
Dari prasasti Wadu Tunti (bahasa Bima untuk Batu Tulis) yang beraksara dengan bahasa Jawa Kuno, para ahli menyebut teks pada prasasti dibuat pada era (kerajaan) Majapahit. Dalam deskripsi Kern, tidak ada indikasi Majapahit telah menyerang nama-nama tempat itu, tetapi pada pupuh-15 hanya disebutkan wilayah Majapahit dalam bermitra (perdagangan). Dalam posisi tahun 1365 atau sebelumnya nama-nama tempat di Lombok dan Sumbawa adalah nama-nama yang eksis pada era Majapahit yang diduga sebagai pelabuhan (kerajaan) yang independen. Dalam hubungan ini kita dapat mengutip teks prasasti Wadu Tunti sebagai berikut (hasil pembacaan Balai Arkeologi Denpasar):
//ni wuhani.
nira sang lumiwat
ta wani winidhi sahilangnya.......a
tani bhalang geni diuputan lani balutani
ngilang panini mahilangnya nira sang ngaji sapalu yiki
ba hanipuh apari sadatenga ni sapalu //
panglunga pidu rikasa//
.........sira sang ngangatura
.........ruwang nira sang ngaji
.........sapalu//.
Alihbahasa (Balai Arkeologi Denpasar)
Ketahuilah
Beliau (mereka) yang melewati tempat ini (liwat)
berani ditentukan (dipilih) akan hilang...
.....melemparkan api, gugur (duputan) langit
hilang ditiadakan (panini) hilanglah (moksa?) beliau Sang ngaji raja sapalu ini
.....menghancurkan (hanipuh) ketika beliau datang di negara Sapalu
pergi lenyap (panglunga) ke angkasa
.....beliau yang akan mengatur (menyampaikan)
.....teman (pengikut) beliau Sang ngaji
.....sapalu
Dari prasasti Wadu Tunti, meski pada era Majapahit, namun tidak ada indikasi bahwa Bhima (tempat ditemukan prasasti) tidak dalam posisi di bawah (kerajaan) Majapahit. Yang ada dalam teks adalah nama raja Sang ngaji dan nama tempat (kerajaan) Sapalu dan Hanipuh. Nama raja dan nama tempat ini tampaknya nama yang mirip kita kenal pada masa ini sebagai nama Sangaji dan nama Saparua dan Manipa. Hanya itu saja yang dapat diinterpretasi dari teks tersebut, selainnya kita hanya menduga-duga, apakah ada hubungan nama raja Sang Haji dan nama Saparua dan Manipa di satu sisi dengan nama Bhima.
Namun jika diperhatikan secara cermat secara kontekstual (di luar teks), Kerajaan Bima (sesuai namanya) awalnya beragama Hindoe, tetapi kini sudah memiliki hubungan dengan raja dari Saparua yang sudah Islam dan bergelar haji. Kerajaan Saparua akan membantu kerajaan Bima jika ada yang bermaksud jahat kepada (kerajaan) Bima. Dimana kerajaan Saparua berada? Pada teks Negarakertagama (Kern) hanya disebut nama-nama tempat di wilayah Maluku yang sekarang adalah Hutan Kadarli (Buru), Ambuwan (Amboina), Muar, Ceram (Seram), Wandan (Banda), Gurun, Maloko. Kern mengidentifikasi ada dua nama Gurun yakni pulau Nusa Penida yang sekarang dan pulau di tenggara Seram, sementara Kern megidentifikasi nama Muar tepat pada pulau Saparua yang sekarang (di tenggara pulau Haruku). Dalam hal ini versi Kern Saparua adalah Muar, maka nama Saparua pada teks Wadu Tunti adalah nama Muar versi Negarakertagama. Boleh jadi pada era Majapahit Saparua (Negarakertagaa) masih diidentifikasi Muar tetapi pada era prasasti Wadu Tunti namanya sudah menjadi Saparua. Sementara nama Hanipuh dalam teks Wadu Tunti adalah pulau Manipa yang sekarang. Kelak pada era VOC nama Manipa terkenal karena nama Kaptein Jonker, putra Sangaji. Dalam hubungan ini, raja Saparua adalah Sang Haji dari Manipa. Lantas bagaimana dengan nama Haruku yang sekarang (tetangga Saparua). Kern tidak mengidentifikasi pulau tetangga Muar karena tidak ada di Negara Kertagama (dan juga tidak ada dala prasasti Wadu Tunti. Pulau tetangga itu kini dikenal sebagai pulau Haruku. Seperti kita lihat nanti nama Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor berkolaborasi dalam navigasi pelayaran perdagangan dari pantai timur Sumatra hingga ke kepulauan Maluku. Dalam hal ini Muar mengacu pada nama Moor (seperti di semenanjung Malaka) dan nama Haruku merujuk pada nama Kerajaan Aru (H-aru-ku). Dengan kara lain orang-orang Kerajaan Aru dan pedagang-pedagang Moor berada di pulau yang berdekatan. Pulau Muat atau Saparua menjadi pusat perdagangan sementara Haruku menjadi feeder.
