Minggu, 31 Mei 2020

Sejarah Yogyakarta (38): Goesti Raden Mas Dorodjatoen dan Perhimpoenan Indonesia, 1930; Riwayat Djogjakarta dan Tapanoeli


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Goesti Raden Mas Dorodjatoen bukanlah orang biasa. Meski pembawaannya biasa-biasa saja tetapi cara berpikirnya sangat terbuka dan luar biasa. Pangeran mahkota Jogjakarta ini sejak dini sudah mendapat pergaulan Eropa, sejak ELS dan HBS (internasional). Ketika melanjutkan pendidikan tinggi di Belanda tahun 1930, pangeran muda dari Djokjakarta ini bergabung dengan Perhimpoenan Indonesia. Teman-teman baru yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia membuatnya paham tentang Indonesia yang sebenarnya. Pengalaman itulah yang menjadi bekalnya ketika menjadi salah satu pemimpin Indonesia kelak. Siapakah pangeran mahkota tersebut? Hamengkoeboewono IX.

Hamengkoeboewono IX (1940an)

Dr. Soetomo sepulang berdinas selama dua tahun di Tandjoeng Morawa, Deli pada tahun 1915 meminta diadakan rapat umum Boedi Oetomo di Afdeeling (cabang) Batavia. Saat itu dipimpin oleh golongan muda terpelajar. Ketuanya adalah Dr. Sardjito. Dalam rapat umum tersebut Dr. Soetomo meminta perhatian para hadirin: ‘Kita tidak bisa hidup sendiri. Di luar Jawa di Deli orang Jawa sangat menderita. Banyak orang Tapanoeli yang terpelajar. Mereka ada dimana-mana. Kita tidak bisa lagi hidup sendiri. Tugas kita lebih luas dari yang kita pikirkan’.

Ada satu hal yang unik tentang Hamengkoeboewono IX yakni terbuka ke semua orang tetapi begitu dekat dengan orang-orang Pantai Barat Sumatra terutama orang-orang Tapanoeli. Mengapa? Nah, itu dia. Tentu saja saja itu bukan mengikuti perkataan Dr. Soetomo. Seberapa dekat kedekatannya? Tentu hal itu mudah ditebak. Ketika ibu kota RI dipindahkan dari Djakarta ke Djogjakarta tahun 1946 Soeltan Hamengkoeboewono memfasilitasi secara serius Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Kolonel Zulkifli Loebis untuk mendesain pertahanan. Selanjutnya, pada saat militer Belanda evakuasi dari Djogjakarta Juni 1949 yang diminta Hamengkoeboewono IX untuk dicari adalah Kolonel TB Simatoepang untuk mengamankan Djokjakarta. Lantas mengapa yang menjadi ajudan pribadi yang dipilihnya Kapten M Karim Leobis? Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe. Hamengkoeboewono IX adalah salah satu pemimpin Indonesia terbaik di jamannya.

Sabtu, 30 Mei 2020

Sejarah Yogyakarta (37): Raden Noto Soeroto dan Indische Vereeniging (1913; Pangeran Pakoe Alam van Djokjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini

Raden Noto Soeroto termasuk salah satu pangeran (Pakoe Alam) dari Djokjakarta yang terbilang terpelajar di awal era pendidikan tinggi. Seperti halnya penyair, gagasannya penuh dan beragam. Ini juga tergambar pada perjalanan hidupnya yang pasang-surut. Raden Noto Soeroto adalah sosok seorang pemimpin, paling tidak pernah menjadi Ketua Indische Vereeniging di Belanda (1912-1914), namun dalam urusan pendidikannya, Raden Noto Soeroto tidak sepenuhnya berhasil. Padahal semua ketua-ketua Indische Vereeniging berhasil dalam pendidikannya. Mengapa demikian? Untuk menambah pengetahuan, dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber sejaman tempo doeloe.

