Kamis, 30 April 2020

Sejarah Bogor (39): Ekspedisi Pieter Scipio ke Selatan Jawa dari Batavia melalui Hulu Sungai Tjiliwong; Siapa Luitenant Patingi?


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Sejatinya Luitenant Patingi adalah orang pertama yang membuka ruang (wilayah) di hulu sungai Tjiliwong. Luitenant Patingi adalah pemimpin pasukan pribumi pendukung militer VOC yang ditugaskan oleh Gubernur Jenderal VOC untuk melakukan eksplorasi wilayah. Ekspedisi pendahulu ini kemudian disusul ekspedisi yang dipimpin oleh Sersan Pieter Scipio. Dua ekspedisi ini berlangsung pada tahun 1687. Tim ekspedisi Luitenant Patingi berangkat dari Batavia tanggal 21 Juli 1687.

Pemerintah VOC sudah sejak lama merekrut orang pribumi dari berbagai daerah untuk dijadikan sebagai pasukan pendukung militer VOC. Dua nama penting dalam gugus pasukan pribumi ini adalah Capitein Jonker dan Aroe Palakka. Pasukan Aroe Palakka berpartisipasi aktif dengan pasukan Admiral Cornelis Spelman dalam menaklukkan Kerajaan Gowa (1669). Sebelumnya pasukan Aroe Palakka telah membantu Majoor Poolman dalam pengusiran Atjeh dari Padang (1666). Sementara pasukan Capitein Jonker telah berpartisipasi aktif dalam mengatasi kemelut di Kesultanan Banten (1682) dan dalam perang dengan Mataram. Pasukan-pasukan pribumi pendukung militer VOC ini juga yang kemudian mengawal Batavia (termasuk menjaga benteng-benteng) dari kemungkinan ancaman dari Mataram dan Banten. Para pemimpin pasukan diberi hak untuk menguasahakan lahan (semacam konsesi).

Bagaimana eskpedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin Pieter Scipio ke hulu sungai Tjiliwong hingga selatan Jawa dan siapa Luitenant Patingi kurang terinformasikan dengan baik. Padahal dua orang ini adalah orang yang berjasa bagi Pemerintah VOC ketika tanah dan penduduk akan dijadikan subjek di daerah hulu sungai Tjiliwong. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bogor (38): Ekspedisi David A Stier ke Situs Kuno di Padjadjaran, 1730; Kontak Pejabat VOC dengan Pemimpin Priangan


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Daerah hulu sungai Tjiliwong dan daerah Priangan menjadi magnet tersendiri bagi Pemerintah dan para pedagang VOC (di Batavia). Meski letaknya yang sangat dekat dari pusat VOC di Batavia, tetapi sempat terabaikan (tidak menjadi prioritas). Sehubungan dengan kebijakan VOC yang bergeser dari kebijakan perdagangan yang longgar dengan kota-kota pantai, menjadika kebijakan yang mana penduduk menjadi subjek, wilayah hulu sungai Tjiliwong menjadi prioritas (yang juga meratakan jalan menuju Priangan). Sejumlah ekspedisi dilakukan.

Area tujuan ekspedisi David Andreas Stier, 1730 (Peta 1687)
Periode aktivitas perdagangan Belanda (VOC) di Hindia dibagi ke dalam empat periode (lihat De Westkust en Minangkabau 1665-1668 door Hendrik Kroeskamp, 1931): 1. Periode dimana VOC hanya melakukan perdagangan secara longgar dan terbatas hubungan dengan komunitas di sekitar pantai, sampai sekitar 1615; 2. Periode dimana kata-kota pantai diperluas menjadi bagian perdagangan VOC, sampai sekitar 1663; 3. Penduduk sebagai sekutu VOC, sampai dengan 1666; dan 4. Penduduk sebagai subyek VOC. Pada periode keempat ini, Pemerintah VOC di Batavia mengirim satu ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong pada tahun 1687 yang dipimpin oleg Sersan Scipio. Beberapa bulan sebelumnya sudah lebih dahulu tim ekspedisi pendahulu ke hulu sungai Tjiliwong yang dipimpin oleh Luitenan Ambon Patingi Lalarong (dengan membangun benteng Fort Padjadjaran).