Kerajaan Saparua di tenggara Seram yang rajanya bergelar haji, sangat beralasan. Hal ini dapat dijelaskab bahwa dua nama di wilayah Maluku yakni Maloko dan Muar lebih mirip nama-nama para pedagang Moor yang berbasis di pantai timur Sumatra dan pantai barat Semenanjung. Nama Maloko (mirip Maroko daripada Malaka) dan nama Muar (merujuk pada nama Moor, nama kota di semenanjung Malaka yang menjadi pusat komunitas orang-orang Moor) telah membentuk pelabuhan perdagangan di Moloko (Ternate) dan dekat Amboina, yang mana nama Muar pada Negarakertanegara (Kern) adalah tetangga pulau Haruku yang sekarang. Bukankah nama Maloko dan Muar terkesan mirip satu sama lain (nama Moor). Orang-orang Moor adalah pedagang-pedagang beragama Islam yang berasal dari Afrika Utara. Sedangkan nama Haruku merujuk pada nama Kerajaan Aru.
Orang-orang Moor (berasal dari Mauritania, Maroko dan Tunisia) pasca Perang Salib di Eropa Selatan, Cordoba-Spanyol) telah menyebar ke berbagai tempat seperti Afrika Timur (Madagasakan) hingga pantai barat India (Gujarat, Surate dan Goa) yang lalu kemudian menemukan jalan ke Hindia Timur yang terkonsentrasi di selat Malaka. Dengan tingginya populasi orang-orang Moot di Hindia Timur diketahui Ibnu Batutah seorang Moor berasal dari Tunia berkunjung ke selat Malaka dan Tiongkok pada tahun 1345. Sekitar 29 tahun sebelum Mpu Prapanca menulis Negarakertagama (1365). Pedagang-pedagang Moor juga terdapat di pantai timur Sumatra (Kerajaan Aru). Berdasarkan prasasti Batugana, dari empat raja (federasi) Kerajaan Aru dua diantaranya bergelar Kadhi (pemimpin agama Islam) yang mana salah satu bergelar haji. Jadi sangat masuk akal raja Saparua beragama Islam dengan gelar haji. Lantas mengapa teks yang digunakan pada prasasti Wadu Tunti aksara dan bahasa Jawa Kuno dengan campuran bahasa Bima, sebab saat itu lingua franca dalam navigasi pelayaran di wilayah selatan Jawa Kuno di wilayah utara Melayu Kuno (yang keduanya berasal dari lingua franca yang lama Sanskerta). Aksara Jawa Kuno dengan aksara Melayu Kuno mirip satu sama lain. Prasasti Batugana yang digunakan adalah aksara dan bahasa Melayu Kono dengan campuran bahasa Batak. Sampai sejauh ini (1365) paling tidak sudah ada raja-raja yang beragama Islam yakani Kerajaan Aru (parasasti Batugana) dan Saparua (prasasti Wadu Tunti) yang boleh jadi radja Bima, raja Ternater, raja Haruku juga sudah beragama Islam. Catatan: Kerajaan Aru berada di sungai Barumun, kawawasan yang kini dikenal Padang Lawas dengan belasan situs candi (Tapanuli Selatan).
Pada saat Mpu Prapanca menulis Negarakertagama 1365 sesungguhnya Kerajaan Majapahit sudah mulai menurun, karena setahun sebelumnya (1364) disebutkan panglima Majapahit meninggal (diduga di sekitar Solor dan Timor). Kerajaan Majapahit drastis menurun setelah raja Majapahit yang terkenal Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Lantas muncul pertanyaan kapan prasasti Wadu Tunti dibuat? Besar dugaan setelah Raja Majapahit Hayam Wuruk meninggal dan Kerajaan Majapahit menurun, sementara Kerajaan Aru (yang berkolaborasi dengan pedagang-pedagang Moor) berkembang pesat.
Kerajaan Aru atau Kerajaan Panai adalah kerajaan besar kerajaan sepanjang masa yang diduga lebih tua dari Kerajaan Tarumanagara dan Kerajaan Kalingga. Kerajaan Aru sentara kamper (lihat Ptolomeus 90-168 M) yang dalam literatur Eropa disebut Barus adalah pelabuhan ekspor kamper pada abad ke-5. Kerajaan Aru yang beribukota Binanga membantu Kerajaan Sriwijaya dalam menyerang kerajaan-kerajaan di Jawa (lihat prasasti Kedukan Bukit 682 M). Barus di pantai barat Sumatra dan Bianga di pantai timur Sumatra adalah dua pelabuhan Kerajaan Aru. Pengaruh Kerajaan Aru sudah sampai di pulau Luzon, Filpina (lihat prasasti Laguna 900 M). Dalam invasi Kerajaan Chola di India selatan yang dimulai tahuin 1022 termasuk menyerang Kadaram (Kerajaan Kedah), Panai (Kerajaan Aru) dan Sriwijaya yang masih berada di muara sungai Batanghari (lihat prasasti Tanjore 1030).. Pasca invasi Chola Kerajaan Aru bangkit kembali, demikian juga Kadaram dengan suksesinya Malaka serta kerajaan Sriwijaya. Pada era Singahsari di Jawa raja Kertangara menjalin kerjasama (perdagangan) dengan Kerajaan Aru. Kerajaan Aru yang beragama Boedha sekte Bhairawa membuat raja Kertanegara mengadopsi agama Bodha Batak sekte Bhairawa. Schnitger (1935) menyimpulkan raja Kertanegara adalah pendukung fanatik sekte Bhairawa. Hal itulah mengapa raja Kertanegara mengirim arca kepada raja Kerajaan Mauli (Darmasraya) di hulu sungai Batanghari yang juga pendukung sekte Bhairawa yang kemudian Singhasari menyerang Sriwijaya yang sudah beribukota di Palembang (yang beragama Boedha non sekte Bhairawa). Raja Kertanegara meninggal tahun 1292 (lalu di pihak lain terbentuk Kerajaan Majapahit yang beragama Hindoe). Disebutkan Kerajaan Majapahit menyerang kerajaan Sriwijaya yang mulai bangkit setelah sebelumnya diserang Sing dhasari. Pada masa inilah raja Dharmasraya Adityawarman yang ada kaitannya dengan Kerajaan Majapahit merelokasi ibu kota ke hulu sungai Indragiri (kelak disebut kerajaan Pagaroejoeng). Radja Adityawaran juga pendukung fanatik sekte Bhairawa. Raja Adityawarman meninggal tahun 1375. Sementara itu dua raja Kerajaan Aru sudah masuk Islam (lihat prasasti Butugana). Seperti disebut di atas, patih Gajah Mada meninggal 1364, Mpu Prapanca menulis Negarakertagama 1365 dan Raja Hayam Wuruk meninggal 1389. Hanya tinggal satu kerajaan besar yang tersisa setelah Sriwijaya dan Majapahit menurun. Pengaruh Kerajaan Aru yang sudah terbentuk di Borneo Utara dan Filipina meluas hingga ke Sulawesi bagian Utara di Minahasa (lihat prasasti Watu Rerumeran) dan Sulawesi bagian selatan di Seko dan Toraja (lihat prasasti Seko) dan Maluku di Ternate dan H-aru-ku dekat Muar atau Saparua (lihat prasasti Wadu Tunti). Kerajaan Aru sudah sejak lama berkolaborasi dengan pedagang-pedagang Moor (yang menyebabkan kehadiran Ibnu Batutah 1345).
Pengaruh Kerajaan Aru bahkan sudah mencapai pulau Aru di laut Aru-furu (nama pulau dan laut merujuk pada nama Kerajaan Aru). Lantas apakah Kerajaan Muar dan Haruku merujuk pada nama Moor dan Aru? Sangat-sangat masuk akal. Hal itulah boleh jadi mengapa pada prasasti Wadu Tunti terkesan maknanya yang menyatakan bahwa Raja Bima telah mewanti-wanti penduduk yang berhianat akan dihukum radja Sang Haji di Saparua (yang boleh jadi telah didukung orang-orang Kerajaan Aru di Haruku dan pedagang-pedagang Moor yang berada di pulau Muar (Saparua). Lalu apakah nama Maluku yang sekarang merujuk pada nama Maloko (Ternate) atau Haruku? Yang jelas pulau Aru merujuk pada nama Kerajaan Aru dan nama Saparua sebelumnya bernama Muar (merujuk pada nama Moor). Sedangkan nama Bima merujuk pada nama Hindoe (diduga dari Majapahit). Dengan demikian, pengaruh Majapahit di Sumbawa (Bima) telah dianggantikan oleh pengaruh orang-orang Moor dan orang-orang Kerajaan Aru.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Lombok dan Bima: Kerajaan Demak dan Era VOC (Belanda)
Prasasti Wadu Tunti, seperti disebut di atas, tidak hanya teks, juga terdapat pola (gambar) empat orang yang diduga mengindikasikan federasi empat raja (Bima, Dompo, Sangiang dan Sape). Seperti di berbagai prasasti yang ditemukan, semua teks dan pola yang dibuat seefisien mungkin karena digurat dalam batu, haruslah mengandung makna yang begitu penting untuk diketahui secara luas. Seperti teks yang telah diintetrpretasi di atas, pola (gambar) pada batu prasasti memiliki kaitan yang erat dengan isi (makna) teks, yakni adanya pengaruh Islam dan keberadaan empat kerajaan di bagian timur pulau Sumbawa.
Kerajaan-kerajaan di gugus kepulauan (Nusa Tenggara) dari Bali, Lombok, Sumbawa, Solor hingga Timor sebelumnya memiliki kepercayaan Hindoe (mangzu pada narasi Negarakertagama), tetapi narasi pada prasasti Wadu Tunti, paling tidak empat kerajaan di bagian timur pulau Sumbawa telah mengadopsi ajaran agama Islam (Bima, Dompo, Sangiang dan Sape). Pengaruhnya bukan dari Jawa (tentu saja bukan dari Majapahit) tetapi datang dari arah timur di kepulauan Maluku (Saparua, Haruku dan Manipa). Pengaruh agama Islam yang sudah mulai menguat di Maluku (dan Sumbawa) ini boleh jadi terkait dengan makna prasasti yang ditemukan di Seko Toraja dan Minahasa.
Lantas apakah ada tekanan dari Majapahit (Hindoe) terhadap kehadiran pengaruh Islam di pantai timur pulau Sumbawa? Tampaknya tidak ada karena Kerajaan Majapahit telah menurun yang mana patihnya yang terkenal Patih Gajah Mada meninggal 1364 dan raja Majapahit yang terkenal Hayam Wuruk meninggal tahun 1389. Sebaliknya, penetrasi Kerajaan Aru yang didukung pedagang-pedagang Moor dalam navigasi pelayaran perdagangan di Sulawesi dan Maluku sudah mencapai pulau Sumbawa, Solor, Sumba dan Timor yang mana empat kerajaan di pulau Sumbawa telah mengadopsi agama Islam. Lalu apakah ada kaitan prasasti Wadu Tunti dengan prasasti batu yang ditemukan di pulau Flores (dekat Solor)?
Prasasti Flores di Cabo del Florist (Tanjung Bunga) di desa Waibao yang sekarang. Prasasti Flores (bagian timur pulau Flores) ini berada pada garis sejajar dengan ditemukan prasasti Wadu Tunti di Bima (bagian timur pulau Sumbawa). Prasasti tampaknya tidak terhubung dengan prasasti Wadu Tunti, tetapi prasasti Flores di Tanjung Bunga (situs Painhaka dan situs Nopin Jaga) diduga kuat memiliki kesamaan dengan prasasti di Seko dan Minahasa. Hal ini disarkan pada informasi yang disebutkan pada dua prasasti ini terdapat pola gambar lingkaran kecil dan besar, telapak kaki dan rangka tulang daun. Prasasti Wadu Tunti diduga kuat ada hubungannya dengan (kerajaan) Solor, Sumba dan Timor (sebagaimana tiga nama ini dicatat dalam Negarakertagama).
Lalu bagaimana pengaruh Islam mencapai pulau Sumbawa (dan mungkin pulau Solor, Sumba dan Timor) dari arah timur? Seperti disebut di atas, ada kemungkikan karena Majapahit telah menurun. Ini sehubungan dengan meninggalnya patih Gajah Mada tahun 1364. Tentang kematian Gajah Mada ini juga ada yang berpendapat, bukan meninggal karena sakit, tetapi Gajah Mada disebutkan meninggal tetapi ada juga yang menyatakan menghilang (moksa), bahkan ada yang menyatakan meninggal atau moksa di wilayah timur. Apakah itu di sekitar pantai utara pulau-pulau Nusa Tenggara? Tentu saja kita hanya bisa bertanya saja. Lalu jika itu benar, apakah Gajah Mada dengan pasukannya telah berperang di kawasan melawan Bima dan sekutu-sekutunya (Sumba, Solor, Timorn plus Saparua). Sebab di dalam Negarakertagma disebut Bima yang memberontak dan harus dihukum. Itulah makna terpenting dari prasasti Wadu Tunti.
Prasasti Flores, seperti disebut di atas besar dugaan mirip dengan prasasti di Seko Toraja dan prasasti Watu Rerumeran, Minahasa. Prasasti Flores dan prasasti Seko sama-sama memiliki pola lingkaran dan juga pola telapak kaki. Diduga kuat prasasti Seko dan prasasti Flores lebih awal (Boedha) daripada prasasti Wadu Tunti (Islam). Sedangkan nama-nama yang disebut dalam Negarakertagama seperti Lombok, Dompo, Bima, Sangiang, Sape, Solor, Sumba dan Timor pada saat mana terdapat pengaruh era Majapahit (Hindoe). Seperti disebut di atas pengaruh Majapahit di kawasan ini sudah mulai memudar dan digantikan oleh pengaruh Kerajaan Aru (Islam) melalui Saparua.
Pada akhirnya pengaruh Majapahit menghilang di wilayah lebih timur dari Jawa. Namun pengaruh Islam dari arah timur (Saparua dan Bima) hanya sampai di Taliwang (pantai barat Sumbawa). Sedangkan di Lombok (pantai utara dan timur) dan Bali (pantai utara di Buleleng) pengaruh Islam datang dari arah barat sehubungan dengan tumbuh kembangnya komunitas Musli di pantai utara Jawa seperti Chirebon, Semarang, Soerabaya (pengaruh Kerajaan Malaka). Pada fase inilah adanya ekspedisi Tiongkok di bawah Laksamana Cheng Ho (1403-1433). Adanya pengaruh Tiongkok di Sumatra (Kerajaan Ar) dan di pantai utara Jawa, menyebabkan komunitas Islam di Jawa semakin menguat yang pada akhirnya terbentuk Kerajaan Demak (1480an). Kerajaan Demak semakin berkibar dan Kerajaan Majapahit tamat di Jawa.
Pengaruh Kerajaan Demak hanya mencapai Palembang di Sumatra, pantai barat dan selatan Kalimantan (eks pengaruh Majapahit). Pengaruh Demak ke arah timur hanya sampai di Bali (Buleleng) dan Lom,bok (pantai utara dan teluk Lombok di timur). Islam di pulau Sumbawa sudah lama (dari timur, Saparua dan kemudian dari utara Makassar), Pengaruh Kerjaaan Demak di Lobok dan Bali kemudian digantikan oleh Kerajaan Jepara. Dalam laporan Cornelis de Hourman (1597) di teluk Lombok, sejak 1593 sudah terbentuk koloni Jepara dalam hubungannya prduksi kayu. Dalam hal ini terdapat garis continuum sejak era Singhasari, Majapahit hingga Demak dan Japara pada kota-kota pelabuihan yang sama. Pada era Demak-Jepara hanya sampai di Lombok. Di Sumbawa yang awalnya Saparua bergeser menjadi Makassar (terutama pada era Kerajaan Gowa).
Tunggu deskripsi lengkapnya
*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak 1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat (1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar