Minggu, 25 November 2018

Sejarah Bogor (26): Sejarah TPB IPB dan Mahasiswa Tingkat Keragaman Tinggi; Lulus, Bagai 'Air Mangalir Sampai Jauh'


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
**Untuk melihat artikel Sejarah Dramaga dalam blog ini Klik Ini 

Di Institut Pertanian Bogor (IPB) tempo dulu sangat dikenal dengan TPB (Tingkat Persiapan Bersama). Program pendidikan TPB ini sekarang disebut Program Pendidikan Kompetensi Umum (PPKU). Setiap mahasiswa IPB harus memulainya dari TPB, suatu program pendidikan tahun pertama sebagai persiapan untuk memasuki fakultas. Kurikulum pendidikan pada TPB ini bersifat bersama, semua mahasiswa harus mengambil mata kuliah yang seragam. Karena itulah nama program pendidikan IPB tersebut disebut Tingkat Persiapan Bersama, suatu program pendidikan yang dapat dianggap sebagai ‘hub’ antara pendidikan pasca SMA (juruan IPA) dan pendidikan pra-universitas (fakultas).

Kantor TPB-IPB dan mahassiwa (1983)
Program pendidikan TPB adalah pendidikan tahap persiapan dan dilakukan bersama ini dimulai tahun 1973 dan berakhir pada tahun 1993. Program ini dibagi dalam dua semester dengan memikul 12 matakuliah yang secara keseluruhan sebanyak 36 SKS. Untuk bisa lanjut ke fakultas, setiap mahasiswa harus lulus dengan IPK minimal 2.00. Nilai IPK di bawah 2.00 harus mengulang selama satu tahun tetapi mahasiswa yang memiliki IPK kurang dari 1.25 langsung Drop Out (DO). Mahasiswa yang mengulang dan mendapat nilai IPK kurang dari 2.00 juga harus ikhlas DO. Berat memang. Tapi itulah TPB IPB.

Program pendidikan TPB-IPB yang seragam, ternyata mahasiswanya sangat beragam. Mereka diundang setelah seleksi administratif sebagai siswa terbaik di sekolahnya. Mereka datang dari berbagai tempat di seluruh Indonesia, ada yang datang dari dekat tugu Monas di Jakarta ibukota Republik Indonesia, juga ada yang datang dari kota kecil terpencil di pedalaman Sumatra, seperti saya; ada yang lulusan SMA Negeri 8 Jakarta juga ada yang datang dari SMA Negeri 1 Padang Sidempuan, seperti adik kelas saya; ada yang datang dari Sabang dan ada yang datang dari Merauke, serta ada yang datang dari Sekolah Kedutaan di Paris. Tidak hanya itu, keluarga mereka juga sangat beragam, ada anak petani, seperti saya, juga ada anak Menteri dan anak Presiden; tentu saja ada anak seorang guru di pelosok kecamatan dan anak seorang guru besar di IPB. Bhineka tunggal ika di tingkat persiapan bersama. Benar-benar wujud miniatur Indonesia. Saya tahu persis karena saya termasuk di dalamnya dengan nomor identitas diri IP20.0324. Nomor ini menjadi kode navigasi untuk melacak mahasiswa pada angkatan (tahun tertentu) yang berada di Kelompok 2 dan Golongan 6.

Selasa, 20 November 2018

Sejarah Kota Medan (78): Pulau Sicanang. Teluk Belawan Hilang Akibat Sedimentasi; Dari ‘Kota Tjina’ hingga Rumah Sakit Kusta


*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada Pulau Sicanang? Pada masa ini pulau tersebut tidak begitu jelas bentuk (rupa dan ukuran). Akan tetapi pada masa lalu Pulau Sicanang benar-benar ada dan dapat diidentifikasi secara jelas berada di tengah Teluk Belawan. Pertanyaan yang sama: Apakah ada Pulau Brayan? Belum jelas apakah benar-benar ada, tetapi tentu masih menarik untuk dibuktikan apakah ada atau tidak. Lantas apa keutamaan Pulau Sicanang? Pulau yang dulu berukuran kecil ini telah bertambah luas yang kemudian menutupi seluruh pemukaan air di Teluk Belawan. Keutamaan lainnya Pulau Sicanang adalah lokasi pertama dimana terdapat rumah sakit kusta.  

Teluk Belawan (Peta 1695)
Persoalan Pulau Sicanang dan Teluk Belawan belumlah terbilang kuno. Jauh sebelumnya di masa lampau sudah ada persoalan di Teluk Belawan. Persoalan tersebut adalah eksistensi Kerajaan Deli di hulu sungai Deli dan persoalan apakah benar-benar ada ‘Kota Cina’. Semua persoalan tersebut menjadi terkesan rumit dari sudut pandang masa kini. Karenanya ada yang berpendapat bahwa Kerajaan Deli adalah suksesi Kerajaan Aru. Padahal Kerajaan Deli adalah satu hal dan Kerajaan Aru adalah hal lain.  

Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut, artikel ini mendeskripsikan sejarah awal di Deli. Sejarah tersebut dimulai ketika berpisahnya Sungai Deli dan Sungai Belawan yang kemudian terbentuknya Teluk Belawan. Pada daerah aliran sungai (DAS) Belawan inilah lokasi dimana ditemukan ‘Kota Tjina’. Pada perkembangan selanjutnya di hulu Sungai Deli inilah kemudian terbentuk Kerajaan Deli (kini di Deli Tua). Lambat laun di Teluk Belawan terjadi sedimentasi sehingga terbentuk Pulau Sicanang. Pulau kecil yang terdapat di tengah teluk kemudian meluas sehingga dua sisi pulau yang menghadap ke pantai terbentuk dua muara baru sungai: muara baru Sungai Belawan dan muara baru Sungai Deli. Mari kita eksplorasi!

Sabtu, 17 November 2018

Sejarah Kota Depok (50): Lukisan Asli Cornelis Chastelein; Corneille le Bruyn Pernah Berkunjung ke Sering Sing, 1706


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini 

Cornelis Chastelein sangat terkenal. Cornelis Chastelein adalah orang Eropa pertama yang membuka lahan di sisi barat sungai Tjiliwong. Lahan pertama yang diusahakan di sisi barat sungai Tjiliwong adalah lahan di Sering Sing (baca: Serengseng). Pada tahun 1706 Corneille le Bruyn pernah berkunjung ke Sering Sing. Lahan dimana Cornelis Chastelein mengusahakan pertanian.

Lukisan asli Cornelis Chastelein di Serengseng (le Bruyn, 1706)
Pada tahun 1696 Cornelis Chastelein membeli lahan baru di Depok dan Mampang. Sebelum meninggal pada tahun 1714, Cornelis Chastelein telah menjual lahan Sering Sing kepada Bupati Tjiandjoer. Sejak penjualan lahan Sering Sing, Cornelis Chastelein mulai intensif mengusahakan lahan di Depok.

Ada dua dokumen kuno yang mengindikasikan keberadaan lahan yang diusahakan Cornelis Chastelein di Sering Sing. Dokumen tersebut adalah peta lokasi Sering Sing dan lukisan lahan pertanian Cornelis Chastelein di Sering Sing. Namun yang menjadi rujukan lukisan Sering Sing yang beredar selama ini bukanlah lukisan yang asli. Replika lukisan tersebut tidak diketahui siapa pembuatnya. Lukisan yang asli dibuat sendiri oleh Corneille le Bruyn, seorang pelancong yang memiliki keahlian melukis.

Rabu, 14 November 2018

Sejarah Jakarta (31): Sejarah Ragunan dan Keluarga Hendrik Lucasz Cardeel; Dulu Taman Buah, Kini Taman Margasatwa


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Popularitas nama Ragunan semakin meningkat ketika kebon binatang di Tjikini pada tahun 1966 direlokasi ke Ragunan. Nama kebun binatang di Ragunan ini kemudian pada akhirnya berubah nama menjadi Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta. Sejak itu nama Ragunan sangat dikenal hingga masa ini. Nama Ragunan sendiri muncul sebagai nama tempat dikaitkan dengan nama keluarga Hendrik Lucasz Cardeel.