Kakek moyang Raden Noto Soeroto bekerjasama dengan Inggris (1811-1816), lahirlah Kadipaten Pakoealaman. Jaman telah berubah, Raden Noto Soeroto di Belanda justru lebih mempererat hubungan pribumi dengan Belanda. Visi Noto Soeroto ini berbeda dengan yang diusung oleh Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat di tanah air yang ingin memisahkan Hindia dari Belanda (tetapi bekerjasama dengan orang-orang Indo) yang kemudian lahir Indische Partij (1913). Soewardi Soerjaningrat kelak dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.

Raden Noto Soeroto tetap dipandang sebagai mantan ketua Indische Vereeniging di Belanda. Suatu organisasi pelajar-mahasiswa pertama di Belanda. Sejak kepengurusan Hoesein Djajadingrat (Ketua Indische Vereeniging yang kedua), orientasi Indische Vereeniging mulai sedikit bergeser rel. Mahasiswa-mahasiswa asal Sumatra yang dimotori Sorip Tagor Harahap sedikit agak gusar yang lalu membentuk sub organisasi Indische Vereeniging dengan nama Soematra Sepakat. Rel Indische Vereeniging baru betul-betul terselesaikan pada tahun 1922 pada era kepemimpinan Dr. Soetomo dkk (dengan nama baru Indonesische Vereeniging). Organisasi nasional mahasiswa yang diinisiasi oleh Radjioen Harahap gelar Soetan Kasajangan di Leiden 1908 ini lebih disempurnakan oleh Mohamad Hatta dkk tahun 1924 dengan nama Perhimpoenan Indonesia.

Jumat, 29 Mei 2020

Sejarah Yogyakarta (36): Raden Soemitro, Sekretaris Indische Vereeniging di Leiden 1908; Pembuka Jalan Keluarga Kolopaking


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Yogyakarta dalam blog ini Klik Disini 

Nama Reden Soemitro mungkin tidak seterkenal Soenario Kolopaking. Namun ada satu hal yang menjadi penting tentang Raden Soemitro: membuka jalan bagi keluarganya (Kolopaking) untuk mencapai pendidikan setinggi-tingginya. Satu yang penting lagi sosok seorang Raden Soemitro yang masih belia, ketika pembentukan organisasi mahasiswa pertama di Leiden 1908 Raden Soemitro adalah pemimpin rapat dalam pembentukan tersebut. Ketua terpilih senior Soetan Kasajangan dan yang menjadi sekretaris adalah junior Raden Soemitro. Inilah perpaduan ideal antara mahasiswa senior dan junior di awal dunia kemahasiswaan Indonesia.

Nama Kolopaking sudah tentu sangat terkenal. Yang paling muda adalah Novia Kolopaking, istri tercinta dari budayawan terkenal Emha Ainun Nadjib, penulis artikel di majalah Tempo tempo doeloe. Yang lebih senior adalah Prof. Soenario Kolopaking, dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia yang pertama (1950-1951). Tentu saja yang paling senior dari keluarga Kolopaking adalah Raden Soemitro yang menjadi sekretaris Indische Vereeniging pertama di Belanda tahun 1908. MH Ainun Nadjib dalam hal ini meneruskan garis sejarah kehebatan keluarga Kolopaking (saya ingat tempo doeloe ketika sering membaca artikel Emha, dosen Ilmu Sosiologi saya ‘bermarga’ Kolopaking sementara istrinya bermarga Nasution).

Lantas apa hebatnya Raden Soemitro? Nah, itu dia. Boleh jadi sudah banyak yang menulis riwauat Raden Soemitro, namun mungkin masih ada yang terlupakan. Apa, itu? Tentu saja kita tidak mengetahuinya jika belum melacak seluruh riwayatnya. Nah, untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Kamis, 28 Mei 2020

Sejarah Padang Sidempuan (7): Soetan Kasajangan, Pionir Pendidikan Tinggi; Pendiri Indische Vereeniging di Leiden 1908


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Siapa Bapak Pendidikan Indonesia? Yang jelas adalah ada dua sosok putra Indonesia terbaik yang menjadi pionir pendidikan dasar dan yang menjadi pionir pendidikan tinggi. Pendidikan menengah adalah intersection antara pendidikan dasar dan pendidikan tinggi. Sejatinya pionir pendidikan dasar adalah Willem Iskander dan pionir pendidikan tinggi adalah Soetan Kasajangan. Kedua pionir ini sama-sama menempuh pendidikan di Belanda. Willem Iskander berangkat studi ke Belanda pada tahun 1857 dan Soetan Kasajangan berangkat studi ke Belanda pada tahun 1905.

Satie Nasoetion alias Willem Iskander berangkat studi ke Belanda tahun 1857 agar bisa menjadi guru di kampongnya di Mandailing (Afdeeling Mandailing en Angkola). Willem Iskander adalah pribumi pertama ke luar negeri. Setelah lulus dan mendapat diploma guru di Belanda, Willem Iskander kembali ke tanah air dan mendirikan sekolah guru di Tanobato (onderafdeeling Mandailing). Dua diantara muridnya yang pertama adalah Soetan Abdoel Azis (Nasoetion) dan Maharadja Soetan (Tagor Harahap). Pada tahun 1905 Radjioen Harahap gelar Soetan Kasajangan (setelah sebelumnya magang setahun di Belanda) berangkat studi ke Belanda untuk mendapatkan sertifikat Sarjana Pendidikan. Pada tahun 1908 Soetan Kasajangan mendirikan organisasi mahasiswa Indonesia pertama di Leiden. Melalui organisasi ini (kembali) Soetan Kasajangan untuk mengajak putra-putri Indonesia terbaik untuk belajar ke Belanda. Yang merespon semuanya putra. Namun putri Indonesia pertama yang merespon ajakan ini adalah Ida Loemongga yang berangkat studi kedokteran ke Belanda pada tahun 1922.. Ida Loemongga tidak hanya lulus sajana kedokteran (1927) tetapi juga meraih gelar doktor (Ph.D) di bidang kedokteran pada tahun 1931. Mr. Soetan Kasajangan adalah putra kedua Maharadja Soetan dan Dr. Ida Loemongga, Ph.D adalah cucu Soetan Abdoel Azis. Willem Iskander adalah kakek buyut Prof. Dr. Ir. Andi Hakim Nasoetion (Rektor IPB 1978-1987).

Willem Iskander adalah pionir pendidikan Indonesia. Lantas mengapa Soetan Kasajangan dianggap sebagai pionir pendidikan tinggi Indonesia? Soetan Kasajangan adalah orang Indonesia pertama yang secara sadar mengklaim pendidikan tinggi sangat diperlukan orang pribumi (baca: Indonesia). Inisiatif Soetan Kasajangan ini didukung oleh Mr. Abendanon (sahabat Pena RA Kartini). Gerakan Soetan Kasajangan inilah yang menyebabkan putra-putri Indonesia dari tahun ke tahun berbondong-bondong studi (perguruan tinggi) ke Belanda. Dalam rombongan ini termasuk Todoeng Harahap gelar Soetan Goenoeng Moelia (tiba di Belanda 1911) dan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat yang tiba di Belanda bulan Oktober 1913 (lihat Bredasche courant, 03-10-1913). Soetan Kasajangan sendiri pada bulan yang sama kembali ke tanah air setelah menyelesaikan sarjana pendidikan. Mr. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat kelak dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pendidikan RI yang pertama) dan Menteri Pendidikan RI yang kedua adalah Mr. Soetan Goenoeng Moelia, Ph.D, Itulah true story-nya. Untuk menambah pengetahuan dan untuk meningkatkan wawasan sejarah nasional Indonesia, mari kita telusuri kiprah Soetan Kasajangan berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Menjadi Indonesia (43): Alip Ba Ta, The King of World Music; From Javaansche Rhapsody1909 to Bohemian Rhapsody1975


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Menjadi Indonesia dalam blog ini Klik Disini

Sebenarnya nada-nada musik dan sound-sound musik dunia telah habis dieksplorasi hingga tahun 1975 ketika lagu Bohemian Rhapsody dirilis group band Queen. Penjelajahan ini dimulai ketika Paul Seelig, musikus asal Jerman tahun 1909 menemukan komposisi unik yang disebutnya Javaansche Rhapsody. Sejak Bohemian Rhapsody muncul tahun 1975 hingga kini hanya proses pengulangan yang dilakukan setiap menyusun komposisi musik. Namun ternyata, pemusik-pemusik dunia lupa melakukan eksploitasi musik hingga Alip Ba Ta menemukannya. Posisi The Queen of World Music diambil alih oleh Alip Ba Ta sebagai The King of Indonesian Music.

Awalnya kita cukup puas, Alip Ba Ta sebagai ambasador musik Indonesia di tangga musik dunia, tetapi melihat perkembangan terbaru, ternyata apa yang dicapai oleh Alip Ba Ta diapresiasi oleh para musikus dunia lebih dari cukup bahkan Alip Ba Ta telah mengungguli para pemusik dunia. Komposisi-komposisi Alip Ba Ta mendapat kesan awesome, amazing, dan sebagainya. Musik gubahan Alip Ba Ta tidak hanya direaksi secara positif di seluruh dunia, juga telah diratifikasi oleh Brian May (Queen); situs Classic Rock World, GNR (corong band GNR), media Italia, Irlandia, Brazil dan lainnya.

Musik Alip Ba Ta tidak hanya proses kreatif (invention) tetapi juga proses saintifik (discovery). Komposisi-komposisi musik invention adalah proses menciptakan musik yang dapat diprediksi berdasarkan nada-nada yang telah terdokumentasi sejak Javaansche Rhapsody hingga Bohemian Rhapsody. Tetapi komposisi-komposisi musik discovery adalah proses menciptakan musik yang tidak dapat diprediksi karena nada-nada yang diintroduksi adalah nada-nada baru (chord dan note) yang belum ditemukan sebelumnya. Disinilah keunggulan komparatif Alip Ba Ta dibandingkan musisi-musisi dunia selama ini. Rekor Alip Ba Ta akan bertahan lama.

Rabu, 27 Mei 2020

Sejarah Padang Sidempuan (6): Dr. Achmad Ramali, Epidemik, Kebersihan, Al-Qur'an; Dokter-Dokter Asal Padang Sidempoean


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Pada saat pandemik COVID-19 yang sekarang, salah satu protokol yang dianjurkan adalah soal kebersihan (mencuci tangan). Gagasan serupa ini pernah muncul ketika terjadi epidemik malaria di Afdeeling Padang Sidempoean tahun 1932. Dokter Achmad Ramali meminta semua penduduk yang memiliki karamba menggunakan penutup agar jentik-jentik nyamuk malaria tidak berkembang. Pemimpin lokal setuju dan membentuk brigade untuk mengkampanyekan lingkungan yang sehat.

Program yang dijalankan Dr. Achmad Ramali ini bersama penduduk menimbulkan inspirasi baru bagi sang dokter. Dokter ini mendapatkan masukan dari ulama-ulama lokal bahwa dalam agama Islam, di dalam Alquran diajurkan hidup bersih dan sehat. Selesai berdinas di Padang Siempoean, Dr. Achmad Ramali berhasil menyusun satu makalah yang menghubungkan kesehatan masyarakat dengan anjuran kebersihan dalam agama Islam. Makalah yang diterbitkan dalam jurnal kedokteran masyarakat membuat pembaca orang-orang Belanda heboh. Tidak ambil pusing dengan kehebohan, Dr. Achmad Ramali memajukan makalah tersebut untuk mengikuti program doktoral di Geneeskundige Hoogeschool di Batavia,

Nama dokter Achmad Ramali dan nama Padang Sidempoean menjadi titik tolak kajian kedokteran yang dikaitkan dengan hubungan sosial. Selama ini kajian kedokteran hanya terbatas pada sistem biologi penyakit dan agen pembawa penyakit seperti bakteri, virus dan sebagainya. Sekaran dalam situasi tidak normal pada masa pandemik virus Covid-19 belum ada obat dan belum ditemukan vaksin (pencegah) maka protokol kesehatan menjadi satu-satunya jalan keluar. Disinilah relevansi Dr. Achmad Ramali dan kota Padang Sidempoean tentang apa yang kita hadapi sekarang. Untuk menambah pengetahuan kita tentang epidemik dan kebersihan di Padang Sidempoean oleh Dr. Achmad Ramali, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 25 Mei 2020

Sejarah Padang Sidempuan (5): Tokoh Terkenal Asal Padang Sidempoean di Jawa Era Pendudukan Jepang; Siapa Mereka?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Padang Sidempuan di blog ini Klik Disini

Ada satu masa di Indonesia begitu sulit didapat informasi yakni pada era Pendudukan Militer Jepang. Surat kabar, majalah dan buku-buku yang terbit di era tersebut kurang terdokumentasikan dengan baik dan nyaris tidak ada yang peduli untuk menyimpannya. Akibatnya ketika kita pada masa ini ingin melihat potret situasi dan kondisi Indonesia di era pendudukan Jepang menjadi suram. Satu sumber yang penting yang dapat dibaca pada masa ini salah satu diantaranya adalah buku berjudul ‘Orang Indonesia jang terkemoeka di Djawa’.

Buku ini terbit pada tahun 1944 (tebalnya 552 halaman). Di dalam buku ini dicatat nama-nama orang Indonesia yang terkemuka di Djawa saja. Banyaknya 3.109 orang.  Mereka ini tergolong mempunyai kedudukan, kepandaian dan pekerjaan yang berarti dalam masing-masing golongan masyarakat. Buku ini adalah hasil suatu survei yang dilakukan, namun tidak semua orang yang dikirim kuesioner mengembalikannya. Dalam buku terdapat nama-nama terkenal di era kolonial Belanda seperti Ir. Soekarno, Drs. Mohamad Hatta, Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap dan Parada Harahap. Secara umum buku ini dibagi ke dalam tiga kategori yang masing-masing dikelompokkan dalam beberapa bidang-pekerjaan. Kategori pertama Urusan Negara yang terdiri dari Administrasi Umum Negeri, Pangreh Praja, Urusan Keuangan Negeri, Penjagaan Keamanan dan Pengadilan. Kategori kedua Perekonomian yang trerdiri dari Pertanian, Kehutanan, Peternakan dan Perikanan, Kerajinan, Perhubungan, Berbagai Urusan Teknik, Perdagangan, Keuangan dan Perhimpunan-Perhimpunan Memajukan Perekonomian. Kategori ketiga terdiri dari Penerangan, Pertolongan dalam Kehakiman, Kesehatan, Pengajaran, Kebudayaan, Agama. Urusan Politik dan Soal Pekerjaan, Urusan Kaum Dhaif dan Urusan Perempuan, dan Urusan Pemuda, dll. Orang Indonesia jang terkemuka tentu saja ada di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan lainnya. Namun tampaknya buku ini terbit sebelum publikasi buku berikutnya selesai sudah berakhir era pendudukan Jepang dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Survei ini bukan sesuatu yang khusus, pada era kolonial Belanda kegiatan survei ini dilakukan setiap lima tahun.

Lantas siapa saja orang Indonesia yang terkemuka di Jawa yang berasal dari Padang Sidempoean. Pada era kolonial Belanda dan pada masa pendudukan Jepang afdeeling Padang Sidempoean kini menjadi Tapanuli Bagian Selatan. Mereka yang berasal dari Padang Sidempoean tidak hanya lahir di afdeeling Padang Sidempoean tetapi juga banyak yang lahir di perantauan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasioanl dalam artikel ini didaftarkan orang Indonesia jang terkemuka yang berasal dari Padang Sidempoean baik yang berada di Jawa maupun di daerah lainnya di Indonesia serta di luar negeri. Riwayat hidup mereka ini diperkaya dengan merujuk pada sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 24 Mei 2020

Sejarah Bogor (65): Sejak Kapan Nama Buitenzorg Dikenal? Kapan Nama Bogor Dicatat? Buitenzorg Menjadi Bogor, 1950


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
 

Sejak kapan nama Buitenzorg dikenal? Kapan nama Bogor dicatat? Dua pertanyaan ini mungkin sebagian orang tidak terlalu menganggap penting-penting amat. Namun pertanyaan ini menjadi penting ketika pada tahun 1950 Pemerintah Indonesia (RIS) secara resmi mengganti nama Buitenzorg menjadi Bogor. Lantas muncul pertanyaan baru, apakah sebelum disebut Buitenzorg namanya sudah disebut Bogor? Pertanyaan yang tidak penting menjadi pertanyaan penting, bukan? Untuk sekadar catatan awal nama Buitenzorg sejatinya sudah ada sejak lama, tetapi secara resmi nama Buitenzorg baru diberlakukan pada tahun 1810 (lihat Bataviasche koloniale courant, 05-01-1810). Meski demikian, nama lain (Bogor) juga tetap dipertahankan, nama Buitenzorg ditujukan kepada orang-orang Eropa/Belanda dan nama Bogor ditujukan dan untuk menjaga eksistensi pribumi.

Amsterdamse courant, 18-12-1759
Nama Batavia muncul setelah Jan Pieterszoon Coen memimpin invasi ke Kerajaan Jactra tahun 1619. Dua tahun berikutnya muncul nama benteng Kasteel Batavia. Benteng inilah yang kemudian menjadi asal-usul Batavia sebagai nama suatu tempat. Nama Jacatra [baca: Jakarta] lambat laun terpinggirkan. Ketika Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, secara resmi pada tahun 1950 nama kota Batavia diganti dengan nama Djakarta. Pada era pendudukan Jepang secara informal nama Batavia telah digantikan dengan nama Djakarta.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah barang tentu memerlukan jawaban. Sejauh ini tidak ada yang memikirkannya apalagi menulisnya. Boleh jadi karena soal asal-usul nama tempat tidak dianggap penting [(lihat Sejarah Bogor (1)]. Namun begitu, untuk menambah pengetahuan, dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 23 Mei 2020

Sejarah Bogor (64): Museum Pajajaran di Kampong Sunda; Mengapa Begitu Banyak Versi Narasi Sejarah Buitenzorg dan Bogor?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Beberapa waktu yang lalu Wali Kota Bogor, Bima Arya ingin mendigitalisasi data sejarah Bogor [(lihat Sejarah Bogor (11)]. Kini, Bima Arya mengusulkan pendirian museum Sejarah Bogor dengan nama Museum Pajajaran. Ini tampaknya ingin melengkapi motto Kota Bogor yang terdapat pada Tepas Lawang Salapan Dasakreta: DI NU KIWARI NGANCIK NU BIHARI SEJA AYEUNA SAMPEUREUN JAGA Dimana lokasi museum tersebut ancar-ancarnya di (kampong) Batoetoelis yang sekaligus akan ditabalkan sebagai kampong Sunda. Apa saja isi museum Pajajaran tersebut kita berharap juga dilengkapi digitalisasi data sejarah.

Fakta dan data hanyalah syarat perlu dalam memulai menyusun narasi sejarah. Itu jelas tidak cukup. Diperlukan suatu analisis simultan untuk mengkonstruksi dan membangun arsitektur sejarah. Hasil analisis tidak hanya untuk menyampung antar data yang bolong (belum ditemukan) juga untuk menyajikan gambar besar tentang konstruksi-arsitektur sejarah. Kesalahan analisis dapat meruntuhkan sejarah itu: ingin melukiskan besarnya induk gajah yang tergambar justru anak gajah.

Umumnya di berbagai kota di Indonesia, para pemerhati sejarah yang memiliki usul tentang hal yang terkait sejarah kota. Sangat jarang seorang pemimpin kota menginisiasi dan memelopori pentingnya sejarah kota. Kota Bogor di bawah pimpinan Bima Arya adalah kekecualiaan. Namun akankah itu berlanjut? Seperti di kota lain, pemimpin selanjutnya hanya menganggap gedung museum yang dibangun sebagai monumen saja tanpa pernah memperkayanya dan bahkan abai dalam pelestariannya. Lalu, bagaimana strateginya?