Salah satu ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong yang terbilang unik (dan hampir tidak terkait dengan misi utama VOC: produksi dan perdagangan) adalah menyelidiki situs kuno peninggalan kerajaan Pakwan di Padjadjaran. Eskpedisi ini dipimpin oleh David Andreas Stier pada tahun 1730. Apa yang menjadi tujuan ekspedisi ini sangat kabur. Namun tentu saja, setiap ekspedisi VOC tidak ada yang tanpa motif. Bagaimana ekspedisi Padjadjaran ini berlangsung? Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bogor (37): Ekspedisi Michiel Ram dan Cornelis Coops ke Gunung Pangrango 1701; Gempa dan Letusan Gunung Salak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Getaran gempa bumi dan letusan gunung berapi adalah dua hal yang berbeda tetapi dapat terjadi bersamaan. Kedua kejadian dapat menimbulkan dampak yang besar: kehancuran material dan korban jiwa. Dampaknya tidak hanya di seputar episentrum atau kawah letusan tetapi juga sangat jauh ke muara-muara sungai di pantai. Pada tahun 1699 sempat terjadi kebingungan di Batavia dan di Tangerang. Apa sesungguhnya yang terjadi di daerah pedalaman (hulu sungai Tjiliwong dan hulu sungai Tjsadane?

Laporan Michiel Ram-Cornelis Coops, Batavia 6 Agustus 1701
Lumpur yang banyak dan material seperti batang-batang pohon memenuhi muara sungai Tangerang (hilir sungai Tjisadane) yang menghambat navigasi membuat orang Inggris mengirim peninjau segera setelah kejadian ke hulu sungai Tjisadane (ke dekat gunung Salak). Laporan ekspedisi menyebutkan tim ekspedisi ini membutuhkan 19 hari pergi-pulang dan menyatakan bahwa semua permukaan tanah tertutup lumpur di wilayah hulu sungai. Sementara di sisi Belanda (VOC) di Batavia berdasarkan catatan Kasteel Batavia (Daghregister) pada hari kejadian menyebutkan ada suara gemuruh besar di selatan dan tanah bergoyang keras sehingga orang di jalanan yang tengah jalan berjatuhan. sungai Tjiliwong begitu terlihat kotoran membawa sampah dari pedalaman. Keterangan-keterangan tentang letusan gunung Salak ini tampaknya satu setengah abad kemudian bersesuaian dengan kondisi lahan yang ditemukan di land Tjiomas oleh pemilik land, tanah berlempung, banyak batu krikil di atas permukaan, sungai-singai yang banyak yang berbatu dan berpasir.

Gempa yang sangat dahsyat yang meluluhlantakkan Batavia pada tanggal 4 Januari malam 1699 juga menjadi sangat heboh di Eropa. Sebelumnya, Gubernur Jenderal dan Raden van Indie pada tanggal 20 Januari 1699 telah mengirim utusan menemui De Heeren van Zeventienen di Belanda. Para investor XVII ini yang  juga merasa gelisah dengan investasi mereka di Hindia khususnya di Batavia dan sekitar, lalu memerintahkan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn untuk menyelidikinya secara tuntas. Willem van Outhoorn menugaskan dua bawahannya untuk melakukan ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong, yakni Landdrost Michiel Ram dan Opperstuurman Cornelis Coops. Eskpedisi ke hulu sungai Tjiliwong ini dimulai pada tangga 23 Juli dan laporan Michiel Ram Cornelis Coops diserahkan kepada Gubernur Jenderal di Batavia pada tanggal 6 Agustus 1701. Apa isi laporannya? Dalam artikel ini isinya disarikan, berdasarkan sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 29 April 2020

Sejarah Bogor (36): Sejarah Katulampa, Cimahpar, Sukaraja; Bendungan Kanal dan Pos Pantau Ketinggian Air di Kedong Badak


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Nama Katulampa adalah nama kuno? Di (kampong) Katoelampa terdapat suatu bendungan kuno yang mengairi areal persawahan di sisi timur-utara sungai Tjiliwong. Kanal kuno ini lambat laun disebut (sungai) Tjiloear. Bendungan kuno Katoelampa ditingkatkan menjadi bendungan modern pada era Pemerintah Hindia Belanda. Pada era VOC pos pantau ketinggian air sungai Tjiliwong berada di Kedongbadak (jembatan Warung Jambu yang sekarang).

