Selasa, 21 April 2020

Sejarah Air Bangis (24): Orang Cina di Air Bangis, Air Mengalir Sampai Jauh; Orang Tionghoa Air Bangis Pindah ke Padang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disin

Apakah ada orang-orang Tionghoa di Air Bangis? Ada, tetapi secara perlahan-lahan jumlahnya semakin menurun seiring dengan melemahnya perputaran ekonomi di Air Bangis. Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1950) jumlahnya tidak banyak lagi dan hanya tinggal satu dua keluarga di kota Air Bangis. Berita yang ada adalah pasukan John Lie Tjeng Tjoan yang merapat di pelabuhan Air Bangis dalam rangka pembebasan Sumatra Barat dari PRRI. John Lie adalah Letnan Kolonel Laut, wakil komandan pembebasan PRRI di Sumatera Barat (di bawah komando Mayor Jenderal Ahmad Yani).

Peta 1904
Sejarah orang Tionghoa di Indonesia selalu menarik perhatian. Orang-orang Tionghoa cenderung tinggal di perkotaan. Mengapa menjadi perhatian, karena orang Tionghoa mudah dibedakan dengan yang lainnya sejak era VOC. Mereka bertempatkan tinggal di wilayah kampement tersendiri. Orang-orang Tionghoa (baca: Chines) pada era Pemerintah Hindia Belanda ke Sumatra termasuk pantai barat Sumatra menyebar (migrasi) dari Singapoera dan Penang. Jumlah orang China di pantai barat Sumatra semakin banyak seiring dengan semakin berkembangya perkebunan di Sumatra Timur (sejak 1870). Orang-orang China yang telah lama menetap di Batavia juga secara perlahan-lahan banyak yang merantau ke pantai barat Sumatra (termasuk di Air Bangis).

Lantas sejak kapan orang-orang Cina di Air Bangis? Satu yang pasti mereka ikut ambil bagian dalam perdagangan. Jumlahnya mulai bertambah seiring dengan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Air Bangis. Mereka awalnya adalah pedagang biasa, namun karena keuletan dalam menekuni bisnis banyak yang berhasil dan menjadi pengusaha besar. Lalu bagaimana perkembangan? Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Air Bangis (23): Teluk Air Bangis dan Pulau-Pulau Indah; Strategi Air Bangis, Villes Mortes Jadi Daerah Tujuan Wisata


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Air Bangis pernah mencapai puncaknya (akhir era VOC dan awal Pemerintah Hindia Belanda), tetapi setelah itu meredup hingga tenggelam di teluk Air Bangis. Pada era pendudukan militer Jepang, Air Bangis benar-benar terlupakan. Pada awal era Pemerintah Republik Indonesia upaya untuk membangkitkan ‘batang tarandam’ di Air Bangis tidak membawa banyak hasil. Dengan terbentuknya kabupaten Pasaman Barat diharapkan ‘batang tarandam’ benar-benar dapat terangkat. Namun penempatan posisi GPS ibu kota di Simpang Ampek membuat Air Bangis secara spasial semakin terpencil di ranah sendiri (kabupaten Pasaman Barat). Pusat pemerintahan dan pusat pertumbuhan bisnis di Simpang Ampek justru lebih memperkuat wilayah pinggiran kabupaten induk (kabupaten Pasaman) dan wilayah pinggiran kabupaten tetangga (kabupaten Agam). Ibarat melempar kail (umpan) ke utara, jatuhnya ke selatan.

Pembangunan spasial di Pasaman Barat (Now)
Namun tidak perlu disesalkan atau dikhawatirkan garis nasib yang ada. Dunia telah berubah dan berubah sangat cepat. Setiap tempat dimanapun berada bergerak menuju arah mana tidak lagi semata-mata ditentukan oleh pikiran penguasa (pejabat pemerintah lokal). Kini setiap tempat dapat bergerak kemana arah jalan yang sesuai baginya, Tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) akan terus bekerja. Spekturm dunia baru telah muncul, dunia digital generasi milenial. Pada situasi dan kondisi baru inilah penduduk Air Bangis dapat merespon dengan baik. Batas-batas admnistrasi tidak lagi begitu penting. Paradigna baru telah mewabah, pembangunan lintas wilayah sudah menjadi suatu alternatif jika faktor inheren tidak mendukung. Tangan-tangan yang tidak kelihatan (mekanisme pasar) bekerja menurut ala milenial ‘lu jual, gua beli’. Kebijakan pemerintah kini hanya menjadi faktor penunjang. Pada era VOC dan pada era Pemerintah Hindia Belanda konsep serupa ini yang dijalankan. Pengalaman itulah yang kala itu membuat Air Bangis menemukan puncak kemakmurannya.

Lantas bagaimana membangkitkan ‘batang tarandam’ yang telah menjadi Villes Mortes menjadikan Kota Air Bangis dan sekitar menjadi daerah tujuan wisata? Hanya strategi wisata ini yang dapat diunggulkan (dalam posisi keterpencilan) untuk mendorong aliran produk andalan ikan kering dan udang. Revitalisasi wilayah perkebunan di kabupaten Pasaman Barat hanya faktor sekunder bagi Air Bangis. Keunggulan komparatif dalam sektor wisata menjadi jalan menuju kemakmuran (terangkatnya ‘batang tarandam’). Satu hal lagi, dalam dunia tanpa batas (milenium) saat ini, Air Bangis tidak lagi terpencil, tetapi bagian dari klaster yang ramai ketika kabupaten Pantai Barat Mandailing (Natal) benar-benar terwujud. Hitung-hitung untuk menjalin kembali tali kasih yang sempat terputus (antara Air Bangis dan Natal) karena penarikan batas yang kurang pas di era kolonial Belanda. Pendulum waktu sedang mengarah ke situ.