Rabu, 13 Oktober 2021

Sejarah Menjadi Indonesia (169): Sejarah BPCB - Balai Pelestarian Cagar Budaya; Era Hindia Belanda Oudheidkundige Dienst

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Untuk urusan kepurbakalaan pada masa ini dihubungkan dengan tugas dan fungsi suatu badan yang disebut Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB). Badan ini merupakan rangkaian panjang sejak era Hindia Belanda yang disebut Oudheidkundige Dienst. Lantas mengapa kini tidak disebut lagi secara spesifik kepurbakalan (Oudheidkundige) tetapi bergeser menjadi cagar budaya? Entahlah. Yang jelas bidang kepurbakalaan tetap menjadi bidang utamanya.

Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) adalah unit pelaksana teknis (UPT) dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia yang berada di daerah. Balai ini berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Kebudayaan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 tahun 2015 fungsi dari balai ini antara lain adalah: melaksanakan penyelamatan dan pengamanan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya dan melaksanakan pemeliharaan cagar budaya dan yang diduga cagar budaya. BPCB ini di daerah berada di Banda Aceh (NAD dan Sumatra Utara); Batusangkar (Sumatra Barat, Riau, dan Kepulauan Riau); Jambi (Jambi, Sumatra Selatan, Bengkulu); Serang (Banten, Jawa Barat, DKI Jakarta, dan Lampung): Jawa Tengah di Klaten (Jawa Tengah); Yogyakarta (DIY); Jawa Timur di Trowulan, Mojokerto (Jawa Timur); Bali (Bali, NTB dan NTT); Makassar (Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat); Gorontalo (Sulawesi Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah); Samarinda (Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah); Ternate (Papua Barat, Papua, Maluku dan Maluku Utara).

Lantas bagaimana sejarah dinas/balai kepurbakalaan Indonesia yang tempo doeloe disebut Oudheidkundige Dienst dan kini namanya Balai Pelestarian Cagar Budaya? Seperti disebut di atas, meski namanya telah berubah tetapi bidang perhatian utamanya tetap dalam urusan kepurbakalaan. Lalu bagaimana sejarahnya bermula? Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (168): Sejarah Militer di Indonesia Sejak Era Zaman Kuno; Motto dari Rakyat oleh Rakyat untuk Rakyat

 

*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Beberapa hari yang lalu muncul polemik tentang perdebatan soal apakah militer untuk rakyat atau militer untuk penguasa (pemerintah). Dalam hal itu dipertentangkan apakah militer untuk membela rakyat atau membela pemerintah. Namun sesungguhnya perdebatan itu muncul karena kesalahan persepsi masa kini yang kurang memahami sejarah militer (TNI) di Indonesia. Artikel ini tidak mermpesoalkan perdebatan itu, tetapi ingin memperhatikan bagaimana awal sejarahnya.

Sejak era Hindia Belanda idiom rakyat dan penguasa (raja, pemerintah) sudah mulai dipertentangkan. Dalam perjalanan kebangkitan bangsa isu rakyat semakin intens dikampanyekan dalam berbagai aspek seperti sekolah rakyat (digagas oleh Ki Hadjar Dewantara) vs sekolah pemerintah, kepentingan rakyat vs kepnetingan pejabat. Idiom ini juga menjadi nama-nama partai seperti nama majalah Pikiran Rakjat (diasuh oleh Ir. Soekarno), parat politik Gerakan Rakjat Indonesia atau Gerindo (yang dipimpin oleh Amir Sjarifoeddin Harahap), Lalu dari kalangan anak-anak Tapanoeli idiom rakyat ini mulai diformulasikan dengan semboyan ‘dari rakjat, oleh rakjat dan oentoek rakjat’. Boleh jadi itu muncul karena anak-anak Tapanoeli merasa tidak pernah berada di bawah kekuasaan monarki. Pemerintahan di Tapanoeli tidak pernah dilipbatkan pribumi seperti di daerah lain. Pemerintahan langsung dijabat oleh orang Belanda yang langsung ke rakyat). Gerakan ini diduga bermula sejak era Douwes Dekker tahun 1843 di afdeeling Angkola Mandailinhg yang membela rakyat dari kekeajaman para pejabat Belanda. Hal itulah nantinya semboyan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat diaplikasikan pada era perang kemerdekaan di dalam militer (Abdoel Haris Nasution), motto surat kabar Indonesia Raja di Djakarta (oleh Mochtar Loebis) dan motto surat kabar Pikiran Rakjat di Bandoeng (oleh Sakti Alamsjah Siregar).

Lantas bagaimana sejarah semboyan ‘dari kayat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ di Indonesia? Seperti disebut di atas formulasi itu muncul diantara anak-anak Tapanoeli yang tengah berjuang di Jawa untuk mempertahankan kemerdekaan. Semboyan itu tidak hanya di lingkungan militer, tetapi juga dalam dunia jurnalistik. Seperti kata ahli sejarah tempo doeloe, semuanya ada permulaan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.