Katoelampa (Peta 1900), Katulampa Jagorawi (Now)
Pada era kerajaan Padjadjaran diduga telah terbentuk dua kanal besar untuk kebutuhan pengairan. Kanal pertama berada di sisi selatan sungai Tjiliwong. Kanal ini kini dapat diidentifikasi sebagai sungai Tjipakantjilan. Kanal kedua sebagai wujud perluasan pengembangan wilayah pertanian dibangun bendungan di Katoelampa dengan mengalirkan airnya dengan membangun kanal ke arah hilir yang kini dapat diidentifikasi sebagai sungai Tjiloear. Areal persawahan ini boleh jadi sangat disukai oleh Radja Pakwan-Padjadjaran yang penggilingan padinya berada di Soekasari. Pada era VOC dua kanal ini diintervensi untuk meingkatkan kapasitas air dan jangkauan pengaliran (pengairan). Pemerintah VOC dan Pemerintah Hindia Belanda hanya melanjutkan yang sudah ada. Dua kanal ini adalah kearifan lokal (warisan) sejarah masa lampau (Dinu Kiwari Ngancik nu Bihari, Seja Ayeuna Sampeureun Jaga).

Kini, Katulampa sangat terkenal. Warga Jakarta ketika musim hujan ingat Katulampa tetapi bukan ingat Sejarah Katulampa. Akan tetapi seberapa tinggi air sungai Ciliwung di (bendungan) Katulampa. Tinggi rendahnya air permukaan sungai Ciliwung menjadi indikator untuk mengantisipasi dampak banjir di Jakarta. Warga Bogor boleh jadi lebih merindukan Sejarah Katulampa daripada memperhatikan catatan ketinggian air di bendungan Katulampa. Okelah, untuk memenuhi dua kebutuhan itu dan untuk meningkatkan pengetahuan serta wawasan nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 28 April 2020

Sejarah Bogor (35): Sejarah Kelurahan Paledang, Kanal, Penjara, Stasion dan Hotel; Pada Suatu Hari di Gang Buntu Bogor, 1983


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Paledang (Bogor) sangat terkenal sepanjang masa. Pada era kolonial Belanda hanya tiga desa yang menjadi bagian dari kota (gemeente) Buitenzorg, yakni desa Pasar, desa Bondongan dan desa Paledang. Awalnya Paledang adalah lingkungan (wjik) Eropa/Belanda, Pasar adalah wijk orang-orang Tionghoa (Pecinan) dan Bondongan adalah lingkungan pribumi. Asisten Residen berkantor di Paledang (depan Istana) dan Bupati berkantor di Empang (Bondongan).

Wijk Paledang, Buitenzorg (Peta 1900)
Pada masa ini, nama Paledang kerap dikaitkan dengan cerita-cerita yang tidak jelas ujung-pangkalnya, seakan-akan bernuansa horor. Titik GPS dimana kisah-kisah menyeramkan berada di bawah jembatan (rel) Paledang. Namun cerita ini tidak pernah saya dengar dan saya alami tempo doeloe. Saya setiap bulan pada tahun 1983 melewati jembatan ini. Jika kebetulan kereta api Bogor-Sukabumi lewat di bawah jembatan, saya selalu berhenti dan memandang ke bawah saat kereta api nongol dari belokan dan kemudian menghilang di belokan yang lain. Tujuan saya melewati jembatan itu untuk berkunjung ke rumah nenek saya (adik dari nenek saya) di gang/jalan Buntu. Suasananya biasa-biasa saja. Lantas mengapa kini jadi situs horor? Okelah, itu satu hal.

Satu hal yang lain yang lebih penting adalah bagaimana sesungguhnya Sejarah Paledang? Nah, itu dia. Mengapa belum ada yang menulis. Artikel ini tidak berbicara tentang cerita horor, tetapi narasi sejarah, narasi fakta dan data. Mudah-midahan, narasi sejarah Paledang ini dapat mengurangi rasa horor Anda, Untuk menambah pengetahuan, untuk mengurangi ketidaktahuan, serata untuk meningkatkan wawasan berpikir nasional, mari kota telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bogor (34): Sejarah Baranang Siang Dimana IPB Bogor Berada; Kebun Raya, Rumah Sakit PMI, Terminal Tol Jagorawi


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Nama Baranang Siang [Baranangsiang] di Bogor sangat terkenal pada dekade 1980an. Entah kalau sekarang. Nama Baranang Siang bahkan sama populernya dengan nama Bogor sendiri. Apa pasal? Karena kampus pusat Institut Pertanian Bogor (IPB) berada di Baranang Siang yang disebut Kampus Baranang Siang. Tidak hanya itu, jika datang dari jauh, dari terminal Cililitan maka terminal Baranang Siang menjadi tujuan. Terminal Bogor sendiri berada di jalan Merdeka. Terminal Baranang Siang dibangun sehubungan dengan pembangunan jalan tol Jagorawi yang menghubungkan terminal Cililitan di Jakarta.

Kampong Baranang Siang (Peta 1701) dan Kampus IPB
Di seberang jalan dari Kampus Baranang Siang (yang dipisahkan jalan Pajajaran) terlihat dekat hutan kota Kebon Raya. Kebon raya ini dibangun sejak era pendudukan Inggris (Raffles). Jalan di samping Kampus Baranang Siang disebut jalan Malabar (kini telah diganti menjadi jalan Andi Hakim Nasution, mantan Rektor IPB 1978-1987). Di area Malabar ini terdapat rumah sakit terkenal Rumah Sakit PMI (Palang Merah Indonesia). Saya pernah berobat di rumah sakit ini pada tanggal 5 September 1983. Layanannya keren, harganya terjangkau masayarakat dan tidak terlalu berat bagi mahasiswa. Saya tahu persis karena saya tinggal di Gang Mexindo (Mexico-Indonesia). Gang ini hanya dibatasi jalan Malabar ke rumah sakit.

Lantas bagaimana sejarah awal Baranang Siang? Yang jelas artikel ini mengumpulkan data sejarah dan mengalisisnya. Di dalam artikel ini tidak dimasukkan unsur cerita atau ‘katanya’ karena artikel ini disusun dengan pendekatan metodologi sejarah untuk mendapatkan gambaran Sejarah Baranang Siang yang sebenarnya. Sejarah adalah narasi fakta dan data (bukan mendata narasi fiksi). Ada perbedaan besar antara metodologi sejarah dan metode cerita. Metodologi sejarah berupaya memverifikasi data tahun sejarah berlangsung, sedangkan metode cerita adalah metode fiksi yang cenderung menggunakan pendekatan toponimi dan tidak peduli kapan kisah itu terjadi (fiktif). Okelah, itu satu hal. Hal yang lebih penting adalah untuk menambah pengetahuan dan mengurangi ketidaktahuan serta menambah wawasan nasioanl, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Senin, 27 April 2020

Sejarah Bogor (33): Sejarah Kampong Batu Tulis, Batu Bertulis di Buitenzorg; Kampong Batu Tumbuh di Land Tjilintjing, Batavia


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Batutulis, nama keluruhan di kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor memang kini berada di pinggir Kota Bogor, tetapi tempo doeloe justru berada di cenrum peradaban (kerajaan Pakwan-Padjadjaran). Ibarat Tugu Kujang pada masa ini, tempo doeloe di Kerajaan Pakwan-Padjadjaran terdapat tugu bertulis di tengah kota. Tugu ini kemudian disebut penduduk sebagai Batoetoelis (yang menjadi asal-usul nama kelurahan Batutulis). Kampong Batoetoelis, bukan hanya sekadar tentang batu bertulis, tetapi lebih dari itu.

Batu Tulis di Bogor, Batu Tumbuh di Jakarta
Di tempat lain juga terdapat nama kampong Batoetoemboeh, cikal bakal nama keluruhan Tugu di kecamatan Koja, Jakarta Utara. Jika batu tulis di Buitenzorg (Bogor Selatan) diduga ditulis pada era kerajaan Pakwan-Padjadjaran, batu tulis di Batavia (Jakarta Utara) diduga ditulis pada era kerajaan Taroemanagara. Dalam hal ini Kerajaan Taroemanagara adalah kerajaan pertama, Kerajaan Pakwan-Padjadjaran adalah kerajaan terakhir di Jawa Barat (Tanah Sunda). Apakah ada persamaan kampong Batoetoemboeh dengan kampong Batoetoelis?

