*Semua artikel Sejarah Kota Medan dalam blog ini Klik Disini
Apakah ada Pulau Sicanang? Pada masa ini pulau tersebut tidak begitu jelas bentuk (rupa dan ukuran). Akan tetapi pada masa lalu Pulau Sicanang benar-benar ada dan dapat diidentifikasi secara jelas berada di tengah Teluk Belawan. Pertanyaan yang sama: Apakah ada Pulau Brayan? Belum jelas apakah benar-benar ada, tetapi tentu masih menarik untuk dibuktikan apakah ada atau tidak. Lantas apa keutamaan Pulau Sicanang? Pulau yang dulu berukuran kecil ini telah bertambah luas yang kemudian menutupi seluruh pemukaan air di Teluk Belawan. Keutamaan lainnya Pulau Sicanang adalah lokasi pertama dimana terdapat rumah sakit kusta.
Apakah ada Pulau Sicanang? Pada masa ini pulau tersebut tidak begitu jelas bentuk (rupa dan ukuran). Akan tetapi pada masa lalu Pulau Sicanang benar-benar ada dan dapat diidentifikasi secara jelas berada di tengah Teluk Belawan. Pertanyaan yang sama: Apakah ada Pulau Brayan? Belum jelas apakah benar-benar ada, tetapi tentu masih menarik untuk dibuktikan apakah ada atau tidak. Lantas apa keutamaan Pulau Sicanang? Pulau yang dulu berukuran kecil ini telah bertambah luas yang kemudian menutupi seluruh pemukaan air di Teluk Belawan. Keutamaan lainnya Pulau Sicanang adalah lokasi pertama dimana terdapat rumah sakit kusta.
Teluk Belawan (Peta 1695) |
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut,
artikel ini mendeskripsikan sejarah awal di Deli. Sejarah tersebut dimulai
ketika berpisahnya Sungai Deli dan Sungai Belawan yang kemudian terbentuknya
Teluk Belawan. Pada daerah aliran sungai (DAS) Belawan inilah lokasi dimana
ditemukan ‘Kota Tjina’. Pada perkembangan selanjutnya di hulu Sungai Deli
inilah kemudian terbentuk Kerajaan Deli (kini di Deli Tua). Lambat laun di
Teluk Belawan terjadi sedimentasi sehingga terbentuk Pulau Sicanang. Pulau kecil
yang terdapat di tengah teluk kemudian meluas sehingga dua sisi pulau yang
menghadap ke pantai terbentuk dua muara baru sungai: muara baru Sungai Belawan
dan muara baru Sungai Deli. Mari kita eksplorasi!
Kerajan Aru dan Kerajaan Deli (Peta 1724) |
Kerajaan Aru (Peta 1600 Prancis) |
Dua kerajaan ini masih teridentifikasi lebih dari satu abad kemudian
(lihat Peta 1818). Ini dengan sendirinya menjawab adanya perbedaan penafsiran
bahwa Kerajaan Deli adalah suksesi Kerajaan Aru. Dalam hal ini, Kerajaan Aru
adalah satu hal, dan Kerajaan Deli adalah hal lain.
Pada era tersebut, berdasarkan peta-peta yang
bersumber dari Portugis, Inggris, Prancis dan Belanda, di hilir sungai Deli
(Dely, Dilli) terdapat teluk (Teluk Belawan) dimana di tengah teluk terdapat
sebuah pulau kecil (Pulau Belawan). Teluk ini menjadi muara Sungai Deli dan
muara Sungai Belawan. Nama lain Sungai Belawan juga disebut Sungai Boeloe Tjina,
kini lebih dikenal sebagai Sungai Hamparan Perak.
Pulai di muara sungai terdapat di berbagai tempat. Di muara sungai
Baroemoen terdapat sebuah pulau, di muara Sungai Siak juga ditemukan pulau
(Gontong), Dalam hal ini Pulau Belawan terdapat di muara Sungai Deli dan muara
sungai Belawan. Pulau di muara sungai Baroemen dan di muara sungai Siak hingga
kini masih teridentifikasi. Sementara Pulau Belawan di muara sungai Deli dan
muara sungai Belawan sudah lama sulit diidentifikasi (menghilang).
Sungai
Belawan dan Sungai Deli: Terbentuknya Teluk Belawan
Jika Teluk Belawan menjadi muara sungai Belawan dan
muara sungai Deli, kondisi tersebut haruslah dipahami, bahwa sungai Belawan dan
sungai Deli awalnya bersatu sebelum menuju laut. Titik pertemuan sungai Belawan
dan sungai Deli berada di tempat dimana Teluk Belawan terbentuk, lalu secara
bersama-sama menuju laut. Ini ibarat sungai Babura dan sungai Deli bertemu dan
bersatu kemudian menuju Teluk Belawan. Hal serupa ini juga terjadi antara
sungai Bila dan sungai Baroemoen. Singkatnya: pertemuan dua sungai adalah hal
yang umum.