Perkemahan Ragunan (De nieuwsgier, 15-08-1955)
Ragunan kini termasuk Kelurahan Ragunan, Kecamatan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sebelum kebun binatang Tjikini direlokasi ke Ragoenan, nama desa Ragoenan sudah mulai dikenal luas sejak tahun 1955 karena menjadi lokasi jambore nasional pertama tahun 1955 (lihat De nieuwsgier, 15-08-1955).

Kisah Hendrik Lucasz Cardeel dan putrinya Christin Helena Cardeel bermula di Banten. Ayah dan anak ini masuk Islam, Hendrik Lucasz Cardeel diberi gelar Pangeran Wira Goena dan Christin Helena Cardeel diberi gelar Ratoe Sangkat. Ketika Gubernur Jenderal VOC mengirim ekspedisi ke Banten yang dipimpin oleh Sersan St. Martin untuk membebaskan tawanan tahun 1682, Letnan Mody seorang tawanan yang dibebaskan ‘menculik’ Helena ke Batavia dan kemudian menikahinya. Lalu kemudian, Hendrik Lucasz Cardeel menyusul putrinya ke Batavia. Ketika Sultan Hadji berkuasa kembali  meminta pangeran dan ratu mualaf itu diekstradisi ke Banten, Gubernur Jenderal VOC Cornelis Speelman (1681-1684) menolaknya.

Selasa, 13 November 2018

Sejarah Jakarta (30): Sejarah Gang Kenari, Pusat Perjuangan Indonesia Tempo Dulu; MH Thamrin dan Parada Harahap


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini
 

Gang Kenari tempo doeloe, kini Jalan Kenari. Gang Kenari tempo doeloe adalah pusat perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda. Gang Kenari adalah kawah candradimuka, tempat lahirnya para revolusioner Indonesia, seperti MH Thamrin, Parada Harahap, Ir. Soekarno, Dr. Soetomo, Mohamad Hatta dan Amir Sjarifoeddin Harahap. Gang Kenari adalah lokasi kantor dan gedung Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Kebangsaan Indonesia (PPPKI), suatu supra organisasi yang dibentuk pada tanggal 26 September 1927 untuk memayungi organisasi-organisasi kebangsaan seperti Sumatranen Bond, Kaoem Betawi, Pasoendan dan Perserikatan Nasional Indonesia. Ketuanya adalah MH Thamrin dan Parada Harahap sebagai sekretaris yang merangkap sebagai kepala kantor.

Gang Kenari (Peta 1887)
Gang/Jalan Kenari kini termasuk Kelurahan Kenari, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat. Posisi ‘gps’ Gang Kenari  di sebelah Kampus UI Salemba. Gedung PPPKI yang dibangun tahun 1927 tersebut masih eksis yang kini dikenal sebagai Gedung MH Tahmrin. Pada tahun 1927, Parada Harahap sebagai kepala kantor hanya memasang tiga foto yang menjadi idolanya: Diponegoro, Soekarno dan Mohamad Hatta.      

Lantas mengapa pada masa ini Gang Kenari kurang dikenal? Padahal di Gang Kenari justru nama Indonesia ditempa dan diperjuangkan. Di Gang Kenari konsep bangsa Indonesia disepakati. Di Gang Kenari panitia Kongres Pemuda dibentuk. Di Gang Kenari, Ir. Soekarno menghimbau Boedi Oetomo agar ikut berjuang demi Indonesia. Namun itu semua ternyata tidak cukup untuk mengangkat popularitas Gang Kenari pada masa ini. Untuk itu, mari kita susun kembali sejarah Gang Kenari agar generasi masa kini dapat memahami dan mengenal peran Gang Kenari dalam terbentuknya bangsa Indonesia.