Lantas apakah sejarah Kampong Batoe Toelis pernah ditulis? Tampaknya hanya ditulis sejarah tentang batu bertulis di Batoe Toelis. Tidak ada yang pernah menulis sejarah kampong dan penduduk Batoe Toelis. Apakah karena kampong Batoe Toelis (kini Kelurahan Batutulis) berada di pinggir kota lalu sejarahnya terpinggirkan? Entahlah. Sejarah Batoe Toelis sejatinya adalah bagian terpenting dari Sejarah Kota Bogor yang sekarang. Untuk menambah pengetahuan, dan menambah wawasan nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Minggu, 26 April 2020

Sejarah Bogor (32): Sejarah Cisarua dan Pembangunan Jalan Puncak Pas; Abraham van Riebeeck dan Johannes van den Bosch


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini
 

Sejarah Cisarua sejatinya sudah tua. Sejarah paling tua di daerah Puncak yang sekarang. Kampong Tjisaroea tempo doeloe adalah kampong tertinggi di lereng gunung Pangrango. Tentu saja titik puncak Pas belum dikenal. Untuk menuju Tjiandjoer dari Tjisaroea masih menyusuri sisi timur melalui Tjipamingkis. Saat itu banyak jalan menuju Tjiandjoer. Jalan utama ke Tjiandjoer melalui Bantar Gebang (muara sungai Tjilengsi) dan Tjibaroesa atau dari Karawang dan Tandjoengpoera (muara sungai Tjibeet) terus ke Tjibaroesa dan Tjipamingkis.

Kampong Tjisaroea (Peta 1703) dan Rute jalan pos Daendels (1810)
Ada satu orang Gubernur Jenderal VOC yang lahir di Hindia yaitu Willem van Outhoorn. Semuanya Gubernur Jenderal VOC adalah kelahiran Eropa/Belanda, kecuali Willem van Outhoorn. Lahir di Larike, Leihitu, Amboina, Maluku pada bulan Mei 1635. Willem van Outhoorn menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1690. Sebagai anak Indo (lahir di Hindia) keinginannya sangat kuat untuk bekerjasama dengan para pemimpin lokal di wilayah pedalaman Batavia. Oleh karena itu van Outhoorn mengirim direktur Abraham van Riebeeck untuk mengenal lebih dekat wilayah-wilayah di hulu sungai Tjiliwong. Inisiatif van Outhoorn ini didukung oleh Joan van Hoorn yang telah membuka lahan di timur Batavia (daerah Pasar Baru yang sekarang). Tiga orang yang senang berkebun ini adalah perintis pertanian di hulu sungai Tjiliwong dan Priangan (Preanger). Gubernur Jenderal VOC Willem van Outhoorn yang berakhir tahun 1704 digantikan oleh Joan van Hoorn (1704-1709) dan kemudian dilanjutkan oleh Abraham van Riebeeck 1709-1711. Pada era tiga Gubernur Jenderal VOC inilah nama (kampong) Tjisaroea melambung tinggi.

Lantas apa hebatnya Sejarah Cisarua? Yang jelas nama Tjisaroea yang pertama dikenal di daerah Puncak yang sekarang. Kampong Tjisaroea adalah titik terpenting yang menjadi awal dibukanya perkebunan dan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di lereng gunung Pangrango. Untuk mengenal lebih jauh dan menambah pengetahuan tentang Sejarah Cisarua, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sabtu, 25 April 2020

Sejarah Bogor (31): Sejarah Ciawi, dari Bogor, Cianjur, Sukabumi ke Ciawi; Jalan Tol Jagorawi dan Universitas Djuanda


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Apakah ada sejarah Ciawi Bogor? Ada dong. Namun sangat disayangkan tidak terinformasikan. Jika kita search ‘sejarah Ciawi’ di google tak satu pun situs yang muncul yang mendeskripsikan sejarah Ciawi. Itulah nasib Sejarah Ciawi yang tidak dicatat oleh jaman baru. Sejarah Ciawi masa lampau tenggelam di sungai Tjiawi.

Ciawi (Peta 1901) dan Gadok (1865)
Ciawi Bogor hanya ‘tersinggung sedikit’ yang dihubungkan dengan pembangunan jalan tol Jakarta-Bogor dan Ciawi (JaGorAwi) yang dimulai tahun 1973. Ciawi Bogor sedikit tersungging dengan pendirikan universita UNIDA (Universitas Djuanda) di ujung jalan tol di Ciawi. Lalu, apa lagi? Tidak ada lagi. Ciawi hanya muncul teriakan sesaat ketika bis dari Bogor ke Cianjur atau Sukabumi melewati Ciawi atau bis dari Jakarta lewat tol ke Bandung atau Sukabumi. Ciawi hanya dianggap perlintasan. Lalu apakah karena itu Sejarah Ciawi hanya ditulis selintas saja? Entahlah!

Sudah waktunya kita menggali data Sejarah Ciawi yang berada di dasar sungai Tjiawi. Jika perhatikan data-data tersebut, Sejarah Ciawi ternyata sangat luar biasa. Sebagai penanda navigasi Sejarah Ciawi tempo doeloe berangkat dari Buitenzorg (Bogor) ke Tjiandjoer. Dalam perkembangannya terbuka jalur dari Tjiandjoer ke Soekaboemi. Pihak Soekabomilah yang kemudian meminta dihubungkan dengan Tjiawi agar menjadi lebih dekat dengan Buitenzorg (menjauh dari Tjiandjoer). Sejak itu Tjiawi sebagai interchange menjadi sangat penting. Sejarah baru Tjiawi dimulai. Nah, untuk menengok bagaimana Sejarah Ciawi berlangsung, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Bogor (30): Sejarah Kedung Badak dan Cilebut, Batas Gemeente Buitenzorg; Riwayat Tanah Partikelir Tempo Doeloe


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Bogor dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Kedung Badak dan sejarah Cilebut bukanlah baru. Dua nama tempat ini memiliki sejarah yang sudah tua di Bogor. Sejak era VOC dua nama tempat yang bertetangga sudah dikenal luas. Pada era Pemerintah Hindia Belanda dua nama tempat ini dipisahkan. Kedong Badak dimasukkan ke dalam kota, sementara Tjileboet berada di luar kota tetap sebagai tanah partikelir (land). Pembebasan land di Buitenzorg dimulai pada era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811). Namun kapan land Kedong Badak dan land Tjileboet dibebaskan masih perlu ditelusuri. Kini, area Kedong Badak menjadi metropolitan baru di Kota Bogor.

Lahan-lahan di hulu sungai Tjiliwong mulai dikapling-kapling menjadi tanah-tanah partikelir bermula ketika Abraham van Riebeeck tahun 1703 sepulang ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong diberi izin oleh Pemerintah VOC untuk mengelola lahan di Bodjongmanggis (kini Bojong Gede). Ketertarikan Abraham van Riebeeck membuka lahan karena land Bodjongmanggis memiliki tanah yang subur, lebih-lebih setelah Cornelis Chastelein membuka lahan baru di Depok. Sebelum Cornelis Chastelein memperluas lahannya di Serengseng ke Depok, Majoor Saint Martin sudah lebih dahulu mengakuisisi land Tjitajam (land terbaik di hulu sungai Tjiliwong). Majoor Saint Martin, Chastelein dan Abraham van Riebeeck adalah peminat botani yang terkenal. Pada tahun 1701Michiel Ram dan Cornelis Coops membuat peta baru di hulu sungai Tjiliwong. Nama-nama tempat yang diidentifikasi adalah kampong-kampong Babakan, Bantar Djati, Kampong Baroe, Kedong Dalam dan Kedong Waringin. Pada saat itu kampong Kedong Waringin tampaknya lebih terkenal dari kampong Kedong Badak.

Lantas apa hebatnya land Kedong Badak? Yang jelas di Kedong Badak ada jembatan utama yang menghubungkan Batavia dan Buitenzorg. Jembatan ini awalnya dirintis oleh Gubernur Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff (1743-1750). Jembatan ini kemudian direkonstruksi dengan jembatan beton pada era Pemerintah Hindia Belanda tahun 1818 (lihat Bataviasche courant, 11-04-1818). Tentu saja biaya pembuatannnya mahal, karena itu kendaraan yang lewat dipungut tol. Jembatan tersebut kini dikenal sebagai jembatan Warung Jambu. Namun yang kini dipungut tol adalah jembatan (flyover) Kedung Badak. Antara jembatan tol masa lalu tersebut dengan jembatan flyover masa kini pada era pendudukan militer Jepang terdapat kamp interniran Eropa-Belanda. Lalu apa hubungannya land Kedong Badak dengan land Tjileboet? Jika warga Kedong Badak ingin naik kereta api harus ke stasion Tjileboet. Okelah, untuk lebih menambah pengetahuan, dan wawasan sejarah nasional di Bogor, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Rabu, 22 April 2020

Sejarah Air Bangis (25): Alamsjah dan Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda di Air Bangis; Republiken Sejati di Jogjakarta


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disin

Siapa Alamsjah? Yang jelas bukan Sakti Alamsjah (pendiri surat kabar Pikiran Rakyat Bandung yang pernah saya bertemu tahun 1981). Hampir semua orang tidak mengetahui siapa Alamsjah dan hanya sedikit yang mengenalnya. Alamsjah adalah anak seorang pemimpin berpengaruh di Air Bangis. Alamsjah merantau kali pertama melanjutkan studi sekolah budidaya (Cultuutschool) di Soekaboemi pada tahun 1914. Pada tahun yang sama Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kanaikan lulus sekolah menengah pertanian (Middelbare Landbouwschool) di Buitenzorg.

Abdul Azis Nasution setelah lulus sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (Bukittinggi) tidak menjadi guru, tetapi melanjutkan studi ke sekolah pertanian (Landbouwschool) di Buitenzorg. Pada tahun 1913 Abdul Azis Nasution lulus tingkat dua dan naik ke tingkat tiga (Bataviaasch nieuwsblad, 06-08-1913). Sekolah yang lama kuliahnya tiga tahun ini, pada tahun 1913, namannya diubah menjadi Sekolah Menengah Pertanian (Middelbare Landbouwschool). Abdul Aziz lulus pada tahun 1914. Ini berarti Abdul Azis Nasution adalah alumni pertama Sekolah Menengah Pertanian Bogor (Middelbare Landbouwschool). Pada tahun ini juga (1914), Radjioen Harahap gelar Soetan Casajangan, anak Padang Sidempuan, pionir pribumi kuliah di luar negeri (tiba di Belanda, 1905) pulang ke tanah air dan untuk sementara ditempatkan di sekolah eropa di Buitenzorg (Bogor) sebelum menjadi kepala sekolah guru (kweekschool) di Fort de Kock (tahun 1915). Besar kemungkinan Soetan Casajangan telah bersua dengan Abdul Azis Nasution dan Alamsjah. Jelang kepulangan Soetan Casajangan ke tanah air telah bersua dengan Sorip Tagor di Belanda. Sorip Tagor lulus sekolah kedokteran hewan (Veeartsenschool) Buitenzorg tahun 1912 dan diangkat menjadi asisten dosen lalu pada tahun 1913 berangkat melanjutkan studi ke Belanda. Sorip Tagor adalah angkatan pertama Veeartsenschool yang dibuka pada tahun 1907. Sorip Tagor Harahap, kelahiran Padang Sidempoean adalah ompung dari Inez/Risty Tagor.

Sudah barang tentu Alamsjah dan Abdul Azis Nasution saling mengenal. Kampong mereka saling berdekatan. Alamsjah lahir dan besar di Air Bangis sedangkan Abdul Azis Nasution gelar Soetan Kanaikan lahir dan besar di Moeara Kiawai (kota dimana muara sungai Batang Kiawai bermuara di sungai Batang Kanaikan). Lantas siapa Abdoellah gelar Toeankoe Radja Moeda? Seperti halnya Alamsjah, Toeankoe Radja Moeda juga kurang terinformasikan. Untuk menambah pengetahuan dan meningkatkan wawasan sejarah nasional, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Selasa, 21 April 2020

Sejarah Air Bangis (24): Orang Cina di Air Bangis, Air Mengalir Sampai Jauh; Orang Tionghoa Air Bangis Pindah ke Padang


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disin

Apakah ada orang-orang Tionghoa di Air Bangis? Ada, tetapi secara perlahan-lahan jumlahnya semakin menurun seiring dengan melemahnya perputaran ekonomi di Air Bangis. Pasca pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda (1950) jumlahnya tidak banyak lagi dan hanya tinggal satu dua keluarga di kota Air Bangis. Berita yang ada adalah pasukan John Lie Tjeng Tjoan yang merapat di pelabuhan Air Bangis dalam rangka pembebasan Sumatra Barat dari PRRI. John Lie adalah Letnan Kolonel Laut, wakil komandan pembebasan PRRI di Sumatera Barat (di bawah komando Mayor Jenderal Ahmad Yani).

Peta 1904
Sejarah orang Tionghoa di Indonesia selalu menarik perhatian. Orang-orang Tionghoa cenderung tinggal di perkotaan. Mengapa menjadi perhatian, karena orang Tionghoa mudah dibedakan dengan yang lainnya sejak era VOC. Mereka bertempatkan tinggal di wilayah kampement tersendiri. Orang-orang Tionghoa (baca: Chines) pada era Pemerintah Hindia Belanda ke Sumatra termasuk pantai barat Sumatra menyebar (migrasi) dari Singapoera dan Penang. Jumlah orang China di pantai barat Sumatra semakin banyak seiring dengan semakin berkembangya perkebunan di Sumatra Timur (sejak 1870). Orang-orang China yang telah lama menetap di Batavia juga secara perlahan-lahan banyak yang merantau ke pantai barat Sumatra (termasuk di Air Bangis).

Lantas sejak kapan orang-orang Cina di Air Bangis? Satu yang pasti mereka ikut ambil bagian dalam perdagangan. Jumlahnya mulai bertambah seiring dengan pembentukan cabang Pemerintah Hindia Belanda di Air Bangis. Mereka awalnya adalah pedagang biasa, namun karena keuletan dalam menekuni bisnis banyak yang berhasil dan menjadi pengusaha besar. Lalu bagaimana perkembangan? Untuk menambah pengetahuan, mari kita telusuri sumber-sumber tempo doeloe.

Sejarah Air Bangis (23): Teluk Air Bangis dan Pulau-Pulau Indah; Strategi Air Bangis, Villes Mortes Jadi Daerah Tujuan Wisata


*Untuk melihat semua artikel Sejarah Air Bangis dalam blog ini Klik Disini

Air Bangis pernah mencapai puncaknya (akhir era VOC dan awal Pemerintah Hindia Belanda), tetapi setelah itu meredup hingga tenggelam di teluk Air Bangis. Pada era pendudukan militer Jepang, Air Bangis benar-benar terlupakan. Pada awal era Pemerintah Republik Indonesia upaya untuk membangkitkan ‘batang tarandam’ di Air Bangis tidak membawa banyak hasil. Dengan terbentuknya kabupaten Pasaman Barat diharapkan ‘batang tarandam’ benar-benar dapat terangkat. Namun penempatan posisi GPS ibu kota di Simpang Ampek membuat Air Bangis secara spasial semakin terpencil di ranah sendiri (kabupaten Pasaman Barat). Pusat pemerintahan dan pusat pertumbuhan bisnis di Simpang Ampek justru lebih memperkuat wilayah pinggiran kabupaten induk (kabupaten Pasaman) dan wilayah pinggiran kabupaten tetangga (kabupaten Agam). Ibarat melempar kail (umpan) ke utara, jatuhnya ke selatan.

Pembangunan spasial di Pasaman Barat (Now)
Namun tidak perlu disesalkan atau dikhawatirkan garis nasib yang ada. Dunia telah berubah dan berubah sangat cepat. Setiap tempat dimanapun berada bergerak menuju arah mana tidak lagi semata-mata ditentukan oleh pikiran penguasa (pejabat pemerintah lokal). Kini setiap tempat dapat bergerak kemana arah jalan yang sesuai baginya, Tangan-tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) akan terus bekerja. Spekturm dunia baru telah muncul, dunia digital generasi milenial. Pada situasi dan kondisi baru inilah penduduk Air Bangis dapat merespon dengan baik. Batas-batas admnistrasi tidak lagi begitu penting. Paradigna baru telah mewabah, pembangunan lintas wilayah sudah menjadi suatu alternatif jika faktor inheren tidak mendukung. Tangan-tangan yang tidak kelihatan (mekanisme pasar) bekerja menurut ala milenial ‘lu jual, gua beli’. Kebijakan pemerintah kini hanya menjadi faktor penunjang. Pada era VOC dan pada era Pemerintah Hindia Belanda konsep serupa ini yang dijalankan. Pengalaman itulah yang kala itu membuat Air Bangis menemukan puncak kemakmurannya.

Lantas bagaimana membangkitkan ‘batang tarandam’ yang telah menjadi Villes Mortes menjadikan Kota Air Bangis dan sekitar menjadi daerah tujuan wisata? Hanya strategi wisata ini yang dapat diunggulkan (dalam posisi keterpencilan) untuk mendorong aliran produk andalan ikan kering dan udang. Revitalisasi wilayah perkebunan di kabupaten Pasaman Barat hanya faktor sekunder bagi Air Bangis. Keunggulan komparatif dalam sektor wisata menjadi jalan menuju kemakmuran (terangkatnya ‘batang tarandam’). Satu hal lagi, dalam dunia tanpa batas (milenium) saat ini, Air Bangis tidak lagi terpencil, tetapi bagian dari klaster yang ramai ketika kabupaten Pantai Barat Mandailing (Natal) benar-benar terwujud. Hitung-hitung untuk menjalin kembali tali kasih yang sempat terputus (antara Air Bangis dan Natal) karena penarikan batas yang kurang pas di era kolonial Belanda. Pendulum waktu sedang mengarah ke situ.