Secara teoritis, debit air yang berasal dari sungai Belawan dan yang
berasal dari sungai Deli tidak berhasil mengarus secara deras ke laut. Hal ini
disebabkan permukaan tanah di sekitar pertemuan sungai bersifat datar. Adanya
sedimentasi yang terus meningkat di hilir pertemuan sungai menyebabkan arus air
menjadi pelan dan bahkan berbalik (jika terjadi rob). Lumpur yang membentuk
sedimen di hilir pertemuan dua sungai diduga kuat terbawa arus dari hulu
sebagai dampak terjadinya hujan debu akibat aktivitas vulkanik, yang besar
kemungkinan terjadi sebelumnya pada gunung Sibayak, gunung Sinabung dan
gunung-gunung lainnya pada masa lampau.
Dinamika yang hebat (proses sedimentasi) telah
terjadi di pertemuan sungai Deli dan sungai Belawan, suatu dinamika yang tidak
terjadi di pertemuan sungai Bila dan sungai Baroemoen. Proses sedimentasi yang
hebat di sekitar pertemuan sungai Belawan dan sungai Deli menyebakan air
terangkat ke atas. Permukaan tanah yang rendah, akibat terangkatnya air arus
sungai plus rob (air laut) menyebabkan wilayah sekitar pertemuan dua sungai
membentuk genangan yang luas.
Genangan yang luas ini juga pernah terjadi di masa lampau di Mandailing
yang dikenal masyarakat sebagai rodang (danau besar). Rodang ini terbentuk
karena proses sedimentasi yang hebat yang diduga kuat disebabkan oleh aktivitas
vulkanik gunung Lubuk Raya di Angkola dan gunung Sorik Marapi di Mandailing.
Situs bandar 'Kota Tjina' (Peta 1915 Belanda) |
Genangan air telah menyebab sungai Belawan dan
sungai Deli berpisah. Genangan air juga secara perlahan telah memperlunak tanah
permukaan. Akibat proses sedimentasi melambat atau berhenti (tidak adanya
aktvitas gunung api dalam jangka waktu yang lama), proses penggerusan oleh arus
dua sungai terhadap sedimen dan permukaan tanah yang terus melunak di bawah
air, genangan air yang luas tersebut secara perlahan membentuk Teluk Belawan
(permukaan tanah di bawah air semakin dalam). Dampak pertemuan (percampuran)
arus air dua sungai (air tawar) dan air laut (rob) Teluk Belawan dari waktu ke
waktu semakin luas. Pada situasi dan kondisi inilah di masa lampau diduga kuat
muncul bandar (pelabuhan dagang) di dekat muara Sungai Belawan. Bandar inilah
yang diduga kuat menjadi lokasi situs ‘Kota Cina’ yang sekarang. Situs bandar
'Kota Tjina' (Peta 1915)
Teluk
Belawan dan Munculnya Pulau Belawan: Bandar Sam Pei dan Situs ‘Kota Cina’
Situs ‘Kota Cina’ diduga adalah eks Kesyahbandaran,
bukan eks Kerajaan. Situs ‘Kota Cina’ adalah eks kota pelabuhan perdagangan,
pusat perdagangan dari kapal-kapal layar dari berbagai tempat dan kano-kano
yang berasal dari pedalaman di hulu sungai Belawan dan hulu sungai Deli. Era
tersebut terjadi pada era komoditi kuno.
Kapal-kapal layar membawa komoditi industri seperti besi, keramik, kain,
garam dan mungkin opium. Kano-kano dari pedalaman Tanah Batak membawa komoditi
kuno seperti kemenyan, kamper, damar, emas dan gading. Komoditi kuno ini sudah
dikenal sejak sebelum adanya agama Kristen dan agama Islam.
Bandar-bandar yang menjadi simpul perdagangan
komoditi kuno dari pedalaman di Tanah Batak yang disebut awal dan sangat
terkenal adalah Baros yang terletak di pantai barat Sumatra. Bandar baru
kemudian muncul di pedalaman Tanah Batak dari sisi pantai timur Sumatra melalui
sungai Baroemoen yang berada di situs Padang Lawas (situs percandian
Budha/Hindu). Bandar-bandar di hulu sungai Baroemoen ini diduga eksis pada era
Kerajaan Cola di India (Selatan). Nama-nama situs berbau India (Budha/Hindu)
pada masa ini masih ditemukan di Tapanuli Bagian Selatan seperti Angkola
(Ankola), Baroemoen (dari kata aroe), Portibi (ibukota dunia), Siunggam, Pitjar
Koling, Saroematinggi, Siaboe (candi Hindu di Simangambat) dan (gunung) Malea
(dari Himalaja).