Minggu, 11 November 2018

Sejarah Jakarta (29): Sejarah Kebun Binatang Cikini Sebenarnya; Kebun Binatang Pertama di Indonesia 1866-1966


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Jakarta dalam blog ini Klik Disini

Kebon Binatang Ragunan adalah suksesi Kebun Binatang Cikini. Setelah satu abad, kebun binatang di Cikini direlokasi ke Ragunan. Kebun binatang di Cikini yang awalnya disebut sebagai Planten en Dierentuin dimaksudkan untuk fasiltas publik yang dapat dinikmati oleh penduduk. Namun dalam perkembangannya, kebun binatang di Cikini harus direlokasi ke lokasi yang lebih luas di Ragunan.

Kebun Binatang Tjikini (Peta 1910)
Kebon binatang Cikini pada tahun 1966 secara resmi direlokasi ke Ragunan. Kebon binatang Cikini yang telah berusia satu abad hanya tinggal kenangan. Pada masa lampau kebun binatang di Tjikini hanya disebut dengan nama Planten en Dierentuin. Lalu kemudian namya pernah dikenal sebagai Zoological Garden dan Pleasure Ground. Pada era kemerdekaan kebun binatang di Cikini disebut sebagai Keboen Binatang Tjikini. Setelah relokasi ke Ragunan, akhirnya nama diubah lagi menjadi Taman Margasatwa Jakarta.

Bagaimana kebun binatang di Tjikini muncul mudah dilacak. Namun pada masa ini sejarah kebun binatang di Tjikini ditulis simpang siur. Padahal dalam konteks sejarah, kebun binatang di Tjikini belum termasuk tua. Surat-kabar yang terbit pada tahun 1866 memberitakan setiap tahapan pada proses pembangunan kebun binatang Tjikini tersebut. Karena itu, sejarah kebun bintang di Tjikini seharusnya dapat ditulis secara benar. Untuk itu mari kita telusuri ke masa lampau.   

Jumat, 02 November 2018

Sejarah Kota Depok (49): Sejarah Ratu Jaya, Nama Kampong Terkenal Tempo Doeloe; Pemberontakan Melawan Belanda, 1869


 *Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Depok dalam blog ini Klik Disini

Ratu Jaya pada masa ini adalah nama kelurahan di Kecamatan Cipayung, Kota Depok. Kelurahan Ratu Jaya bertetangga dengan Kelurahan Pondok Terong. Kedua kelurahan ini di masa lampau pernah disatukan dalan satu kawasan tanah partikelir (landerien): Pondok Terong en Ratoe Djaija di onderdistrict Paroeng, Afdeeling Buitenzorg, Residentie Batavia.

Peta 1852
Pada tahun 1861, berdasarkan Statistik Buitenzorg luas Pondok Terong 1.221 geomiljen dan Ratoe Djaija seluas 349 geo miljen. Dua kawasan pertanian yang disatukan ini terdapat 11 kampong dengan total penduduk pribumi sebanyak 2.071 jiwa dan 93 jiwa orang Tionghoa. Sebagai pembanding, tetangga kawasan pertanian ini adalah Depok yang memiliki luas 872 geo miljen yang terdiri dari tujuh kampong yang dihuni 1.443 orang pribumi, 32 orang Tionghoa dan sebanyak 803 orang Eropa. Pada tahun 1847 penduduk Pondok Terong dan Ratoe Djaja sebanyak 1.273 jiwa yang terdiri dari dua orang Eropa, 26 orang Tionghoa dan sebanyak 1.245 orang pribumi (lihat Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 9, 1847, 2e deel). Orang Tionghoa terkonsentrasi di suatu tempat (kini disebut Kampong Lio Kelurahan Pondok Terong) di sebelah utara Setu Tjitajam (di sebelaj selatan setu adalah Bazar/Pasar Tjitajam dan sebelah timur setu adalah stasion Tjitajam sekarang).

Lantas, apa yang menjadi keutamaan Kampong Ratoe Djaja pada masa lampau? Kampong Ratoe Djaja seperti kampong-kampong lainnya, hidup dalam pertanian, tetapi di Kampong Ratoe Djaja terdapat seorang tokoh penting bernama Bapa Rama. Tokoh dari Kampong Ratoe Djaja ini secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan yang dipimpin Bapa Rama ini terjadi tahun 1869.