Dalam perkembangannya, bandar-bandar di hulu sungai Baroemoen.
Bandar-bandar ini terdistribusi di sejumlah sungai yang bermuara di hulu sungai
Baroemoen. Bandar-bandar (yang
teridentifikasi sebagai eks situ candi) ini terintegrasi dan munculnya Kerajaan
Aru. Bandar Baros tetap sebagai bandar penting, tetapi bandar-bandar di hulu
sungai Baroemoen telah bertransformasi menjadi suatu kerajaan yang disebut
Kerajaan Aroe (dalam bahasa Ceylon yang menganut agama Budha, aroe adalah
sungai; kerajaan Aroe mengindikasikan kerajaan sungai-sungai di hulu sungai
Baroemoen). Sejak munculnya Kerajaan Aroe ini terjadi interaksi dengan Jawa
(sebagaimana disebut dalam kitab Pararaton) dan Tiongkok (era Cheng Ho).
Bandar-bandar baru terus bermunculan, bandar-bandar
yang terkoneksi dengan sumber-sumber komoditi kuno di pedalaman di Tanah Batak.
Selain bandar Baros dan bandar-bandar yang menjadi Kerajaan Aroe, dalam
perkembangannya kemudian muncul bandar Batahan (di Mandailing), bandar Singkel
(Pakpak, Gajo dan Alas), bandar Sing Kwang (Singkuang) di Angkola, bandar
Cassang (sungai Asahan) yang terkoneksi dengan Toba, serta bandar Sam Pei (eks
‘Kota Cina’?) di Teluk Belawan yang terkoneksi dengan Garo (kini Karo).
Bandar-bandar kuno ini secara perlahan-lahan menjadi feeder bagi
bandar-bandar baru yang muncul kemudian di bagian paling utara pulau Sumatra,
seperti Pedir, Pacem, Ambara, Aelabo. Bandar-bandar ini eksis jauh sebelum munculnya Kerajaan/Kesultanan Atjeh. Pada era
bandar kuno yang terkoneksi langsung dengan sumber komoditi kuno di Tanah Batak
dan bandar-bandar baru di bagian ujung Sumatra, di semenanjung bermunculan
bandar-bandar yang kemudian menjadi kerajaan seperti Quedah, Malaccaa, Djohore.
Pada era perkembangan bandar-bandar baru inilah
diduga terjadi aktivitas gunung api yang dahsyat di hulu sungai Belawan dan
sungai Deli. Hujan debu seperti dari gunung Sibajak dan Sinabung terbawa arus
dan mengendap di Teluk Belawan. Akibat proses sedimentasi muncul ke permukaan
pulau kecil di tengah Teluk Belawan yang disebut Pulau Belawan (lihat peta-peta
abad ke-16, abad ke-17 dan abad ke-18). Proses sedimentasi di Teluk Belawan
dipengaruhi oleh dua kekuatan arus besar yakni arus/debit air yang berasal dari
sungai Belawan dan sungai Deli dan arus/debit air laut yang masuk akibat adanya
pasang (rob). Proses sedimentasi yang dipengaruhi dua arus yang berlawanan ini
yang kemudian membentuk daratan (pulau) persis berada di tengah-tengah Teluk
Belawan.
Kerajaan Aru (Peta Portugis 1500-an) |
Pada periode inilah muncul Kerajaan Deli di hulu
sungai Deli. Adanya kerajaan di hulu sungai Deli pertama kali teridentifikasi
pada Peta 1695. Sementara Kerajaan Aru di hulu sungai Baroemoen sudah
teridentifikasi dalam peta-peta Portugis (1500an). Kerajaan Deli di hulu sungai
Deli lambat laun semakin populer dan bahkan telah sama populernya dengan
Kerajaan Aru di sungai Baroemoen.
Kerajaan Deli (Peta Prancis, 1706) |
Pulau
Belawan Menjadi Pulau Sicanang: Situs ‘Kota Cina’ dan Rumah Sakit Kusta
Saat bandar Sam Pei secara perlahan menghilang (dan
relokasi ke sisi timur sungai Belawan) proses sedimentasi terus berlangsung.
Proses sedimentasi tidak hanya bertambahnya daratan dan semakin meluasnya Pulau
Belawan, juga proses sedimentasi Pulau Belawan yang mengarah ke laut juga
terjadi. Dalam proses sedimentasi lanjutan ini, Sungai Belawan dan Sungai Deli
tidak lagi membawa debu/lumpur asal vulkanik tetapi membawa lumpur dari hulu
sungai karena terjadinya proses penggundulan hutan, baik oleh penduduk Karo
yang memperluas areal pertanian maupun oleh para planter yang membuka hutan
untuk perkebunan yang semakin meluas ke hulu sungai Belawan dan sungai Deli.
Proses sedimentasi berikutnya akibat ulah manusia (petani dan planter)
semakin mematangkan Pulau Belawan sehingga bentuk rupa Pulau Belawan yang dulu
jelas terlihat semakin samar.
Pulau Belawan yang semakin meluas dan mulai menyatu
dengan daratan (di berbagai titik) inilah kemudian muncul nama baru menjadi
Pulau Sicanang. Pelabuhan Belawan yang sekarang, sejatinya bukanlah daratan
yang muncul dari proses sedimentasi di Teluk Belawan, melainkan proses
terbentuknya daratan akibat sedimentasi yang berada di laut (di luar Teluk
Belawan).
Proses sedimentasi yang muncul sejak jaman kuno masih terlihat terus
berlangsung dari era Belanda hingga kini. Sungai Belawan atau Sungai Hamparan
Perak dan Sungai Deli masih membawa materi lumpur dari hulu yang menyebabkan
Pelabuhan Belawan secara situasional harus dilakukan kegiatan pengerukan sejak
era Belanda hingga era merdeka pada masa kini.
Pemerintah Hindia Belanda melakukan invasi pantai
timur Sumatra (Sumatra;s Oostkut) pada tahun 1863. Kapal militer Belanda
membuang jangkar di muara Sungai Deli, di hilir kota Laboehan Deli (pelabuhan
Deli). Pemerintah Belanda menempatkan seorang Controleur di Laboehan Deli (dan
berkolaborasi dengan Sultan Deli). Sejak itu sejumlah afdeeling dibentuk, yakni
Afdeeling Deli, Afdeeling Boeloe Tjina, Afdeeling Langkat dan Afdeeling
Serdang. Sungai Deli adalah batas antara Afdeeling Deli dan Afdeeling Boeloe
Tjina. Ketika munculnya Perang Soenggal yang dimulai tahun 1872, secara
perlahan Afdeeling Boeloe Tjina diakuisisi oleh Sultan Deli dan membentuk satu
kesatuan Afdeeling Deli.
Pada saat perluasan perkebunan dari Afdeeling Deli ke eks Afdeeling
Boeloe Tjina ditemukan kali pertama yang diduga eks bandar yang kemudian,
sesuai penyebutan masyarakat disebut situs ‘Kota Cina’. Meski ada penyilidikan
tetapi dalam perkembangannya tidak berlanjut (dan baru muncul penyelidikan satu
abad kemudian pada tahun 1970an).
Pada tahun 1875 Afdeeling Deli (gabungan eks
Afdeeling Boeloe Tjina dan Afdeeling Deli) dipecah menjadi dua onderafdeeling
yakni Onderafdeeling Laboehani dan Onderafdeeling Medan. Status controleur di
Laboehan ditingkatkan menjadi Asisten Residen, dan di Medan ditempatkan seorang
Controleur. Pada tahun 1879 terjadi tukar guling, status Asisten Residen
Laboehan diturunkan menjadi setingkat Controleur dan status Controleur Medan
ditingkatkan menjadi Asisten Residen.
Pada tahun 1887 status Asisten Residen Medan ditingkatkan menjadi ibukota
Residentie Sumatra’s Oostkust. Ibukota Sumatra’s Oostkust yang sebelumnya di
Bengkali dipindahkan ke Medan. Status Bengkalis diturunkan dari ibukota Residen
menjadi setingkat Asisten Residen yang kemudian dimasukkan ke Residentie Siak.
Sementara Controleur di Asahan ditingkatkan menjadi Asisten Residen dan
controleur di Laboehan ditingkatkan lagi menjadi Asisten Residen.
Dalam perkembangannya Kota Medan terus tumbuh dan
berkembang. Sejak 1887 saat Medan menjadi ibukota Residentie Oostkust van
Sumatra, Sultan Deli di Laboehan mengalami relokasi ke Medan. Kraton Suiltan
Deli di Labohan atas bantuan organisasi para planter dipindahkan ke Medan
dengan membangun baru kraton yang disebut Istana Maimun.
Laboehan Deli menjadi masa lalu bagi Sultan Deli. Laboehan Deli secara
perlahan ditinggalkan. Selain karena kerap banjir juga karena lingkungannya
tidak sehat. Status Asisten Residen di Labiehan diturunkan lagi menjadi
setingkat Controleur. Status Controelur di Tandjong Poera ditingkatkan menjadi
Asisten Residen.
Tunggu deskripsi lengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar